Chap 3

2546 Words
Hari ini Arkan kebetulan tidak ada meeting, jadi dia tidak perlu membatalkan janji apapun. Pagi ini, Arkan menemani Oma untuk melakukan medical check up ke rumah sakit. Yang tentu disupiri oleh Joe. Bagi Arkan, Oma adalah prioritas utamanya. "Kan..." Panggil sang Oma yang duduk disamping kiri Arkan. Suara Oma sedikit terdengar hati-hati saat berucap. Arkan yang sedang memeriksa pekerjaannya lewat ipad pun mendongak melihat kesamping, "Ya?" "Kamu apa gak bosen hidup melajang, Kan? Apa gak mau pacaran dulu saja?" Tanyanya pelan. "Kalau-kalau memang belum siap untuk menikah, kamu pacaran saja, itung-itung belajar ngadepin perempuan, pacaran itu seru lho." Lanjut Oma. Mencoba menarik simpati Arkan. Arkan tampak mengernyit mendengar kalimat terakhir Oma. Lantas salah satu sudut bibirnya tertarik sedikit, bukan kesan meremehkan, hanya upaya untuk memudarkan wajah datarnya didepan sang Oma. "Belum ada yang bikin Arkan tertarik, Oma." Katanya. "Lagian, udah biasa ngadepin Mami dan Oma, sama-sama perempuan juga kan?" Tangan Oma memukul pelan paha Arkan, "Mami kamu dan Oma tentu beda, kamu nih ada-ada aja." Kata Oma gemas. Oma paham Arkan hanya mencoba mengalihkan pembicaraan yang sebenarnya dia tidak tertarik sama sekali. Tapi Oma tidak menyerah, lantas melanjutkan, "Seandainya Oma kenalin kamu sama cucu teman Oma, apa kamu mau?" Tanya Oma hati-hati, walau nyatanya Arkan sama sekali tidak pernah marah padanya. Arkan tidak langsung menjawab selang beberapa detik, tapi Arkan tahu betul maksud Oma itu baik, "Apa menurut Oma, cucu teman Oma itu menarik?" tanyanya. Meski pandangan matanya pada ipad yang sedang digunakannya, Arkan tetap menanggapi ucapan Oma. "Menarik atau gak nya itu bisa kita lihat ketika kita udah ngobrol Arkan, kalau cuma lihat dari cover luarnya saja, Esti Sugigi didandani juga jadi cantik kok." Oma menyebut nama artis yang dulu sempat viral karena giginya bertekstur tak biasa namun kini sukses menjadi pelawak terkenal. Arkan mendengus pelan, yang Oma lihat seperti tawa yang tertahan saat mendengar jawabannya, karena sudut bibir cucu kesayangannya itu sedikit tampak tertarik keatas hingga samar-samar menampilkan lesung yang sangat jarang terekspos karena si empunya jarang menunjukkannya. Tawa yang bahkan hanya akan dilihat sesekali oleh sang Oma. Ada-ada saja perumpamaan Oma, pikir Arkan. "Ya udah, Oma atur aja, ya, tapi Arkan gak bisa janjiin apa-apa," sahutnya tenang. Lalu ia melanjutkan, "Yaa... itung-itung Arkan nambah temen?" Sambungnya tak yakin dengan pilihan katanya sendiri. "Beneran kamu mau, ya?" Kata Oma antusias, dan tanpa menunggu jawaban dari Arkan, ia melanjutkan, "Oke, nanti Oma ajak makan malam bersama saja kalau gitu, gak apa-apa kan?" "Ya." Jawaban tenang sambil melanjutkan membaca melalui ipad-nya. Itulah Arkan, terlalu sayang pada sang Oma hingga apa yang dirasa membuat Oma nya bahagia dia tidak segan mengabulkannya. Namun benar selama ini Oma nya memang tidak pernah menuntut apa pun dari Arkan, apalagi mengatur hidup cucunya. Oma menyayangi cucu semata wayangnya itu tanpa mengusik kehidupan pribadi Arkan. Makanya Oma sangat berhati-hati ketika membahas hal ini, sebelumnya Oma tidak pernah mau ikut campur apa pun itu hal pribadi Arkan. Kecuali dalam hal tumbuh kembang sang cucu, sedari kecil hingga kini usia Arkan yg sudah hampir berkepala tiga. Sang Oma masih turut andil dalam memastikan makanan bergizi yang Arkan konsumsi. Beruntungnya lagi, selama hidupnya Arkan tidak pernah aneh-aneh seperti kelakuan sebagian besar muda mudi di ibu kota ini. Yang kebanyakan hidup dengan gaya bebas, party hingga pagi, minum minuman keras dan berbagai perilaku jelek lainnya yang merusak tubuh. Sungguh Arkan tidak tertarik untuk hidup seperti itu. Bagi Arkan, tidak ada yang menarik selain pekerjaannya. Mobil Rolls-Royce milik Arkan masuk ke perantaran Rumah Sakit Asa Pelita yang merupakan Rumah Sakit kelas Internasional yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Arkan. Mobil berhenti di depan lobby Rumah Sakit. Dan disambut langsung oleh pihak Rumah Sakit. "Selamat pagi, Ibu Ratih dan Pak Arkan." Sapa Handoko, komisaris Rumah Sakit yang juga merupakan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Rumah Sakit tersebut. "Pagi, Pak Handoko." jawab Oma Ratih seraya tersenyum simpul. Arkan hanya mengangguk sekilas. "Mari, Bu Ratih, Pak Arkan, kita langsung keruangan saya." Pak Handoko mempersilakan seraya menuntun kedua tamu terhormatnya berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai tiga dimana ruangan nya berada. Hari ini memang jadwal Oma untuk Check Up rutin dengan dokter Handoko. Oma divonis, yang istilah awamnya adalah jantung bengkak, sejak tiga tahun yang lalu. Hingga mewajibkan Oma harus Check Up setiap sebulan sekali. Sesampainya didalam ruangan, mereka dipersilakan duduk oleh Pak Handoko. Sejenak pak Handoko dan Oma sedikit bicara sekedar berbasabasi, setelahnya Dokter Handoko pun memulai pemeriksaan. "Apa Bu Ratih ada keluhan belakangan ini?" "Hmm... Dua hari yang lalu saya sempat sesak, Dok, tapi gak lama, saya bawa baring abis itu berkurang." "Oke kalau gitu kita tes EKG, ya." Oma yang berbaring pada brangkar akan menjalani tes EKG. Dibantu oleh perawat perempuan. Tubuh Oma dipasangkan alat-alat yang menempel pada beberapa bagian tubuhnya untuk mengevaluasi aktivitas jantung yang menampilkan grafik pada layar monitor. "Alhamdulillah tidak ada yang serius, Bu Ratih, semua masih dalam tingkatan wajar. Hanya saja dibutuhkan istirahat yang cukup dan kelola stres dengan baik. Karena stres dapat menjadi pemicu juga. Namun tetap dibarengi dengan memakan makanan yang sehat dan juga minum obat secara teratur." Ucap Pak Handoko setelah melihat cetakan hasil EKG. Lalu pak Handoko melanjutkan lagi, "Apa belakangan ini ada yang mengganggu pikiran Bu Ratih? Kalau memang ada lebih baik Ibu sharing dengan orang terdekat, karena cara tersebut sangat membantu mengurangi stres." Arkan tampak memperhatikan sang Oma. Meski dengan wajah datar, namun benaknya memikirkan apa yang dokter bicarakan. Meski cuek dan dingin bahkan terkesan seperti tidak peduli, namun jika untuk urusan Mami dan Omanya, dia bukanlah orang yang seperti itu. Sesi pemeriksaan pun selesai, Oma Ratih diberi obat yang dikonsumsi setiap hari selama satu bulan kedepan. Arkan dan Oma Ratih berjalan beriringan keluar dari ruangan tersebut. "Oma mau makan sesuatu dulu dikantin Rumah Sakit?" Tanyanya pelan seraya menepuk-nepuk pelan tangan Oma yang mengamit lengannya. "Boleh, Oma pengen ngemil." Arkan mengangguk, "Kita ke kantin." Lalu pandangan Arkan beralih pada Pak Handoko yang masih berada didepan pintu ruangannya yang hendak mengatar mereka menuju mobil seperti biasa. "Pak Handoko, saya dan Oma mau mampir ke kantin dulu, silahkan Bapak lanjutkan pekerjaannya. Kami permisi." Ucap Arkan seraya mengangguk sekilas. "Oh gitu, ya sudah, silahkan dilanjutkan, Pak, Buk." Jawab pak Handoko. Arkan dan Oma berjalan pelan dengan tangan Oma mengamit lengan kanan Arkan. Diikuti dibelakang mereka, Joe yang sedari tadi berdiri bagai patung manekin dibelakang Arkan. Mereka menuju kantin yang terletak dilantai dasar. ***** Setelah bimbingan dengan Dosen Pembimbing Skripsi yang kebetulan sama, Sarah dan Anita, yang memang janjian bimbingan bareng, sekarang sedang duduk dikantin Fakultas. Sarah baru saja selesai makan, sedang menghabiskan es teh manisnya sambil berselancar didunia maya. "Sa..." Panggil Anita lirih. Sarah mendongak menatap sahabatnya dengan dahi mengernyit, "Lo kenapa Nit?" Sarah merasa aneh dengan suara Anita yang tidak menyebalkan seperti biasanya bahkan sahabatnya itupun menunduk. Sarah segera beranjak. "Astaga, lo pucet banget Nit, apa yang lo rasain sekarang?" Sarah kini sudah duduk disamping Anita merangkul pundak sahabatnya yang tampak sedang menahan kesakitan. "Perut gue ... sakit, Sa." Suara Anita terdengar ringkih karena menahan sakit. "Astaga, kita ke Rumah Sakit sekarang! Lo kekampus sama Pak Muh atau nyetir sendiri hari ini?" Pak Muh adalah supir pribadi Anita. "Gue sama Pak Muh, Beliau standby diparkiran." "Oke, lo masih kuat jalan?" Yang dijawab anggukan oleh Anita. Segera Sarah membimbing sahabatnya menuju parkiran. Dalam perjalanan menuju parkiran, seseorang menyapa, "Loh... Sarah, Nita kenapa?" Sarah terlalu fokus membimbing Anita menuju parkiran, jadi dia sedikit tersentak. Namun setelah melihat sipenyapa, Sarah langsung menjawab, "Nita sakit perut Nath, ini kita mau ke Rumah Sakit." Ucap Sarah pada Nathan teman satu kelas plus sahabat dekatnya sambil terus berjalan menuju parkiran. "Aku antar deh kalau gitu." "Gak usah Nath, ada supir nya Nita diparkiran." Balas Sarah seraya berjalan dengan sedikit kesusahan karena badan Anita yang bertumpu padanya. "Lagian, kan, kamu mau bimbingan." lanjutnya. "Ya udah, kalau gitu." Nathan terus mengekor Sarah dan Anita. Dia juga jadi ikutan panik karena melihat raut panik Sarah yang membimbing Anita. Dan Anita yang terus memegang perutnya. Tidak berapa lama mereka sampai di parkiran. "Loh... Non Nita kenapa, Non Sarah?" "Nita mendadak sakit perut pak Muh, kita kerumah sakit sekarang." Titah Sarah. Sarah memang sudah seakrab itu dengan Anita, Sarah sering berkunjung ke rumah Anita, sehingga semua anggota keluarga termasuk para ART kediaman Anita sudah kenal dengan Sarah. Bahkan orang tua Nita juga dekat dengan Sarah. "Baik non." Pak Muh membuka pintu belakang. Sarah masuk terlebih dahulu. Lalu Anita masuk dibantu juga oleh Nathan yang memegang tangannya. Setelah Sarah dan Anita duduk, pak Muh pun menutup pintu belakang dan langsung berlari mengitari mobil untuk segera melajukan mobil. Sarah membuka kaca jendela disebelah Anita, "Thank's Nath, kita jalan dulu." Nathan yang masih berdiri disana sontak mensejajarkan kepala. "Iya Sa." Kemudian beralih ke Anita, "Lo juga cepat sembuh ya, Nit. Sorry, gue gak bisa ikut nganterin, udah janjian juga gue sama dosbing." Anita hanya mengangguk lemah. Lalu Nathan beralih lagi pada Sarah. "Ntar aku hubungin lagi ya, Sa." "Oh.. eh.. iya, duluan ya, Nath." "Mari, mas Nathan," ucap pak Muh seraya menjalankan mobil. Pak Muh juga sudah kenal dengan Nathan karena memang tahu circle pertemanan majikan kecilnya itu. "Ya, Pak, hati-hati." Pak Muh pun menjawab dengan membunyikan klakson mobil. Nathan berdiri memandang mobil berisikan Anita dan Sarah yang semakin menjauh, karena memang sekarang Nathan ada janji temu dengan Pembimbing Skripsinya. "Ciieee... Sarah.." Ucap Anita lirih sambil terkekeh memegang perutnya yang sakit. "Paan cie cie, lo lagi sakit sempet-sempet nya cie ciein gue. Lo pikirin, nih, bentar lagi bakal disuntik sama dokter!" Semprot Sarah. "Haha.. ciee mukanya merah merona..." "Udah, ya, Nita!" Geram Sarah. "Auuchhh..." tiba-tiba perut Nita semakin sakit. "Tuh kan makanya jangan ngeledekin gue, kualat kan lo!" Merona apanya, yang ada mukanya merah karena capek susah payah membawa Anita keparkiran dengan cuaca panas terik begini, bathin Sarah. By the way tentang Nathan, pria itu memang sejak setahun terakhir tepatnya pasca satu posko saat KKN, yang mana menurut para sobat ambyar kelasnya, sudah menunjukkan indikasi adanya perhatian berkedok persahabatan pada Sarah. Dan belakangan perhatiannya semakin menjadi-jadi sehingga membuat para sahabat makin salah paham. Namun Sarah benar-benar tidak ambil pusing. Dirinya dan Nathan itu bersahabat. Tidak lebih. Sahabat mereka saja yang berlebihan. Mobil melaju menembus keramaian Kota menuju Rumah Sakit rujukan keluarga Anita. Sesampainya disana mobil langsung menuju pintu IGD dan perawat keluar membawakan kursi roda. Anita langsung ditangani oleh dokter jaga. Setelah diperiksa dan diobservasi beberapa waktu yang lalu, ternyata Anita sakit usus buntu. Sarah juga sudah menghubungi orang tua Anita, dan sekarang mereka sedang menuju Rumah Sakit setelah menyelesaikan meeting penting -yang sudah terlanjur berjalan- terlebih dahulu. Karena Sarah yang sengaja mencegah dan berkata tidak akan pergi dan akan menjaga Anita sampai mereka datang. "Sakit banget ya Nit?" Sarah sedang duduk dipinggir ranjang, sambil menggenggam tangan kanan Anita yg terbebas infus dengan wajah khawatir. "Iya Sa. Sa, gue haus banget." Ucap Anita dengan suara sedikit tercekat menahan sakit. Meski tidak sesakit tadi, karena sudah diberi obat pereda nyeri, namun masih terasa sakitnya oleh Anita. "Kalo gitu gue tinggal sebentar, ya, gue beliin lo minum dulu." dijawab anggukan oleh Nita. Sarah berdiri, "Oh, ya, Pak Muh kayaknya didepan, ntar gue suruh kesini, ya, buat jagain lo." Anita hanya mengangguk lemah. Sarah segera beranjak pergi. Sementara ini, Anita masih di ruang observasi IGD. Ruangan yang akan ditempati Anita sedang dirapikan. Sarah berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit. Setelah tadi bertanya pada perawat letak kantinnya dimana dan menitip Anita sebentar pada perawat jaga IGD juga meminta Pak Muh untuk menjaga Anita didalam. Sarah membuka pintu masuk kedalam kantin. Terdengar bunyi lonceng saat pintu terbuka. Kantin yang dimaksud lebih tepatnya seperti cafe. Terdapat bangunan tersendiri dibagian belakang rumah sakit. ruangannyapun ber AC, dan dikelilingi oleh dinding kaca yang dilapisi wallpaper buram setengah badan. Bagian dalamnya pun aesthetic. Sangat nyaman untuk pengunjung. Kantin disini tentu tidak seperti kantin dikampusnya. Ya maklum saja, Rumah Sakit ini memang Rumah Sakit mewah untuk kalangan atas seperti keluarga Anita. Ketika membuka pintu, pandangan Sarah langsung tertuju pada seorang pria yang sedang duduk nyaman bersandar pada kursi seperti sofa tunggal. Kakinya bersilang sedang menyeruput minumannya. Posisi pria itu tidak jauh dari pintu masuk dan menghadap kearah pintu, yang walau pun sedang duduk tapi bisa dipastikan postur tubuhnya tinggi menjulang. Pria itu tampak duduk bersama seorang wanita yang duduk dihadapannya membelakangi pintu masuk. Pandangan mereka pun bertemu. Untuk sesaat Sarah terpaku. 'Dia... Orang yang semalam' batin Sarah. Namun Sarah buru-buru mengalihkan pandangannya dan melangkah menuju tempat minuman. ******* Arkan tampak terpaku ketika pandangannya yang tak sengaja melihat sosok perempuan yang baru saja masuk ke dalam kantin. Arkan menatap punggung wanita itu dalam diam. Tak pernah seumur hidup dia tertarik memperhatikan seseorang. Tapi tidak kali ini, meski pakaian gadis itu casual namun saat dilihat tampak nyaman ia pakai, rambut cokelat panjangnya diikat asal tinggi keatas. Namun yang menarik perhatian Arkan adalah, mata itu. Sekilas ia ingat pernah melihat mata bulat indah itu. Bagi Arkan wanita itu, terlihat cantik. Untuk ukuran wanita Indonesia, perempuan itu sudah tergolong tinggi, tapi tak setinggi model yang sering Arkan temui untuk urusan bisnisnya atau bahkan para model ibunya. Tak perlu waktu lama bagi perempuan itu membeli tiga botol air mineral yang tampak dari tempat Arkan. Ya, perempuan itu adalah Sarah. Meski belum tahu namanya, namun mata Sarah memberi kesan tersendiri bagi Arkan. Oma yang sedari tadi asyik dengan teh hangat dan cemilannya pun memperhatikan Arkan. "Kamu lihat apa?" Beliau pun ikut menoleh kebelakang mengikuti arah pandang Arkan. Sebab tak biasanya Arkan seperti ini. Tepat saat pintu kantin tertutup. Arkan sedikit tersentak, mungkin dia terlalu fokus. Lalu Dia berdehem pelan, "Gak." Jawabnya, seraya mengangkat gelas menyeruput minuman hot green tea latte nya. Joe yang duduk dimeja lain dibelakang Arkan dan Oma pun tak luput memperhatikan tuannya itu. Meski sedikit terasa aneh, namun Oma tidak membahasnya lagi. Dan duduk kembali menghadap Arkan. "Oh, ya, Kan. Ngomong-ngomong, Mami kamu sekarang dimana?" Mami Arkan ini saking sibuknya, Oma saja sampai tidak tahu pastinya keberadaannya ada dimana. Karena dia selalu berada dinegara-negara dan kota-kota yang berbeda dalam mengurus bisnisnya. "Mami sedang di Amsterdam, hari ini terbang ke Bali." Meski tidak berkomunikasi langsung dengan sang Mami yang sedang sibuk, tapi Arkan selalu mendapat laporan dari anak buahnya yang dipilih Arkan sebagai pengawal pribadi sang Mami. "Gimana kabarnya?" "Baik." Oma tampak mengangguk. Lega menantunya baik-baik saja. Menantunya itu wanita yang sibuk. Jarang bisa berkumpul dirumah. Apalagi semenjak ditinggal oleh Papi Arkan, Mami Arkan seolah tenggelam dalam pekerjaan yang tiada hentinya. Oma senang Mami Arkan punya kesibukan. Namun, lebih dari pada itu, Oma sangat paham dengan alasan mengapa Mami Arkan seolah tenggalam dengan pekerjaannya itu. "Tentang teman Oma itu, dia bukan orang Jakarta. Oma baru ketemu sama temen Oma itu lagi waktu Oma ke Surabaya minggu lalu. Gak sengaja ketemu waktu di Mall." Ucap Oma tersenyum teringat pertemuan mereka kemarin. "Katanya bulan ini mau ke Jakarta, mau jenguk cucu perempuannya yang kuliah disini. Kemarin, temen Oma itu cerita banyak tentang cucunya. Katanya juga masih jomblo, belum punya pacar. Makanya Oma jadi punya rencana buat ngenalin kamu sama cucu nya." katanya sedikit antusias. "Ya. Oma atur aja." Omapun mengangguk seraya menggenggam tangan kanan Arkan diatas meja dengan senyum haru, "Makasih, ya." "Anything for you, Oma". Jawabnya dengan sedikit senyum diwajahnya. **** Yuhuuuu... Arkan Sarah is back... Semoga syuka ( ^_^) Jangan lupa pencet that Purple Love & Coment nya ya guys. Supaya aku tahu, karya aku dibaca dan aku jadi makin semangat ngelanjutin ceritanya. Terimakasih....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD