Bab 13 : Saran Aydan Untuk Raihan

1115 Words
“Aydan, papa ingatkan padamu. Perusahaan ini harus kau yang menjalaninya, jangan biarkan Kaif mengambil alih. Bukan Papa gak suka kalau dia ikut mengurus perusahaan ini, tapi masih jauh dari harapan kalau kakakmu yang menjalani perusahaan.” Raihan meminta Aydan untuk tetap memegang posisinya dan jangan sampai goyah. Aydan serba salah. Di satu sisi dia ingin membahagiakan papanya, di sisi lain, jika Kaif mendesaknya, benar-benar tidak bisa ia menolaknya. Aydan tau cara menghadapi Kaif tidak boleh dengan kekerasan. Jika dikerasin maka dia akan melawan. “Kau mengingatkanku dengan masa mudaku dulu,” kata Raihan membuka kenangan lamanya. “Masa muda Papa?” “Iya, saat Papa ngurus perusahaan kakekmu. Papa terkenal dengan sifat galak dan dikenal dengan julukan ‘Macan Putih’!” “Wah, masa sih, Pa?” “Mmh, tanya Mamamu. Dia tau bagaimana kerasnya Papa dalam memimpin perusahaan. Namun, begitu Papa mengenal Mamamu, kegalakan Papa menurun,” lanjut Raihan tertawa ringan. “Hahaha, karena Mama lembut, Papa jadi ikut lembut.” Raihan mengangguk. “Benar, semua karyawan jadi bingung pada sikap baik Papa di kantor.” “Ckckck, aku jadi pengen ke masa muda Papa dan melihat kedekatan kalian dulu.” “Hahaha.” Raihan jadi malu jika mengingat masa di mana dirinya mengenal Hanin. “Papa kenal Mama di mana?” tanya Aydan. Raihan tersenyum simpul. “Di Jepang.” “Ha, Di Jepang? Seriusan?” Raihan mengangguk. “Ceritanya panjang kali! Hem, mungkin kalau sekarang Papa ceritain bisa sampai besok pagi.” “Hahaha, buat penasaran aja, ceritain lah, Pa!” pujuk Aydan. “Oke, oke!” Raihan pun coba menceritakan masa lalunya secara ringkas pada Aydan. -Mengenang Masa Lalu Saat itu Raihan dan Hanin sama-sama ingin dijodohkan oleh orang tuanya. Cara mereka dijodohkan cukup unik. Raihan dan hanin diminta untuk pergi ke Jepang dengan alasan berbeda. Raihan diberi tantangan untuk menyelesaikan sebuah misi dengan imbalan apapun yang diminta olehnya akan diberi papanya. Sementara Hanin disuruh ke sana dengan alasan menjaga neneknya. Raihan dan Hanin diberikan surat dari orangtuanya untuk mengunjungi berbagai tempat yang sama agar mereka bisa bertemu secara alami. Dan, akhirnya takdir mempertemukan mereka ketika Raihan dengan hobi photography-nya itu tanpa sengaja menabrak Hanin dari belakang. Pertemuan pertama yang menggetarkan sanubari Raihan. Hanin yang menggunakan cadar menatap Raihan sejenak lalu menurunkan pandangannya. Raihan jatuh hati pada pandangan pertama, berasal dari mata turun ke hati. Takdir memang tidak melepaskan mereka setelahnya. Gelang tangan Hanin tersangkut di tas Raihan. Allah kembali mempertemukan mereka dibeberapa tempat hingga akhirnya terjebak dalam sebuah perasaan hati yang sulit diterjemahkan. Hanin sulit ditaklukkan hatinya. Raihan ingin menjalin hubungan dengan Hanin, tapi wanita itu menolak sebuah hubungan berlabel pacaran. Raihan berjanji akan mencari Hanin saat sudah tiba di Medan dan segera melamarnya. Mereka pun terpisah oleh ruang dan waktu. Tantangan dari papanya dianggap gagal meski menurut Raihan telah semua ditemukan jawabanya. Sebagai hukumannya, Raihan harus menerima perjodohan yang telah dibuat untuknya, tidak boleh ditolak. Raihan tetap menolaknya dengan alasan sudah memiliki orang yang tepat. Raihan mencari Hanin seperti orang gila, ke sana kemari, tapi tidak ketemu. Hingga akhirnya, Raihan terpaksa mengalah dan menuruti permintaan orangtuanya untuk menemui calon istrinya yang ternyata adalah Hanin sendiri. Mereka berdua sangat senang. Rayuan maut Raihan membuat hati Hanin terpaku padanya. Berbagai rintangan dilalui, Hanin tetap sabar. Raihan juga sangat setia. -Ingatan selesai Aydan sampai tertegun mendengarnya. Tidak menyangka bahwa dulu mama dan papanya tidak pernah berpacaran. “Papa sangat mencintai Mama?” tanya Aydan. “Sangat mencintainya. Mamamu adalah darah dalam tubuh Papa. Jika Mamamu pergi, sama saja seperti mengalami sekarat,” sahutnya. Aydan tersenyum. “Papa bisa jadi vampire kalau gitu.” Raihan tertawa ringan dan melihat ke arah Aydan. “Papa harap kau juga akan dapat wanita baik-baik.” “Aamiin.” Aydan berdoa demikian. “Sudah berapa kali kau pacaran?” tanya Raihan. “Belum pernah, Pa.” “Masa?” Raihan gak percaya. “Iya, Pa. Aku gak pernah pacaran.” “Haha, kau sama sepertiku dulu.” “Apa kak Kaif tidak mirip seperti Papa?” tanya Aydan merasa heran. Mendengar nama anak itu, perlahan senyum Raihan terhapus. “Papa tidak tau kenapa anak itu sangat keras. Dia harusnya dewasa dan bisa memberi contoh padamu.” Aydan mendengar keluhan Kaif dari papanya. “Kak Kaif itu manja, Pa.” “Dia udah besar, gak cocok manja-manjaan.” “Dia butuh perhatian Mama dan Papa.” “Perhatian gimana lagi? semua keinginannya sudah Papa penuhin.” “Seperti ini, seperti saat ini ketika Papa duduk dengan Aydan dan berbincang-bincang.” Raihan terdiam, menunduk dan memikirkan saat terakhir mereka bisa duduk bersama saat 10 tahun lalu. Raihan mengangguk. “Ya, Papa sadar kalau Papa sudah lama tidak mengajaknya ngobrol.” Aydan tersenyum. “Masih ada waktu untuk memperbaiki hubungan kalian, Pa.” “Ya, Nak! Makasih atas sarannya.” Malam ini ada dua hati yang berusaha ditentramkan oleh Aydan dari api yang menyala-nyala. Dua hati itu pun berhasil dipadamkan setelah sekian lama hingga waktu berganti hari. Raihan duduk di ruang tamu, menunggu putranya yang belum pulang sampai pukul 2 pagi. Suara mobilnya pun terdengar dan membuat mata Raihan yang menutup perlahan membuka. Suara langkah berat Kaif bisa dirasakannya, pintu rumah dibuka dan Kaif menutupnya kembali. Kaif tidak menyadari kalau Raihan ada di sana. Kaif mengayun kakinya ke kanan dan Raihan menghentikannya. “Kaif,” panggil papanya. Pria itu pun terkejut karena mendengar suara papanya dari belakang. Kaif menoleh, melihat papanya ada di sana, duduk menatap ke arahnya dengan tangan terlipat ke d**a. “Pa, kenapa belum tidur?” tanya Kaif ketakutan. “Papa menunggumu,” jawabnya. “Papa nungguin aku? tumben?” Kaif melipat bibirnya, alis kirinya naik sendiri. “Kamu dari mana?” tanya Raihan. “Main sama teman.” “Kenapa sampai larut malam?” “Pa, aku udah besar, jangan terus mengekangku.” “Kecilku suaramu, mama sudah tidur.” Kaif menghela napas dan mendekati papanya lalu duduk. “Maaf ya, Pa, tadi aku keras padamu,” ucap Kaif tiba-tiba. Raihan terpelongo karena anaknya meminta maaf. “Kenapa kau marah pada Papa dan Mama?” tanyanya dengan nada lemah. Berharap ketegangan di antara mereka berakhir. “Aku tersulut emosi, Pa.” “Papa tau kau ingin bekerja, tapi tidak diposisi yang telah ditempati adikmu. Bukan Papa gak ngasih, tapi kau harus paham dengan sebuah kesempatan yang tidak datang dua kali.” “Iya, Pa. Maafin aku.” Kaif menunduk. “Papa akan buatkan kau usaha.” “Terserah Papa aja, aku nurut.” Raihan makin bingung, anak sekeras Kaif bisa nurut itu sebuah keajaiban. “Baiklah, istirahat sana. Besok temui Mamamu dengan senyuman, jangan kau sakiti hatinya.” “Iya, Pa.” Kaif berdiri lalu pergi ke kamarnya. Raihan masih bingung dengan perubahan sikap anaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD