Alvira POV.
Disinilah aku, kantin rumah sakit. Duduk berhadapan dengan Andika hanya di batasi meja persegi 1x1m. Tubuhnya menempel pada sandaran kursi. Kedua tangannya melipat dadanya. Serta mata elangnya seakan tak sabar memakan mangsanya.
Aku putar tutup botol air mineral yang baru saja aku beli. Minum, caraku mengurangi ketegangan.
"Aku pikir kau akan menjaga lisanmu agar tak menyakiti orang. Tapi kenapa aku baru sadar ya, selama ini kau selalu bebas mengutarakan apa isi pikiranmu, tanpa memperdulikan dampak ucapanmu pada orang lain," ketus Andika sebagai pembuka, membuatku tidak jadi melanjutkan membuka tutup botol minumku. Posisi tubuhnya sekarang sudah duduk tegak, kedua lengannya yang bertumpu pada meja dengan ruar-ruas jarinya saling mengait.
"Ma'af, saya tidak prediksi ini akan terjadi." balasku.
Aku cukup tahu diri. Om Hendra kondisinya seperti saat ini karena aku yang kurang memperhitungkan keadaan. Kurang memperhitungkan dampak baik-buruknya menyampaikan pendapat yang ku anggap benar. Andai aku mau bersabar untuk mengutarakan pandanganku ketika kondisi Om Hendra sudah lebih baik. Sudah di perbolehkan pulang. Pasti kejadiannya tidak akan seperti ini. Ceroboh sekali aku hari ini. Aku benar-benar menyesal atas sikapku.
"Apa kau fikir, kata maafmu bisa memastikan Papaku akan baik-baik saja?" Ku lihat Andika menghela nafas "Dalam sehari papa harus bertemu maut dua kali? Aarrghhh... God," lanjutnya. Tak lupa erangan frustasi dan usapan wajah dengan kasarnya.
"Terus saya harus bagaimana? Ini semua sudah terjadi. Saya benar-benar menyesal atas sikap dan ucapan saya."
"Tak ada pilihan, kita harus turuti keinginan Papaku. Kita akan menikah!" tegas Andika.
"No, sudah saya bilang, saya tidak bisa melakukan itu. Pasti ada pilihan. Kita bisa memberikan penjelasan pelan-pelan, mungkin setelah Om Hendra keluar dari rumah sakit." jawabku sekenanya. Sungguh, Aku belum siap menikah. apalagi sama orang yang belum aku kenal. Model rumah tangga seperti apa yang akan aku jalani nanti.
Brakkk... pukul Andika pada meja. Walau tidak anarki, namun suaranya cukup keras. Jujur itu membuatku terkejut. Tubuhku langsung tegap dan kemudian aku atur nafas untuk membuat reaksi tubuhku kembali normal
"Tak habis pikir, perempuan sepertimu ternyata sangat keras kepala," kesal Andika dengan jawabnku.
"Sudah tau kalau saya keras kepala. Terus kenapa masih mengajak saya bernego menerima perjodohan ini? Mencoba keberuntungan?" sinisku. Karena aku tidak suka dengan cara yang emosi. Memang dia pikir aku akan merasa terintimidasi hanya dengan gebrakan meja dan tatapan intimidasinya saat ini. Sorry, Andika. Kamu berhadapan dengan perempuan berego tinggi.
Awal aku mau mengikuti dia ke kantin. Aku mau minta maaf, serta berbicara baik-baik mencari pemecahan masalah dari perjodohan ini. Namun dia yang sangat ekspresif, memancingku untuk melakukan hal yang sama.
"Coba kamu diposisiku. Ketika orang tuamu. Orang yang kamu hormati. Sayangi. Orang yang mempunyai jasa besar dalam hidupmu. Meminta sesuatu yang sulit untuk kamu kabulkan. Namun jika tidak itu akan mengancam kesehatannya, atau bahkan nyawanya. Apa kamu masih tetap tidak mengabulkannya?" ucap Andika yang melembut. Ekspresi baru yang di tunjukkan Andika selain sisi superiornya.
"Saranku, terima saja perjodohan ini. Walau tanpa cinta atau saling kenal, setidaknya dengan cara ini kita bisa bahagiakan orang tua kita." lanjut Andika lagi.
"Biar saya pertimbangkan," jawab singkatku. Karena sampai saat ini aku belum bisa memberikan keputusan. Sudah ku bilang ini menyangkut masa depanku. Aku tidak mau gegabah untuk mengambil keputusan. Meskipun pakai embel-embel orang tua. Tapi sekali lagi disini aku yang akan menjalaninya. Pahit manisnya aku yang merasakan.
"Okey, ini mungkin bisa jadi pertimbangan buat kamu. Kita coba jalani pernikahan ini, minimal dua tahun. Tentunya dengan kehidupan alamiah dua orang yang sedang membangun rumah tangga. Seperti yang kamu mau, Kita mulai dengan saling mengenal satu sama lain. Tapi aku tidak bisa memastikan nantinya perasaan saling mencintai dan menyayangi diantara kita akan tumbuh atau tidak. Karena memprediksi kita akan cocok atau tidak aku tidak tau. Makanya aku menyarankan untuk kita coba menjalaninya selama dua tahun. Setelah itu bisa kita ambil keputusannya. Terus menjadi sepasang suami istri hingga kematian. Atau kalau memang tidak cocok kita bisa berpisah baik-baik. Tenang saja disini kamu tidak akan di rugikan. Karena selama dua tahun pernikahan itu aku akan kasih kamu lima ratus juta. Bagaimana?" tawarnya dengan wajah datar seakan ia mengucapkannya tanpa beban. Padahal kepalaku sudah mendidih, dan mataku sudah mendelik tidak percaya dengan apa yang ia jadikan tawaran.
"APA? Ceritanya anda mengajak saya nikah kontrak?" Dengan siku kanan menempel pada meja. Kepala aku miringkan dan dengan menatapnya sangat tajam. Sadar aku terkuasai emosi negatif yang siap meledak. Aku menghembuskan nafas mengatur emosiku untuk stabil. "Apa anda sadar dengan apa yang anda ucapkan Tuan Andika yang terhormat. Pernikahan bukan sesuatu yang bisa dimainkan. Itu sakral. Dan saya menginginkan pernikahan hanya satu kali dalam seumur hidup. Buka pernikahan coba-coba yang anda tawarkan. Dan satu lagi, anda menawarkan saya kompensasi uang? Anda pikir saya akan melakukan apapun demi uang? Terima kasih tawarannya. Maaf saya tidak berminat. Assalamualaikum," ucapku dengan datar namun penuh dengan tekanan. Setelah itu aku akhiri salam dan langsung berdiri menarik kasar tasku di atas meja kemudian meninggalkan kantin dengan langkah lebar.
Saat hendak berbelok ke koridor lorong menuju kamar rawat Om Hendra, aku menghela nafas. Mengatur emosiku untuk kembali tenang. Sudah cukup membuat masalah dengan membuat kondisi Om Hendra drop, adu mulut yang menjengkelkan dengan Andika. Sekarang aku tidak mau membuat masalah baru baik dengan Ayah maupun Tante Fitri.
"Ayah," sapaku pada Ayah ketika sudah berhasil membuka pintu kamar rawat.
Karena di depan kamar tidak ada orang akhirnya aku membuka sedikit pintu kamar rawat Om Hendra. Aku lihat Ayah yang berdiri memandangi wajah Om Hendra. Sedangkan Tante Fitri duduk menyadar di sofa.
"Vir, bagaimana? sudah selesai urusannya dengan Andika?" tanya Ayah kemudian.
Aku hanya menganggukkan kepala. Kemudian aku melangkah masuk mendekati Ayah. "Pulang yuk, Yah."
"Bentar, kita tunggu Andika kesini. Mana Andika, Vir?" jawab Ayah.
