Karena Keluarga

1091 Words
Sahabat adalah salah satu anugerah Allah yang paling besar sangat aku syukuri. Sebagian besar hidupku selama ini bersama sahabat. Mereka lingkunganku. Mereka yang memberiku warna dalam hidup. Mungkin karena sebagian besar waktuku lebih sering dengan sahabat, hingga wajar secara kepribadian aku lebih terlihat seperti para sahabatku dibandingkan gen keluarga yang mengalir di darahku.   Kenapa sahabat begitu berharga buatku? Lihatlah berapa besar peranan sahabat dalam mewarnai hidup seseorang. Hadist Rosul saja mensabdakan jika ingin mengetahui bagaimana kepribadian seseorang maka lihatlah dengan siapa dia berteman. Karena mereka bisa berteman dengan yang memiliki kesamaan untuk melakukan aktifitas bersama, kalaupun ada yang bertentangan itu bukanlah hal yang significant dari kepribadian mereka.   Aku ceritakan semua bagaimana persahabatanku dengan Radith yang selama ini terjalin. Jika Radith adalah kawanku sejak kecil hingga sekarang, dua puluh tahun kita berteman. Banyak kisah perjalanan hidup yang kita buat. Bukan hanya susah senang bersama namun bagaimana menjadi pribadi yang bermakna, menjadi pribadi yang memberi manfaat untuk sesama serta menjadi pribadi yang mampu membanggakan orang di sekitar kita.   Jika untaian kisah yang begitu berharga aku, Radith dan para sahabatku yang lain kita lewati bersama, tidak salah bukan jika mereka menjadi orang yang begitu spesial dalam hidupku. Karena sahabat sama berharganya seperti keluarga.   Dengan begitu, tidak mudah menuruti keinginan Kak Dika yang tidak menyukaiku berteman dengan Radith. Katakanlah aku seorang istri yang menurut sebagian orang adalah pembangkang. Sebutan apapun yang akan di berikan kepadaku akan kubuktikan bahwa memandang perilaku yang tetap menjalin persahabatan dengan orang-orang baik di sekitar kita itu adalah ukhwah islamiah. Itu perintah tuhan dan disitu kekuatan islam untuk mengembalikan kejayaan islam dan membangun peradaban bangsa kita yang masih berkembang.   Aku maklum jika seorang Rafif Andika Herlambang, tidak menyukai keakrabanku dengan Radith. Dia orang baru dalam kehidupan. Dia orang baru yang belum mengenalku dan ia orang baru yang tiba-tiba menjadi suamiku. Begitu pula sebaliknya. Kami orang baru yang sama-sama belajar menjalani pernikahan. Mencari titik temu perbedaan untuk melengkapi dan mencari persamaan untuk bekerjasama. Kami butuh komunikasi untuk meluruskan semuanya.   "Kya.... Kak Vira," suara heboh adikku Vania mengembalikan kefokusanku yang masih berkumpul di ruang keluarga bersama ayah, bunda, Kak Dika, dan Vania. "Kak, kok gak bilang gue, hari ini Kak Radith ultah. Gak dapat traktiran dong," lanjutnya lagi sedangkan tangannya dan arah pandangannya fokus pada ponsel yang di otak-atik sedari tadi.   Aku memutar bola mata jengah dan menghembuskan nafas. Masalah yang di dalam kamar belum selesai, haruskah nambah masalah lagi di sini karena kehebohan Vania. Kulirik Kak Dika yang berada di sampingku. Dia memanglikan wajah yang tak melihatku. Namun aku tahu dia terliputi emosi, terlihat jelas dari tangannya berada di sofa sedang terkepal.   Ku urai tangan yang terkepal itu, dan kutautkan jari-jari kami. Ia tidak menolak. Antara memang ia tidak mau melepaskan genggaman, atau ia memang tidak ingin menolak takut keluargaku tahu ada kejanggalan diantara kami.   "Oh, ya. Hari ini tanggal lahir Radith," guman ayah, aku hanya memaksakan untuk tersenyum.   "Ya.. Allah, Vira. Kok tidak mengingatkan Bunda sih. Bunda lupa tidak buatkan Radith tumpeng dong," seru Bundaku.   "Yah, Bun. Ini mereka sudah ada tumpeng," jawaban Vania dengan menyodorkan ponselnya yang menampilkan foto Radith memotong tumpeng, Disebelahnya ada Ayunda, Kak Ais dan aku.   "Mana Vira tahu kalau Bunda lupa hari ini ulang tahunnya Radith," jawabku.   "Kan biasanya kamu izin kalau mau kerumah..." ucapan bunda terhenti dengan memicingkan mata terhadapku. "Semalam kamu tidak kemana-mana kan?"   "Nih, tanya orang di samping kalau semalam Vira ada di rumah," jawabku dengan menyenggol lengan Kak Dika. Dan itu berhasil membuat Kak Dika menoleh kepadaku.   Bunda tahu bahwa aku tidak akan membohonginya, sehingga dia langsung diam. Namun sikap Kak Dika akhirnya disadari keluargaku juga.   "Vir, sudah pernah mengenalkan Dika dengan Radith atau yang selainnya?" tanya Ayah dengan santai. Aku menggeleng dan di balas respons ayah hanya menghembuskan nafas.   "Andika, kamu bisa berkenalan dengan Radith. Dia sudah seperti kakak bagi Alvira dan seperti anak sendiri di keluarga ini. Sebenarnya masih ada satu lagi laki-laki yang statusnya sama seperti Radith, nanti kalau sudah di Indonesia kamu siapa orangnya," saran ayah yang sepertinya peka akan kediaman Kak Dika. Mungkin sesama lelaki sehingga peka kondisi kaum mereka tidak suka pembahasan lelaki lain yang dekat dengan pasangan mereka atau karena Ayah seorang manager yang berinteraksi dengan banyak orang, mampu melakukan organizing SDM sehingga cepat membaca kondisi seseorang.   "Iya, Yah. Pembangunan apartemen yang ada di Bekasi, supply furniture dari Prayoga Group. Siang tadi kami sudah meeting," jawab Kak Dika.   Ayah memberikan senyum simpul, "Ayah harap kerjasama itu menjadi media kalian bisa menjalin hubungan interpersonal bukan sekedar professional saja."   Kak Dika dalam mode diamnya hanya mengangguk. Karena kondisi saling diam dengan melihat TV di ajang pencarian bakat suara, aku mulai jengah dan mengantuk.   Aku menepuk lengan Kak Dika untuk izin istirahat lebih dulu, namun nyatanya ia juga mengikuti untuk masuk kamar. Mungkin kami memang sama-sama sedang lelah.   "Vir," panggil Kak Dika saat kak Dika baru menutup pintu kamar.   "Hmm," gumanku menunggu kelanjutan apa yang akan di katakan Kak Dika.   "Ma'af tidak mempercayaimu bahwa kalian tidak ada hubungan apa-apa"   Aku tersenyum, "Pernikahan ini tidak di bangun dengan landasan mengenal apa lagi cinta. Aneh jika kakak bisa mempercayaiku dengan mudah, bermodal aku istri kakak. Vira menganggap sikap kakak hari ini wajar. Mungkin Vira melukai harga diri kakak sebagai suami, atau sudah tumbuh rasa di hati kakak untuk Vira. Apapun itu penyebabnya, ego atau cinta, bukan masalah. Setidaknya kejadian hari ini bisa diambil hikmah ada scene kehidupan yang menjadi media kita saling mengenal. semoga kejadian hari ini menjadi akar yang menumbuhkan kepercayaan dan mensemikan cinta di hati kita. Hingga kita sama-sama berhasil membangun pernikahan ini."   Seketika Kak Dika langsung menarikku dalam pelukannya. Ia mencium keningku lama. Tak bisa ku pungkiri aku sedikit terkejut dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Aku memejamkan mata untuk menikmati penyaluran rasa yang Kak Dika coba sampaikan. Saat itu aku merasakan hatiku berdetak lebih cepat dari biasanya, mungkinkah aku sudah mulai menaruh rasa? Ku gerakkan kedua telapak tanganku untuk berada di dadanya. Aku merasakan dadanya berdetak cepat sepertiku. Jika memang aku sudah benar merasakan cinta, setidaknya aku tahu perasaanku berbalas dengan detak jantungnya yang tak mungkin berbohong.   Setelah Kak Dika mengurai pelukannya aku mengangkat wajahku hingga pandangan mata kami bertemu. "Kamu selalu memukau buatku saat bibirmu ini mulai berfilosofi. Kamu mengenalkanku untuk berpandangan luas, mengajariku bijak dalam bersikap di setiap kejadian. Asal kamu tahu, dulu aku selalu memandang perempuan hanya obyek yang mengincarku karena harta untuk memuaskan hobi mereka berbelanja dan berkumpul dengan perempuan sosialita lainnya. Satu bulan aku jalani hari bersama-mu, kamu merubah semua itu, Kamu perempuan yang berbeda, tapi untuk menjawab apakah sudah ada rasa untuk kamu, aku tidak dapat menjawabnya. Aku tidak tahu ataupun menyadarinya."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD