Bab 2 : Menemukan Anak Itu

1238 Words
Nasi sudah jadi bubur. Ledakan itu melenyapkan nyawa para korban yang mungkin masih hidup. Polisi datang dua puluh menit kemudian bersama Ambulance dan pemadam kebakaran. Api segera dipadamkan. Raihan yang terbengong langsung berdiri memperhatikan sekitar. Dia ingat bahwa pria dalam mobil menyebut nama anaknya. Raihan langsung menyisir ke segala tempat, mencari anak yang namanya tak diingatnya lagi. "Permisi, maaf." Dia melewati kerumunan orang dan mencarinya terus. Evakuasi berjalan dalam waktu dua jam. Pria itu tetap mencari seorang anak lelaki. Dari tadi dia tidak melihat korban anak laki-laki, hanya perempuan yang ada. Raihan melihat ke tepi jalanan tol. Berusaha memanggilnya. "Nak!" jeritnya. Karena gelap, Raihan harus mengeluarkan ponsel yang dipegangnya untuk menyalakan senter, berguna memberi penerangan ke daerah rerumputan. "Nak!" jeritnya terus tak henti mencari. Tidak puas hanya melihat dari atas, pria itu pun melewati pembatas tol dan turun pelan-pelan. Sisi yang didatanginya adalah bagian terdekat dengan posisi mobilnya tadi. Samar-sama ia melihat ada bayangan seorang anak berpakaian putih yang telungkup di atas tanah. Raihan mendatanginya dan segera melihat keadaannya. "Nak! Sayang, bangun." Raihan memeluknya, memeriksa napas dan nadinya. Hembusan hangat masih dirasa olehnya. "Masih hidup!" Tanpa pikir panjang dia pun naik lagi, menggendong anak lelaki itu. Raihan berhasil membawanya ke atas dan segera melarikannya ke mobil. Sepanjang perjalanan, Raihan melihat polisi dan perawat kewalahan menangani korban. Raihan memutuskan untuk membawa anak itu sendiri ke rumah sakit tanpa campur tangan tim medis yang ada di sana. Dalam mobil, Raihan mengambil saputangan dan membasahinya dengan air lalu ia sapukan ke wajahnya. Sekaligus membersihkan bekas darah yang mengalir dari pelipisnya. "Bertahan, Nak! Kau pasti akan selamat." Di rumah sakit setengah jam kemudian. Raihan menggendong anak itu ke ruang IGD, suster segera menanganinya. “Bapak orangtuanya?” tanya perawat. “Ya, tolonglah dia.” Raihan terpaksa berbohong. “Baik, Pak. Mohon isi data pasien di ruang administrasi.” “Oke.” Tubuh Raihan sangat kacau. Darah mengotori kemeja putihnya. Pria itu segera jalan ke arah depan. Ponsel Raihan berdering, panggilan dari istrinya. "Assalamu’alaikum, Mas. Lagi di mana? Hanin liat beritanya. Gimana keadaan, Mas?" "Iya, Hanin. Alhamdulillah Mas gak kenapa-napa.” Perlahan Raihan menangis dan bersandar ke dinding sambil menelepon. Hiks! "Mas, kenapa?" tanya Hanin. "Mas hampir berhasil nyelamatin satu korban, tapi percikan api itu menghalangi Mas. Mas jadi gagal menolongnya dari mobil." Raihan berusaha menceritakan semuanya, tapi dirinya sendiri masih belum tenang. "Mas, jangan salahkan diri sendiri. Mas udah berusaha kuat." "Ya, Hanin. Tapi Mas nemuin anak pria itu. Sekarang Mas bawa dia ke rumah sakit." "Astaghfirullah. Gimana keadaannya sekarang?" "Masih ditanganin dokter." "Ya Allah, semoga dia sehat. Biar bisa ketemu sama keluarganya." "Sepertinya dia anak orang asing. Papanya berbicara menggunakan bahasa Inggris. Semua di mobilnya meninggal, Haniiin." "Innalillahi, Allah akan menunjukkan jalan yang terang untuk masalah ini, Sayang." "Aamiin." Raihan menyeka airmatanya lalu segera mendaftarkan administrasi anak ini. Di meja administrasi, jemarinya terhambat ketika akan menuliskan nama pasien. Raihan mengingat ucapan papanya di mobil sebelum ledakan. Namun, tak bisa diingat oleh Raihan dengan jelas. “Astaghfirullah, aku harus mengisinya dengan nama siapa?” tanyanya sendiri. Raihan sejenak berpikir. Sekitar dua menit ia pun memutuskan untuk membuat identitas baru untuk anak itu. Hanya sementara sampai saudaranya mencari, mungkin besok atau lusa. Begitulah pemikirannya. Akhirnya ia punya ide untuk nama anak itu. ‘Aydan Safaraz.’ Raihan menuliskan nama itu untuknya dengan harapan akan menjadi anak yang bersemangat, dihormati serta diberkati. Dua jam kemudian. “Permisi, siapa wali anak yang di dalam?” tanya dokter keluar dari depan ruangan. “Saya, Dok!” jawab pria tersebut. “Bisa ikut saya ke ruangan. Dia masih tertidur karena pengaruh obat.” “Baik.” Raihan mengikuti dokter sampai ke ruangan. Ia duduk setelah dipersilahkan kemudian dokter mengeluarkan surat dari map. “Ini adalah hasil dari pemeriksaan anak itu. Sebelumnya saya ingin tau, apa hubungan anda dan anak itu? Apa anda ayahnya?” tanya dokter. Pria itu menggelengkan kepala. “Saya menyelamatkannya dari kecelakaan hari ini. Orangtuanya meninggal.” “Innalillahi, saya turut berduka. Jadi untuk nama anak ini anda berarti tidak tau?” Pria itu menggelengkan kepala. “Baiklah, kebaikan hati anda membawa dia ke rumah sakit sangat tepat waktu. Sedikit saja anda terlambat, dia mungkin akan ikut dengan orangtuanya. Kalau boleh saya tahu, nama lengkap anda siapa?” tanya dokter. “Saya Raihan Adhitama. Saya akan bertanggung jawab atas semua biaya perobatannya, Dok!” “Oh, begitu. Baiklah, Pak Raihan. Saya senang mendengarnya. Setelah ini anda bisa ke ruangan administrasi untuk mengurus data anak itu. Jika belum mengetahui namanya, bisa tuliskan saja sesuai keinginan Bapak, nanti ketika dia sadar dan mengatakannya bisa bapak perbaiki.” “Iya, Dok! Sudah saya lakukan. Terimakasih!” “Keadaannya sejauh ini aman. Pasca dia sadar nanti kita akan lihat, apakah ada pengaruh motorik dari kecelakaan tersebut.” “Iya, Dok! Saya akan memperhatikannya dan memberi informasi lanjut pada suster bila menemukan keganjilan.” “Ya, silahkan. Hanya itu saja yang ingin saya sampaikan.” Raihan keluar ruangan dan melihat ke biliknya. Suster memperbolehkannya masuk. “Oya, Pak, tunggu-“ perawat memanggilnya sejenak. Raihan menunggu di depan pintu. Wanita itu kembali dengan barang-barang yang dikenakan oleh anak itu saat datang ke rumah sakit. Hanya sebuah kalung yang ada di dalamnya. Raihan mengucapkan terimakasih kemudian memasukkannya ke dalam tas. “Assalamu’alaikum,” ucap Raihan memasuki ruangan. Anak itu masih belum sadarkan diri. Raihan berjalan ke arah kanannya, melihat kondisi anak ini dibalut perban di kepala dan kakinya. Luka ringan serta lembam juga ia dapatkan di bagian perut serta tangannya. Raihan mengelus kepala anak itu dan mendaratkan bibirnya ke sana. “Semangat ya, Aydan!” bisiknya. Raihan duduk di samping Aydan sambil mengecek kabar terbaru dari proses kecelakaan sembari menunggu dirinya siuman. Hari sudah sangat larut. Setelah membeli minuman serta beberapa roti di minimarket 24 jam dekat rumah sakit, Raihan pun tanpa sadar tertidur di sebelah ranjang pasien. Menyandarkan kepala di atas lengan yang berlipat. Sampai keesokan harinya, anak itu terbangun. Tangannya bergerak sedikit demi sedikit dan menyentuh kepala Raihan tanpa sengaja. Raihan tersentak dari lelapnya karena mendapat sentuhan tersebut. Ia menegakkan kepala dan memegang tangan anak itu. “Nak, kamu udah sadar.” Anak itu menatap Raihan dengan kebingungan. Dia tidak mengenalnya dan tidak mengerti bahasanya. Bocah tersebut menoleh ke kiri dan kanan, mencari sang ibu atau ayahnya, tapi tidak ia temukan sosok yang harusnya menemani dirinya saat ini. “Ma.” Suaranya yang parau itu terdengar lemah. “Apa kamu mengerti bahasa Indonesia?” tanya Raihan. Anak itu mengerutkan wajahnya, dia pernah belajar, tapi tidak untuk kalimat itu. “Maaf,” ucapnya pelan. Raihan menaikkan alisnya. “Ya, Nak. Kamu mengerti bahasa kami?” “Saya be-berasal dari Korea Selatan,” jawabnya ingin menjelaskan informasi dirinya. “Oh, gitu.” Raihan mengangguk. ‘Ternyata dia dari Korea.’ "Bisa bahasa Inggris?" tanya Raihan dalam bahasa Inggris. Anak itu menggelengkan kepala. "Hanya sedikit yang aku tahu, di mana mama dan papaku?" tanyanya. Raihan tak mampu menjawabnya. "Dengarkan aku," sahutnya sedikit menarik napas. "Mereka sudah tiada. Aku turut sedih memberitahukanmu tentang ini, tapi kamu harus mengetahui kebenarannya." Raihan memegang tangannya, tahu tidaknya anak itu arti dari ucapannya, tetap saja berharap paham. Namun, apalah daya, anak berumur 3 tahun itu pun tidak mengerti apapun yang diucapkan oleh Raihan. Pria itu mendekatinya dan memeluknya. “Aku akan merawatmu, Nak! Kamu jangan sedih.” Anak lelaki itu hanya terdiam dalam dekapan Raihan. Wajahnya masih meninggalkan jejak trauma mendalam. Raihan dan anak lelaki itu berbicara dengan bahasa yang bercampur aduk, bahasa Inggris, Indonesia dan juga bahasa kalbu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD