CHAPTER EMPAT

1980 Words
Original soudtrack salah satu drama Korea mengalun indah pagi itu di dapur kediaman Ivi dan Ibam. Ivi sedang bergulat dengan penggorengan saat Ibam masuk ke dapur dan memeluk istrinya dari belakang. "Selamat pagi, Ibu tiri." sapa Ibam tepat di telinga istrinya. "Mana ada Cinderella jam segini baru bangun dan Ibu tirinya yang masak sarapan." kata Ivi sambil mengaduk nasi goreng dalam penggorengan. Ibam terkikik lalu menaruh kepalanya di bahu istrinya. "Kisah Cinderella modern. Gantian Ibu tirinya yang ngelayanin Cinderella." kata Ibam sambil mengecup ringan pipi istrinya. Ivi hanya menggerakkan mulutnya dengan ekspresi mengejek. Ibam tertawa lalu melepas pelukannya. Ia mendekati meja makan lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atasnya. "Lagu apaan sih, nih. Nggak jelas." katanya sambil mematikan pemutar musik. "Resek banget sih kamu. Nyalain nggak." "Nggak mau. Lagu yang lain aja, sih." Ibam membuka menu musik dan melihat daftar lagu dalam ponsel istrinya. Laki-laki itu bedecak tak lama kemudian, menyadari bahwa sembilan puluh persen isi lagunya adalah lagu-lagu Korea. Siapa sih orang yang mau dengerin lagu dengan bahasa yang nggak kita ngerti. "Taruh nggak hp aku, atau kamu nggak aku kasih sarapan." kata Ivi sambil membalik badan dan menatap tajam suaminya. "Sadis... bentar dong, aku cariin lagu yang romantis. Biar pagi ini semangat." kata Ibam sambil masih menscroll layar ponsel istrinya. "Ini sutil kalau kena kepala sakit lho, Bam." Benda di tangan Ivi itu terangkat tinggi-tinggi. "Sutil itu sejenis apa?" Ibam bertanya lalu mendongak untuk mengangkat kepalanya dan nyaris terpekik melihat Ivi dan sutilnya yang terangkat tinggi. "Astagfirullah, nggak lucu kalau aku gegar otak gara-gara sutil." kata Ibam dengan dramatis. "Makanya jangan iseng. Ganggu kebahagiaan orang aja sih pagi-pagi." keluh Ivi yang langsung mematikan kompornya. "Bahagia kamu itu kan cuma aku. Iya kan, iya kan, iya kan." kata Ibam, "Nah, mendingan ini." kata Ibam lagi lalu menekan tombol pemutar untuk sebuah lagu. Melihat tawamu... Mendengar senandungmu... Terlihat jelas dimatamu... warna-warni indahmu... Ivi terdiam mendengar lagu milik Sheila on 7 itu berputar. Lagu favourit Ibam. Lagu yang pernah Ibam nyanyikan dengan petikan gitar di taman belakang rumahnya dulu. Tiba-tiba saja d**a wanita itu menghangat dan seulas senyum terukir tanpa sadar. Ibam ikut tersenyum lalu mendekat. Mengambil sutil dari tangan Ivi lalu menaruhnya di penggorengan. Tangannya menarik pinggang istrinya agar lebih dekat. Sebelah tangannya mengambil sejumput rambut Ivi dan menyelipkannya ke belakang telinga. Wajah laki-laki itu semakin dekat, Ivi memejamkan matanya tanpa sadar. "A-K-U L-A-P-A-R." suara Ibam membuat kedua mata Ivi langsung terbuka dan melebar. SIALAN... Katanya dalam hati. Ibam tertawa melihat wajah Ivi yang memerah. "Kamu ngapain merem, Vi?" tanya Ibam saat mengurai pelukannya dan akhirnya duduk di meja makan. Wanita itu langsung membalik badannya untuk menutupi rasa malunya dan gelegak tawa Ibam benar-benar membuatnya sebal. Ia menaruh sepiring nasi goreng di depan suaminya yang masih tersenyum geli di hadapannya. Suara Duta masih mengalun indah dan Ivi memulai suapan pertama. "Kamu mau aku cium?" tanya Ibam dengan nada menggoda. "Emang yang semalam kurang?" tanyanya lagi. Tak pelak membuat wajah putih Ivi kian memerah. "Apaan sih, Bam." selaknya dengan nada kesal. "Buruan makan, sudah siang." katanya lagi. "Muka kamu jangan merah gitu apa. Bikin nafsu tahu, nggak." kata Ibam lagi. Ivi spontan meraba wajahnya sendiri. Wanita itu menghela napas lalu meminum air dalam gelasnya hingga tandas. "Kamu bikin nggak nafsu makan." kata Ivi sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Bibirnya mencebik kesal. "Tapi aku bikin nafsu yang lain, kan." kata Ibam sambil menyeringai. "Buruan makan, ih. Udah siang juga. Nanti aku sarapan di kantor aja." Wanita itu berdiri lalu menghampiri rak untuk mengambil satu kotak makan. Ia kembali duduk di tempatnya dan memindahkan nasi goreng dalam piring ke kotak makan. Isi dalam piring Ibam tersisa setengah tepat saat kotak makan siang Ivi di tutup dan ditaruhnya di dalam tas. Laki-laki itu meminum teh hangatnya lalu melihat istrinya sudah berdiri. "Aku tunggu di ruang tamu." kata Ivi sambil berjalan menjauh dengan segelas teh di tangannya. "Papa sama mama kok bisa sih bikin anak kayak Ivi." katanya sambil geleng-geleng kepala. Ibam masih di ruang makan untuk menghabiskan teh hangatnya. Dan saat ia menyusul ke ruang tamu, ia melihat Ivi sedang fokus dengan acara gosip di layar televisi. "Pagi-pagi jangan nonton gosip." kata Ibam sambil merebut remot televisi dari tangan istrinya yang langsung berdecak kesal. Wanita itu menghela napas kasar. "Apa lagi sih, Bam? Usil banget deh daritadi." Ivi menatap Ibam yang menatapnya dengan tatapan jahil. "Aku mau kasih kamu sarapan." kata Ibam dan belum sempat Ivi menjawab, bibirnya sudah dibungkam oleh bibir Ibam. Laki-laki itu mematikan televisi lalu mendorong tubuh Ivi agar tertidur di sofa. Bibir mereka masih beradu, saling membalas, saling mencecap. Mata Ivi terpejam perlahan dan Ibam mulai membuka kacing atas kemeja istrinya. "Kamu mau ngapain?" tanya Ivi sambil melepas ciumannya dan melihat Ibam tersenyum. "Mumpung aku nggak ada meeting pagi." kata Ibam sambil kembali melumat bibir istrinya. Ia membelai rambut istrinya tepat saat Loki mendasak di kakinya. "Ah Loki mah, ganggu aja deh." keluh Ibam sambil menatap istrinya dengan penuh gairah. "Bam..." Ivi mengancingi kancing kemeja atasnya. "Pindah kamar aja yuk, Vi." tawar Ibam. "Aku ada meeting pagi ini." lirih Ivi. “Sial…” Ibam mengumpat. *** Ibam sampai di kantornya dan memulai harinya dengan setumpuk pekerjaan. Kursi sebelahnya kosong karena Fery sedang mengikuti training selama tiga hari di daerah Bogor. Ah, ia bahkan lupa bilang pada istrinya kalau harus mengikuti training minggu besok di Bogor. Ibam baru bisa makan siang jam dua. Itu juga karena Ivi tiba-tiba menelepon dan ia baru ingat kalau ia sama sekali belum makan siang saking sibuknya. Ibam memang sudah meminta pada Pak Arsan untuk merekrut staff baru untuk membantu Ibam dan Fery. Karena semakin lama, pekerjaan itu tidak akan sanggup jika hanya ditangani dua orang dan baru sebulan kemarin permintaan Ibam di ACC oleh pak Arsan dan dua karyawan itu kini tengah di training dengan yang lainnya di Bogor. "Lo baru makan, Bam?" tanya Riski yang tiba-tiba muncul di balik pintu ruangannya. "Iya." jawaban Ibam pelan. Riski duduk di kursi Fery lalu melongok ke arah Ibam yang tampak sibuk. "Lagi sibuk banget?" "Iya. Lo kan tahu, banyak proyek yang baru kelar. Belum proyek-proyek yang mau mulai. Gue cuma berdua sama Fery." Rizki nampak mengangguk membenarkan kata-kata Ibam. "Iya, gue juga dari kemarin lembur mulu nih. Kerjaan nggak ada habisnya." keluh Riski sambil menyandarkan punggungnya di kursi. "Elo mah lembur sampai pagi juga nggak bakal ada yang nungguin di rumah. Nah gue kan udah punya istri." "Kampret." kata Riski tepat saat Ibam menyelesaikan kegiatan makannya. *** Wanita itu mendongak saat mendengar pintu ruangannya di ketuk pelan dan melihat Putri, salah satu bawahannya masuk dan menaruh sebuah map di depannya. "Lo udah sampai?" tanya Ivi pada Putri yang langsung duduk di depannya. "Iya, untungnya tadi dokternya nggak terlalu antre." jawabnya sambil tersenyum lebar. Ivi berdehem pelan lalu bertanya, "Lo beneran hamil?" Senyum wanita di depannya makin melebar dan ia mengangguk. "Udah tiga minggu." katanya lagi, mengelus perutnya tanpa sadar. Ivi ikut tersenyum lalu berdiri untuk memeluk Putri sebentar. Ikut berbahagia atas apa yang baru saja di beri Tuhan oleh temannya itu. Ivi bahagia dan sedih di saat yang bersamaan. Padahal Putri baru menikah tiga bulan yang lalu. Sedangkan dia? Apa belum cukup penantiannya selama lima tahun lebih? Sampai kapan lagi ia harus menunggu? Sampai kapan kesabarannya membuahkan hasil? Ivi kehilangan konsentrasinya disisa hari itu. Pikirannya campur aduk. Terlalu banyak yang memenuhi otaknya hari ini sehingga ia memutuskan untuk pulang tepat waktu. *** Hujan turun begitu derasnya saat mobil itu masuk ke pekarangan rumah. "Untung kita ontime, jadi nggak kejebak macet." kata Ibam sambil masuk ke dalam rumah dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ivi tidak menjawab, langsung menuju kamar mandi luar untuk membasuh tubuhnya yang terasa lengket. Saat ia masuk ke dapur, Ibam sudah ada di sana. Berkutat dengan laptopnya dan beberapa berkas di depannya. Ivi langsung mendekati kompor gas untuk membuatkan teh untuk suaminya. "Nggak usah masak, Vi. Aku sebelum pulang udah makan." kata Ibam tanpa melepas pandangannya dari laptop. "Tumben." kata wanita itu sambil bersandar pada tepi meja. "Iya, tadi dapet nasi pas meeting." jawabnya lagi. Wanita itu mengambil gelas di rak dan menaruh gula dan teh pada gelas lalu menuangkan air panas dalam gelas itu. Setelah mengaduknya, ia menaruh gelas itu di depan Ibam. "Makasih." kata Ibam, masih sibuk meneliti surat kontrak di depannya. Ivi kembali mendekati teko untuk membuat s**u hangat dan duduk di depan Ibam. Memperhatikan pria yang tampak berkonsetrasi penuh itu. Selama beberapa menit waktu bergulir. Keheningan nampak memenuhi suasana. Yang terdengar hanya suara rintik hujan di luar dan suara keyboard yang ditekan dengan cepat. "Lho, kamu nggak nonton Korea?" tanya Ibam saat menyadari bahwa Ivi hanya duduk di depannya dan menatapnya dengan tatapan sulit diartikan. Wanita itu menggeleng, ia sedang tidak ingin melakukan apa-apa termasuk menonton drama, yang ingin ia lakukan adalah menatap suaminya baik-baik. Suami yang sudah bersamanya selama lebih dari lima tahun. Suami yang rela menghabiskan hari dengan segudang omelannya dan menelan kata-kata pedasnya. Suami yang berjanji akan tetap bersamanya apapun keadaannya. "Kamu kenapa?" tanya Ibam. Menyadari ada yang berbeda dari Ivi kali ini. "Nggak apa-apa. Kamu lagi banyak kerjaan?" tanya Ivi. "Iya nih, Fery lagi ngisi training di Bogor, minggu besok gantian aku. Banyak proyek baru, jadi ngurus perijinan ini itu." wanita itu hanya mengangguk lalu menyesap s**u hangatnya pelan-pelan. "Kamu kenapa?" tanya Ibam sekali lagi. "Putri hamil..." katanya, "aku jahat nggak sih, Bam, kalau iri sama dia?" kata Ivi sambil menggenggam cangkirnya dan menunduk. Tidak berani menatap Ibam. Ia takut Ibam menganggapnya berlebihan atau yang lainnya. Padahal ia tahu, Ibam mungkin menginginkan anak lebih darinya. Hanya saja, laki-laki itu lebih pintar menyembunyikan perasaannya. Jari-jari tangan Ibam berhenti menekan papan ketik. Keduanya bertumpu di atas meja dan tatapannya lurus pada Ivi. "Kamu nggak perlu iri. Tuhan belum kasih karena belum waktunya. Kamu percaya deh, kalau sudah waktunya, pasti Tuhan kasih. Kita cuma perlu perbanyak berdoa, semoga diberi kesabaran untuk menunggu rejeki itu." Mata Ivi berkaca-kaca. Kenapa Ibam bisa setegar itu sih? Kenapa dia tidak menuntut atau bahkan menyalahkan dirinya seperti laki-laki lain yang mengetahui bahwa istri mereka memiliki masalah sulit hamil. Kenapa Ibam begitu pintar menyembunyikan perasaannya? Air mata Ivi meleleh. Ibam tersenyum lalu berdiri dan mendekat ke arah istrinya. Mengusap kepala istrinya yang masih terduduk sambil sesenggukan. Ia menarik tangan Ivi agar wanita itu berdiri dan memeluknya. "Tidur di sofa yuk." kata Ibam. Belum sempat Ivi menjawab, tangannya sudah digiring menuju ruang tamu. Ibam menyuruhnya duduk sementara dirinya masuk ke kamar dan kembali dengan sebuah selimut.            Mereka berdua bergelung dalam selimut di sofa ruang tamu mereka. Ivi menyerukan kepalanya ke d**a Ibam dan mencium aroma wangi dari tubuh laki-laki itu. Hujan di luar masih deras, sesekali petir terdengar menggelegar. "Katanya kamu lagi banyak kerjaan?" "Kamu lebih butuh aku sekarang, dibanding kontrak-kontrak itu." Ibam mengusap kepala Ivi lembut. Mengalirkan hangat yang menjalar di hatinya. "Kalau ada yang bilang hujan-hujan gini enaknya makan mie rebus, mereka belum pernah tiduran sambil pelukan gini." kata Ibam. Wajahnya menunduk untuk melihat Ivi yang tersenyum. "I love you." kata Ivi. "I know." jawab Ibam cepat, membuat bibir Ivi cemberut. Ibam kadang begitu, membuatnya sebal karena tidak membalas kalimat cintanya. *** Ivi bangun dan menyadari bahwa ia seorang diri di sofa besar itu. Ibam tidak ada di sampingnya. Ia melirik jam dinding, masih jam tiga pagi. Ia bangun, menguap dan masuk ke kamar. Tapi tidak ada Ibam di sana. Ia beralih ke dapur dan ternyata Ibam di sana. Sibuk berkutat dengan laptop dan kontrak-kontrak yang di tinggalkannya semalam akibat menemaninya tidur, memastikannya mendapatkan kualitas tidur yang baik dengan pelukan hangatnya. Ivi masih berdiri di ambang pintu. Menatap Ibam dan hatinya berdesir. Dia tahu, di setiap ejekan yang keluar dari mulut suaminya, laki-laki itu mencintainya, selalu mendahulukannya, dan memastikan semua yang terbaik untuknya. Disetiap kata-kata pedas laki-laki itu, hanya Ivi yang ada ada di hatinya. Sesering apapun mereka berdebat karena hal sepele, laki-laki itu akan tetap berada di sampingnya dan menjadi partner terbaik baginya.  TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD