Berubah Status

2645 Words
ALVIRA POV   Seperti perintah Ayah, kini Agya putih yang aku beli dari hasil kerja kerasku sudah berhenti di parkiran Medical Utama. Aku tidak langsung keluar, masih duduk di kursi kemudi dengan kedua tangan berada diatas stir, serta telunjuk kanan yang mengetuk bertempo sama. Aku masih menguatkan diri untuk masuk dan menyampaikan keputusanku pada keluarga Herlambang.   "Bismillah. Mencari ridlOmu, semoga keputusan hambamu ini benar Ya Allah," ucapku. Setelah itu mengambil tas kerja serta tas kain berisi beberapa tempat makan di kursi penumpang. Setelah itu keluar dari mobil dan melangkah masuk ke loby rumah sakit terus berjalan hingga sekarang aku sudah di depan pintu kamar rawat Om hendra.   Lagi-lagi aku menguakan diri, karena aku sangat sadar keputusan ini akan sangat berdampak besar untuk kehidupanku mendatang.   "Bismillahirahmanirrahim," ucapku lagi sebelum mengetuk pintu yang di depanku ini.   Tok..tok.. tok..   Setelah itu aku membuka pintu pelan dan hanya menyembulkan kepala. Tante Fitri yang baru meletakkan gelas di atas nakas menoleh dan memberikan senyum kepadaku. Begitu pula Om Hendra yang tengah duduk di atas bankarnya juga tersenyum.   "Vira.. ayo masuk," suruh Tante Fitri dan itu membuatku langsung membuka pintu lebar kemudian melangkah masuk sesuai perintah Tante Fitri.   "Assalamualaikum, Tante," salamku ketika sudah berada di depan Tante Fitri.   "Waalaikumsalam," jawab Tante Fitri dan Om Hendra bersamaan. Kemudian aku mencium punggung tangan beliau serta menangkupkan tangan di depan d**a sebagai salam hormatku pada Om Hendra.   "Gak ke kantor Vir?" tanya Om Hendra dengan suara lemahnya.   "Habis ini Om. Oh ya ini ada titipan Bunda." Sambil mengangkat tas kain yang berisi tempat makanan.   "Apa itu Vir?" Kini giliran Tante Fitri yang bertanya.   "Masakannya Bunda. Ini Tante" Kemudian tas kain itu berpindah ke tangan Tante Fitri.   Kulihat Tante Fitri berjalan kearah meja yang berada di sofa, mengeluarkan empat tempat makan, dan menata diatas meja. Setelah melihat isinya Tante Fitri kembali berjalan lagi ke samping bankar.   "Bilangin terima kasih ya Vir, sama Bundamu. Tau aja Bundamu kalau Tante udah kangen masakannya."   "Alhamdulillah kalau Tante suka. Ia nanti Alvira sampaikan ke Bunda," jawabku.   "Jelas suka lah Vir. Masakan Bundamu itu enak banget. Iya gak Pa?" jawab Tante Fitri sambil meminta pendapat suaminya dan dijawab sekali anggukan kepala lemah.   "Pa itu di bawakan Bella sayur sop, perkedel kentang dan juga ayam goreng. Papa mau sarapan itu?" tanya Tante Fitri pada suaminya.   "Mama sama Vira sarapan dulu, baru nanti suapin Papa kalau udah selesai," jawab Om Hendra dan di iya kan Tante Fitri.   Melihat interaksi Om Hendra dan Tante Fitri sungguh ini keluarga yang harmonis. Seperti melihat bunda dan ayah saja kalau berdua. Apa aku nantinya akan bisa memiliki keluarga seperti mereka.   "Vira, ayo temani Tante sarapan."   "Eh, itu buat keluarga Tante saja," sedikit kaget ketika mendengar ajakan Tante Fitri bersamaan dengan tanganya yang menyentuh lengan kiriku.   "Kamu melamun Vir?"   "Enggak kok Tante. Oh ya, Vira kesini karena ada yang mau Vira sampaikan."   "Tentang?" tanya Tante Fitri.   "Perjodohan Alvira dengan Andika"   "Semalemkan Tante suruh kamu untuk mikirin itu dulu."   "Vira sudah memikirkannya. Dan Vira menerima perjodohan ini Tante."   "SERIUS kamu Vira?" Kini Om Hendra yang merespons, aku jawab anggukan.   "Alhamdulillah," ucap Om hendra lagi. Saat itu juga bersamaan pintu ruang rawat terbuka hingga kami bertiga menoleh kearah pintu yang terbuka dan disana menampakkan Keizia dan Andika yang datang.   "Paapaaa..." teriak Keizia sambil berlari dan memeluk Om Hendra. Sedangkan Andika langsung mencium punggung tangan mamanya.   "Kei.. Papa bisa sesak nafas kalau kamu peluk gini," peringat Andika.   "He.. Abisnya Papa kemarin bikin Kei takut aja. Keizia kan sayang banget sama Papa"   "Kamu kira Kakak gak sayang sama Papa". Jawab Andika.   "Sudah, sudah. Ini rumah sakit, bukan arena debat," lerai Tante Fitri dan kulihat senyum tipis dari Om Hendra.   Pandanganku bertemu dengan Andika yang menatap tajam. Seperkian detik kami diam dan Andika pertama kali membuka suaranya.   "Untuk apa kamu kesini? Ini masih pagi kalau mau buat Papaku tambah drop," ucap ketusnya.   "Dika!" bentak Om Hendra. Walau suara yang terdengar pelan, namun penuh tekanan intimidasi. serta itu sukses membuat Andika menoleh kearah Papanya.   "Vira kesini itu, karena dia kasih jawaban mau menikah dengan kamu," jelas Om Hendra dan secepat kilat Andika menoleh lagi melihatku.   "Bukannya kemaren kamu menolak?" tanya Dika kepadaku.   "Bisa kita bicara berdua sebentar?" Setelah itu Dika keluar tanpa mengucap apapun.   "Tante, Om dan Keizia. Alvira keluar dulu," izinku pada semua orang yang di ruang rawat dan mereka semua menganggukkan kepala.   Akupun keluar. Setelah pintu rapat aku melihat Andika yang berdiri disamping pintu   "Apa yang mau kamu bicarakan?" ucap Andika langsung ketika aku membalikkan badan menghadapnya.   "Okey, to the point aja. Saya udah pertimbangin tawaran anda. Saya terima semuanya. Kita coba menjalani pernikahan ini selama dua tahun, jika memang jodoh biar sampai di surga kita menjadi pasangan. Tapi kalau memang bukan, dalam dua tahun itu kita pisah baik-baik. Dan disini saya tidak mau menerima uang yang Anda tawarkan," jelasku langsung ke inti permasalahan.   "Kenapa? Kurang? Sebutin aja nominal yang kamu mau!" culas Andika masih dengan sikap angkuhnya.   "Hufftt... ternyata orang seperti anda masih terus menilai seseorang dengan uang. Tolong dengarkan baik-baik. Saya tidak butuh uang anda. Dua ratus juta bahkan hingga satu milliarpun. Tanpa harus menikah dengan anda dan menunggu waktu dua tahun saya bisa dengan mudah mendapatkannya," ucapku dengan tenang, berusaha menekan emosi agar tidak terpancing dengan kalimat keangkuhannya.   "Anda bisa sedikit merubah cara pandang. Bahwa memang era saat ini apa-apa butuh uang, Tapi tidak sedikit hal yang tidak bisa dibeli dengan uang," lanjutku lagi.   Dengan senyum sinis Andika membalas ucapanku "Bicara seperti itu seakan-akan kamu tak membutuhkan uang."   "Munafik kalau saya bilang tak butuh uang. Tapi Saya punya banyak pilihan cara untuk mendapatkan uang. Menikah dengan anda untuk mendapatkan uang tidak pernah ada list saya, meskipun itu urutan terbawah. Sudahlah jangan merusak mood saya dipagi ini. Bagaimana kita lanjutkan kesepakatan? atau saya masuk kedalam dan mengatakan ke Om Hendra bahwa putranya yang menolak? So, saya bisa bebas dengan tuntutan ini tanpa harus menikah dengan anda."   Tanpa menunggu reaksi Andika. Sepertinya ia sedang mencerna ucapanku. Aku memegang knop pintu. Baru saja aku mau menggerakkan knop. Pergelangan tanganku ia cekal. "Okey, kita lanjutkan kesepakatan. Kita akan menikah," ucapnya.   Aku hanya membalas mengganggukkan kepala sekali, sebagai jawaban kesepakatan. Kemudian aku beralih melihat pergelangan tanganku yang masih ia pengang. "Tolong lepaskan cekalan tangan anda!" Andika yang sepertinya kaget langsung melepas cekalannya. Dan saat itu juga aku sudah bebas untuk membuka pintu ruang rawat.   "Sudah selesai ngobrol berduanya?" tanya Om Hendra ketika kami sudah sama-sama masuk ruangan dan melangkah kearah bangkar.   "Dik, kamu sarapan dulu sana sama Keizia," perintah Tante Fitri yang tanpa jawaban langsung melangkah ke sofa dimana disana sudah ada Keizia yang menyantap makanan yang dibawakan Bunda.   "Kak sumpah, ini enak banget rasanya," seru Keizia ketika Andika sudah duduk disampingnya. Sedangkan Keizia masih setia menyendokkan makanan ke mulutnya.   "Kei, kalau makan sambil bicara. Kesedak tau rasa kamu nanti," tegur Tante Fitri ke putri bungsunya. "Oh ya Vir, beneran gak gabung sarapan?" tanya Tante Fitri padaku.   "Tidak usah Tante. Ini Vira juga mau balik. Udah mendekati jam masuk kantor," balasku sambil melihat jam tanganku.   "Berangkat bareng Andika dan Keizia aja, Vir!" tawar Tante Fitri lagi.   "Vira bawa mobil sendiri, Tante."   "Vira.. kok masih panggil Tante. Mulai sekarang panggil Mama ya," pinta Tante Fitri sambil menggenggam kedua tanganku.   "Hah? Vira panggil Tante Mama kalau Vira udah beneran nikah sama Andika saja ya Tante," tawarku karena akan terasa aneh orang yang belum seberapa dekat harus aku panggil dengan sebutan seakrab itu. Aku masih membutuhkan adaptasi untuk mengubah panggilan Tante menjadi Mama. setidaknya kalau aku sudah menikah itu bisa jadi alasan merubah panggilan.   "Apa bedanya Vir, sekarang atau dua hari lagi untuk manggil kami Papa Mama?" suara Om Hendra kini mengintruksi.   "Maksud Om?"   "Kita adakan pernikahan kamu dan Dika dua hari lagi"   Uhuk-uhuk   Aku mendengar Andika terbatuk sedangkan aku hanya membelalakan mata. Sungguh ini keputusan macam apa? Masak iya statusku akan berubah dalam kurun waktu dua hari?   “Pa, apa ini tidak terlalu cepat?”   “Om, apa ini tidak terlalu cepat?” ucapku dan Andika bersamaan, membuat kami saling menoleh.   "Kak Dika dan Kak Vira kompak benget jawabnya. Wah petanda jodoh nih," seru Keizia   "Apaan sih kamu Kei," kesal Andika menatap tajam adiknya dan hanya di resposn senyum tak berdosa oleh Keizia.   "Kan kalian memang berjodoh," sambung Om Hendra. "Vir kamu mau minta mahar apa?" tanya Om Hendra kepadaku.   "Ma'af Om, apa ini tidak terlalu cepat? Kita belum mempersiapkan apa-apa Om," jawabku. Dan sebenarnya itu alasanku biar tidak secepat itu. Sungguh aku tidak terfikirkan akan merubah status secepat ini.   "Panggil Papa Vir. Papa mau pernikahan kalian memang dipercepat. Karena Papa takut tidak bisa melihat kamu dan Andika menikah. Masalah persiapan biar WO yang urus. Hanya ijab qobul dulu Resepsinya bisa menyusul nanti," jelas Om Hendra.   "Apa tidak bisa mundur seminggu lagi? Biar Vira bisa menyiapkan diri untuk perubahan status yang baru?" tawarku lagi dan hanya di jawab gelengan lemah Om Hendra.   "Dika, bagaimana kalau menurutmu? pernikahan kalian diadakan dua hari lagi?" tanya Om Hendra pada Dika.   "Pa, bener kata Vira. Apalagi Papa masih sakit," ucap Andika dan kita satu kubu.   "Papa nanti siang sudah boleh pulang. Yang mengurus persiapan pernikahan kalian biar WO. Pokoknya Papa mau pernikahan kalian diadakan dua hari lagi titik."   Mendengar keputusan sepihak dari orang superior, sepertinya aku tidak akan menang. Ditambah lagi mungkin ini konsekwensiku karena telah menerima perjodohan ini. "Baiklah Om, Alvira ikut saja," akhir dari keputusanku.   "Mahar?" tanya Om Hendra lagi.   "Masalah mahar Vira terserah. Sekarang Vira sudah boleh pamit ke kantor?" tanyaku lagi karena ini sudah pasti aku akan telat masuk kantor. Padahal aku datang kesini pagi banget biar tidak telat masuk kantor.   "Sepertinya Andika dan Keizia sudah selesai sarapannya. Ya sudah sana kalian sana berangkat bareng," Suara Tante Fitri.   Kemudian kami mencium punggung tangan Tante Fitri. kemudian beralih ke Om Hendra sedangkan aku khusus Om Hendra hanya menagkupkan kedua tanganku di depan d**a. Kemudian kami semua keluar ruang rawat.   Kami bertiga berjalan bersama menelusuri koridor rumah sakit dengan Andika yang berada di depan sedangkan Aku dan Keizia mengekor di belakang sambil mengobrol ringan.   Dari arah berlawan aku melihat Kak Aisiyah berjalan terburu-buru dengan longdress dan tanpa blazer putih yang biasanya tersampir di lengan. Sepertinya Kak Aisiyah kesini bukan untuk praktek. Karena Kak Aisiyah tidak pernah pakai longdress kalau kerumah sakit. Ia lebih nyaman kalau pakai bawahan celana bahan kalau sedang praktek.   "Kak Ais," sapa ku ketika kami sudah sudah berpapasan.   "Eh, Vira? Pagi banget lo ke rumah sakit? Siapa yang sakit? Atau jangan-jangan dari kemaren lo nginap di rumah sakit?" cecar kak Ais ketika melihatku. Aku hanya terkekeh mendengar serentetan pertanyaannya. Sedangkan Keizia yang berada disampingku hanya membeo mendengar Kak Aisiyah.   "Yah malah tertawa gak jelas. Eh kamu sama siapa kesini?" ucap lagi karena aku tak menjawab pertanyaannya.   Setelah itu aku atur nafas untuk meredakan kekehanku. "Yah abisnya itu pertanyaan apa gerbong kereta? panjang amat. Oh ya kenalin ini Keizia. Dan Keizia kenalin dia Dokter Aisiyah" ucapku memperkenalkan mereka berdua. Kemudian mereka bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing.   "Kak mau berangkat sama kita?" tanya Keizia setelah melepas jabatan tangannya dengan Kak Aisiyah. Aku menjawab dengan gelengan kepala.   "Enggak Kei, terima kasih ya tawarannya. Aku bawa mobil sendiri kok," ucapku sambil memberikan senyum kepadanya.   "Oalah, Ya udah Kak. Keizia duluan ya! Tuh udah di tinggal jauh sama Kak Dika!" jawabnya sambil menunjuk Andika yang udah jauh dengan posisi kami dan ia terus berjalan.   "O.. sana kejar. Hati-hati ya!" ucapku kemudian kami cipika cipiki sebelum dia pamit sama kak Aisi dan beranjak pergi.   "Siapa dia Vir? Akrab banget kayaknya," ucap Kak Aisiyah setelah Keizia pergi dan menyisakan kami berdua di lorong rumah sakit ini.   "Tadi kan udah kenalan Kak? Kok tanya lagi? Kakak ngapain kesini? Kalau bilang praktek Vira gak percaya," Kak Ais hanya megangkat salah satu alisnya mendengar pernyataanku.   "Kenapa lo gak percaya? gue kan kerja disini?"   "Yah mana ada Kakak kerja pakai longdress gini," jawabku.   "Kan bisa aja aku ada baju ganti di ruangan," balasnya yang tak mau kalah.   "Oh ya.. ya.. tapi beneran Kakak ada jam praktek pagi?" tanya ku memastikan dan kak Ais menggeleng. Membuatku bingung sebenarnya maksud Kak Ais itu apa?   "Mau ngambil kado buat sepupu yang mau menikah ketinggalan diruanganku Vir. Terus langsung go Semarang" jawab kak Ais.   "Berapa lama Kak di Semarang?"   "Dua sampai tiga hari paling."   "Sama Radith juga?" tanyaku memastikan.   "Ya, iyalah Vir. Moment seperti ini keluarga besar kumpul. Aku dan Radith tidak datang bisa habis kita di hadapan keluarga besar." Mendengar jawaban kak Ais membuat aku berfikir bagaimana cara memberitahu Kak Ais dan Radith kalau aku akan nikah dua hari kedepan?   "Vir.. yaudah ya Kakak keruangan dulu." Aku hanya mengiyakan. Setelah itu Kak Ais sudah meninggalkanku menuju ruangannya.   Dengan langkah pelan aku menuju parkiran sambil berfikir bagaimana caranya aku menyampaikan kalau aku akan menikah dua hari kedepan. Akhirnya aku putuskan untuk segera sampai di kantor. Biar Ayunda dulu yang mengetahui infomasi perubahan statusku dua hari mendatang.   Tak butuh lama agar aku sampai di kantor Herlambang Group karena jarak kantor dan rumah sakit yang tak jauh. Namun tetap saja aku telat untuk masuk kantor. Bergegas aku menuju ruanganku. ketika aku melewati kubikel Ayunda aku tidak melihat batang hidungnya nampak, kemana dia.   "Loh Vir, saya kira tidak masuk kerja. Gak biasanya kamu telat?" ucap pak Darma ketika aku baru duduk di kursi kerjaku dan spontan aku langsung berdiri lagi. "Ma'af pak, tadi pagi ada urusan sangat penting yang harus selesaikan pak"   "Iya tidak apa-apa. Saya hanya mengira kamu tidak akan masuk kerja. Ayunda tidak masuk, ibunya sakit. Kamu bisa handle kerjaannya dia dulu? Saya butuh laporannya sekarang."   Setelah aku menjawab 'iya' Pak Darma masuk keruangannya. Sekali lagi aku langsung menghempaskan tubuhku ke kursi. Kak Ais dan Radith ke Semarang. Ayunda ibunya sakit. Terus bagaimana aku kasih tau mereka. Kalau lewat telfon atau pesan aku takut terjadi salah faham yang sulit untuk di luruskan. 'Ya.. Allah aku harus bagaimana?'   ______________________   Dua hari lalu aku masih sibuk mengolah angka-angka laporan keuangan yang di minta Pak Darma. Kemarin harus menjadi wanita super sibuk yang mempersiapkan diri untuk menikah. Mulai dari cari kebaya. perawatan calon pengantin dan t***k bengeknya membuat aku belum bisa memberitahu para sahabatku tentang acara hari ini hingga jam sebelas malam aku memutuskan untuk memberitahu Kak Ais, Radith dan Ayunda lewat pesan WA.   Hingga saat ini aku masih belum memegang ponselku sama sekali. Bangun setelah subuhan langsung dibantu perias untuk makeover penampilanku. Dua jam berkutat dengan alat make-up hingga kini aku bisa mengamati pantulan diriku yang memakai kebaya putih beserta jilbab putih dengan makeup yang natural dari kaca rias.   cekrekk... pintu kamarku terbuka menampakkan sosok Bunda.   "Vir.. sudah siap? Ayo turun. Ijab qobulnya bakal dimulai," ucap Bunda aku menganggukkan kepala.   Bunda membimbingku keluar kamar, melewati tangga dan membawaku duduk samping Andika yang memakai celana, kemeja, tuxedo serta paci serba putih.   "Ananda Rafif Andika Herlambang bin Hendra Herlambang saya nikahkan dan saya kawinkan anak saya Alvira Salsabila Faiz kepada engkau dengan maskawin berupa seperangkat alat sholat dan Emas 50gram Tunai," ucap ayah setelah Andika menjabat tangannya.   "Saya terima nikahnya dan kawinnya Alvira Salsabila Faiz bin Faiz Al-Farisi dengan maskawinnya yang tersebut tunai," ucap Andika dengan lancar. Dan setelah itu otomatis semua berubah. Single berubah menjadi menikah. Jika sebelumnya Surgaku yang berada ditelapak kaki ibu kini Surgaku adalah keridlo'an suami.   Aku membelokkan tubuhku menghadap Andika. Ku sambut uluran tangannya dan ku cium penuh khidmad. Dalam hati aku bertekad bahwa pernikahan ini adalah caraku untuk membantunya mengenal Islam. Kalau aku tidak bisa mendapat imam yang bagus pemahaman agamanya, maka aku harus membantu imamku agar bagus pemahaman agamanya. Maka dengan begitu pernikahan ku akan bertahan hingga kami benar-benar menjadi pasangan di surga kelak.   Setelah aku merasakan Andika menangkupkan kedua pipiku kemudian mencium keningku. kemudian kami lanjutkan untuk sungkem orang kami berdua.   Serangkkaian acara penuh khidmad itu selesai. ketika aku melihat ke para tamu yang hadir di situ aku menegang melihat Ayunda dan Kak Aisiyah berbaur dengan tamu. Kemudian aku  mencari sosok Radith, Namun aku harus menelan kekecewaan karena tidak melihat Radith di barisan tamu. Radith tidak akan menghadiri acara pernikahanku hari ini dan mungkin ketika resepsinya nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD