Senin pagi yang riweuh di rumah sederhana itu. Ivi sudah berada di dapur. Bergulat dengan penggorengannya sementara Ibam masih sibuk memandikan Rangga.
Dua laki-laki itu berdiri di depan cermin besar di depan lemari. Ibam tersenyum melihat Rangga berusaha mengancingkan kemejanya dengan susah payah.
"Om, tolongin." katanya sambil menunjuk kemejanya yang masih terbuka setengah. Ibam berjongkok lalu menatap anak berkulit putih itu baik-baik.
"Bilang dulu, om Ibam ganteng, tolongin Rangga dong." katanya sambil tersenyum. Bibir anak itu mengurucut. "Ayo bilang gitu dulu." Ibam masih berjongkok di depannya sambil mengulum senyum.
"Rangga minta tolong tante Ivi aja." kata anak itu sambil berlari menuju dapur. Ibam berdecak lalu mengejar anak itu dengn langkahnya yang lebar.
"Tante Ivi yang cantik, Rangga minta tolong, dong." Rangga menarik ujung rok Ivi. Ivi menunduk lalu menatap Ibam yang berdiri di ambang pintu.
"Giliran tante Ivi aja, dipuji mulu." Ibam mengangkat anak itu tinggi-tinggi. Membuat anak itu tertawa lebar.
"Udah ayo sarapan. Sebentar lagi Rangga pasti dijemput mama." Ivi melirik jam di dapur dan mulai menata nasi goreng ke piring.
Ibam menyuapi Rangga sementara Ivi menyiapkan bekal makan siang anak itu.
"Kamu mau sandwich juga nggak, Bam?" tanya Ivi.
"Boleh." jawabnya sambil mengelap sudut bibir Rangga yang menyisakan nasi.
Dua buah kotak tupperware sudah ada di atas meja.
"Sini, Vi." Ibam menyuruh istrinya mendekat dan duduk di sebelahnya.
Ivi mendekat dan membawa piring berisi nasi goreng miliknya. Sendok di tangannya direbut oleh Ibam.
"Jangan ngajak ribut." Ivi melotot sementara Ibam tertawa lalu menoleh ke arah Rangga dalam pangkuannya.
"Lihat tuh, tante Ivi kamu. Serem kan kalau melotot." mendengar kata-kata Ibam, Ivi langsung tersenyum lebar ke arah Rangga.
"Tante Ivi cantik, kok." kata anak itu. Ivi terkekeh geli lalu meleletkan lidahnya pada Ibam. Ia tertawa puas.
Pria itu mengaduk nasi goreng dalam piring Ivi lalu menyuruh Ivi membuka mulutnya. Satu suapan meluncur ke mulut wanita itu.
"Aku suapin." kata Ibam. Membuat Ivi menatapnya bingung.
"Tumben." Ibam hanya nyengir sambil menyuapkan nasi ke mulut Rangga dan istrinya secara bergantian.
"Gantiin jadwal beresin kamar minggu ini ya." kata Ibam yang langsung membuat Ivi mendesis kesal.
"Baik kalau ada maunya doang."
"Biarin."
"Assalamualaikum." suara itu terdengar dari ruang tamu dan tak lama seorang wanita muda muncul diambang pintu tepat saat sendok kembali meluncur ke mulut Ivi.
"Ya ampun, pagi-pagi udah romantis aja." kata Erna, ibu Rangga, yang langsung masuk ke dalam rumah karena melihat pintu utama terbuka lebar.
"Eh mbak Erna, masuk mbak. Sini ikut sarapan." kata Ivi dengan kikuk sementara Ibam tersenyum geli.
"Iya nih mbak. Ivi suka manja banget. Nggak mau makan kalau nggak disuapin... Aaww." pikiknya kaget saat merasakan kakinya diinjak. Wajah wanita itu kontan bersemu merah mendengar kalimat yang dilontarkan Ibam.
"Punya istri emang harus dimanja, mas Ibam." Erna mendekat lalu mengambil anaknya dalam pangkuan Ibam. "Maaf ya, Rangga pasti ngerepotin dari semalam." kata wanita itu.
"Nggak apa-apa mbak, Ivi malah seneng karena nggak saya kekepin tadi malam." katanya dan sekali lagi ia mengaduh akibat pinggangnya yang dicubit istrinya. Siapa sih wanita yang tahan punya suami yang mulutnya nggak pernah disaring kayak Ibam? IVI, cuma Ivi yang tahan.
"Rangga salim dulu sama om sama tante." Erna mengelus pucuk kepala Rangga dan anak itu melakukan apa yang disuruh ibunya.
"Oia, ini aku buatin bekal makan siang buat Rangga." Ivi memberikan tupperware pada Erna yang langsung tersenyum.
"Ya ampun, makasih mbak. Jadi ngerepotin nih."
"Nggak apa-apa, mbak Erna. Ivi suka direpotin kok. Kalau perlu bantuan, jangan sungkan. Ivi pasti bantuin. Kalau pembantu lagi libur, panggil Ivi aja." kata Ibam sambil nyengir kuda. Wanita di sebelahnya melotot tajam sementara Erna tertawa ringan.
"Kalian lucu banget sih. Yaudah saya pamit dulu ya. Terima kasih sekali lagi." pasangan itu menebar senyum sampai ibu dan anak itu menghilang dari pandangan.
***
Ivi sampai di kantor Ibam saat jam menunjukkan pukul enam kurang lima belas. Ibam yang kebetulan belum selesai meeting akhirnya menyuruh Ivi mendatangi kantornya, yang juga kantor lama wanita itu.
Ibam : Bentar ya, Vi. Aku sebentar lagi selesai.
Pesan itu masuk saat Ivi sudah mendudukan diri di sofa lobi dan sedang asik mengobrol bersama Pipit. Sahabatnya. Membicarakan begitu banyak hal.
Ivi merindukan tempat ini. Jelas. Kantor ini adalah kantor tempatnya belajar. Mengenalkannya pada siklus kehidupan yang begitu rumit. Keketatan jam kerja, segudang peraturan, bekerja di bawah tekanan, menghadapi berbagai tipe manusia. Ivi sudah melewati itu semua, dan akhirnya justru melepaskan tempat ini.
Tidak apa-apa. Ia tidak menyesal. Terkadang, kita memang harus menggadaikan keegoisan demi sebuah kebahagiaan.
Toh, bukan hal sulit mencari pekerjaan buatnya. Untuk ukuran manager keuangan yang pernah ditempatkan pada perusahaan besar seperti ini, tidak butuh waktu lama untuknya kembali mendapatkan pekerjaan. Dengan posisi yang sama. Mungkin sekitar empat sampai lima tahun lagi, ia akan bisa menempati posisi direktur keuangan.
Tapi, setinggi apapun jabatannya di kantor. Ia tetap seorang istri. Istri dari Ibrahim Akhyar Alfeizar, wanita yang setiap bulan diberi nafkah meskipun dirinya mempunyai penghasilan sendiri. Posisi Ibam yang hanya seorang senior staff tidak bisa disepelekan. Sebagai magister hukum di salah satu universitas ternama. Ibam di gaji cukup besar menjadi senior Legal di perusahaan ini. Belum lagi usaha- usaha kecil yang mulai dirintisnya satu tahun belakangan ini.
"Maaf lama." Ibam keluar dari lift lalu mendekati Ivi yang sedang mengobrol bersama Pipit di lobi. "Belum pulang lo?" tanyanya pada Pipit.
"Belum. Yaudah, gue duluan ya." ia berpamitan pada Ivi lalu tersenyum pada Ibam dan menjauh dari pandangan mereka berdua.
***
Pajero sport itu melesak masuk ke garasi rumah minimalis mereka. Rumah yang ternyata sudah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh Ibam untuk istrinya kelak.
