Karena Sahabat

2284 Words
"Kak, Vir. Bilang dong sama Kak Dika tidak usah pindah. Tidak enak loh Kak tinggal berdua, sepi," rengek Keizia mencoba melakukan penawaran atas keputusan Kak Andika.   Semalam Kak Dika mengutarakan maksudnya untuk membawaku tinggal berdua saja dirumah yang dibeli dengan hasil kerjanya sendiri, rumah yang ia huni saat masih belum menikah. Dari sana aku tahu bahwa Kak Dika seorang yang mandiri. Papa mertua tentu saja tidak mempermasalahkannya, justru papa mendukung, menurutnya anak laki-laki harus bisa bertanggung jawab. Bukan hanya perusahaan yang sekarang di kelelola Kak Dika, namun terhadap keluarganya.   Lain papa lain pula dengan para perempuan yang ada di keluarga Herlambang. Mama mertua terasa berat melepas anak laki-lakinya yang sudah beristri, apa dia khawatir anaknya tidak terurus? bisa jadi mengingat sampai sekarang aku tidak pandai mengurus yang berhubungan dengan kerumahtanggan. Pekerjaan rumah yang aku bisa hanya sapu, pel dan membersihkan tempat tidur. Itupun karena aku tidak mau kamar pribadiku di masuki orang lain. Di luar itu aku angkat bendera putih, termasuk masak menjadi musuh terbesarku. Dan mama tahu itu, secara bunda-mama suka saling cerita dan kehidupan pernikahanku salah satu topik yang sering mereka bicarakan.   Memang sih, aku bukan anak pemilik perusahan seperti suamiku, tapi ayah seorang direktur di salah satu anak cabang Herlambang Group cukup mampu untuk mempekerjakan pembantu. Selama ini kesibukan di luar rumah membuatku semakin tidak tertarik dengan urusan logistik. Hal tersebut yang membuatku ragu, mengiyakan tinggal berdua, kalau aku bimbang apa lagi mama? Tapi karena di rumah Kak Dika ada maid yang mengurus hal tersebut akhirnya jawaban iya keluar dari mulutku.   Selain mama, Tiara juga tidak setuju tidak lagi serumah denganku dan Kak Dika. Si kecil itu bahkan minta untuk tinggal ikut dengan kami. Mengingat kami berdua akan sama-sama kerja, di rumah setiap harinya tidak ada orang, Kak Dika menolak dan menjanjikan bahwa setiap pekan akan berkunjung ke istana Herlambang, baru mama dan Tiara menyetujui keputusan Kak Dika.   Mama dan Tiara yang sudah mengiyakan untuk kami tinggal berdua. Mensisakan satu orang yang masih berat kami pindah yaitu Keizia dari semalam hingga sekarang juga masih bernego padaku untuk menolak ajakan Kak Dika. Seperti saat ini, kami dalam perjalanan kekantor masih harus mendengar bagaimana rengekan Keizia. Responsku hanya tersenyum sambil menggeleng melihat kelakuan Kei yang memang sejak kecil dia sangat akrab dengan kedua kakaknya. Tidak mau kalau tidak tinggal bersama. Kata mama dulu Kei sulit melepas kakaknya yang mau kuliah di luar negeri, tapi karena di Indonesia masih ada Kak Alexa, akhirnya tidak jadi menyusul Andika ke Amerika, jadi jangan heran kalau lihat Keizia seperti itu. Apalagi kakaknya sekarang hanya ada Andika.   "Kak Vira, ikut aja keputusan kakakmu. Masih di Jakarta Kei, dan masih sekantor juga, kan? Tiap pekan kita main ke rumah papa-mama kok," ujarku lembut memberi penjelasan sambil menengok ke kursi penumpang di belakang. Sedangkan Kak Dika fokus menyetir. Dia mencoba tidak menghiraukan rengekan si bungsu.   "Sudah, Kei diam. Kakak tetap akan tinggal berdua. Kamu masih bisa main kerumah, mau menginap juga tidak ada larangan, di rumah Kakak kamu juga punya kamar pribadi kan?" Kak Dika yang ikut bersuara membuat Keizia mengerucutkan bibir dan menghempaskan punggungnya malas ke sandaran kursi penumpang. Lantas ia memilih untuk melihat jendela, mengamati kepadatan jalan penuh kendaraan.   "Kei, nanti kamu bisa makan siang sama Alvira, Kak Dika setelah sholat jum'at makan siang dengan Angga." Pemberitahuan Kak Andika menarik attensiku untuk menoleh kearahnya.   "Hmm... Kei, maaf. Kak Vira sudah ada janji makan siang sama sahabat Kakak," ucapku dengan mengalihkan pandangan ke belakang, lokasi Keizia.   "Apa tidak bisa di cancel makan siang sama sahabatmu itu?" tanya kak Andika, yang aku jawab dengan menggelengkan kepala.   "Kamu selalu memprioritaskan sahabatmu itu," desis Kak Dika dengan nada yang sepertinya tidak suka.   "Bukan, seperti itu..."   "Tidak apa-apa kok kak, Nanti Kei juga di minta tolong papa jemput Tiara," potong Keizia sebelum menyelesaikan kalimatku.   Aku mengangguk mengerti atas ucapan Keizia yang tidak ingin suasana panas di pagi hari hanya masalah kecil. Kak Dika yang tak mengeluarkan suara begitu pula dengan Keizia. Aku menghempaskan tubuhku pada sandaran kursi.   Saat memejamkan mata, menenangkan diri agar tidak tersulut emosi karena aura Kak Dika dengan mode silent. Ini masalah kecil tak perlu berujung perdebatan. Toh, Keizia akan makan sama siapa sudah terselesaikan. Aku mengingat sesuatu yang langsung membuatku membuka mata dan menoleh ke Kak Dika.   "Kak, buku-buku yang kemarin kita beli ada dimana?"   "Di bagasi." Aku langsung menghembus nafas lega, tidak ketinggalan di rumah. Namun jawaban singkat itu membuat suasana mobil menjadi sunyi karena tidak ada pembicaraan lagi. Kak Dika fokus mengemudi, Keizia yang biasanya cerewet sekarang sibuk dengan ponselnya.   _______________   "Vir, ayo ke lokasi," ajak Ayunda dengan membawa blackfores yang ada dalam boks persegi serta dua kotak lilin angka diatas box belum di buka.   "Sebentar, gue ke pantry dulu ya. Mau panggil OB dulu, minta tolong bawa itu buku-buku," ucapku sambil menunjuk 2 kantong plastic di bawah mejaku.   "Buat apa?" tanya Ayunda.   "Kamu mau bantu bawa ke RB?" Ayunda langsung menggeleng, karena dia langsung memahami siapa yang akan aku minta tolong untuk bawa buku-buku berat itu ke RB.   Aku meninggalkan Ayunda di kubikelku. Di Pantry aku bertemu dengan Didi salah satu official. Setelah aku sampaikan permintaan tolong dan memberikan uang dua puluh ribu, aku balik lagi ke ruang kerjaku. Menjemput Ayunda yang sudah duduk manis di kursi kerja milikku.   "Katanya mau panggil OB, mana orangnya?" tanya Ayunda saat aku sudah ada disamping kubikelku.   "Habis ini Didi kesini."   Ayunda langsung berdiri, dan itu memberiku akses mengambil kantong plastik yang berisi buku untuk di letakkan di atas meja, agar Didi langsung tahu tanpa mencari. Aku mengambil dompet dan ponsel sebelum berjalan bersisian dengan Ayunda meninggalkan ruangan menuju kantin. Baru akan membuka pintu ruangan, "Oops... Yun sebentar, ada yang kelupaan," ucapku dengan menepuk kening.   Aku langsung berjalan dengan langkah lebar menuju kubikelku lagi. Saat ada di meja, aku langsung meraih tas kerja dan mengambil kotak kado yang kemarin aku sudah rangkai dengan foto dan juga beberapa kalimat ucapan tentunya.   "Hampir saja kelupaan," ucapku dengan menggoyangkan kotak kado 5 x 5 cm di hadapan Ayunda. dan Ayunda hanya menggeleng kepala tanpa bicara lagi kami berjalan meneruskan tujuan kami.   "Double A," panggil seseorang menghentikan kami untuk masuk ke Kantin. Karena suara dan julukan itu khas, kami sangat mengenalnya.   Saat kami menoleh, disana ada Radith bersama, oh tidak! itu Kak Dika dengan tuan rumah dari pesta yang waktu itu aku dan kak Dika datang. Nampak Radith sedang berbicang sebentar sebelum akhirnya melangkah mendekati kami. Aku masih saling bersitatap dengan Kak Dika yang bahasa tubuhnya tidak menampakkan persahabatan. Ia menatapku tajam.   "Wah, blackfores. Maksa tetap dirayakan?" Suara Radith yang sudah ada di depan kami.   "Kalau tidak di rayakan nanti ada yang nyin-nyir," sindir Ayunda, dan aku hanya tersenyum.   "Vir, lo boleh ajak suami lo join sama kita?"   Aku hanya menggeleng mendengar perintah Radith. "Lain kali saja, Kak Andika lagi sama seseorang."   "Ya udah yuk, cari meja dulu sebelum kehabisan," ajakan Ayunda dan kami hanya mengiyakannya.   