Bab 3 : Pulang Ke Rumah

1212 Words
Raihan membawa Aydan kembali ke Medan setelah menunggu selama 1 minggu di rumah sakit dan tidak ada informasi pencarian dirinya. Mereka tiba di bandara, Raihan menggendongnya dan jalan sambil menarik koper menuju pintu keluar. Istri dan anaknya sudah menunggu di sana. Empat pasang mata itu terus mencari sosok pria yang mereka rindukan. “Papa!” jerit seorang anak kecil yang tidak jauh beda umurnya dengan Aydan. Raihan tertawa lebar melihat mereka melambaikan tangan kesenangan. “Lihat, itu keluarga barumu,” kata Raihan pada Aydan. Anak itu menoleh dan melihat Hanin serta jagoan kecilnya yang berdiri di depan sang mama. Walau tidak tau artinya, Aydan sedikit mengerti maksud perkataannya. Dalam benak Aydan pengartiannya seperti ini. ‘Mereka adalah keluargaku, lihatlah.’ Raihan sudah berada di depan mereka. Hanin langsung menyalamnya dengan senyuman yang terukir. “Assalamu’alaikum, Mas.” “Wa’alaikumsalam, Hanin.” Hanin tersenyum pada Raihan lalu pandangannya mengarah ke Aydan. Dia mengelus punggungnya. Bocah yang sedari tadi menarik celana papanya merasa tidak diperhatikan. “Oh, ya Allah. Ada anak papa di sini!” Raihan menunduk dan membiarkan Aydan menginjak lantai. Aydan diambil oleh Hanin yang juga menjatuhkan tubuhnya agar posisi mereka sama tinggi. Raihan memeluk putranya dan menciuminya. “Mmh, anak papa tampan kali,” ucapnya tersenyum lebar. “Papa kenapa lama pulangnya? Kaif rindu!" “Kaif rindu sama papa? Masa sih?” tanya Raihan meledek. Anak itu memeluk papanya. Aydan melihat ke arah Raihan. Bibirnya tertarik sedikit, senyum melihat Kaif yang manja. “Hai, Sayang,” sapa Hanin pada Aydan. Anak itu menoleh, tersenyum pada Hanin. “Apa dia mengerti bahasa kita, Mas?” tanya Hanin. Raihan menggeleng. “Tidak, Hanin. Dia hanya tau bahasa negaranya.” Kaif melepas pelukannya lalu melihat ke arah Aydan. “Dia siapa, Papa?” tanyanya. “Dia akan tinggal bersama kita mulai sekarang,” kata Raihan. “Kenapa gitu?” tanya Kaif. “Karena dia tidak lagi punya keluarga jadi, kita harus menjadi keluarga barunya." Kaif lumayan senang, tertawa lebar. "Yeee, Kaif punya adik!" jeritnya kegirangan. “Hai, namaku Kaif Safaraz,” katanya sambil menjulurkan tangannya. Aydan menyambut tangan Kaif dengan senyuman tanpa menjawab balik sapaannya. “Dia bisu, Pa?” tanya Kaif. “Eh, ngomongnya kok gitu?” Raihan menggeleng. “Abisnya gak jawab sapaanku.” Kaif memanyunkan mulutnya. “Dia ini belum mengerti bahasa kita, nanti kita ajarin ya?” jelas Raihan pada anaknya. “Oh, gitu. Oke lah kalau begitu!” Kaif tertawa kecil. “Namanya Aydan.” Raihan memperkenalkan anak itu ke Kaif dan Hanin secara resmi. Raihan menariknya dari rangkulan Hanin. “Kamu bisa perkenalkan diri?" tanya Hanin dalam bahasa Inggris. Aydan mengangguk. Setidaknya mama Aydan pernah mengajarinya bahasa inggris pemula. “Halo, nama saya Aydan," katanya dalam bahasa Inggris. Hanin bingung, jika dia bisa memperkenalkan dirinya, kenapa gak bilang nama asli? “Apa kamu ingat namamu?" tanya Hanin dengan bahasa Inggris. Raihan menggeleng. “Dia tidak mengingatnya. Aku sudah mencoba tanyakan kemarin, tapi dia hanya ingat bahwa dirinya dari Korea Selatan.” “Astaghfirullah,” sahut Hanin sedih. Dia mengelus kepala Aydan. Raihan segera mengajak keluarganya kembali pulang. Supir yang menunggu di luar segera mengambil koper Raihan dan membawanya ke mobil. Kaif diambil alih oleh Hanin, sementara Aydan digendong oleh Raihan. Kondisi tubuh anak itu belum pulih total, tidak bisa terlalu lelah. Di dalam mobil, Kaif berusaha berbicara dengannya. Aydan mendengarnya, berusaha mendekatkan diri dengan caranya. “Kau tau, Aydan, rumahku itu besar kali, nanti kita bisa sekamar tidurnya,” kata Kaif sambil mempraktikkan tangannya memaknai kata besar. Raihan dan Hanin tersenyum. “Kalau besar, kenapa tidurnya berdua? Kan bisa tidur di kamar sebelah?” tanya mamanya. “Hehehe, kan biar Kaif punya kawan, Ma.” “Oh, jadi Aydan malam ini tidur samamu?” tanya Hanin lagi. “Iya, dong! Nanti Kaif ajarin dia bahasa Indonesia.” “Wah, anak papa baik kali,” sahur Raihan. “Ya lah, papa dan mama kan baik, masa anaknya nakal?” Kaif terus menjawab ala anak seumurannya, beda 2 tahun lebih tua dari Aydan yang baru berusia 3 tahun. Sesampainya mereka di rumah. Aydan menatap bangunan di hadapannya. Dia tidak pernah punya hunian tunggal dengan halaman yang sangat luas. Dulu Aydan tinggalnya di apartemen. Jadi terbiasa hidup tanpa hamparan rumput disekitarnya. Hanya menghadapi dinding dan pemandangan dari jendela saja. Aydan masih mematung, sementara Kaif sudah berlarian ke sana-sini sambil menendang bola. “Aydan, masuk yuk!” ajak Hanin mengarahkan tangannya ke rumah. Mereka terpaksa menggunakan bahasa isyarat pada Aydan agar mengerti. Aydan mengangguk, mengikuti Hanin sampai ke depan pintu. Raihan menyusulnya dari belakang. “Kaif! Jangan main keluar pagar ya,” jerit papanya. “Iya, Pa!” Raihan melihat ke arah Aydan yang masih sungkan masuk ke dalam. Hanin membujuknya masuk, tapi Aydan menahan dirinya. “Hei, jagoan. Kenapa gak mau masuk?” tanya Raihan. Aydan melirik ke arah Raihan. Dia menggeleng. “Saya ingin pulang ke rumah mama dan papa,” jawabnya dengan nada lemah. Raihan dan Hanin berpandangan sejenak. Mereka tidak tau apa arti ucapannya. “Aydan, aku tau ini berat untukmu. Tinggal lah di sini sementara waktu, semoga keluargamu yang lain bisa menjemput,” jelas Raihan. Aydan hanya melihat Raihan dan Hanin bergantian. “Mas, coba pakai aplikasi terjemahan, terus buat ke bahasa Korea,” usul Hanin. “Astaghfirullah, kenapa Mas lupa ya?" Raihan langsung mengeluarkan ponselnya dan mengucapkan apa yang ingin dikatakannya lalu keluarlah artinya dalam bahasa Korea. Aydan mendengarkan suara sistem yang mengucapkan kata demi kata dari apa yang dikatakan oleh Raihan. Akhirnya Aydan paham. Dia pun mengangguk lalu ikut dengan Hanin ke kamarnya. Raihan masih terus mengikuti mereka, membiarkan istrinya dekat dengan Aydan agar nantinya anak itu bisa disayangi seperti dia menyayangi Kaif. Kamar Aydan ada di lantai 2. Tepat di samping kamar Kaif. Hanin membukanya lalu menunjukkan pada Aydan. Hanin mengeluarkan ponselnya lalu menerjemahkan ucapan yang ingin dikatakannya pada Aydan. Mereka akan terus menggunakan gawai untuk berkomunikasi dengan Aydan. “Masuklah, ini kamarmu. Ibu sudah menyiapkannya khusus untuk Aydan,” kata Hanin. “Terima kasih,” ucapnya dalam bahasa Korea. “Sama-sama, Aydan.” Hanin memperlihatkan lemarinya yang sudah berisi pakaian dan perlengkapannya. Kamar ini dibuat ekspress demi menyambut kedatangan Aydan. Hanin tidak merasa berat hati menerima si tampan Aydan. Raihan mendekatinya. “Aydan, kamu bisa anggap rumah ini seperti rumahmu sendiri. Kami seperti orangtuamu. Kamu bisa panggil saya dengan sebutan papa Raihan dan mama Hanin.” Aydan mengangguk. Anak sepolos itu belum terlalu mengerti dan hanya mengikut saja. “Lalu, mama dan papaku ke mana?” tanya Aydan. Raihan menutup matanya sebentar setelah mendengar pertanyaan mengiris hatinya itu. Penjelasannya kemarin belum sampai pada Aydan. Raihan yakin hari ini dia sudah bisa menerima informasi itu. Raihan menjelaskan kembali bahwa kedua orangtuanya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan. Aydan spontan menangis tersedu-sedu. “Hiks. hiks. Eomma. Appa! Huhu,” jeritnya. Raihan memeluknya, dia memukul tubuh Raihan karena tidak sanggup membayangkan kalau dirinya tidak lagi punya orangtua. “Sshhh, tenanglah.” Raihan mencoba menenangkannya. Hanin meneteskan airmata, ikut sedih dengan perasaan anak itu. ‘Ya Allah, semoga kami bisa mendidiknya menjadi anak yang baik, agar orangtuanya mendapat doa dari anak yang sholeh.” Sedih sekali rasanya Hanin melihat wajah polos Aydan yang mungkin sangat rindu akan kedua orang tuanya. Mereka akan menjaganya, semoga keluarganya mencari anak itu dan dia tidak perlu merasa kesepian dan asing lagi di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD