Andika POV
"Kak Dika... Kak, kita harus kerumah sakit sekarang," cecar Keizia yang langsung masuk tergesa-gesa dengan mata sembab karena air mata yang mengalir deras. Ia mendekatiku yang sedang memeriksa berkas.
Melihat keadaan adikku yang sudah menangis seperti itu membuatku langsung bangkit dari kursi kebesaranku, meninggalkan berkas yang meminta perhatianku. Langsung ku dekap tubuh yang sudah berguncang itu, menangis dalam pelukanku hingga kemejaku basah. Aku usap puncak kepalanya. "Ada apa Dek? Kok sampai nangis begini?"
"Papa Kak.. Papa.. hiks..hiks," rancau Keizia masih dalam dekapanku.
"Iya.. Papa kenapa? Kamu tenang ya. Ada apa dengan Papa?"
"Papa Kak, hiks. Papa kritis Kak. Papa di rumah sakit sekarang."
Deg! seakan duniaku berhenti. Akupun hanya mematung. Tanganku yang aku gunakan untuk mengusap puncak kepala Keizia pun juga berhenti. Bagaimana papa bisa tiba-tiba kritis begini.
"Kak ayo kita kerumah sakit sekarang Kak," suara Keizia menyadarkanku. Aku melepas pelukan pada Keizia.
seketika aku mengambil jas yang tersampir di sandaran kursi serta kunci mobil. Kemudian aku memeluk kembali tubuh adikku serta ku bimbing dia meninggalkan ruangan hingga keparkiran. Ku bukakan pintu penumpang. mendudukkannya dengan hati-hati. Setelah itu aku memutar dan duduk di belakang kemudi. Dan Buggaty yang saat ini aku bawa sudah melesat meninggal parkiran kantor. Namun sebelum itu aku sudah menanyakan dimana Papa di rawat.
Mobilku sudah terparkir di rumah sakit milik Om Aldy suami dari adiknya Papa. Rumah sakit yang akan merawat keluarga besar kami. Dengan perawatan VVIP kelas 1. Aku langsung menuju tempat dimana papa di opname. Di kursi tunggu depan kamar rawat, aku melihat mama menangis. Setengah berlari aku dan Keizia mendekati Mama.
"Ma..."
"Ma..," ucap aku dan Keizia bersamaan. dan itu membuat Mama mengangkat wajahnya. Kemudian mama berdiri dari duduknya dan berhambur memelukku.
"Dika.. bagaimana kalau Papa tidak bisa diselamatkan," rancau mama
"Ma.. tenang ya.. Papa kuat kok. Papa baik-baik saja," usahaku menenangkan Mama. Kemudian membimbing Mama untuk kembali duduk di kursi tunggu. Mama tetap dalam dekapanku sedangkan Keizia sudah duduk di sampingku dan kepalanya ia sandarkan kedinding.
"Ma.. cerita ya kenapa papa kok tiba-tiba drop seperti ini? Apa yag terjadi?"
“Hiks.. hiks.. Papamu tadi itu jemput Tiara disekolahnya. Saat Papa sudah sampai di sekolah, hiks hiks.. Tiara sedang ada di minimarket sebrang sekolahnya membeli Es krim. Ketika Tiara keluar lihat papa, Tiara langsung menyebrang tanpa lihat keadaan. Dan saat itu ada mobil yang ngebut. Papa berteriak menyuruh memperingati Tiara. Saat itu Papa ambruk dik.. Hiks.. Hiks bagaimana kalau Papa tidak bangun lagi Dika?" cerita mama dengan pundaknya yang bergetar tetap dalam pelukanku.
"Udah ya Ma, Mama tenang. Sebaiknya kita berdoa buat papa saja. Sekarang bagaimana kondisi Tiara?" usahaku dalam menenangkan Mama, dan juga kekhawatiranku akan kondisi keponakanku Tiara. Serta sesekali aku lihat Keizia yang terus menangis bersandar pada dinding membuatku menariknya untuk berada dalam dekapanku juga.
"Tiara tidak apa Dik. Mobilnya langsung rem mendadak. Sehingga Tiara tidak sampai ketabrak," jawab mama.
cekrekk...
Tak lama suara pintu di buka dari ruangan papa di periksa. Aku melepas pelukanku pada kedua wanita yang terpenting dalam hidupku. Setelah itu aku langsung berdiri untuk menanyakan kedokter bagaimana kondisi papa dan dikuti mama dan keizia yang ikut berdiri.
"Dok bagaimana kondisi Papa saya, Dok?" tanyaku saat dokter baru keluar dari ruangan Papa.
"Iya Dokter bagaimana keadaan suami saya?" cecar Mama, sebelum dokter menjawab pertanyaanku.
"Keluarga pasien tenang aja. Kondisi pasien sudah membaik, sekarang pasien sedang istirahat. Tolong dijauhkan pasien dari sesuatu yang membuat beliau kaget. Itu sangat tidak baik untuk kondisinya. Sekarang saya tinggal dulu ya pak, bu," penjelasan dokter yang menangani Papa.
"Apa kami bisa masuk Dok?" Kulihat dokter itu mengangguk.
"Tolong tenang, biarkan pasien istirahat dulu," pesan dokter sebelum meninggalkan kami bertiga.
Akhirnya kami bertiga masuk menunggu Papa sadar. Hingga 3 jam lamanya mata papa masih terpejam. membuat mama yang menangis akhirnya tertidur. Sedangkan Keizia aku suruh pulang dengan taksi untuk menjaga Tiara di rumah sendirian. Aku melangkah mendekati Papa yang sedang terbaring. Aku amati wajah Papa yang memang hampir mirip denganku itu sedang tertidur lelap dan lemah. Dalam proses pengamatanku, Aku melihat seakan mata itu bergerak. Hingga akhirnya Papa berhasil membuka matanya. Setelah itu aku lihat Papa memaksakan tersenyum pada ku.
"Papa udah sadar?" tanyaku yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban. ketika mata itu terbuka.
"Haus dik," dua kata itu yang kutangkap membuat aku mengambil gelas yang berisi air diatas nakas samping bankar Papa.
Aku bantu untuk minum, yang hanya di minum beberapa teguk saja. Setelah itu mengembalikan ke nakas lagi.
"Bagaimana keadaan Tiara, Dika?" tanya papa kemudian.
Tak habis pikir papa yang masih terkulai lemah. Masih memikirkan kondisi orang lain ya walau itu adalah cucunya. Mungkin itu yang di sebut kasih sayang atau kepedulian.
"Tiara baik-baik saja Pa. Sekarang Tiara lagi di rumah. Di jaga Keizia"
"Alhamdulillah kalau Tiara baik-baik saja. Dik Bisa minta tolong telfon Om faiz suruh kesini," pinta papa kemudian. dan hanya aku jawab anggukan kepala.
Setelah aku hubungi Om Faiz, menyuruh kerumah sakit menggunakan ponsel Papa. karena aku tidak punya kontak telfon keluaga om Faiz.
Aku membangunkan Mama, memberitahu kalau Papa sudah sadar. Setelah itu juga memanggil dokter untuk keruangan rawat Papa.
Setelah Papa di periksa dokter dan dinyatakan kalau Papa membaik, aku pun menghela nafas lega. setelah itu meninggalkan Mama kekantin. Karena aku baru sadar kalau aku belum makan siang, dan sebentar lagi sudah masuk waktu maghrib.
Aku kekantin membeli makanan yang mana aku putuskan untuk membawa keruang rawat Papa saja. Aku bawa dua cup coffee untuk aku. Untuk menjaga Papa agar tak terlelap aku butuh kafein. Teh hangat untuk mama. Dua bungkus nasi serta camilan dan tak lupa buah dan lupa beberapa botol air mineral.
Saat aku membuka pintu ruang rawat Papa. Tak ada sosok Mama di ruangan Papa. Namun dibankar samping papa ada Om faiz. Rupanya Om Faiz sudah datang.
"Om," sapaku dengan menjabat tangan dan mencium punggung tangan Om Faiz. Hanya senyum dan tepukan pada pundakku sebagai jawaban sapaanku.
"Dari mana Kamu Dik?" tanya Papa.
"Habis dari kantin Pa. Mama kemana?"
"Mama di sini Dik" suara Mama yang langsung muncul dari kamar mandi.
"Mah ini, Dika belikan Mama Nasi. Mama makan dulu." Dan aku lihat Mama melangkah mendekatiku, mengambil kesek yang aku bawa. Kemudian menata di kulkas dalam kamar rawat, setelah itu di sofa.
"Sudah makan Om?" tanyaku dengan mengeluarkan dua cup coffee dari kresek kecil.
"Sudah kok Dika"
"Ini om coffee," sambil aku sodorkan satu cup gelas sedangkan satu cup lagi aku pegang.
"Terima kasih," jawab Om Faiz, setelah menerima satu gelas coffee yang aku sodorkan. Setelah itu aku duduk di sofa bergabung dengan mama.
"Iz, habis ini Magrib. Kamu sholat disini, jadi imam. Aku pengen sholat berjama'ah," ucap Papa ke Om Faiz yang mampu tertangkap indra pendengaranku. Dan interaksi itu menarik attensi untukku memperhatikannya
"Sial, kamu Hend. Jangan bilang kamu suruh aku kesini kamu hanya butuh imam sholat?" canda Om faiz menghibur Papa yang terbaring dan itu ternyata berhasil membuat Papa terkekeh walau itu lemah.
"Lalau iya kan tidak apa-apa, Iz," jawab Papa santai.
"Dika, tolong bantu Papa ke kamar mandi. Papa mau ambil wudlu," perintah papa yang aku nilai tidak memberikan aku kesempatan duduk. Namun akupun akhirnya bangkit lagi untuk membantu Papa turun dari ke bankar. Ke kamar mandi selanjutnya naik kembali ke bankar.
Setelah itu aku, Om faiz, Mama dan aku bergantian mengambil wudlu karena adzan magrib telah berkumandang. Dalam kekhusyu'an kami pun melaksanakan sholat. dan Dan tidak sesuai dengan apa yang Papa ucapkan. Karena sekarang yang jadi imam sholat Maghrib itu aku.
Setelah itu aku kamipun berdo'a. Dalam keheningan aku mendo'akan Papa. Setelah itu kami bersalaman dengan aku mencium punggung Om Faiz, Mama dan Papa secara takzim.
Saat aku mencium punggung tangan Papa, saat itu hatiku berdesir. muncul kekaguman pada Papa. Papa yang sakit tidak meninggalkan sholat. Sedangkan aku terkadang hanya urusan rapat atau dijalan meninggalkan sholat.
"Dika.. Papa mau bicara serius sama kamu, Mama dan juga Om Faiz," ucap Papa setelah aku melepas tangan tangan Papa waktu aku mencium punggung tangannya.
"Ma, Faiz. Tolong mendekat. Ada yang mau aku bicarakan serius," ucap Papa. Dan aku masih berdiri disamping. Sedangkan Mama dan Om Faiz sedang melipat sejadah yang tadi digunakan. Berhenti sejenak memandang Papa.
"Aku ingin pernikahan Dika dan Alvira dipercepat," ucap Papa setelah semua mendekat dan itu langsung membuat ku shock. Ruangan seketika hening.
"Maksud Papa apa? Kami masih belum saling mengenal. Belum ada rasa yang timbul diantara kami. Masa iya main nikah saja," protesku.
"Dika, keputusan Papa sudah bulat. Papa tidak yakin dengan penyakit Papa yang tidak tahu kapan kambuhnya. Papa tidak mau meninggal dulu sebelum melihat kamu dan Vira bersatu," tegas Papa.
"Tapi.. Pa..."
"Okelah Dik kalau kamu tidak menuruti permintaan Papa yang ini. Mungkin ini jadi permintaan Papa yang terakhir."
"Pa..,"
“Pa..,”
"Hen," ucap aku, Mama, dan Om Faiz bersamaan.
"Pa.. Mama tidak suka Papa bicara begitu," protes Mama. Dan perkataan Papa membuat Mama menangis, memelukku lagi. Karena Mama memang sedang berdiri disampingku.
"Kamu itu bicara apa sih Hen? Tidak baik bicara seperti itu," nasehat Om Faiz. Dan Papa tidak membalas apapun.
"Hendra, sepertinya aku setuju dengan keputusan Andika. Biarkan sesuai dengan waktu yang kamu berikan. Tiga bulan waktu mereka untuk saling kenal. Karena anakku belum memberikan jawabannya. Siapa tau berjalannya waktu hatinya Vira dan Dika bisa saling terbuka untuk mengenal dan mencitai. Aku tidak ingin memaksa Alvira, kalau ia memang tidak setuju dengan perjodohan ini," lanjut Om Faiz lagi.
"Iz, kamu kok berubah fikiran sih? Iz ini wasiat Mamaku. Dan aku juga menginginkan Alvira menjadi bagian dari keluarga Herlambang. Aku ingin putrimu menjadi menantuku," sunggut Papa kesal, karena keinginannya tak berjalan mulus.
"Putriku belum memberikan jawaban atas perjohohan ini, Hendra." Dedangkan jawaban Om Faiz terlihat tegas.
"Iz. Aku minta tolong sama kamu. Tolong bujuk Alvira agar ia menerima perjodohan ini dan juga mau kalau pernikahannya dipercepat. Aku gak mau hal itu yang menganggu pikiran Mas Hendra, sehingga membuat tambah buruk kondisi Mas Hendra nantinnya," mohon Mama yang sudah berdiri di depan Om Faiz.
"Ayolah Iz, bujuk Alvira. Apa kamu masih belum yakin kalau Andika bisa jadi imam putrimu?" desak Papa seperti biasanya. Tak ingin satu keinginannya tidak terwujud. Lihat saja pasti gigih Papa mengusahakan perjodohan ini terjadi.
"Bukan begitu.. aku yakin jika memang mereka berjodoh. Andika bisa belajar jadi imam yang baik nantinya. Tapi masalahnya ada di putriku. Belum ada jawaban dari dia. Dan kami tidak pernah mendidik secara otoriter pada putri kami. Kami bebaskan dia memilih. Kami sadar Hen, yang dipaksakan tidak akan berujung baik," jawab Om Faiz.
"Iz, sekali lagi. Apa kamu yakin Andika bisa jadi imam untuk Alvira?" pertanyaan mengulang. penuh penekanan pada kalimatnya.
"Kalau aku iya, tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian Iz. Kalau kamu sudah bisa mempercayakan Alvira sama Dika. Alasan kamu percaya itu yang bisa kamu jelaskan ke Alvira. Putrimu itu akan mengerti dan aku yakin Vira akan pasti mau di jodohkan dengan Dika," instrupsi Papa agar Om Faiz tidak ragu. Sehingga tidak ada alasan untuk Om Faiz, yang terpojok agar mau menerima permintaan Papa tentang percepatan perjodohan ini.
"Ya sudah aku coba, tapi tetap keputusan tergantung Vira. Aku tidak akan memaksanya," pasrah Om Faiz.
"Setuju aku. Sekarang kamu telpon Vira kesini, aku yang akan bicara dengannya," dengan nada bossy Papa memerintah Om Faiz menghubungi putrinya agar mau kerumah sakit.
"Hah, maksudmu?" tanya Om Faiz yang sepertinya tidak mengerti.
"Aku juga mau bicara dengannya dengannya langsung, Iz. tolong suruh Vira kesini," jelas Papa.
Aku lihat Om Faiz merogoh saku celananya, kemudian benda pipih hitam ia geser layarnya, beberapa kali jempolnya bergerak diatas layar, sebelum akhirnya benda itu di dekatkan di telinga. Tak ada suara diantara kami. Hanya seluruh mata menatap Om Faiz. Menunggu panggilan telpon di angkat.
"Assalamualikum Vir," suara Om Faiz.
"..."
"Kamu ke rumah sakit Medical Utama. Ayah tunggu!"
"..."
"Sudah kesini dulu, nanti Ayah jelaskan. Assalamualikum."
Setelah salam penutup itu, Om Faiz memasukkan kembali Hpnya kedalam saku celananya. kemudian beliau menatap Papa, aku yang mengikuti arah pandang Om Faiz menemukan Papa tengah tersenyum. Selanjutnya pandangan Om Faiz beralih kepadaku.
"Dika, apa kamu sudah siap untuk menjadi imam dalam rumah tangga?" Aku yang tidak siap dengan pertanyaan itu, bingung untuk menjawabnya. Kemudian aku alihkan pandangan ke Papa dan Mama sebelum menjawabnya.
"Diusiaku saat ini, saya rasa cukup matang untuk membina rumah tangga Om," jawabku akhirnya, karena aku tidak bisa mengecewakan orang tuaku.
"Kamu yakin tidak menolak perjodohan ini? Kalian belum saling mengenal apalagi saling cinta."
"Faiz, kamu jangan goyahkan keputusan putraku," protes Papa tak suka. Mama saat ini berada di samping Papa, mengelus pundak agar Papa tidak terlalu emosi.
"Yang menjalani Andika. Kalau dia terpaksa, putriku tidak akan bahagia Hen." Debat Om Faiz, yang mencari kepastian akan kehidupan putrinya
"Tapi..." Papa hendak protes lagi, namun segera aku potong dengan pernyataanku
"Saya rasa cinta akan hadir karena kebersamaan kami nantinya Om, dan saya akan mencoba untuk mencintai Alvira. Saya tidak bisa menjanjikan kebahagian, saya akan mengusahakan agar Vira bahagia berada disamping saya," itulah jawabanku. Yang membuatku harus menemui konsekwensi besar nantinya. Dan apakah aku bisa mempertanggung jawabkan ucapanku nantinya? Namun ini mungkin tak akan ada bandingannya dengan apa yang Mama Papa berikan dalam membesarkan. Sehingga mungkin ini pengorbanan untuk orang yang kita sayangi, dan balasan atas apa yang pernah dikorbankannya.
Mungkin tak terlalu buruk jika memang aku menikah dengan Alvira. Kami berdua single. Mungkin bisa memulai untuk menyukainya. Dia yang keibuan bisa jadi rekan yang baik dalam mendidik anak-anak kami. Anak-anak kami tidak akan kekurangan kasih sayang. Yah walau terkadang ia menyebalkan karena sikap membantahnya.
"Saya bersedia Om dengan perjodohan ini."