Bab 17 : Mencari Cemilan

1160 Words
Malam diiringi angin sepoi-sepoi yang menyejukkan, menemani Aydan yang sedang duduk di balkon dengan posisi santai. Dipangkuannya ada papan tipis yang menjepit tumpukan kertas kopenhagen serta tangannya memegang pensil charcoal yang sudah ia torehkan garis-garis indah membentuk sebuah objek lukisan. Kegiatan sampingan dari Aydan ketika sedang luang waktu adalah melukis. Apa saja yang ada di pikirannya akan ia tuang dalam sebuah kertas. Malam ini, Aydan teringat akan kedua orangtuanya yang sudah lama meninggal. Ingatannya tidak terlalu banyak. Penggalan-penggalan kisah yang bisa ia ingat selalu dilukiskannya dalam kertas dan mengumpulkannya dalam map. Ingatan yang terlintas saat ini adalah ketika detik-detik sebelum kecelakaan. Aydan berusaha mengingatnya secara full, tapi tidak bisa. Kondisi depresi pasca kecelakaan masa kecilnya membuatnya amnesia sebagian. PTSD atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan. Namun, Raihan telah mengobatinya semasa kecil. Sehingga ketakutan dalam dirinya sudah hilang tinggal ingatan sebagiannya saja yang masih menghilang. Aydan melukiskan kenangan ketika mama dan papanya duduk di sebuah rumah makan. Saat itu ada orang keempat yang duduk bersama mereka, tapi Aydan tidak tau itu siapa? Aydan juga tidak tau momen yang ia ingat itu ada di mana? Srekk. Suara pintu terbuka membuatnya kaget. Aydan menutup bukunya lalu menoleh ke belakang. “Lagi apa?” tanya Hanin. “Lagi duduk sambil melukis.” “Melukis?” tanya Hanin. “Iya, Ma.” Aydan meminta mamanya duduk di sampingnya. “Melukis siapa?” tanya Hanin. Aydan menunjukkannya pada Hanin. Mamanya melihat hasil lukisan anaknya menggunakan pensil dengan hasil monokrom. Hanin merasa sedih, ini bukan kali pertamanya dia melihat hasil lukisan Aydan bersama orangtuanya. “Kau merindukan mereka?” tanya Hanin. “Mmh.” Aydan mengangguk. “Kadang-kadang, Aydan memikirkan mereka. Apa Mama marah kalau Aydan mikirin mama dan papa Aydan?” tanyanya. “Astaghfirullah, mana mungkin Mama marah, Sayang! Kau itu berasal dari mereka, meski kami yang membesarkanmu setelah kejadian itu, bukan berarti kami menguasai semuanya.” Aydan mengangguk. “Makasih, Ma.” “Apa kau ingin mencari keluargamu di Korea?” tanya Hanin. Aydan menggeleng. “Aydan hanya akan mendoakannya saja. Aydan belum siap menemui keluarga yang mungkin masih ada di Korea.” Hanin merangkulnya, mengelus bahu Aydan. “Kalau kau mau ke sana, bisa ajak papamu.” “Aydan belum mau, Ma.” “Ya udah, Mama hanya menawarkan. Mungkin selama ini kau malu atau takut mengatakannya.” Aydan malah sedih jadinya. “Aku sayang kalian, Ma.” Aydan memeluk mamanya. Hanin tersenyum. “Anakku, aku juga sayang padamu.” Dibalik jendela tempat mereka berbicara, Raihan tidak sengaja mencuri dengar percakapan antara Hanin dan Aydan. Raihan sudah pernah memikirkan momen ini sebelum terjadi. Aydan tidak pernah menunjukkan lukisan itu padanya, tapi Raihan pernah tidak sengaja melihatnya saat memanggil Aydan di kamar namun pemiliknya tidak ada di dalam. Raihan melihat hasil lukisannya, dari goresan tangannya pria itu tau wajah kedua orangtuanya. Raihan sangat tidak ingin kehilangan Aydan, hingga ia pun tak pernah berusaha mencari keluarganya lagi hingga saat ini. Raihan sangat sayang pada Aydan. Dia hanya ingin Aydan ada bersama mereka hingga akhir hayat. Keesokan harinya saat menuju perusahaan Adhitama Grup. Aydan mampir ke swalayan mini dekat dengan perusahaannya. Dia ingin membeli cemilan untuk menemaninya bekerja di kantor. Hari ini dia sudah mendapatkan jadwal seharian penuh dengan banyak berkas dan rapat penting. Klining. Suara bel ketika membuka pintu terdengar. Seorang perempuan menyapanya, tapi tidak terlihat oleh Aydan. “Selamat datang!” Aydan ingin mengangguk, tapi tidak tau pada siapa? Akhirnya dia menyahutnya pelan. “Ya, terimakasih.” Aydan menuju lorong berisi cemilan. Memilih beberapa jenis keripik dan wafer. “Boleh coba yang ini, Mas. Rekomendasi lah!” Seorang wanita tiba-tiba mengatakan hal itu. Aydan tidak tau dia datang dari mana? Mungkin terbang kali. Aydan menoleh padanya, keningnya sedikit bergelombang. Wanita itu tersenyum lebar padanya. Aydan masih berusaha mengingat memori tentangnya. “Kau lupa padaku?” tanyanya. “Eh?” Aydan terdiam dengan kemasan wafer di tangannya. “Aku ragu mengatakannya, sepertinya kau bukan dia.” “Haha, siapa?” tanya wanita itu balik dengan senyuman manis. “Kau si pengantin itu?” tanya Aydan. “Ya! Kau benar. Apa tampangku tanpa riasan sangat jelek?” tanya Emilia. “Ahaha, bukan, bukan itu.” Aydan mengayun tangannya ke kiri dan kanan. “Malah kau lebih baik tanpa riasan,” jawab Aydan tersenyum heran, Emilia memang keliatan beda dari kemarin. “Oya? Kayak hantu ya?” tanya Emilia. “Haha, sedikit menyeramkan, tapi bukan karena mirip hantu.” “Jadi?” “Karena periasnya kurang pintar menghiasai wajahmu yang cantik.” Pipi Emilia memerah, jemarinya menutupi wajah. “Kau memujiku, aku jadi malu.” Aydan tertawa ringan. “Maaf, kalau aku terlalu jujur,” sahutnya. Emilia makin malu dan pergi meninggalkannya. “Hei, mau ke mana?” tanya Aydan tersenyum lebar. “Aku mau kerja.” Pipi Emilia masih merona karenanya. “Oh, baiklah.” Aydan pun melanjutkan belanjanya sampai selesai. Brrkk. Keranjang belanjaannya ia letak perlahan di atas meja kasir. Emilia pun menaikkan alisnya. “Udah semua?” tanyanya. “Mmh.” Aydan mengangguk. “Gimana masalahmu kemarin?” tanyanya. “Oh, aku gak pulang setelah itu.” “Kau tidak pulang? Lalu ke mana?” “Yah, aku tidur di rumah temanku - daripada aku dipaksa kawin lagi?” Emilia tersenyum kecut. Aydan melipat bibirnya dan mengangguk. “Kalau bisa dibicarain baik-baik, lebih bagus.” “Ayahku bukan orang yang bisa diajak kompromi.” “Mmh.” anggukan Aydan lemah. “Semuanya 78 ribu,” sahut Emilia mengatakan totalan belanjanya. Aydan mengeluarkan selembar uang merah lalu mengecek isinya. Emilia memberikan kembaliannya dan Aydan mengambilnya. “Apa aku ngambil cokelat ini tadi ya?” kata Aydan mengeluarkan sebatang cokelat sambil berpikir. “Hmm, apa kau mau membatalkannya?” tanya Emilia. Aydan mengerutkan dahi lalu meletakkannya di meja kasir lalu mendekatkannya pada Emilia. “Kurasa tidak perlu. Mungkin untukmu saja lebih baik,” sahutnya lalu pamit dari sana dan keluar. Emilia tertawa melihat alasan yang mengejutkan untuk seorang pria yang ingin memberikan cokelat untuk seorang wanita. Emilia memegang cokelat itu dan tersenyum bahagia. Sayangnya Aydan maupun Emilia belum pernah bertukar kontak apapun, jadi pertemuan mereka berdasarkan takdir saja. Aydan yang sudah berada di mobil itu pun tersenyum menatap ke arah Emilia yang menatap cokelat pemberiannya. Senyuman Emilia yang terbias dari kaca menjadi ingatan Aydan pagi ini. Bahkan saat dirinya ngemil, pikirannya pun melayang ke arah Emilia. “Selamat siang, Pak!” ucap Yuni membawa berkas ke ruangan Aydan setelah rapat. Aydan yang lagi mengunyah keripik mempersilahkannya duduk. Yuni melihat wajah bosnya sangat cerah hari ini, padahal kerjaannya sangat banyak. “Ibu mau?” tawar Aydan. “Ahaha, gak usah, Pak!” “Gak apa-apa.” Aydan memberikan 3 bungkus keripik untuknya. Yuni merasa segan kalau gak diambil. Sekretarisnya itu pun menerima pemberian Aydan lalu pergi dari ruangannya. “Yah, lumayanlah untuk teman ngetik,” kata Yuni sembari jalan ke mejanya. Aydan membuang bungkus cemilannya lalu kembali bekerja dan menghadap ke arah tumpukan kertas dan laptopnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD