Bab 5 : Tawaran Baik

1381 Words
Dalam perjalanan, Aydan mencoba menghubungi kakaknya yang dari tadi tidak menjawab panggilan papanya. Bagaimana bisa Kaif menerima panggilan dari Raihan maupun Aydan? Dirinya sedang sibuk bersama wanita di sebuah kamar hotel. Kaif mulai kesal ketika ponselnya terus berdering. Pria itu menolak wanita yang sedang berada dalam rangkulannya dengan kasar. “Duh, Sayang!” “Maaf, aku harus menjawabnya. Kau jangan ribut,” perintah Kaif pada wanita itu. Kaif meraba benda berwarna hitam di atas nakas itu dan memungutnya. Di layar tertulis nama ‘Aydan’. Kaif menggeser layarnya ke atas pada bagian simbol telepon hijau. “Assalamu’alaikum, Kak!” sapa Aydan. “Mmh, komsalam. Ada apa?” Kaif tidak senang mengangkatnya. “Kak, papa minta kita ke restoran biasa.” “Ngapain? Kan itu buat ngerayain kesuksesanmu, Aku tidak ada andil di sana,” kata Kaif. “Kakak datanglah, papa dan mama menunggu. Katanya ada sesuatu untuk kakak.” “Ah, kau pasti bohong,” sahut Kaif. “Tidak, Kak, Aku sedang di jalan menuju restoran, Kakak nyusul ya sekarang,” pinta Aydan. “Okay!” Kaif menutup panggilannya dan segera membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Mengutip pakaian yang berserakan dan masuk ke kamar mandi. Wanita itu marah karena adiknya selalu mengganggu mereka melakukan kesenangan. “Aydan, kau keterlaluan! Sok polos di balik wajah tampanmu,” gumam Tania, calon tunangan Kaif. Kaif selesai memakai pakaiannya lalu keluar dari kamar mandi. Dia memakai kaus kaki dan sepatunya. “Aku harus pergi, kau pulanglah.” “Hei, Sayang! Aku mau pulang bareng kamu.” “Aku ada acara keluarga.” “Cocok lah, kamu bisa ngenalin aku sama mereka. Kamu terus berjanji untuk mengajakku bertemu mereka, tapi gak pernah kamu tepati.” Kaif tersenyum, berdiri dan menghampirinya. “Tidak hari ini, Sayang. Momennya gak tepat.” Kaif mencium pipinya. “Aku pergi ya.” “Mmh, jadi aku pulang sendiri nih?” tanya Tani. “Yoi.” Kaif mengeluarkan uang dari dompetnya dan meletaknya di atas meja. “Untuk ongkos pulangmu.” “Oke deh, bye, Sayang!” “Bye.” Kaif mengambil tasnya lalu keluar dari kamar. Ia bergegas menuju parkiran dan mengendarai mobilnya keluar hotel. Dengan kecepatan tinggi, mobil sport itu melaju kencang. Setengah jam kemudian. Lepas maghrib, Raihan dan Hanin sudah tiba di restoran setelah mampir dulu ke masjid untuk sholat. Tidak berapa lama kemudian Aydan menyusul. Pria itu berjalan memasuki restoran. “Selamat malam, Mas. Sudah reservasi?” tanya pelayan di depan pintu. “Sudah, atas nama Raihan Adhitama.” “Oh, sebentar saya cek.” Beberapa menit kemudian wanita itu menemani Aydan menuju ruangan khusus yang telah dipesan. Matanya terus melirik Aydan. Aroma parfum yang manis, tapi mengandung kayu-kayuan membuat pelayan itu jatuh cinta pada pandangan pertamanya. “Mari Mas, silahkan!” ucapnya lembut membukakan pintu. “Thank’s ya.” Aydan melihat mama dan papanya sudah duduk lalu dirinya pun memilih tempat di depan mamanya agar Kaif bisa di hadapan papanya. Aydan merapikan rambutnya yang masih sedikit lembab terkena air wudhu. Hanin memberikannya sapu tangan dari dalam tas. “Lap dulu keringat di rambutmu,” kata Hanin. “Haha.” Aydan mengambilnya. “Makasih Mamaku sayang. Ini bukan keringat, tapi air wudhu tadi masih ada.” “Mmh, kau terlihat sangat tampan setelah sholat.” Hanin memujinya. “Pa, gimana nih?” tanya Aydan. Pertanyaan itu membuat papanya bingung. “Kenapa?” tanya Raihan. “Mama merayuku,” jawabnya tersenyum manis. Hanin spontan tersenyum dan melempar Aydan dengan tisu. “Kau ini ada-ada aja, masa Mamanya muji anaknya gak boleh?” “Boleh, tapi jangan di depan Papa, nanti dia cemburu,” ujar Aydan seolah bisik-bisik, tapi didengar oleh Raihan. “Hahaha," tawa Raihan pecah mendengarnya. “Kami sudah tua, tidak jamannya lagi begituan,” sambung Raihan. “Yah, jangan dong, aku malah senang kalau ngeliat Mama dan Papa saling goda kayak kemaren.” Hanin melihat ke arah Raihan dengan pandangan setengah melotot. “Kau melihat kami?” tanyanya. “Hahaha, mana mungkin gak nampak - kan kalian saling goda di dapur,” jawab Aydan tertawa kecil. “Astaghfirullah, Mas, anak kita ngeliat!” Hanin malu. “Biarin aja lah, dia kan udah besar. Bentar lagi juga akan nikah,” kata Raihan tertawa ringan. “Belum ada pasangan, Pa,” kata Aydan. “Gampang, nanti Papa cariin.” “Haha, gak usah. Aydan bisa sendiri.” “Tuh kan, anak kita gak mau dicariin menantu,” sahut Hanin. “Kalau mama yang nyariin, Aydan mau.” “Kenapa gitu?” tanya Hanin heran. “Karena selera Mama pasti bagus!” “Hahaha, okay! Di sini aku tidak diakui,” sambar Raihan. Sontak mereka tertawa bersama-sama. Aydan hanya becanda. “Aku tidak serius, Papa. Aku juga menyayangimu, pilihan Papa juga pasti terbaik. Seperti saat Papa memutuskan untuk mengadopsiku, tidak salah sama sekali. Bayangin kalau saat itu Papa gak nemuin aku? Mungkin aku akan hidup di jalanan sekarang.” Raihan melihat ke arah anaknya. “Jangan sebut kau anak adopsi. Selamanya kau adalah anak kandung kami.” “Makasih, Papa. Aku sayang kalian.” Hanin memegang tangannya. “Aydan, kamu itu lebih dari nyawa kami. Kamu dan Kaif itu sangat berarti.” Aydan mengangguk. “Aku percaya pada Mama, kalian juga sangat berharga untukku lebih dari emas dan permata.” Percakapan mereka harus terputus karena mereka mendengar suara pintu terbuka. Mereka bertiga menoleh pada Kaif yang baru saja datang. Pria itu tumbuh dengan gaya yang mirip seperti Raihan. Kaif gagah dan sangat berwibawa seperti seorang pengusaha, tapi sayang dia tidak mau menjalani usaha papanya. Kaif lebih memilih berfoya-foya dan melakukan kegiatan tak terdeteksi oleh orangtuanya. Di balik balutan pakaian kemeja kerah biru dongker dan celana berbahan denim hitam dia menghampiri mama dan papanya. "Hai, Ma. Hai, Pa. Maaf lama nunggu, tadi aku lagi sibuk sama teman," sapanya. "Iya, Nak, Duduklah," pinta Hanin. Raihan tidak menggubrisnya, hanya tersenyum singkat dan melihat anaknya duduk di depan. "Kau baru bangun tidur?" tanya Raihan. Wajah Kaif sedikit sembab. "Haha, Papa ada-ada aja, mana mungkin sembab kalau gak tidur," jawabnya tersenyum tipis Makanan yang dipesan pun tiba, pelayan menghidangkan menu pembuka di meja. "Acara apa ini, Pa?" tanya Kaif. "Selamatan untuk Aydan karena tembus rekor penjualanan," jawab Raihan. "Wah, selamat ya Aydan!" Kaif menepuk bahu adiknya, senyum palsu untuk menutupi cemburunya. "Mama dan Papa pasti bangga padamu, haha," lanjutnya. Hanin tersenyum melihat mereka. Sementara Raihan sudah memahami maksud di balik pujiannya. "Udah, makan dulu kita baru lanjut ngobrol," perintah papanya. Mereka berdoa lalu menikmati surabi, lumpia dan batagor di meja. "Pa, aku ingin ganti mobil," kata Kaif. Raihan yang mengunyah makanan serius melambatkan gerakannya. "Kenapa ganti?" tanya Raihan balik. "Bosan, Pa. Mobil itu udah 2 tahun samaku." "Haha, jadi karena bosan kau tukar? Boleh, kalau ada tabungan, kau bisa gunakan untuk tukar tambah," sahut Raihan. "Ayolah, Pa!" rayu Kaif. Raihan ingin menyemburnya, tapi Hanin menahannya dengan cara memegang paha suaminya. Raihan paham dengan sentuhan itu. Dia menahan diri dan tidak ingin membuat dinner malam ini berantakan gara-gara Kaif. "Nanti kita bicarakan di rumah," kata Raihan dengan nada tegas. Aydan tidak pernah ikut campur saat mereka bicara, memahami posisinya dan hanya tersenyum. Aydan menusuk lumpia dari piring lalu meletaknya ke piring Hanin. "Makasih, Nak." Raihan merasa terhibur pada sikap Aydan barusan, rasa marahnya mereda dan kembali tersenyum. "Kaif, kau mau kerja di perusahaan Papa?" tanya Raihan lagi. "Haha, kalau perusahaan lama Papa, aku mau. Kalau yang ini-" Kaif menggeleng. "Kenapa gak mau?" tanya Hanin. "Ma, Mama tau kan kalau perusahaan Papa jual pakaian dalam? Aku dibully teman-temanku." Kaif tertawa kecil. "Kak, gak ada yang salah dengan produknya, pemikiran orang yang negatif membuatnya tampak salah," sahut Aydan. "Haha, oya, aku lupa, kau kan udah kerja di sana otomatis kau bela, kalau tidak Papa akan memecatmu." Kaif tersenyum. "Bukan gitu-" ucapan Aydan terputus karena Raihan menyambarnya. "Ya sudah, setidaknya Papa udah nawarin untuk ketiga kalinya dan jawabanmu tetap sama." Kaif mengangguk, menolak tawaran tersebut. "Kata Aydan, Papa mau memberikan sesuatu untukku." "Ya, benar! Tawaran jadi CEO di perusahaan Papa," jawab Raihan. "Oh, itu-" Alis Kaif naik dan melanjutkan pembicaraan. "Maaf, Papa, Passionku bukan di sana." "Oke, Papa mengerti. Passionmu di bagian otomotif kan? Buka toko sparepart dan kau yang jalanin?" tawaran Raihan datang lagi demi anaknya yang belum jelas masa depan kerjanya. "Wah, bisa juga jadi pertimbanganku. Akan kuberikan jawabannya nanti ya, Pa." Kaif tampaknya suka dengan tawaran papanya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD