Jalan Bertiga (Karena Tiara)

2666 Words
Dika POV :   "Om Dikaaa..." teriakan Tiara terdengar ketika pintu ruang kerjaku terbuka. Kulihat sosoknya yang masih pakai seragam sekolahnya berada dalam gendongan Papa.   Tanpa permisi, tapi memang ini kantor milik Papa, mereka masuk dan menduduki sofa. Lewat mataku mengamati setiap gerakan mereka hingga kini Tiara yang awalnya berada di pangkuan Papa pindahkan duduk di sofa. Aku yang melihatnya bangkit dari kursi kebesaranku dan bergabung dengan mereka.   "Dika... sepertinya kamu harus punya waktu sama Vira, biar leluasa saling mengenalnya. Papa lihat tadi malam kamu sama Vira masih saling diam, canggung gitu."   "Kenapa Pap, ngebet banget sih?" protes kesalku.   "Ingat Dika, Papa cuma mau menantu Papa itu hanya Vira," tegas Papa tak terbantahkan dengan penuh tekanan dalam setiap kalimatnya.   "Kalau kesannya memaksa, karena mereka hanya punya anak cewek, dan kamu satu-satunya anak laki-laki Papa. Semua ini karena papa ingin mewujudkan permintaan terakhir Omamu. Dia ingin orang tuanya Vira menjadi keluarga dengan kita. Maka saat Vira lahir omamu menjodohkan kalian berdua. Kalau saja adiknya Vira laik-laki akan ada pilihan Keizia yang akan dijodohkan. Tidak masalah jika memang perempuan lebih tua dari suaminya. Itu terserah siapa yang mau. Intinya salah satu dari anak papa harus ada yang menikah dengan anaknya Om Faiz. Delapan tahun kemudian Vania yang lahir. Maka saat itu sudah tidak ada pilihan lain hanya kamu yang bisa dipersatukan dengan Vira, atau kamu mau disebut fedofil dengan dinikahkan dengan Vania? Kalau mau, harus tunggu 1 tahun dulu ya, Vania masih kelas 2 SMA," lanjut papa dengan nada seperti orang pasrah, tidak ada pilihan.   "Bagaimana Dik? Kamu mau menikah dengan Vira atau ABG labil Vania? Papa sih terserah, yang penting masih anak dari Om Faiz," lanjut Papa setelah memberikans edikit waktu untukku mencerna apa yang papa bicarakan. What?? Pilihannya aku mau dinikahkan dengan Vira atau adiknya Vania? Ide gila.   "Pa... apa gak bisa di batalin perjodohan itu? Vira aja kelihatan tidak tertarik sama aku, dan masa iya aku sama Vania? Umur kita kan beda 10 tahun Pa," protesku.   "Ya.. kamu aktif dong Dika menarik perhatiannya Vira, perempuan itukan pasif biasanya, malu-malu-mau, dia nunggu kita untuk bergerak dulu."   "Dika males banget melakukan itu."   "Dika ini demi wasiat Omamu, dulu kamu mau melakukan apa saja untuk mendapatkan Natasha, sekarang tolong lakukan hal yang sama untuk mendapatkan Vira menjadi menantu Papa. Atau kamu mau lihat Omamu tidak tenang wasiatnya tidak dijalankan."   "Plis boy, lakukan ini untuk almarhumah Oma yang sangat menyayangi mu, dan ini akan menjadi pemaksaan papa yang terakhir, setelah itu terserah kamu boy," lanjut papa setelah sebelumnya memberi jeda. Setelah itu hanya mendesah pelan, kemudian kami saling terdiam.   "Opa... katanya kalau ke kantor Tiara bisa ketemu Tante Cantik?" pertanyaan keponakan cantikku yang dari tadi hanya duduk manis di samping papa memecah keheningan, tumben banget ia tidak aktif ketika berada di ruangku. Biasanya ia akan membuat Kezia capek dengan tingkah keliling dan mengambil apa saja yang menarik perhatiannya di ruanganku.   "Tiara mau ketemu Tante Cantik? Siapa? Tante Keizia?" tanyaku penasaran siapa yang tiara sebut tante cantik, setahuku Tiara tidak pernah memanggil Keizia dengan sebutan tante cantik.   "Bukan Tante Keizia, Om Dika. Tante Cantik itu Tante Vira. Yang tadi malam dongengin Tiara cerita bagus banget." Ternyata dia pintar sekali merebut hati bocah kecil ini batinku.   "Om memangnya Tante Cantik dimana? Tadi opa bilang kalau Tiara ke kantor Om, Tiara bisa ketemu Tante Cantik."   "Tante Cantik lagi kerja sayang, jadi tidak disini ya di ruangannya," terangku.   "Opa bohongin Tiara? Katanya Tante Cantik kerja, yah percuma kesini tidak ketemu Tante Cantik," lesu keponakanku ke Papa.   "Opa tidak bohong, Tante Cantikkan kerja, kerjanya ya di kantor ini"   "Dika, kamu telfon Vira sana! Suruh dia kesini sekarang," perintah papa yang tidak bisa di bantah. Mau tidak mau harus membuatnya kesini.   Aku keluarkan IPhoneku, aku cari nomor yang bisa membantuku, bukan nomernya Vira, karena aku belum punya, namun nomer adikku Keizia. Dia bisa membantuku untuk menyuruh Vira kesini. Setelah menemukan nama Keizia di phonebook, aku menekan tombol hijau, hanya menunggu dua kali nada sambung hingga telfonku diangkat.   "Hallo kak, ada apa?"   "Dek tolong kamu hubungi devisi keuangan, suruh Vira keruanganku sekarang."   "Okey bentar." Dan saat itu telfon udah terputus, aku menggeletakkan begitu saja phone ku di meja.   "Kenapa harus nyuruh Keizia? Kenapa tidak kamu hubungi sendiri Dik?"   "Dika bagaimana sih Dik, nomer calon istri sendiri kok tidak punya/"   "Iya, iya pa, nanti Dika minta." Setelah itu hening, hingga terdengar ketokan pintu.   Tok...tok..   "Masuk," perintahku.   "Tante Cantiiikkkkk..," suara cempreng keponakanku yang langsung turun dari pangkuan papa dan berlari ketika pintu terbuka menampakkan sosok Vira.   Respons Vira setelah membuka pintu, hingga pintu rapat sempurna hanya berdiri sambil memerhatikan Tiara yang berlari kearahnya, dan memeluk erat kakinya sambil mengangkat wajahnya melihat Vira. Tak lama kulihat Vira tersenyum sambil melihat Tiara kemudian mengacak rambut Tiara pelan tanpa merusak kuncir kuda dan poni depan Tiara.   perlahan kedua tangan Vira berusaha melepas tangan mungil Tiara yang membelit pahanya, namun tetap dengan senyum dan tatapan lembut membuat siapapun seakan terhipnotis. Termasuk Tiara yang dengan mudahnya megikuti tuntunan tangan Vira. Hingga setelah tangan Tiara terlepas, Vira berjongkok dengan lututnya yang menahan ke ubin, hingga kini tingginya sejajar dengan Tiara.   "Tiara kok disini? Tidak sekolah?" tanyanya lembut dengan tangan kirinya memegang lengan kanan Tiara dan Tangan kanan Vira sibuk menyapu poni Tiara. Sungguh perilaku yang sangat keibuan, dan jika aku lihat sepertinya Vira memang sangat menyukai anak kecil.   "Tiara sekolah kok, ini baru pulang sekolah," penjelasan keponakanku.   "Dia minta ketemu kamu Vir," sambung papa   Kulihat Vira mengalihkan pandangan kekami. seketika ia bangkit berdiri memberikan senyum pada kami namun tangan kanannya memeluk pundak Tiara.   "Siang Pak Hendra, Pak Dika. Maaf tadi terfokus sama Tiara, ada apa ya saya dipanggil kesini?"   "Panggil saya Dika saja, jangan ada imbuhan pak, saya tidak setua itu," jelas aku jengkel di panggil pak, serasa udah bapak-bapak saja.   "Iya, kamu itu Vir, kok formal gini, biasanya juga panggil Om, sekarang kok malah Pak. Kalau mau panggil Papa saya tidak masalah. Toh sebentar lagi kamu juga bakal jadi bagian dari keluarga Herlambang kan?" cerocos papa yang kali ini sangat ramah.   "Ma'af ini di kantor, apa kata karyawan disini kalau saya memanggil dengan sebutan selain Pak, saya rasa itu tidak pada tempatnya."   "Vira, kamu tau saya bukan orang yang suka di bantahkan?" imbuh Papa, sedangkan Vira hanya menghembuskan nafas panjangnya.   "Ma'af saya hanya sedang mencoba profesional. Sebelumnya ada apa ya saya di panggil untuk kesini?" ternyata dia punya keberanian ya berbicara seperti itu dengan pemilik tempat dia bekerja. Dan daripada berdebat dengannya masalah yang tidak jelas, hanya masalah panggilan. Akupun kembali menanyakan, apa papa tidak salah pilih calon menantu? Masa iya keras kepala tingkat dewa, eh salah tingkat dewi.   "Ehem..., saya...."   "DIKA, kamu ini, masa iya dengan calon istri juga ikutan formal" Papa memotong pembicaraanku yang hendak menengahi, dan daripada aku juga terlibat dalam debat kecil yang tidak menguntungkan, aku lebih memilih untuk mengikuti keinginan Papa.   "Vir, aku menyuruhmu kesini bukan untuk masalah kerjaan. Tiara yang memintamu kesini." Setelah aku menyelesaiakan kalimatku, Vira langsung saja melihat bocah cantik disamping kanannya itu   "Iya, Tante," sahut tiara langsung dengan kepalanya yang diangkat keatas untuk bisa menatap wajah Vira.   "Oh, Tiara yang ingin ketemu Tante? Ada apa sayang?" tanya Vira pada Tiara, namun posisinya sekarang sudah tidak lagi berdiri, namun berjongkok hingga ketinggian tubuhnya sama dengan Tiara.   "Tante, mau temani Tiara cari kado ulang tahun buat adiknya Tiara?"   "Memangnya Tiara punya adik?   "Punya. Namanya Gio Tante."   "Kapan Tiara mau cari kadonya?"   "Sekarang Tante. Mau ya.. ya," ucap Tiara dengan puply eyes membuat siapapun tidak akan tega menolak permintaannya.   "Harus sekarang ya? Tante tidak bisa sayang, harus kerja dulu. Bagaimana kalau nanti pulang Tante kerja?"   "Hiks..hikss.. Tante Cantik tidak mau menemani Tiara," dasar anak kecil modus, kalau tidak di turuti senjatanya hanya menangis.   "Cup.. cup sayang, bukannya Tante tidak mau menemani Tiara. Tapi jangan sekarang, nanti sore ya pulang Tante kerja. Tante janji." Usaha Vira menenangkan Tiara, dengan terus membelai poni depan Tiara.   Melihat interaksi Vira dan Tiara, dia benar keibuan, mungkin kalau aku nikah dengan dia setidaknya anakku tidak akan haus kasih sayang ibunya, dia akan merawat anak kita dengan baik. Tapi benarkah aku harus menikah dengannya, ketika hati ini sepenuhnya belum terlepas dari Anastasya dan juga aku tidak tau apakah Alvira ini tidak sama dengan wanita yang selama ini mengejarku karena aku CEO dari Herlambang Group. Walau begini aku hanya ingin pernikahan sekali dalam seumur hidup. Tapi mungkin inilah saatnya aku mencoba membuka hati untuk orang lain, dan mulai mengenal Vira, sebelum kami benar-benar dinikahkan. Toh kalau tidak sesuai bisa saja aku atau dia berusaha dengan keras agar perjodohan ini batal.   "Dika.." suara papa mengembalikan aku kealam nyata, menghentikan keliaran fikiranku.   "Eh, iya, apa Pa?"   "Kamu antar Vira dan Tiara ke mall sana. M ereka akan cari kado, sekalian kalian makan siang di luar."   "Bukannya Vira menolak ya, Pa? Diakan mau menemani nanti sore?"   "Loh, apa kamu tidak dengar kalau Vira nyerah dengan rengekan keponakanmu itu? Sana cepat antar mereka?" pernyataan Papa, membuat aku berfikir keras apa saja yang aku lewatkan hingga aku tidak tau kalau Vira mengiyakan permintaan Tiara. Dan benar saja sekarang Tiara sudah berhenti dari nangis modusnya.   "Hmm.. Pak Hendra, maaf sepertinya yang cari kado biar saya sama Tiara saja, tidak apa-apa." Aku mendengar Vira menolak halus perintah Papa yang menyuruhku mengantar mereka.   "Tidak usah Vir, biar Dika yang mengantarmu, biar kalian punya kesempatan untuk saling mengenal. Inikan syaratmu malam itu?" sarkasme Papa tepat sasaran. Membuat Vira tidak lagi menjawab dan malah menundukkan kepalanya.   "Ya udah Pa, biar Dika yang antar," ucapku kemudian melangkah ke meja kerjaku, mengambil kunci yang tergeletak diatas meja. "Ayo kita berangkat," lanjutku sambil menatap Vira dan Tiara.   "Pa, kita berangkat," pamitku   Namun sebelum pergi aku melihat Tiara yang masih berjalan terlebih dahulu mendekati Papa. "Terima kasih Opa, membawa Tiara ketemu Tante Cantik dan bisa ajak Tante Cantik cari kado buat Gio. Tiara Sayang sama Opa." Kemudian Tiara mencium tangan papa, sedangkan Papa membalas mencium kening Tiara.   "Sama-sama cucu Opa yang cantik, hati-hati ya! Jangan jauh-jauh nanti dari Om Dika dan Tante Vira." Dan kulihat Tiara menganggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah kearah Vira lagi.   "d**a Opa, Tiara berangkat." Tangan kanannya melampai keudara dengan kelima jarinya terbuka, sedangkan tangan kirinya menggandeng tangan kanan Vira.   "Pak, kami berangkat dulu," pamit Vira sebelum ia dan Tiara melangkah keluar ruangan. Aku pun yang melihat dia melangkah menuju pintu, langsung melangkahkan kaki mengekor di belakang mereka. meninggalkan papa sendirian di ruanganku   keluar dari ruanganku, di lift hanya ada kami bertiga tidak ada yang memulai obrolan, si cerewet Tiara pun diam dengan anggunnya. Barulah ketika sampai di loby aku yang membuka percakapan   "Kalian tunggu di depan, aku mau ambil mobil dulu." Vira pun kembali mengangguk, apa sulit sekali baginya hanya untuk bilang 'Iya'.   Setelah mobilku berhenti di depan lobby, aku membuka kaca depanku. dan saat itu Vira langsung melangkah membuka pintu kursi penumpang, kemudian duduk di sampingku dengan Tiara ada dipangkuannya.   "Tiara tidak duduk di belakang? Kasihan Tante Viranya berat saying," ucapku dengan menoleh kearah samping, menatap lembut Tiara, dan kedua tanganku tetap memegang setir.   "Tiara maunya duduk dipangkuan Tante Cantik Om." melihat penolakan Tiara untuk duduk di belakang, akupun tidak memaksa, dari pada dia nangis di dalam mobil, itu justru bikin aku kepalaku sakit.   Tidak ada yang membuka suara diantara kami bertiga selama perjalanan. Tiarapun aku lihat dia sepertinya sangat menikmati duduk dipangkuan Vira dengan badan dan kepalanya bersandar di badan Vira, sedangkan Vira melingkarkan tangannya di perut Tiara. Melihat mereka seperti ada kedamaian. Dalam interaksi Vira dan Tiara aku menemukan bahwa dengan Vira kebutuhan Tiara akan kasih sayang seorang mama bisa didapatkan. Tidak masalahkan aku panggil dia seperti mamanya Tiara, toh anak SMA aja udah bisa bikin anak, apalagi seusia Vira. Eh, aku kok berfikiran liar gini sih, fokus nyetir Dika suara kebenaran dalam diri memperingatkan keliaran fikiranku.   Hanya butuh 20 menit sampai membuat Ferrarry merahku terparkir di mall terdekat dari kantor. Karena jam makan siang masih satu jam lagi, sehingga jalanan tidak terlalu parah macetnya, meskipun kata tidak macet adalah imposibel buat Jakarta yang menjadi kota pusat perekonomian dan pemerintahan. Kami bertiga akhir masuk ke mall, stand pertama kali yang kami masukin adalah toko mainan anak-anak.   "Tante, enaknya kita beli apa ya untuk dedek Gio," tanya Tiara ketika ia sudah mengedarkan pandangannya mencari kado untuk keponakanku Giovani Meidika, Anak dari kakak sepupu dari Mama.   Sekitar dua puluh menit kami bertiga berputar di toko mainan. Akhirnya pilihan jatuh untuk memberikan hadiah robot ukuran sedang. Setelahnya kamipun makan siang bersama di salah satu foodcourt yang ada di dalam mall. tidak ada aksi hiperaktif yang ia tunjukkan kepadaku untuk menarik perhatian seperti perempuan pada umumnya ketika berdekatan denganku. Dari tadi aku bagaikan bodyguard buat Vira dan Tiara yang mengekor mereka mulai dari cari mainan hingga makan.   "Vira..," panggilku, menarik perhatiannya agar bearalih kepadaku. Strategi berhasil dengan dia mengangkat kepalanya meskipun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya yang stay terkatup. Namun lewat tatapan matanya aku tau dia menungguku melanjutkan tujuanku menyebut namanya.   "ehem," aku mencoba menetralisir kecanggungan.   "Vir, Kenapa kamu masih menggantungkan lamaran papa untuk menikah denganku?" Sungguh aku sangat penasaran dengan pribadinya yang sepertinya tidak menunjukkan ketertarikan padaku.   "Menikah hanya sekali, dan saya tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan yang berefek jangka panjang," jawabnya sangat datar. yang menurutku masih umum. Aku tidak butuh jawaban seperti apa yang keluar dari mulutnya itu.   "Umum sekali. Apa kamu punya kekasih, berharap bisa menikah denganya. sehingga kamu masih ragu untuk menerima lamaran Papa?"   Sebelum menjawab aku liat dia tersenyum "Akan ada yang percaya, jika aku pacaran itu cuma sekali? Saat masih pakai seragam putih biru." Sekali lagi ia tersenyum sebelum melanjutkan ucapanya, "bisa di bilang cinta monyet sih."   "Ngomong-ngomong, apa yang membuat Pak Dika tidak berontak agar perjodohan ini batal?" tanyanya kemudian.   "Serasa tua saja saya di panggil Pak. Kamu bisa panggil saya Dika saja tidak apa-apa."   "Tapi bapak atasan saya. Terkesan tidak sopan dan tidak professional," sanggahnya.   "Tapi ini diluar jam kantor Vir. Saya mau kamu menghilangkan panggilan Pak," ucapku dan tak ada respons yang di tunjukkannya. Maka akupun memutuskan menjawab pertanyaannya. "Aku tidak mau membuat orang tuaku kecewa. Tidak mau di bilang pembangkang, karena menolak permintaannya dengan menolak perjodohan ini. Apalagi alasannya ini adalah permintaan almarhum omaku."   "Menuruti permintaan orang tua itu memang sebuah kewajiban bagi seorang anak. Apalagi selama permintaan itu mengarah kepada kebaikan dan bukan perintah untuk menyekutukan Allah sebagai Illah. Namun kita juga bisa menolak jika dipandang itu tidak sesuai dengan rancangan masa depan kita. Karena bagaimanapun kedepan, kita sendiri yang akan menjalaninya. Kita sudah cukup matang untuk menentukan pilihan kita. Meski orang tua ingin yang terbaik bagi anaknya. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa yang paling mengerti tentang apa yang terbaik itu adalah diri kita sendiri. Kita yang menjalani hidup. Mengambil hikmah dari pengalaman dan ilmu yang di dapat. Sehingga pijakan memilih benar-benar sesuai dengan kondisi kita. Dan jika kedepan terjadi sesuatu, kita akan lebih lapang d**a untuk menerima kenyataan atau mempertanggungjawabkannya. Tidak akan menyelahkan orang lain atas dampak dari pilihan yang kita ambil?” ucap bijaknya membuatku tak percaya bahwa seorang perempuan berjilbab yang biasanya patuh terhadap keputusan orang tua, tak berani menyuarakan apa yang dia inginkan jika itu bertentangan dengan permintaan atau perintah dari orang tua.   "Om Dika, jus Leci Tiara abis. Pesen lagi boleh?" ucap Tiara menyadarkan kita bahwa di meja makan ini tidak hanya ada aku dan Vira yang terlibat obrolan serius namun ada keponakan yang sedang duduk manis menghabiskan spageti bollognase dengan jus Leci.   Belum sempat aku menjawab pertanyaan Tiara. Alvira menyela menjawab. "Tiara sayang, minum punya Tante saja ya, Kita kan sama-sama pesan jus Leci tadi"   "Vir biarin kalau Tiara mau pesan lagi," protesku yang tak suka jika Tiara minum sisa orang lain, dan apa dia kira aku tidak sanggup untuk membayarnya.   "Ma'af Pak Dika, akan lama kalau pesan lagi. Jam Istirahat sudah mau habis. Kita harus segera kembali ke kantor."   Hendak aku sanggah pernyataannya, namun setelah melihat Tiara sudah menyambar jus milik Vira membuat aku tidak jadi. Percuma saja menyanggah, seperti pasangan yang lagi bertengkar saja. Aku memutuskan untuk diam saja menghabiskan makananku. Vira pun melakukan hal yang sama. Baru setelah makanan kami habis, aku membayar tagihannya. Dan kami pun beranjak untuk kembali ke kantor lagi.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD