Hidup Baru

1923 Words
ALVIRA POV   Acara sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Yang tersisa sekarang hanya keluarga inti dariku dan Andika. Dan aku berada di tengah-tengah mereka yang tak tau sedang membicarakan apa. Karena ragaku memang berada di tengah-tengah dua keluarga ini. Namun fikiranku jauh menerawang akan pembicaraanku dengan Kak Ais dan Ayunda ketika cara mau selesai, mereka menarikku untuk bicara bertiga .   "Vir... gue kira WA lo itu bercanda loh," ucap Ayunda dan aku hanya meringis menunggu kelanjutan apa yang akan ia ucapkan. Dan aku benar-benar siap jika kena marah mereka berdua. Siapa yang tak akan kecewa kalau katanya sahabat namun informasi kalau sahabatnya akan menikah baru dapat semalam. kalah cepat dengan tetangga yang tahu dari kemarin sore.   "Terus gue tanya sama Kak Ais dan Radith mereka juga dapat pesan yang sama, dari sana gue pikir ini tidak mungkin bercanda," lanjut Ayunda lagi.   "Apa yang terjadi Vir? Kok kesannya mendadak banget? Sampai-sampai tengah malam gue dan Radith langsung milih untuk balik ke Jakarta," timpal Kak Ais.   "Sebenarnya dua hari lalu aku udah mau cerita, tapi Kak Ais dan Radith buru-buru mau ke Semarang. Terus Ayunda gak masuk kantor karena ibu sakit," jelasku.   "Terus kenapa kamu tidak kasih tahu kami sebelum itu?" selidik Kak Ais dengan mata tajam.   "Karena keputusannya diambil dua hari lalu Kak," jawabku dengan nada lemah.   "Gak mungkin Vir, lo ambil keputusan itu pasti ada pertimbangan. Lo selalu mengambil keputusan itu terencana. Tidak mungkin lo tiba-tiba ambil keputusan semendadak itu, apalagi masalah seserius pernikahan," desak Kak Ais dengankan Ayunda memanggutkan kepalanya meng'iya'kan ucapan Kak Ais.   "Semuanya memang terencana tapi para orang tua," jawabku memberikan clue akan apa yang terjadi.   "MAKSUD LO PERJODOHAN?" teriak Kak Ais dan Ayunda.Sedangkan aku hanya menatap mereka tajam.   "Bisa gak sih gak pakai teriak?" tanyaku dengan mata jengah.   "Heh.. lo gak usah putar bola mata malas gitu. Disini kita yang harusnya seperti itu," damprat Ayunda dengan nada keselnya.   "Sudah-sudah kesini bukan untuk rebut, tapi mau minta penjelasan apa yang terjadi," tengah Kak Ais yang selalu bijak jika aku Radith dan Ayunda mulai adu mulut. Mungkin karena Kak Ais yang lebih tua sehingga bisa memposisikan sebagai Kakak.   "Vir... coba jelasin ke kita, apa yang sebenarnya terjadi?" lanjut kak Ais.   "Kak, Yun gue pasti cerita semuanya. dari A sampai Z kenapa peristiwa hari ini terjadi. Tapi gak hari ini juga. Pasti kena omel Bunda kalau kita ngerumpi. Kita atur waktu aku akan jelasin ke kalian berdua termasuk Radith nantinya," jelasku penuh ke hati-hatian takut menyinggung mereka.   "Janji?" ancam Ayunda dengan jari telunjuknya diarahkan kewajahku.   "Iya, gue janji. Do'ain gue ya supaya bisa membawa rumah tangga yang gue jalani nantinya bisa menjadi ladang baru buat gue deket dan terus berada dijalan Allah."   "Pastinya, kita selalu doain yang terbaik buat lo. Jangan harap rumah tangga yang lo jalani nantinya semulus jalan tol. Atau setenang air yang tak melawan arus. Tapi apapun yang terjadi lo harus sabar menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan yang ada. Gue, Radith dan Ayunda tidak mengenal sosok seperti apa suami lo itu. Sehingga tak banyak saran yang bisa kita kasih. tapi, mendengar pernikahan ini karena perjodohan, gue sangat yakin diantara kalian belum ada rasa cinta. Maka yang bisa membuat rumah tangga kalian nantinya bisa bertahan yaitu kepercayaan dan juga bangunlah rasa cinta diantara kalian. Karena rasa cinta yang akan membuat rumah tangga tidak serasa berada neraka," nasehat kak Aisiyah.   setelah Kak Ais mengucapkan nasehat bijaknya aku langsung memeluknya meski tanpa isak, namun air mataku lolos. Dan dari belakang punggung aku merasakan Ayunda memelukku. "Kita pasti do'akan yang terbaik buat lo," ucap Ayunda dalam posisi kami yang berpelukan bertiga.   "Loh pengantinnya kok nangis," goda Ayunda sambil menghapus sisa air mataku dipipi.   "Oh ya, Salam dari Radith. semoga lo bahagia. Semoga lo dan suami lo bisa bekerjasama nantinya untuk melakukan kebaikan, beribadah dan melakukan apa yang di perintah Allah. Serta saling menegur, mengingatkan supaya tidak melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah. Ma'af, Radith tidak bisa datang hari ini, Dan alasannya, kata Radith lo pasti tahu."   "Eh, Iya apa?" Aku kaget ketika merasakan ada yang menyenggolku. Mengembalikan aku kealam nyata. Sedangkan yang menyenggolku, tanpa harus melihat aku tahu pelakunya. Karena di sofa yang aku duduki hanya ada aku dan seorang yang berstatus suamiku beberapa jam lalu.   "Kamu melamunin apa sih Vir? Mama panggil berkali-kali gak kamu jawab," tanya Mama Fitri. Dan sejak kemaren aku sudah mulai untuk memanggil Mamanya Andika dengan sebutan 'Mama'.   "e..engg.."   "Pasti melamunin malam pertama nanti mau ngapain ya Kak?" potong Vania ketika aku bingung menjawab pertanyaan Mama Fitri. Lantas itu membuat aku melotot sempurna ke adikku yang satu ini. tak lama bantal kursi melayang kearahnya yang duduk di sofa single sebelah kanannku.   "Jangan asal menjawab, Dek," ucapku dengan kesalnya.   "Bun... Kak Vira lempar aku pakai bantal," adu Vania dengan mengangkat bantal kursi yang aku lempar padanya. Bunda hanya menggelengkan kepala melihat perilaku kami. Kalau para lelaki yang ada mulai dari Ayah, Papa, dan Andika hanya mode diam mengamati. Jangan tanyakan bagaimana Keizia dan Mama yang cekikikan. Bilang saja aku tak tau malu bertingkah layaknya anak kecil didepan suami dan keluarganya. Namun aku lebih malu lagi dengan apa yang di ucapkan adekku Vania.   "Dasar anak kecil, bisanya cuma ngadu," kesalku yang belum reda.   "Iya, yang udah nikah mau ngaku kalau udah dewasa," jawab Vania yang langsung ku hadiahkan tatapan maut.   "Sudah-sudah, apa gak malu udah pada besar masih perang mulut," lerai Bunda ketika aku sudah mau membuka mulut membalas nyinyir Vania.   "Ma'af Ma, Pa, semuanya atas tingkah Alvira tadi. Oh ya tadi manggil Alvira ada apa?" ucapku akhirnya untuk mengalihkan topik keisengan Vania.   "Gak Papa Vir. Andika dan Keizia kalau lagi kumpul ya seperti Kamu dan Vania tadi. Oh ya ini kami semua tadi membicarakan kalian mau honeymoon dimana?" mendengarkan penjelasan Mama membuat aku mengangkat kepala. Ngeri aja membayangkan honeymoon disaat saling canggung. Semenjak habis ijab qobul aja masih belum ada yang buka mulut aku sama Andika. Terus mau ngapain pas honeymoon? saling diam?.   "Honeymoon bisa tidak waktu dekat ini bisa kan Ma? Masih banyak pekerjaan di kantor," tolakku akan rencana honeymoon.   "Masalah kerja.."   "Pa.. pliss. Jangan waktu dekat ini ya," potongku memohon dengan puply eyes. Katakan saja tidak sopan. Tapi ini harus dilakukan kalau tidak mau kalah dengan Papa yang sudah mendapatkan predikat 'pemaksa'.   "Okey, tidak apa-apa kalau Honeymoon di tunda dulu. Tapi masalah cucu tidak ada kata penundaan," ucap Papa.   "Pa, Nikah masih baru hitungan jam, kok sudah di tagih cucu sih," dengus Andika sedangkan aku hanya menghempaskan badan kesandaran sofa.   "Nah, karena nikahnya masih baru, Tenaganya masih full untuk marathon buat cucu."   "Papaaa....." desis Andika menahan geram atas candaan Papa. Sedangkan yang lainnya hanya cekikikan dan aku masih bersandar malas melihat interaksi di depanku yang tak perlu ku timpali sebelum mereka tambah semangat membully.   "Ya udah yuk Mah, Kei, kita pulang. Udah ada yang gak sabar mau buat baby," masih dengan godaan Papa, sedangkan Andika mengusap wajahnya dengan kasar. Tidak mungkin kan Andika melempar bantal kursi ke Papanya seperti aku Vania.   "Vira, Dika. Malam ini kalian menginap disini aja. besok baru pindahan tinggal di rumah Papa Mama. Dika kamu bantu Vira mengemas barang-barangnya yang mau di bawa. Mama, Papa dan Keizia pulang dulu. Kasian Tiara kalau nanti di antar pulang sama Angga terus gak ada kita di rumah," pesan Mama sebelum akhirnya pamit untuk pulang bersama Keizia dan Papa.   Menyebut nama Tiara aku jadi kangen sama bocah kecil itu. Hari ini dia tidak datang karena di bawa om dari pihak papanya ke luar negeri. Sejak insiden Tiara yang hampir ketabrak mobil dan berujung Papa Hendra masuk rumah sakit. Tiara dititipkan di keluarga Marcello.   "Bun, yah. Vira kekamar dulu, capek mau istirahat," izinku pada Bunda dan Ayah. setelah keluarga Herlambang pulang dan Vania sudah masuk kekamarnya.   "Iya udah kalau mau istirahat. Nak Dika kalau mau istirahat juga tidak apa-apa. Istirahat di kamar Vira, kan dah halal," jawab Bunda dan membuatku dan Andika saling pandang.   Setelah itu aku dan Andika naik keatas, masuk kedalam kamarku. Andika langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tempat tidurku yang tidak terlalu besar serasa di monopolinya ketika ia terlentang. Sebelum ia terlelap aku menyuruhnya mandi dulu dan berganti pakaian yang kemarin aku dan Mama belikan untuknya. Yah kemarin selain mempersiapkan kebutuhan untuk pernikahan hari ini, Mama juga membeli beberapa potong baju untuk Andika yang di suruh simpan di rumah ini. Kata Mama untuk stok baju Andika kalau lagi menginap di rumah Bunda dan Ayah.   ______________________   Karena posisiku tidurku yang miring, ketika aku membuka mata sosok yan pertama kali di tangkap indra penglihatanku adalah sosok Andika yang terlelap sangat damai. Terkejut adalah reaksiku pertama kali saat aku, bayangkan saja di umur yang mendekati dua puluh lima tahun aku belum pernah terbangun disampingku ada sosok laki-laki. Kalapun pernah mungkin itu Ayah disaat aku kecil. Beruntungnya aku bukan perempuan Alay atau orang tiba-tiba Amesia akan kejadian tadi pagi, sehingga aku tidak perlu teriak histeris karena terbangun di tempat tidur yang sama dengan laki-laki dan posisi kita saling berhadapan. Sudah ku bilangkan kalau tempat tidurku kalau dia terlentang sudah pasti tidak akan cukup diisi berdua.   Tak perlu ambil kesempatan untuk mengamati wajahnya yang tengah terlelap, hingga akhirnya ketahuan sang empu. Akhirnya aku menggeser tubuhku untuk bangun dan masuk kamar mandi. Dengan setelan celana jogger pen merah maroon, serta kaos polos hitam dan jilbab segi empat warna merah maroon juga hanya aku selipkan jarum di bawah leher. Khas baju santai rumahan aku keluar dari kamar mandi. Ku lihat Andika masih tidah nyaman dengan tidur siangnya.   "Bangun... Ayo bangun! Udah masuk waktu Ashar ini!" ucapku sambil menggoncangkan tubuhnya.   Kemudian aku lihat Andika mengeliat kecil dan mengedipkan matanya menyesuaikan dengan cahaya. "Ada apa kamu bangunkan aku?" tanyanya ketika sudah membuka mata.   "Udah jam empat. ayo bangun terus sholat ashar berjama'ah lagi. Kita sholatnya di kamar aja, karena Bunda dan Ayah biasanya udah sholat duluan"   Andika hanya melihatku kemudian dia turun menuju kamar mandi. Selagi dia di kamar mandi aku menyiapkan perlengkapan sholat. Setelah Kak Dika keluar dari kamar mandi, berganti aku untuk mengambil wudlu. Setelah itu kita berdua sholat dengan khusuk dan ini untuk yang kedua kalinya ia menjadi imam sholatku setelah sholat dhuhur berjama'ah kami berdua sebelum tidur siang.   "Mau kemana?" tanyanya ketika aku melangkah menuju pintu kamar.   "Kedapur. Biasanya Bunda jam segini sedang masak untuk makan malam," tak ada respon lanjutan darinya kemudian aku melangkah keluar   "Udah bangu Vir?" tanya Bunda ketika aku baru melangkah masuk ke area dapur. Aku pun hanya mengangguk, kemudian duduk di kursi depan pantry.   "Andikanya dimana?" tanya Bunda lagi   "Dikamar Bun."   "Masih tidur?" Akupun menggeleng.   "Suami kamu tinggal sendirian dikamar?" mendengar pertanyaan Bunda aku hanya menautkan kedua alisku. "Kamu masuk kamar lagi aja Vir, temani suami kamu," lanjut Bunda lagi.   "Bun, Vira kan pengen bantu Bunda masak. Biar sekalian belajar." Bunda hanya mengelengkan kepala tak setuju.   "Belajar masaknya nanti saja. Kamu temani suami kamu dulu. ini hari pertamanya disini, pasti merasa asing. Kamu temani Dika biar merasa nyaman di rumah ini," perintah Bunda.   Aku menurut Bunda mengusirku dari dapur, pertama selain aku tak mahir seperti Bunda dan Vania dalam urusan dapur. Kedua tak akan menang jika berurusan dengan ratu rumah ini. Kecuali kamu ngambek dan gak pulang beberapa hari baru nanti di cari.   "Vir.. mau kemana?" tanya Bunda ketika aku sudah melangkah keluar dari area dapur.   "Kekamar lah Bun. Katanya suruh temani Andika"   "Masak iya balik ke kamar tidak bawa apa-apa buat suamimu. Di kulkas ada biscuit terus buatkan lemon tea untuk Andika. Kata mamanya Andika suka banget sama lemon tea hangat"   Aku pun menghela nafas, sebegitu faham dan perhatiannya Bunda sama menantu barunya itu. Mau tidak mau aku melakukan apa yang diperintahkan Bunda. Hitung-hitung ini belajarlah untuk jadi istri yang baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD