Jam weker antik berbentuk lonceng pemberian sang Oma saat masi duduk dibangku sekolah menengah atas terdengar nyaring dalam sebuah ruang temaram nan sejuk. Mengusik tidur nyenyak seorang pria tampan yang walau hanya mengenakan pakaian tidur tetapi kharismanya tak luntur dan seperti telah mendarah daging pada dirinya.
Perlahan matanya mengerjap, lalu mematikan jam weker yang membangunkannya. Jam menunjukkan pukul empat pagi, padahal dia baru tidur jam satu dini hari. Walau sudah terbiasa bangun pagi, namun pagi ini badannya terasa lelah sebab dia sudah berpindah-pindah sebanyak lima negara dalam kurun waktu satu minggu ini. Dan semalam dia baru saja mendarat di Jakarta setelah berjam-jam menempuh perjalanan dari Seoul-Korea Selatan menghadiri pembukaan cabang terbaru salah satu perusahaan miliknya dibidang industri manufaktur, yang mana dia percayakan kepemimpinannya dibawah salah satu sepupunya.
Pagi ini dia akan melaksanakan meeting diperusahaannya yang ada di Bogor. Sebenarnya meeting kali ini cukup dadakan. Daerah lahan penanaman bahan pokok industrial perusahaannya dibidang pangan mengalami kendala. Yakni kendala alam. Dimana daerah tersebut diterpa longsor yang mengakibatkan beberapa hektar tanaman coklat yang ditanam di daerah perbukitan tidak dapat terselamatkan. Dan beberap bangunan pabrik juga ikut terkena dampak. Meski jabatan CEO diperusahaan ini adalah sepupunya. Namun sebagai pemilik, Dia tetap harus turun tangan.
Menyibak selimut, lalu dia beranjak untuk mandi. Setelah beberapa saat, ia keluar dan berjalan menuju walk in closet-nya untuk mengenakan pakaian lalu melaksanakan kewajibannya. Beberapa waktu setelah selesai, ia menuju ke ruang kerja yang berada disebelah kamarnya, yang hanya dibatasi oleh pintu geser sebagai penghubung, lalu memeriksa sedikit pekerjaan yang belum sempat di periksa hingga waktu jelang sarapan.
Pukul setengah enam, dia turun dari kamar dengan setelan jas lengkap serta ditangan kanannya membawa berupa tas jinjing yang berisi ipad. Disana tampak sang Oma sedang menghidangkan sarapan dimeja makan dibantu oleh asisten pribadinya yang bernama Wika serta seorang maid.
"Selamat pagi." Oma menyapa dengan penuh kasih sayang ketika melihat sang cucu turun melalui tangga.
"Pagi." balasnya seraya mendaratkan sebuah kecupan di puncak kepala sang Oma. Lalu mengambil duduk di kursi bagian kepala yang dahulu diisi oleh mendiang Papinya.
"Hari ini kamu ke Bogor?"
"Iya, ada meeting disana." Dia mendesah nikmat kala minuman kopi itu mengalir ditenggorokan.
"Ya udah, yuk sarapan? Oma buatkan nasi goreng seafood kesukaan kamu."
"Makasih, Oma." Katanya. Senyum sedikit tersungging diwajah tampannya. Bahagia karena pagi ini sarapannya disiapkan oleh sang Oma.
"Iya sama-sama. Tadi Oma ketemu sama Joe pas saat dia baru nyampe sini, trus katanya kamu hari ini ada meeting di Bogor, makanya Oma buru-buru masakin buat kamu." Jonathan atau akrab dipanggil Joe adalah sekretaris yang kadang juga merangkap sebagai supir bahkan pengawal pria tampan itu. Kemana pun Dia, selalu ada Joe.
"Hm." Jawabnya sambil mengunyah.
Mereka pun makan dalam keheningan, hanya suara sendok yang beradu dengan piring sebagai penghibur ruangan. Beberapa menit, Dia pun selesai dengan sarapannya.
"Makasih, Oma, nasi gorengnya, enak." Tidak ada jejak nada, hanya suara datar. Namun meski punya sifat dingin, setidaknya dia masih tahu cara menyenangkankan hati dengan berterimakasih.
"Sama-sama sayang. Kamu mau langsung jalan?" tanya Oma saat dilihatnya sang cucu sedang membersihkan sudut mulutnya.
"Ya. Takutnya macet. Kalau ada apa-apa cepat hubungi Pak Latif."
"Iya. Kamu juga hati-hati, ya."
Hanya anggukan sebagai balasan. Setelah berpamitan, Dia berjalan keluar rumah menuju mobil dimana Joe telah menunggu didepan.
Namanya Rendra Arkansyah Adjitomo, putra tunggal almarhum Adjitomo dan Sophia Sarastika. Sejak usia sembilan belas tahun dia telah mengambil alih perusahaan besar sang Ayah yang meninggal karena kecelakaan. Semenjak usianya dua belas tahun, Arkan memang sudah di latih untuk menjadi penerus sang Ayah. Tidak tanggung-tanggung, selain bersekolah disekolah bertaraf internasional, Ayahnya juga mendatangkan beberapa pengajar khusus untuk mengajarinya tentang ilmu bisnis.
Ketika masuk jenjang sekolah menengah atas, Arkan pun sudah memegang sebuah perusahaan sang Ayah dibidang kuliner.
Walau kehadirannya di kantor tak seperti CEO pada umunya, mengingat Arkan masih di bangku sekolah, namun hasil kepemimpinan seorang Arkan untuk sebuah perusahaan cabang patut diperhitungkan.
Bagaimana tidak, di usia yang masih sangat muda Arkan sudah bisa memimpin sebuah perusahaan, yang tidak bisa juga dibilang kecil itu, menjadi perusahaan yang berkembang pesat dan stabil, bahkan semakin berkembang menjadi beberapa cabang dibeberapa Kota besar di Indonesia.
Maka tak heran, ketika sang Ayah dipanggil sang Khalik, lima perusahaan besar yang dibesarkan oleh sang Ayah langsung diserahkan kepada Arkan. Dan kemampuan Arkan yang sudah tak diragukan lagi itu pun semakin berkembang, bahkan sekarang sudah memiliki beberapa cabang di beberapa negara besar.
"Bos, barusan ada permintaan ajakan makan siang oleh Pak Guntura dari Dars.co, apa Anda bersedia?" Joe memulai percakapan ketika dalam perjalan menuju Bogor. Hari ini mereka disupiri oleh salah satu pengawal kepercayaan Arkan.
"Orang itu ikut dalam meeting pagi ini." Tanyanya datar. Ada sedikit jejak malas dalam suaranya.
"Iya bos, beliau punya andil besar pada meeting kita pagi ini, mengingat beliau adalah rekanan penyedia peralatan mesin kita."
Ada keheningan sejenak sebelum Arkan melanjutkan. "Jadwal saya hari ini." Itu adalah sebuah pertanyaan, hanya saja lagi-lagi diucapkan dengan nada datar.
Joe yang sangat paham bosnya pun menjawab. "Tidak ada bos. Setelah meeting kita kembali ke Jakarta." Kata Joe.
"Atur jadwalnya." Dan itu adalah perintah. Meski lagi-lagi tidak ada intonasi didalamnya.
"Baik bos."
Mobil itu melaju membelah jalanan. Sesekali Arkan memeriksa pekerjaannya melalui ipad, Arkan tak mau ada sedikit kesalahan pun dalam perusahaannya.
Setibanya di Bogor, Arkan dan Joe masuk ke kantor perusahaannya disambut oleh karyawan yang membungkuk sambil menyapa setiap berpapasan jalan dengannya. Arkan hanya mengangguk kan kepalanya sedikit sebagai balasan sapaan karyawannya. Arkan langsung menuju ruangannya dilantai lima dengan menggunakan lift.
Meeting akan dilaksanakan pukul sepuluh pagi, tak diragukan lagi Arkan adalah orang yang sangat disiplin waktu. Arkan akan mempersiapkan diri setengah jam bahkan bisa satu jam sebelum meeting dimulai, jadi tidak pernah ada kata terlambat untuk seorang Arkan.
******
Meeting yang berjalan tidak terlalu lama itupun usai. Arkan dan Joe makan siang bersama pak Guntura, beliau membawa serta sang putri yang juga ikut pada meeting tadi.
"Pak Arkan, terima kasih sudah bersedia datang." Pak Guntura menyambut kedatangan Arkan dan Joe dengan berjabat tangan serta memasang wajah senang.
"Ya. sama-sama." Jawab Arkan membalas jabat tangan pak Guntura dengan wajah datarnya. Hanya saja masih terlihat sangat tampan.
"Oh.. Ya.. Kenalkan, ini putri sulung saya namanya, Kireina."
Arkan pun beralih melihat kesamping pak Guntura dan menyambut jabat tangan dari Kireina.
"Selamat datang pak Arkan dan salam kenal. Saya, Kireina." Ucap Kireina dengan senyum ramah.
"Ya."
Diundang makan siang seperti ini sebenarnya sudah biasa bagi Arkan. Rekan bisnisnya biasa akan menjamunya. Begitupun kali ini, makan siang berjalan sebagaimana mestinya, hanya saja pak Guntura banyak mendominasi dalam berbicara. Secara, Arkan bukan lah tipikal berbasa-basi. Dia cukup mendengarkan dan sesekali memberi tanggapan jika diperlukan.
Namun bagi pak Guntura, makan siang kali ini tentu ada maksud terselubung. Merasa sebagai orang penting yang sangat pantas untuk dapat mengajak seorang Arkan makan siang, pak Guntura melancarkan aksinya untuk mempromosikan sang putri pada Arkan.
Sayang, itu bukan lah ide yang bagus. Arkan tetaplah Arkan, si dingin yang cuek. Seberapa keras si bapak mengkode keberadaan sang putri, hanya di jawab dengan anggukan dan gelangan karena merasa percakapan yang tidak penting.
Arkan telah selesai menyantap makan siang, meminum minumannya lalu membersihkan sudut bibirnya. Karena tidak ada yang penting untuk dibahas, Arkan pun tak buang buang waktu lama untuk segera angkat kaki.
"Saya sudah selesai." Katanya datar, "Saya permisi, terimakasih jamuannya." Arkan berdiri dan mengulurkan tangan.
"Oh.. I-iya." Katanya terbata, tampak tak rela jika hanya sebatas ini. Namun apalah daya, melihat Arkan yang telah berdiri dan mengulurkan tangan, akhirnya ia pun berdiri dan membalas jabat tangan dari Arkan. "Sama-sama pak Arkan, saya juga berterimakasih karena telah meluangkan waktu untuk makan siang bersama saya dan Kireina."
"Ya. Saya duluan." Sedikit menundukkan kepala Arkan pergi bersama Joe meninggalkan pak Guntura dan sang putri.
"Duh.. susah banget sih ngedeketinnya." Gumam Kireina.
"Kamu harus usaha lagi Rei."
"Hah.. Eh, iya, pah." Ia tak mengira jika sang Ayah mendengar gumamannya. Kireina dan Guntura memandang punggung Arkan yang semakin jauh meninggalkan restoran menuju parkiran.
Didalam mobil, Arkan melayangkan protes pada Joe. "Lain kali di cek lagi Joe! Saya tidak mau ada lagi yang seperti ini." Meski datar, namun suara itu keluar dengan nada tegas dan bersuhu dingin. Membuat yang mendengar terasa menggigil ketakutan. Bukan nya Arkan tidak paham maksud dari Guntura. Karena, bukan kali ini saja para koleganya mencari kesempatan untuk mengenalkan Putri mereka padanya.
"Maaf bos, untuk seterusnya saya akan lebih teliti lagi."
Arkan hanya menjawab dengan gumaman. Sambil meregangkan tali dasinya. Didepan, Joe dan pengawal yang menjadi sopir kali ini merasakan punggungnya hangat karena hawa dibelakang mereka terasa panas. Akhirnya mereka hanya diam. Walau biasanya juga hanya diam. Tidak banyak obrolan diantara mereka.
Suasana hening beberapa saat, mereka masih berada diwilayah Bogor.
"Joe." Suara datar Arkan menginterupsi kebisuan didalam mobil.
"Ya, Bos?" Jawab Joe sambil melirik Arkan sejenak di bangku belakang.
"Kita ke Villa."
"Apa bos mau istirahat sejenak di villa green?" Tanya sopan. Takut melakukan kesalahan lagi.
"Hm... Sepertinya saya butuh sedikit ketenangan." Katanya sambil memejamkan mata lelah.
"Baik bos."
Mobilpun melaju menuju villa pribadi milik Arkan yang hanya diketahui oleh Arkan dan Joe serta dua orang pengawal kepercayaan Arkan yg kali ini hanya ikut satu orang. Villa tersebut memang hanya dikunjungi sesekali oleh Arkan. Tidak ada yang tahu tentang keberadaan villa pribadi Arkan yang satu ini. Bahkan keluarganya sekalipun.
Villa tersebut dinamai oleh Arkan Villa Green untuk membedakan villa pribadi yang dirahasiakannya itu dengan villa-villa milik nya pribadi tapi diketahui oleh keluarganya.
Disana Arkan menghabiskan waktu hingga senja menyapa. Tidak banyak yang dilakukan Arkan disana. Lebih tepatnya hanya menyendiri untuk menenangkan fikiran dari penatnya rutinitas.
Sekitar pukul tujuh malam Arkan pulang ke Jakarta. Didalam perjalanan tampak lalu lintas padat merayap. Kemacetan pun tak dapat dihindarkan. Tak ada yang bisa dilakukan Arkan selain memeriksa pekerjaan melalui ipad nya.
"Bos, saya dapat pesan dari Wika, besok Oma meminta Anda yang menemaninya cek up ke dokter."
Arkan mendongak, "Hm... Baiklah." Arkan tidak akan menolak apapun itu yang berkaitan dengan kesehatan Oma.
"Baik bos."
Arkan menoleh kesamping kanannya. Jalanan sangat ramai. Hingga mobil mereka sulit bergerak. Lalu pandangannya jatuh pada gadis yang mengenakan sweater kebesaran dengan model menutup leher serta masker yang menutupi sebagian wajah, yang sedang berdiri disamping mobilnya.
Arkan hanya memandang dalam diam. Mata bulat dengan bulu mata yang nampak panjang dan lentik, yang Arkan sangsi itu asli atau palsu saat ia berkedip terlihat sangat alami. Alisnya yang lebat juga menambah kesan misterius pemilik mata.
Mereka saling pandang untuk beberapa detik. Tidak tahu apa yang dipikirkan Arkan. Sampai akhirnya pandangan mereka terputus kala mobil Arkan mulai bergerak maju. Gadis itu pun tampak melanjutkan langkahnya.
Arkan menggumamkan sesuatu, nyaris tak terdengar.
Namun Joe yang sensitif dengan sensor suara Arkan dapat mendengar meski tak yakin. Lantas hanya mendiamkan saja.
-------------
Ayeeee... udah tau dooonk siapa yang lagi tatap tatapan?! Cihuuy ?
Jgn lupa vote dan komennya yaaa...
✌❤?