Bab 12 : Menjadi Pendengar Baik

1215 Words
Hanin melihat Kaif yang menantang mata papanya tak bergeming. “Kaif, turunkan pandanganmu,” perintah Hanin. “Aku benci Papa!” kata Kaif lalu pergi dari ruangan tersebut. Hanin melihat ke arah anaknya. “Kaif!” jeritnya merasa geram karena bersikap kasar pada papanya. “Lihat, dia berani membentakku dan membenciku.” “Astaghfirullah! Kenapa bisa gini, Mas?” tanya Hanin. Raihan duduk di sofa dan memegang keningnya. “Dia minta posisi yang telah kuberikan pada Aydan,” jawabnya. Hanin yang masih berdiri ikut menjepit keningnya. “Hanin udah duga, Kaif itu pikirannya mudah berubah. Dia tidak tetap pendirian,” katanya. “Bagaimana pun posisi itu akan tetap menjadi milik Aydan,” kata Raihan. “Iya, Hanin tau, Mas. tapi anak kita itu pasti terus ngotot mau ngambil posisi itu dari Aydan.” “Aydan tidak boleh memberikannya. Aku akan bicarakan hal ini pada dia." “Mas, jangan buat mereka saling membenci,” kata Hanin. Raihan menghembus napanya panjang. Tidak mengerti kenapa anaknya bisa keras kepala. “Dia bilang Aydan mendapatkan semuanya, termasuk diri kita,” sambung Raihan. “Kaif ngomong gitu?” “Mmh.” Hanin tersenyum tipis. “Dia terus cemburu pada Aydan sejak kecil, pemikiran itu muncul karena dia merasa tidak bisa sepintar dan sebaik Aydan.” “Apa yang harus kita lakukan pada anak itu?” tanya Raihan. “Doakan, bersabarlah kita. Semoga Allah melembutkan hatinya. Kita juga jangan suka membandingkan dirinya dengan Aydan,” nasihat Hanin untuk suaminya. Raihan mengangguk. “Baiklah, Mas pusing, ingin segera ke kamar.” Di halaman rumah. ketika Aydan baru saja tiba di rumah, ia melihat kakaknya berjalan dengan cepat ke arah mobilnya. Aydan turun dan memanggilnya. “Kak, mau ke mana?” tanyanya. “Bukan urusanmu!” jawab Kaif kasar. “Jangan pulang malam-malam, Kak,” sahut Aydan lagi. Kaif tidak menggubrisnya lalu masuk ke mobilnya dan melaju kencang meninggalkan rumah. Aydan mengulum bibirnya lalu berjalan masuk. Mengucapkan salam, langsung melihat papanya berjalan cepat ke arah kamar tanpa menjawab salamnya. Aydan melihat ke arah luar lalu ke arah Raihan. “Apa mereka bertengkar lagi?’” tanyanya sendiri. Tidak berapa lama kemudian Hanin keluar dari ruang kerja dan melihat putranya sudah pulang. “Aydan,” panggil Hanin. Aydan yang masih terbengong pun menoleh. “Ma.” ia menghampiri mamanya lalu menyalamnya. “Kenapa lama pulang?” “Oh, tadi ngumpul dulu sama teman terus sholat di masjid.” Hanin tersenyum. “Makanlah, Mama udah masak makan malam untukmu.” “Mama udah makan?” tanya Aydan. “Belum.” “Papa?” tanya Aydan lagi. “Papamu lagi gak enak pikirannya.” Hanin membawa putranya ke ruang makan. “Bertengkar sama kak Kaif?” tanya Aydan menggali informasi. “Hem, gitulah! Mama jadi pusing.” Hanin menunduk, tangannya menyandar di meja dan wajahnya jadi layu. Aydan memeluk mamanya. “Mama yang sabar ya,” ujarnya. “Iya, Aydan.” Hanin memintanya duduk. Mereka saling berhadapan dan bibi pelayan mengambilkan mereka nasi serta minum. Aydan melihat mamanya sangat stres pada kelakuan Kaif. Aydan mencari cara agar mamanya bisa kembali tersenyum. “Ma,” panggilnya. “Mmh?” alis Hanin bergelombang menatap ke arahnya. “Jangan cemberut terus, aku gak suka liatnya,” kata Aydan. Spontan Hanin tersenyum, tapi hanya sedikit. “Kurang banyak, lebih lebar lagi senyumnya,” pinta Aydan memegang tangan mamanya. Hanin perlahan tersenyum, tapi setelah itu malah menangis. Hiks. Aydan langsung berdiri dan duduk di sampingnya. “Ma, kenapa nangis?” Aydan merangkulnya dan membiarkan kepala mamanya menyandar di bahunya. “Salah kami apa, sampai Kaif begitu keras?” tanya Hanin. Aydan membiarkan mamanya meluapkan semua emosi yang tertahan. “Kami menyayanginya, tapi dia tetap merasa kalau kami pilih kasih.” “Sabar, Ma.” “Aydan, kamu jangan benci kakakmu ya?” “Iya, Ma, Aydan gak pernah benci kak Kaif. Aydan sayang sama dia.” “Makasih, Nak.” Hanin menyeka air matanya. Aydan menatap wajah mamanya dengan senyuman lalu membantunya menghapus sisa kesedihan. Aydan memberikannya minum dan Hanin meneguknya. Gelas itu lalu diletak lagi ke meja oleh Aydan. Hanin memegang pipi Aydan. “Makasih sudah bersikap lembut pada kami, sejujurnya kami sebagai orang tua hanya ingin kalau anak-anak kami itu akur dan berbicara lembut. Sedikit saja dibentak, hati kami tersayat-sayat.” Aydan mengangguk. “Nanti Aydan coba nasehatin kak Kaif ya,” katanya. “Iya, Nak.” “Mama udahan nangisnya, nanti Aydan ikutan sedih.” Hanin pun tersenyum lalu mengangguk. “Kita makan yuk,” ajaknya. “Ayuk, Mama mau Aydan suapin?” tanyanya. “Haha, gak usah lah. Kayak anak kecil aja.” Hanin bisa kembali tersenyum. Aydan tetap ingin menyuapi mamanya dan menyodorkan sendok itu ke mulut Hanin. “Aaaaak,” ucap Aydan. “Bismillah,” lanjutnya. Hanin pun membuka mulutnya lalu meraup suapannya. Kini sebaliknya, Hanin juga menyuapi Aydan yang tidak menolak tawarannya. Aydan mangap selebar-lebarnya agar tidak ada nasi yang jatuh. Hanin pun tertawa. “Cepatlah menikah, agar ada yang mengurusmu,” sahutnya. “Kalau Aydan nikah sekarang, nanti Mama gak bisa nyuapin lagi.” “Kau udah besar, masak disuapin sama Mama?” “Suapan Mama itu penuh cinta, Aydan suka.” “Mmh, dasar ya, jago ngegombal sekarang!” “Belajar dari papa,” bisik Aydan tertawa kecil. Hanin mencubit lengan Aydan sampai menjerit. “Ampun, Ma! hahaha.” Hanin menghentikan cubitannya lalu mengelus bekas tangannya agar sakitnya tidak membekas. Mereka melanjutkan makan malam bersama sampai habis. Setelah itu, Aydan kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Satu jam setelah Aydan selesai mandi dan sedang asik mendengar lagu di kamar, tiba-tiba kamarnya diketuk oleh seseorang. Aydan membuka earphone-nya lalu berjalan ke arah pintu. Aydan membukanya dan melihat papanya berdiri di sana. “Boleh Papa masuk?” tanya Raihan. “Boleh lah, Pa. Mau tidur sini juga boleh,” jawab Aydan tersenyum. Raihan masuk dan melihat kamar anaknya. Sangat jarang Raihan mengunjungi dirinya ke kamar. “Duduk, Pa.” Aydan menyediakan kursi untuknya. Raihan pun duduk. “Gimana kerjamu hari ini?” “Alhamdulillah, luar biasa!” Raihan tersenyum. “Papa lihat kau santai menjalaninya,” ujarnya. “InsyaAllah, semuanya aman.” “Mereka mulai takut padamu, padahal sebelum kau jadi CEO mereka selalu membahas candaanmu,” kata Raihan. “Haha, padahal Aydan gak ada marah-marah, tapi entah kenapa mereka takut sendiri.” Raihan tersenyum. “Mungkin mereka segan aja, dari posisi rendah diangkat menjadi CEO.” “Hmm, bisa jadi. Dikira sok keren kali. Haha.” Aydan memegang rambut dan menyisirnya dengan jari. “Perubahan itu bisa papa rasain, mereka bekerja lebih keras sekarang,” aku Raihan. “Aydan cuman nyampein pesan agar tidak malas-malasan, gitu aja. Apa Aydan gak pantes kali ya jadi atasan?” tanya Aydan. “Sembarangan ngomong! Kau itu seorang pemimpin. Jiwa itu sudah ada dalam dirimu, kau harus terus mengasahnya.” Aydan tersenyum lebar. “Iya, Pa. Makasih ya.” Raihan memegang tangan putranya. Aydan melihat ke arah genggaman itu. “Aydan, papa ingatkan padamu. Perusahaan ini harus kau yang menjalaninya, jangan biarkan Kaif mengambil alih. Bukan Papa gak suka kalau dia ikut mengurus perusahaan ini, tapi masih jauh dari harapan kalau kakakmu yang menjalani perusahaan.” Raihan meminta Aydan untuk tetap memegang posisinya dan jangan sampai goyah. Aydan serba salah. Di satu sisi dia ingin membahagiakan papanya, di sisi lain, jika Kaif mendesaknya, benar-benar tidak bisa ia menolaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD