"Kak, tangannya di jauhin dulu dong."
Samar-samar aku mendengar suara Alvira. Aku yang masih ngantuk, mencoba tidak menghiraukanya. Namun akhirnya aku merasa terusik, berusaha membuka mata yang masih berat. Pertama kali yang aku lihat adalah wajah Alvira sangat dekat. "Ada apa sih Vir, belum Subuh kan?" tanyaku dengan suara parau.
"Iya, masih setengah empat. Tapi lepasin dong kak lilitannya."
"Mau kemana?" tanyaku yang sudah memejamkan mata kembali.
"Ih, Kak lepas dong. Aku mau sholat malam ini, nanti keburu Subuh."
Mendengar jawabannya aku mengecup kening Alvira, sebelum melepas pelukanku. Yah semalam kami tidur berpelukan, tapi jangan mengikuti fikiranku yang akan terjadi iya-iya, karena Alvira sepertinya belum siap. Dia tidak menolak tidur berpelukan sepanjang malam bukankah merupakan adaptasi yang significant? serakah jika aku memaksa untuk mendapat sesuatu yang lebih. Apalagi sesuatu yang dipaksakan tidak akan berakhir baik. Biar kami mulai ini dengan perlahan.
Aku melihat Alvira turun dari tempat tidur kami, kemudian masuk ke kamar mandi. Rasa kantukku hilang sudah, akhirnya memilih duduk bersandar diatas tempat tidur.
"Tidak melanjutkan tidur kak? Subuh nanti baru aku bangunin lagi aja," tanya Alvira saat baru keluar kamar mandi. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Mau ikut sholat malam juga?"
Setelah aku mengatakan tidak, Alvira langsung melangkah menggelar sajadah dan memakai mukenah, siluet dirinya yang melakukan gerakan sholat, membuat aku berfikir beruntungkah aku mendapatkan wanita yang tidak pernah meninggalkan sholat? Bahkan masih menambah amalan sholat sunnah di kala kebayakan orang memilih terlelap termasuk diriku.
Apa rencana Allah terhadapku? Mendapatkan pasangan hidup yang mempunyai cara pandang sangat filosofis, taat melakukan ibadah dengan sifat keras kepala menjadi karakternya.
Tapi apapun itu, seperti apa yang dikatakan Alvira rencana Allah itu sungguh sangat indah, tinggal kita merealisasikan dengan tidak berpandang sempit melihat gelap atau kesulitan saja, karena sesungguhnya Allah mendatangkan gelap bersamaan dengan cahaya. Seperti takdir jodohku, seakan gelap dengan cara perjodohan namun terang karena dia perempuan berilmu dan keras pendirian, bahkan saat ini membuatku terusik apa aku pantas menjadi imamnya, saat pengetahuan dan perilaku ibadah Alvira menurutku lebih baik dariku.
__________
Tanggal merah seperti hari ini menjadi bonus quality time bersama keluarga. Aku melihat Alvira dengan kedua orang tuaku yang bercengkrama di taman belakang, semakin aku mendekat ketempat mereka berkumpul, disana aku juga melihat Keizia yang sedang menemani Tiara berenang.
"Sedang membicarakan apa?" tanyaku yang sudah duduk di kursi yang sama dengan Alvira, berhadapan dengan kedua orang tuaku.
"Astaugfirullah, bikin kaget aja kak!" protes Alvira dengan memandangku dan meletakkan telapak tangan kanannya di d**a.
"Serius banget, tidak biasanya kumpul seperti ini aku tidak diajak?" lanjutku yang tidak memperdulikan protes Alvira.
"Katanya Vira, kamu masih mandi Dik." Kali ini mama yang menjawab.
Aku yang membenarkan jawaban mama, tidak melanjutkan. Namun aku terpaku melihat interaksi kedua orang tuaku yang bisa sangat mesra meski usia tak lagi muda. Papa yang memeluk pundak mama, pasangan harmonis tak termakan usia.
Tidak mau kalah dengan pasangan di seberang kami, ku tarik pinggang Alvira untuk merapat, selalu saja respons wanitaku ini akan terkejut jika terkena sentuhanku. Mencoba acuh aku mendekatkan ke telinganya dan berbisik, "ganti baju sana, habis ini kita keluar."
Alvira langsung menoleh karena wajah kami yang bertemu hampir saja hidung kami saling bertemu, dia langsung menarik kepala menjauh. Indra pendengaranku mendengar suara cekikikan mama.
"Wah udah ada kemajuan nih," goda mama.
Aku mengacuhkan godaan mama, sedangkan Alvira hanya memberikan senyum kikuk ke mama dengan tanganya yang berusaha melepas tanganku dari pinggangnya. Semakin ingin menggoda, aku malah mendekatkan diriku dengan berbisik lagi, "ganti baju yang santai, kita hanya jalan-jalan."
"Mau kemana?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.
"PDKT sama istri," Alvira memicingkan matanya, setelah itu ia mengangguk sekali dan berdiri meminta izin pada orang tuaku untuk masuk kedalam.
Setelah Alvira izin masuk, akupun meminta izin untuk menyusul karena perlu memanaskan si kuda merah sebelum digunakan. Namun aku tidak lolos dari pertanyaan orang tuaku ada apa dan mau kemana, setelah dijawab mau ngajak menantunya jalan mereka tersenyum bahagia. Dan selamanya aku ingin melihat senyum itu, karena senyum itu yang membuatku memilih untuk memenuhi keinginan mereka. Termasuk menikah karena perjodohan yang tak pernah ada di list kehidupanku.
__________
Saat ini kami ada di salah satu mall besar yang ada di ibukota. Sudah hampir satu jam lamanya kita jalan menyusuri mall, namun kami belum masuk kesatu stand apapun.
"Kamu yakin tidak mau beli apapun?" itu pertanyaanku kesekian kalinya karena Alvira menolak tawaranku untuk beli baju, sepatu atau tas. Maksud menyenangkan hati Alvira dengan tiket belanja sepuasnya dariku, hasilnya hanya penolakan. Apa ia perempuan bisa jaim untuk urusan belanja, mengingat tanpa aku kan Alvira sudah belanja, yah meskipun itu di jadikan hadiah untukku dan Tiara.
"Kak Dika tadi ngajak jalan kan? Bukan ngajak belanja. Ya udah kesini jalan-jalan saja. Manjakan mata untuk melihat-lihat saja."
"Mana ada orang jalan-jalan ke mall bukan maksud belanja, Vira?" Pertanyaanku yang sudah mulai kesal.
"Ada, orang yang tidak punya uang tapi mau melihat-lihat saja saat dimall," jawabnya ringan tanpa beban.
"Tapi kita bukan orang yang tidak punya uang," desisku yang sudah sangat kesal.
Bisa di bilang aneh, aku justru kesal karena Alvira yang menolak untuk aku belikan sesuatu. Padahal untuk laki-laki lain kesempatan untuk menyelamatkan dompet dari jarahan perempuan pembuat kantong kering. Tapi masalahnya bukan takut kantong kering, membeli mall ini saja aku sanggup. Terlebih aku sudah menyiapkan diri dengan perempuan yang mengejar uangku, termasuk Alvira jika demikian. Menurutku tidak ada perempuan yang tidak konsumtif dan materialis. Tapi aku kesal karena tidak menyukai penolakan termasuk untuk membelikan Alvira sesuatu untuk membalas pemberiannya dua hari lalu dan juga imbalan karena sudah merawatku dengan baik saat sakit.
"Sudahlah kita masuk kesana, pasti ada yang cocok," putusku sepihak dengan manarik Alvira memasuki stand butik pakaian wanita.
"Selamat siang Kakak, ada yang bisa kami bantu?" Sapa pramuniaga dengan ramah terhadap kami saat baru memasuki butik tersebut.
"Mbak, tolong bantu istri saya mencari pakaian yang sesuai dengan dia," jawabku karena Alvira hanya diam.
Aku duduk di salah satu kursi yang di sediakan, dengan terus mengamati Alvira yang di sodorkan baju oleh pramuniaga namun ekspesi hanya diam tanpa menunjukkan keminatan. Hingga ia mendekat kearahku membawa sepotong baju seperti yang biasanya gunakan untuk keseharian. 'Benarkan bahwa kalau sudah masuk toko, tidak ada yang bisa membuat perempuan tidak membeli' batinku penuh kemenangan memaksa Alvira untuk membeli barang.
"Kak coba lihat ini," ucapnya dengan menunjukkan bandrol harga baju yang ia bawa. "Sayang sekali, sejuta setengah hanya di gunakan untuk beli sepotong baju kak. Kita pergi saja yuk," aku di buat heran lagi dengan pernyataannya.
"Kalau kamu mau beli itu tidak apa-apa, harga tidak masalah," Jawabku. "Mbak tolong bungkus baju itu," perintahku pada pramuniaga yang sedari tadi malayani Alvira.
"Mbak ma'af kita tidak jadi membeli," tolak Alvira dengan tegas. "Kak kita bicara diluar," lanjut Alvira dengan langsung meninggalkanku di butik tersebut.
Dengan menghela nafas, aku berdiri untuk menyusul Alvira. Namun aku sempatkan untuk meminta ma'af kepada pramuniaga yang melayani Alvira.
Alvira yang berdiri di koridor mall yang agak sepi, wajahnya ditekuk dan sangat tidak enak di pandang.
"Kak, tadi ngajaknya PDKT, akhirnya aku iyakan untuk kita jalan berdua. Seperti yang aku bilang semalam, aku ingin pernikahan ini menemukan kilau berliannya. PDKT cara yang bisa kita gunakan untuk saling mengenal dan bisa menentukan sikap yang tepat dalam pernikahan ini, menyelamatkan pernikahan yang di bangun tanpa cinta." Serangkaian kata yang lancar Alvira sampaikan saat aku sudah berdiri di dekatnya, menatapnya tajam. Dia mencuri start untuk marah, padahal disini aku yang seharusnya marah.
"Kak biar cepat proses mengenalnya. Profesiku seorang akuntan. Aku akan penuh perhitungan dalam mengeluarkan uang. Tolong jangan paksa aku untuk membeli sesuatu dengan harga fantastis namun aku tidak terlalu membutuhkannya, " sambung Alvira dengan nada yang lebih rendah.
"Kenapa kamu harus perhitungan masalah uang? Yang akan bayar pakai uangku." Suaraku meninggi. Untungnya koridor ini sepi, sehingga tidak akan jadi pusat pusat perhatian.
"Kak, kenapa kita harus bertengkar hanya masalah kecil seperti ini sih," desahnya, Alvira menyadarkan dirinya ke tembok toko.
"Kamu yang membuat masalah kecil ini jadi besar," balasku.
"Okey, mau kakak apa sekarang?" tanya Alvira yang mulai pasrah.
Perdebatan dengan Alvira membuahkan hasil, kini ia memasuki sendiri toko tanpa paksaan bahkan ia sudah enjoy untuk memilih apa yang akan ia beli, namun yang tak habis pikir toko yang dimasukinya itu sebuah toko buku.
"Persiapan masuk PT?" gumanku melihat buku itu ada keranjang belanjaan Alvira yang penuh buku.
Alvira tersenyum, "Nanti bayarnya sesuai budged kakak untuk membayar belanjaanku, sisanya aku bayar sendiri."
"Sudah aku bilang bukan masalah uang. Aku yang bayar semua belanjaan ini. Tapi untuk apa buku sebanyak ini?"
"Wah... Asyik nih dapat pahala tanpa mengeluarkan uang. Yaudah ayo kita bayar ini," ucapnya meninggalkanku menuju kasir.
Aku mengikutinya, saat kasir menyebutkan nominal belanjaan Alvira, kuserahkan credit card, semua transaksi menjadi selesai.
Setelah itu kami keluar, ada dua kantong belanjaan buku Alvira dia bawa sendiri. Aku tahu ia merasa berat secara belanjaannya kurang lebih ada delapan belas buku dengan ketebalan yang bervariasi. Tapi dia tak mengeluarkan kata minta bantuan, memilih membawanya sendiri.
"Sini kantongnya, aku bawakan."
"Terima kasih," ucapnya dengan menyerahkan satu kantong dan satunya ia bawa sendiri.
"Kak, kita duduk disitu dulu ya," lanjut Alvira dengan menunjuk salah satu bangku yang tersedia di bawah tiang penyangga.
"Kamu untuk apa buku sebanyak ini?" tanyaku saat kita sudah santa duduk bersebelahan. "Mau bikin perpustakaan?" Alvira mengangguk, sedangkan aku menaikkan salah satu alis memintanya untuk menjelaskan.
"Iya, buku itu mau aku sumbangin ke RB. Masih ingat seminggu lalu sebelum berangkat luar kota, aku meminta izin kakak untuk melakukan kegiatan sosialku di RB? Aku cek perpustakaan disana butuh penambahan buku. Kalau tadi lihat buku pelajaran atau soal seleksi PT bisa menunjang pendidikan anak-anak disana, terus aku lihat disana masih sedikit buku biografi nasionalnya, ya sudah aku beli itu. Terus kalau buku motivasi SDM itu untuk menjadi koleksi pribadiku, menambah wawasan kak. Anggap saja ini investasi buat kakak. Investasi amal. Meskipun tidak kelihatan besar profitnya seperti saham, namun ini bisa menjadi modal kita untuk terus menambah pahala amal. Secara setiap ilmu yang bisa di dapat anak RB dengan buku ini, kita dapat pahalanya. Apalagi ilmu dalam buku-buku tersebut diamalkan, kita akan dapat pahala juga. Padahal kebaikan amal kita hanya kita lakukan sekarang saja. Itu namanya beribadah cerdas kak," Penjelasan Alvira membuatku kagum. Baru kali ini aku bertemu orang dengan gaya berfikir yang out of the box.
"Aku pikir dari pada uang kakak habis untuk membeli baju, sepatu, tas yang harganya selangit, dan berakhir hanya sekali atau dua kali pakai, terus menjadi kain lap di dapur lebih baik di buat beli buku yang setelah kita baca, bisa kita simpan kalau sewaktu kita butuh bisa membaca kembali. di sumbangin juga mendapat pahala jariyyah," lanjut penjelasan Alvira.
"Jiwa sosialmu cukup tinggi ya."
"Perintah Allah, Habluminallah, habluminnas. Kita tidak hanya di perintah untuk beribadah, namun juga diperintahkan untuk peduli terhadap semama kita,"
Obrolan santai di bangku mall tersebut berlangsung lama, Alvira juga menyebutkan alasannya kenapa ia tadi menolak untuk membeli baju, tas, ataupun sepatu. Dia sedang tidak membutuhkan barang-barang tersebut dan tidak ada agendanya untuk membeli barang-barang tersebut. Sedangkan buku-buku yang di belinya, sebenarnya sudah diagendakan dan sudah membuat janji dengan sahabatnya untuk membeli, namun karena saat ini sudah ada dimall bersamaku, ya sudah beli sekarang saja.
Alvira juga meminta kerjasama denganku untuk tidak mengodisikan dia menjadi orang yang shopaholic dengan memaksanya belanja seperti tadi. Karena baginya perempuan itu punya tingkat perasaan yang tinggi. Pembuat keputusannya juga dengan perasaan. Alvira harus bisa melakukan kontrol perasaannya untuk tidak menjadi gila belanja, mengingat pekerjaannya sebagai Akuntan. Sangat mudah melakukan korupsi jika ia punya moral suka belanja. Saat keinginan belanjanya besar, dana tidak ada, maka tidak menutup kemungkinan saat iman lemah bisa mendorongnya melakukan hal tercela tersebut. Realitas nyata banyak yang bisa jadi contoh, tak perlu sebut nama takut ghibah. Tapi cukup kisah Rebbecca di film shopaholic bisa di jadikan pembelajaran.
_____________
"Kak, ini bukan jalan pulang," ucapnya dengan memperhatikan jalanan yang bukan jalan menuju rumah orang tuaku, aku tersenyum saja tanpa menanggapi.
"Kak kita masih mau kemana lagi sih?"
"Duduk manis saja, nanti kamu tahu sendiri," jawabku santai tanpa menoleh karena aku fokus untuk mengemudi.
Alvira dengan perasaan kesal karena tidak mendapat jawaban memilih untuk menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi penumpang. Bukan bermaksud balas dendam memberikan pengalaman rasa kesal karena tidak mendapatkan jawaban seperti apa yang sering ia lakukan saat aku bertanya. Namun kalau aku menjawab jadinya tidak akan surprise.
Kini mobilku sudah berhenti di depan gerbang sebuah rumah yang tak sebesar rumah kedua orang tuaku, namun tak bisa di katakan minimalis juga. Aku tekan klakson agar satpam segera membuka gerbang istanaku yang aku beli dengan hasil kerjaku.
"Ini rumah siapa Kak?" tanya Alvira penasaran, aku kembali menjawab hanya dengan senyum saja
Rasa penasaran Alvira bertambah, hal itu terlihat jelas dari mimik wajahnya terlebih saat satpam sudah membuka gerbang dan meberikan sapaan terhadapku.
Aku mengajak Alvira untuk memasuki rumah, "Ini rumahku," jelasku saat membuka pintu utama.
Aku menggandeng tangan Alvira untuk masuk, "Aku pikir sudah saatnya mandiri membangun rumah tangga kita."
Alvira hanya menatapku, melihat reaksinya yangtak mengeluarkan suara aku berharap cemas. Apa ia dia tidak mau untuk tinggaldisini berdua denganku? Padahal dari percakapan kita semalam dan juga di mall tadi aku memilih Alvira tempatku pulang.