"Masih di kantin"
Kemudian aku melihat kearah Tante Fitri, beliau memperhatikan interaksi aku dan ayah dari balik mata sembabnya. Ia duduk dengan sedikit membungkuk. Dengan sikunya yang menumpu kepaha dan telapak tangan yang membentuk piramid menutup hidung beliau.
Aku mendekat dan duduk di samping tante Fitri. "Tante, Vira minta ma'af. Karena Vira, Om Hendra jadi seperti ini. Maaf, tante. Vira tidak memprediksi kalau kejadiannya akan seperti ini," ucapku sambil memegang kedua tangan beliau dan kepala menunduk.
Kemudian tante Fitri melepas genggaman tanganku. aku mendongakkan wajah. Bagai air terjun aku melihat air mata yang mengalir di pipi tirus Tante Fitri. Aku menyadari kalau beliau kecewa atau marah kepadaku. Siapa orang yang tak akan marah kepada orang yang menyebabkan orang yang sangat dicintainya kesakitan.
Bleppp....
Bunyi Tante Fitri yang menerjangku dengan pelukan eratnya. Sungguh ini sangat membuatku kaget. Sebuah reaksi yang tak terduga. Tante Fitri menangis dalam pelukanku. Isakannya sanggat menyayat di telingaku. Dan tubuhnya bergetar hebat. Akupun dengan kaku mengelus punggung Tante Fitri berusaha untuk menenangkan. Tak ada kata yang keluar dari mulutku. Karena aku tau, kalau Tante Fitri butuh meluapkan emosi yang sudah memuncak.
Setelah isakan dan getaran tubuhnya mereda. Tante Fitri menarik dirinya dari pelukanku. Kedua tangannya menangkupkan wajahku. Seulas bibirnya membentuk senyum kecil, walau senyum itu tak sampai di matanya "Ini bukan salah kamu kok Vir. Tante juga menyadari, kamu pasti shock dengan todongan permintaan suami Tante. Ambisius dan Pemaksa itu sifatnya. Seharusnya Tante yang minta maaf pada kamu, atas sikap suami Tante. Kamu pasti di buat tidak nyaman dengan permintaan memaksanya. Tapi mau bagaimana lagi. Suami tante orang yang sangat menyanyangi ibunya. Dan menikahkan Andika dengan kamu atau adikkmu Vania itu adalah permintaan terakhir ibu mas Hendra. Sebagai anak yang ingin menjalankan wasiat itu, suami Tante memaksamu untuk menikah putra kami. Karena kalau sama Vania selain umur Andika dan Vania terlalu jauh, Vania juga masih sekolah. Kamu tak perlu menjawab sekarang, Tante tau kondisi seperti ini, kamu akan sulit menentukan keputusan. Bukankah lebih baik berfikir dengan kepala jernih dari pada mengambil keputusan yang gegabah," ucap bijak Tante Fitri.
"Tante, boleh Vira peluk tante?" Tante Fitri mengangguk serta merentangkan tangannya. Seketika itu aku masuk dalam pelukan hangat Tante Fitri. Dan ini sungguh membuat aku tak enak hati. Membuat sakit hati orang yang baik. Lain kali aku harus berhati-hati jika hendak melakukan sesuatu, agar tak ada orang yang menangis atau sakit hati karena diriku.
"Ma..." Ucap seorang laki-laki yang membuatku melepas pelukan Tante Fitri. dan saat aku lihat pemilik sumber suara itu ternyata mataku bersitatap dengannya yang sedang berdiri di depan mamanya. Akupun langsung mengalihkan pandanganku.
Aku berdiri memberi ruang agar Andika bisa duduk di samping Tante Fitri.
"Bagaimana kondisi Papa, Ma?"
"Itu sekarang sedang istirahat"
Itulah sekilas percakapan yang aku dengar antara Andika dan Tante Fitri. sedangkan aku mendekat ke Ayah. kemudian aku sentuh lengan Ayah. Ayah yang melihat arti tatapanku akhirnya menganggukkan kepala. Kemudian menggiringku mendekati tempat Tante Fitri dan Andika untuk pamit pulang.
***
Didalam mobil, Ayah hanya bertanya apa yang aku bicarakan dangan Andika. Namun aku hanya menjawab untuk tidak menceritakan pada ayah malam ini. Aku bernego untuk membicarakan esok. karena Aku benar-benar capek dengan scene yang terjadi selama di rumah sakit. Dan setelah itu aku menutup mata bersandar di kursi penumpang. Bukannya membuatku bisa tenang, namun kejadian hari ini berputar layaknya film ketika aku menutup mata.
Siang aku bisa tertawa lepas bersama Radith, Ayunda, dan anak-anak RB. Tapi setelah itu, aku harus menghadapi keadaan yang langsung mengikis semua sisa kebahagiaan tersebut. Bahagiaku bersama sahabat dan anak-anak yang menjadi sumber semangat kebermaknaan. Mungkin ini kebahagian di dunia yang hanya sementara. karena sejatinya tak ada yang kekal di dunia. termasuk saat kita merasakan bahagia.
"Kak Vira bangun. Ih.. kakak tumben banget ngebo. Ayo kak bangun," sayup-sayup aku mendengar suara adikku Vania dengan guncangan pada lenganku.
Akupun membuka mata, dan benar saja pertama kali aku bangun yang kulihat Vania. "Udah bangun kak? Jorok banget sih, tidur gak mandi atau minimal ganti baju gitu. Ini malah ngebo sampai subuh. Udah sekarang wudlu, ditunggu ayah sama bunda untuk jama'ah," sembur Vania. Sedangkan aku masih mengumpulkan nyawa yang masih bertebaran untuk memahami maksud Vania.
Aku pun menyingkap selimut, dan menurunkan kaki kesisi tempat tidur. "Astaugfirullah" spontanku saat aku menunduk aku sadar kalau aku masih pakai baju kemaren yang sudah aku gunakan untuk aktivitas seharian mulai dari kerja, di RB dan terakhir di rumah sakit. Ternyata aku langsung ketiduran, setelah keluar dari mobil bergegas sholat isya' dan rebahan diatas kasur hingga membuatku terbuai dalam nyenyak tidur melewatkan sepertiga malam terakhirku.
"Kenapa Kak?" tanya Vania. dan aku hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk wudlu, kemudian memakai mukenah baru turun kebawah menuju sebuah ruangan yang di fungsikan untuk menjadi musholla untuk kami sholat berjama'ah.
Seperti biasa Ayah menjadi imam. Setelah takbiratul ikram ayah lafadkan, dalam kekhusyukan kami melaksanakan kewajiban kami menyembah Sang Khalik di kala subuh.
Salam setelah tahiyat akhir di ucapkan. Kamipun mengangkat tangan untuk berdo'a. Setelah itu aku baru mencium punggung tangan ayah dan ibu serta bersalaman dengan Vania. Dan inilah yang ritual pagi kami setiap harinya.
"Vir, habis ini Ayah mau bicara sama kamu. Ayah tunggu di ruang keluarga," tegas ayah, saat aku melipat mukenah. Akupun hanya membalas anggukan.
Aku yang baru turun dari tangga, setelah mengembalikan mukenah ke kamar, langsung menjumpai Ayah yang duduk di sofa ruang keluarga sendiri sambil melihat siaran televisi.
Ketika aku sudah duduk berhadapan dengan ayah, yang hanya di batasi meja kaca. Ayah langsung mematikan siaran televisi.
"Ada apa yah? Apa ayah mau bicarakan tentang kejadian di rumah sakit?" tembakku langsung sasaran.
"Iya. Ayah tahu anak ayah sekarang udah dewasa, sebentar lagi juga udah dua puluh lima tahun. Sudah lulus kuliah S2. Sudah pinter nyari uang sendiri, dan juga punya jiwa sosial yang tinggi menolong orang. Tapi ayah mau tanya kapan kamu akan memikirkan menikah? Semandiri kamu dalam menjalani hidup, kamu tetap butuh partner hidup Vir. Kamu tidak mungkin akan tinggal di sini selamanya menjadi anak ayah dan bunda. Sudah saatnya kamu berubah peran menjadi seorang istri dan seorang ibu."
"Iya, Y.ah Vira akan menikah, tapi tidak dalam waktu dekat ini. Masih belum ada orang yang Vira anggap pas untuk menjadi imam buat Vira".
"Apa kurangnya Andika sehingga kamu mengganggap Andika kurang pas untuk jadi imam kamu?"
"Ayah, jawaban Vira masih sama. Vira belum mengenal Andika, jadi bagaimana mungkin Vira menikah dengan orang yang tidak Vira kenal?"
"Alvira Salsabila Faiz. Putri pertamanya Ayah. Kalau masalahmu tidak kenal dengan Andika. Baik, Ayah bantu kamu mengenal dia. Karena Ayah sudah mengenal dia sejak kecil, sejak mamanya Hendra meminta anak ayah dinikahkan dengan anaknya Hendra. Saat itu kamu lahir, dirasa pas kamu di jodohkan dengan Andika, mengingat umur kalian hanya terpaut dua tahun. Bundamu dan Tante Fitri sama-sama setuju,"pengantar ayah mengenai asal usul perjodohan.
"Andika secara kepribadian dia anak yang baik. Sejak kecil Andika selalu memfokuskan dirinya untuk meraih study. Dia anak yang pandai. Selalu menjadi bentang sekolahnya. Hingga ia menjadi cucu kesayangan di keluarga Herlambang. Disaat nenekmu meninggal, Ayah sebatang kara, tak ada biaya untuk ayah sekolah. Namun Allah mengirim keluarga Herlambang menolong Ayah dari putus sekolah. Karena ayah dan Hendra sudah berteman sejak SMP dan orang tua Hendra sangat mengenal Ayah. Ayah disekolahkan hingga lulus universitas. Setelah itu ayah dipercaya untuk menjadi salah satu staff di cabang milik Herlambang Group. hingga kini ayah dipercaya menjadi General Manager di salah satu cabang Herlambang Group. Ayah menerima perjodohanmu dengan Andika, bukan hendak menjadikanmu sebagai balas budi Ayah terhadap keluarga Herlambang." lanjut Ayah.
"Ayah, Alvira tidak berfikiran seperti itu Yah. Vira selektif untuk masalah imam, karena Vira ingin menikah dengan dia yang bagus dalam menjalankan agamanya. Hanya itu yah, sedangkan Vira tidak bisa menilai Andika disisi tersebut," sergahku ketika ayah menganggap alasanku menolah menjurus karena aku bagaikan barang balas budi ayah. Sungguh aku tidak berfikir seperti itu.
"Vira, sebagai muslim Andika masih menjalankan sholat lima waktu, ia juga berpuasa ketika ramadhan. Namun jika tuntutanmu lebih dari itu Andika memang kurang mendalami tentang islam. Ia bukan anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang berpegang pada agama sangat kuat seperti Radith. Namun Vira, sebuah rumah tangga tidak hanya membicarakan siapa yang bisa jadi imam dan mampu membimbing untuk bisa menjalani jalan kesurga. Namun rumah tangga sebuah miniatur kerjasama untuk mencapai sebuah tujuan. Yang mana disana laki-laki sebagai imam dan perempuan sebagai makmum hanyalah sebuah formalitas. yang ada keduanya saling bekerjasama, saling mengingatkan akan tujuan dari rumah tangga yang ia bina agar keluarganya bisa berkumpul di surge kelak."
"Terus apa Ayah sekarang, mau maksa Vira untuk mau menikah dengan Andika?" pertanyaan putus asaku. Karena jarang sekali ayah akan berbicara seserius ini dengan memaparkan banyak penjelasan kepadaku.
"Ayah tidak memaksamu untuk menikah dengan Andika. Tapi ayah memberimu peluang mengaktualisasikan diri yang senang sekali membuat orang agar mengenal Allah dan Islam. Seperti yang dulu kamu dan Radith lakukan pada Farel serta pada adik-adik yang kamu bina di RB. mungkin ini cara yang paling meanstream yang akan kamu lakukan lewat pernikahan. Buat Andika tidak hanya mengenal islam sebatas sholat dan puasa. Buat dia mendalam lagi mengenal Islam. Maka jika kamu sukses membuat Andika lebih dalam mengenal Islam, selain kamu bisa merasakan kebermaknaan kamu juga akan dapat sosok imam yang sesuai kriteriamu yang baik dalam beragama," jelas Ayah yang sungguh aku tidak pernah menduga landasan ayah mendukung perjodohan dengan putra Herlambang karena sebuah misi mulia.
"Vira, Ayah juga menyanyangi Andika, seperti ayah menyanyangi kamu dan Vania. Ayah juga ingin Andika sama seperti kamu yang mau belajar mendalami Islam. mengingat Andika yang sudah dewasa, ayah berfikir cara mengenalkan dia dengan Islam yang paling mungkin dengan cara menikahkan kalian. Dan karena kamu suka sejarah, bukankah ini salah satu cara yang sukses membuat islam masuk ke Indonesia? Kamu bisa pertimbangkan ucapan Ayah. Keputusan tetap ditanganmu."
"Ayah andai ayah tau obrolanku di kantin, Andika mengajaku menikah kontrak sebagai percobaan. dua tahun kami cocok lanjut, namun jika tidak kita bisa bercerai dan kompensasinya ia akan kasih aku uang. Dengan kalimatnya yang seperti itu, harga diriku terusik Yah. Apa dia pikir aku adalah orang yang akan melakukan segala sesuatu demi uang." ucapku dengan melemah. Antara alasan ayah yang membuatku terdorong menerima Andika, tapi satu sisi hatiku masih sakit atas ucapannya.
"Ayah rasa dia sudah tidak menemukan cara lain Vir. Mengingat Andika yang sangat cinta orang tuanya, dan permintaan orang tuanya hanya kamu menikah dengannya, sedangkan kamu tidak mau. Mungkin dia sedang mencoba keberuntungan, mungkin dengan cara itu kamu mau menerimanya."
"Baiklah Ayah, jika memang menurut Ayah jalan yang terbaik Vira menerima perjodohan ini. Namun bila nanti Vira gagal membuat Andika mau mengenal Islam lebih dalam. Vira boleh mundur kan Yah? Karena bagaimanapun bagi Vira seorang imam harus taat dalam beragama."
Ayah mengangguk dengan senyum mengembang. Kemudian ayah bangkit dari duduknya, berjalan mendekatiku dan memelukku yang masih duduk di sofa. Kepalaku ku benamkan dalam perut ayah yang mengusap puncak kepalaku.
"Ayah yakin, kamu bakal sukses putriku. Sebelum berangkat kerja, kamu kerumah sakit dulu, sampaikan keputusan mu ini dulu ke mereka." Mendengar kalimat Ayah, aku langsung menjauhkan kepalaku di perut ayah, kemudian menatap beliau dengan sorot mata yang penuh tanya. Seakan mengerti arti tatapan itu aAyah melanjutkan kalimatnya, "kamu harus kesana, sampaikan berita bahagia ini buat mereka. Ayah yakin ini bisa jadi obat yang mempercepat pemulihan Hendra."
"O.. baiklah Ayah. Vira ke rumah sakit dulu sebelum berangkat ke kantor," jawabku akhirnya.
Setelah itu Ayah mengacak kasar puncak kepalaku yang tak tertutupi hijab, menyuruhku untuk mandi. Sedangkan ayah langsung berlalu meninggalkanku di ruang keluarga.
Aku memang tidak langsung bergegas mandi, aku masih merenungi keputusanku, semoga aku tidak mengambil keputusan yang salah.