Rumah bercat kuning gading itu tampak rimbun dengan sebuah taman kecil di depannya. Letaknya berada di sebuah komplek di kawasan Jakarta Selatan.
Ibam langsung masuk ke kamar sementara Ivi menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Matanya menatap langit-langit ruang tamu. Ia memiringkan tubuhnya dan matanya terpaku pada laci tempat DVD sekaligus tempat Ibam menyimpan stik-stik PS dan sederet alat penunjang gamenya.
Penasaran, ia mendekat lalu membuka laci itu. Mengeluarkan semua isinya dan ternyata... barang keramat yang sejak kemarin dicarinya ada di sana. Benda yang kemarin hilang dan membuat hidupnya terasa begitu sepi... Charger laptop.
"Ibaaaaaaammmmmmm." teriakan Ivi menggelegar. Wanita itu masuk ke kamar dan melihat pintu kamar mandi tertutup dan suara kran air terdengar dari dalam.
Menahan kesal, ia duduk di atas ranjang dan menatap ke arah pintu lekat-lekat. Sehingga saat pintu itu terbuka, tatapan tajamnya langsung mengunci tepat ke manik mata suaminya.
"Kamu kenapa?" tanya Ibam yang hanya berbalut celana pendek. Ia beralih ke lemari untuk mengambil kaos dan memakainya.
"Ini apa?" Ivi mengacungkan benda berkabel itu tinggi-tinggi.
"Chager laptop kamu kan? Itu ketemu? Akhirnya. Ketemu di mana?" katanya sambil mendekat.
Ivi menirukan kalimat Ibam dengan gaya mencibir. "Nggak usah sok drama. Pasti kamu kan yang ngumpetin?"
Pria itu nyengir kuda "Iya, kok kamu tahu sih?" jawabnya polos sambil duduk di depan Ivi.
"Di rumah ini cuma ada aku sama kamu, Bam. Kalau ada apa-apa, tersangkanya kalau bukan aku ya kamu." Ivi mencebik kesal.
Pria itu tertawa pelan. "Iya maaf, abisnya aku sebel kalau kamu nonton Korea mulu. Ketahuan aku lebih ganteng daripada cowok-cowok yang ada di film itu."
Tidak mendengarkan suaminya, Ivi mengambil laptop di laci lalu membawanya keluar kamar.
"Kelakukan udah kayak ABG aja. Tontonan drama korea, tapi hobi ngomel-ngomel."
Ibam pergi ke ruang makan. Menemukan istrinya tengah duduk asik dengan laptop di depannya dan potongan buah di piring di sampingnya. Segelas teh hangat sudah tersaji di atas meja lengkap dengan sepiring nasi dan ayam bakar.
Pria itu duduk di depan Ivi. Mulai menyuapkan sendok ke mulutnya sementara tatapannya terpaku pada wajah istrinya. Wajahnya yang tampak serius menekuri layar di depannya. Kadang, seulas senyum tipis dan gelegak tawa hadir di wajahnya.
Tapi bagi Ibam, tetap saja. Ia masih tidak mengerti bagaimana orang bisa begitu maniak dengan yang namanya drama korea. Jelas-jelas semuanya fiktif. Belum acara baper-baperannya. Ujung-ujungnya bikin yang nonton pengen punya cerita seperti di film. Cewek itu aneh. Pikir Ibam.
"Vi, tehnya abis." kata Ibam dengan nada merajuk.
"Bikin sendiri, air di teko masih panas tuh." jawabnya tanpa melepas pandangannya dari layar. Sepertinya wanita itu memang tidak niat melewatkan drama itu sedetikpun.
"Aku maunya bikinan kamu. Klo aku yang bikin takut kemanisan."
"Gulanya dua sendok aja. Jangan kurang, jangan lebih." kata Ivi lagi dan masih memusatkan pandangannya pada layar di depannya.
"Aku nggak bisa bedain mana gula mana garam."
"Kan sudah aku tulisin di toplesnya." Perdebatan sengit dimulai.
Ibam menghela napas lalu memutar matanya. "Aku sibuk, Vi. Aku belum selesai makannya."
"Yaudah selesain dulu makannya, baru bikin teh lagi. Susah amat deh. Jangan ribet, kayak cewek aja." sambar Ivi. Ibam langsung mendengus. Tapi, bukan Ibam namanya kalau mudah menyerah.
"Vi, aku seret banget nih." Ibam mengusap-usap tenggorokkannya dengan dramatis.
"Minum air putih aja."
"Aku maunya teh, sayang." kataya dengan nada penekanan.
"Bentar lagi ya, dua menit lagi." kata Ivi sambil melihat penunjuk waktu di bawah layar.
"Dua menit lagi mungkin aku udah jadi mayat." kata Ibam. Dan Ivi langsung mendongakkan wajahnya dan menatap Ibam dengan kesal.
Ia akhirnya berdiri lalu menyeduhkan teh untuk Ibam sementara pria itu tersenyum puas.
"Kamu cinta banget ya sama aku. Ampe ketakutan kalau aku mati." katanya usil.
"Bercanda kamu nggak lucu." kata Ivi sambil menaruh segelas teh buatannya di depan Ibam.
"Kalau nggak digituin, kamu nggak bakal bergerak dari depan laptop." Ibam menyelesaikan makannya lalu beralih ke ruang tamu tepat saat Ivi membereskan laptopnya.
Saat Ivi masuk ke ruang tamu, Ibam sudah asik dengan stik gamenya. Sama seperti Ibam yang membenci kebiasaan Ivi menonton drama Korea, Ivi juga membenci kebiasaan Ibam yang tidak bisa lepas dari game setiap harinya. Mulai dari game di ponsel sampai game yang diproyeksikan di layar televisi lebarnya.
Ia duduk di sebelah Ibam yang tampak asik menekan tombol stik yang ada di tangannya. Ia melihat ke layar lebar di depannya. Di mana animasi laki-laki bersejata terproyeksi di sana.
Ivi tidak suka game. Sekeras apapun Ibam menjelaskannya pada Ivi dan mengajari wanita itu agar mempunyai lawan yang bisa diajaknya bermain, Ivi tetap tidak mengerti dan tidak tertarik. Siapa sih perempuan aneh yang suka lihat laki-laki nggak jelas pegang-pegang senjata? Mending juga lihat cowok-cowok kece di drama Korea. Lebih membantu proses cuci mata selain window shopping.
"Bam, aku ngantuk." ia menjatuhkan kepalanya di bahu suaminya dengan mesra. Tapi, Ibam tetaplah Ibam. Ibam yang pendiriannya tidak tergoyahkan dalam masalah game.
"Tidur sana."
"Temenin." jawa Ivi sambil melingkarkan tangannya di pinggang Ibam.
"Minta temenin aja sama cowok-cowok Korea kamu." jawabnya datar tanpa melepas pandangannya dari layar di depannya.
Ivi mengeratkan pelukannya, "Cemburu kok sama artis Korea." bisiknya tepat di telinga suaminya.
Laki-laki itu hanya mendengus.
"Bam, ayo. Aku udah ngantuk banget nih."
"Duluan aja sih. Nanti aku nyusul. Nanggung nih." katanya. Ivi menegakkan tubuhnya lalu berdiri. Matanya menatap Ibam yang masih terlihat serius.
"Oke, satu menit nggak ada di kamar. Pintu aku kunci." Ivi berlari ke arah kamar. Membuat Ibam langsung melempar stik game di tangannya lalu mengambil remot dan mematikan televisi.
"Dasar nenek lampir." gerutunya sambil membereskan kabel-kabel stik itu dengan asal-asal dan berlari ke kamar.
TBC
LalunaKia