Saat ini kami sudah duduk di salah satu meja kosong. Tidak jauh dari meja yang aku duduki, disana ada Kak Dika dengan temannya yang sama. Kak Dika kok duduk di area makan karyawan, mengingat kantin ini menyediakan area VIP khusus petinggi perusahaan makan, maklum mereka orang bisnis bukan sosial yang bisa bergaul dengan kalangan beda strata ekonomi.   "Vir, sepertinya suami lo ngawasi kita. Apa gak mending lo ajak join mereka?" tanya Radith sekali lagi.   "Nanti gue yang bicara sama dia, sekarang kita mulai acaranya yuk," ucapku berusaha riang tak memperdulikan ucapan Radith yang ada benarnya.   "Selamat ulang tahun Radith." Ucapan tulus aku dan Ayunda saat lilin angka 25 menyala diatas blackfores.   Radith tersenyum, menarik blackfores dan meniup lilin. "Terima Kasih." Setelah lilin padam.   "Dith, sorry perayaannya sederhana sekali, tidak seperti tahun-tahun sebelumya."   Aku merasa bersalah atas ulang tahun Radith yang sekarang tidak ada spesialnya sama sekali. dan itu karena perubahan status baruku. Padahal tahun-tahun sebelumnya kami selalu merayakan di tepat malam pergantian hari di rooftof rumah Radith. Kami membuat tenda, melihat bintang, ditemani cemilan dan saling bercerita dan terkadang memutar murottal sebagai penghayatan di tangah malam. Baru jam tiga kami ke masjid bersama, melaksanakan sholat malam dan berdoa kepada yang maha segala hingga menunggu subuh berjama'ah dengan warga.   Perayaan seperti itu tidak hanya saat ulang tahun Radith, namun kegiatan yang sama saat ulang tahunku, Ayunda dan Kak Aisiyah kami akan menginap di rumah yang hari itu berulang tahun.   Namun mulai tahun ini tidak ada lagi perayaan seperti itu, karena aku yang sudah menikah dan rumah kami yang tidak lagi berdekatan membuat hal tersebut imposible dilakukan.   "Dith, ini hadiah dari gue. Tidak ada nilai material, karena yang punya nilai material lo sanggup membeli sendiri. Itu gue hasil tangan gue khusus buat lo."   Radith meraih kotak hadiah gue, langsung saja ia buka membuat kertas ucapan dan foto berbaris pada pita diantara penutup dan kertas kado. Ia tersenyum membaca ucapan ulang tahun di kertas pertama, kemudian foto Radith masih kecil, berlanjut doa harapan buat dia, Foto ViRafa, motto hidup yang pernah dia ucapkan. Foto terakhir itu kami berempat Aku, Radith, Ayunda, dan Kak Ais dan di tutup tulisan "You're one of the best in our lives."   Radith tersenyum melihat hadiahku. "Thanks, Vir, Ayunda perayaan birthday hari ini. Kalian tidak lupa itu hadiah terindah buat gue," ucap Radith dengan menata kembali kertas dan foto itu seperti semua masuk ke kotak kado. "Double A, you are also one of the best in my life."   Setelah Radith mengatakan kami salah seorang terbaik dalam hidupnya. Kami bertiga sama-sama tertawa. Kami menyadari bahwa bahagia itu sederhana. Mengungkapkan bahwa sahabat yang kita miliki itu sangat berharga, sudah mampu membuat kami tertawa. Karena nyatanya bukan hanya ungkapan cinta yang perlu di nyatakan. Namun keberadaan sahabat yang memberi warna dalam hidup kita, dan menjadi salah seorang penting dalam hidup kita perlu kita ungkapkan. Agar ia tahu bahwa kita tidak pernah melupakannya. Kita ada bukan hanya saat kita butuh sahabat dan berbagi kesedihan. Saat senang kita juga berbagi kebahagian dengan mereka.   __________________   "Vir, gue langsung pulang saja ya!" ucap Ayunda saat aku baru turun dari motornya   "Thank's Yun."   Setelah Ayunda menghilang dari pandangan, aku menghembuskan nafas lelah. Bagaimana tidak setelah makan siang aku dan Ayunda kembali bekerja. Jam empat sore kami dengan motor Ayunda ke RB, karena hari jum'at jadwalku berkunjung. Namun bukan hanya pekerjaan yang punya kata 'hatic', RB juga bisa karena kami berbagi kebahagiaan ultah Radith disana. Kak Ais yang mempersiapkan semuanya, mulai tumpeng nasi kuning, kue, dan juga beberapa barang yang di jadikan hadiah untuk adik-adik disana. Meskipun acaranya heboh, menyenangkan dengan beberapa game namun tetap saja setelah acara selesai rasa lelah it terasa.   "Assalamualaikum," salamku saat memasuki rumah.   "Waalaikum salam," jawab Bunda.   Kok bisa bunda? karena hari ini aku pulang ke rumah orang tuaku. Sebelum ke RB aku sudah izin ke Kak Dika kalau aku ke RB dan pulangnya nanti diantar Ayunda. Namun balas kak Dika akan menjemput, daripada bingung cari alamat RB lebih baik aku suruh Kak Dika ke rumah orang tuaku. menunggu disana sekalian istirahat.   Aku langsung menghampiri Bunda, mencium tangan bunda. "Ayah dan Vania kemana Bun?"   "Dikamar. Kok baru pulang sih Vir? Suamimu dari habis maghrib disini." Aku hanya meringis mendengar pertanyaan sekaligus pernyataan bunda. Sekarang sudah jam 8 kurang 10 menit, Kak Dika disini kurang lebih dua jam sendiri. Sepertinya salah aku menyarankan Kak Dika untuk beristirahat di rumah orang tuaku.   "Kak Dika di mana Bun?"   "Bunda suruh istirahat di kamarmu. Sana temui dulu, terus ajak ke bawah kita makan malam!" Aku hanya mengangguk dan mengikuti perintah bunda.   "Vir," panggil bunda saat aku baru menapakkan kaki di anak tangga pertama, berhenti dan menoleh ke bunda.   "Ada apa Bun?"   "Kurangi kegiatanmu di luar rumah, termasuk ke RB. Ada Nak Andika yang seharusnya kamu juga perhatikan!"   Langsung bahuku lemas mendengar ucapan bunda. Aku sepertinya masih belum terlalu siap dengan perubahan hidup yang terlalu mendadak. Aku sudah mencoba menerima pernikahan ini, Aku sudah mengurangi jadwalku ke RB, namun kalau bekerja aku terikat jam kerja. Lantas apa aku harus melepas duniaku karena sekarang aku seorang istri?   Tanpa menjawab aku langsung naik ke atas dengan badan yang lelah semakin lelah setelah mendengar ucapan bunda.   Di kamar, kak Dika sepertinya tertidur di atas tempat tidur dengan posisi duduk yang bersandar pada bantal menyanggah punggungnya.   Aku meletakkan tas di atas meja rias, kemudian masuk kamar mandi untuk membasuh muka, agar lebih segar. Setelah itu, aku langsung menghampiri kak Dika, sepertinya ia capek sampai tidak terusik kasur bergerak karena aku mendudukinya. "Ma'af aku masih belum bisa menjadi istri yang baik buat kamu," lirihku.   Ku tepuk pelan lengannya. "Kak bangun, Kak Dika."   Eeghrr... erangnya yang terusik dan dia mulai mengerjapkan mata menyesuaikan dengan pengcahayaan di kamar.   Saat membuka mata, Kak Dika langsung menatapku tajam. "Siapa laki-laki itu?" tanyanya ketus.   "Maksud kak Dika siapa? Radith?" tegasku. "Bukannya kakak tadi ada meeting sama dia setelah makan siang?"   Lokasi perayaan ultah Radith di kantin kantorku, agar efektif. Radith akan rapat dengan Kak Dika membahas supply furniture dari Praoyoga Group untuk apartment yang sedang tahap pembangunan milik Herlambang Group. Aku tahu itu karena Radith bercerita saat kami makan siang.   "Apa hubunganmu sama dia?"   "Tidak usah seperti mengintimidasi kak, Radith itu sahabat aku," jawabku berusaha tenang, tidak terpancing dengan nada kak Dika.   "Sahabat, atau.."   "Kalau kakak tidak percaya bisa pastikan Ayah Bunda di bawah. Di rumah ini Radith sudah seperti keluarga sendiri," potongku yang sedikit terpancing karena dia tidak mempercayai apa yang aku katakan.   "Seperti keluarga? Spesial sekali hubungan kalian, sampai kamu mau membuat kado spesial di ultahnya?"   "Kak, tolong jangan pancing amarahku, aku lagi capek. Radith beneran sahabatku. Dia spesial karena dia sahabat terbaikku, kami berteman sejak masih TK. Apa arti hadiahku itu hanya lembar kertas yang tak bernilai?"   "Terus apa arti kata yang dia ucapkan saat kalian makan siang? you are also one of the best in my life. Aku mendengarnya" suara kak Dika yang mulai meninggi.   Aku hanya memejamkan mata menerima luapan emosinya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD