Hidup Baru 2

2160 Words
Andika POV.   Langit yang cerah dengan panas yang tidak terlalu terik mengingat matahari sudah mulai condong kearah barat. Serta jalanan kompleks perumahan yang mulai sedikit ramai dengan beberapa ibu-ibu saling berbincang. Ada juga yang sedang menyuapi anak mereka dan beberapa balita yang sedang bermain menjadi pemandangan yang bisa di nikmati dari balkon kamar Alvira.   Berdiri sendiri di balkon kamar Alvira, dengan kedua jari-jari tangan saling mengait dan lengan yang bertumpu pada pagar besi pembatas balkon serta memandang langit membawaku untuk memikirkan Alvira. Perempuan yang keras kepala dengan pandangan cukup rasional ketika menolak perjodohan. Berulang kali berinteraksi dengannya semakin membuat dirinya seperti teka-teki yang sulit ditebak. Sungguh aku merasa dia tidak seperti kebanyakan perempuan yang aku temui. Dia perempuan unique.   Banyangkan saja, dipertemuan pertama saat pertama kali papa-mama mengajak makan malam di rumah ini. Informasi papa saat itu, aku akan dijodohkan dengan anak sahabatnya yang taat beragama. Tapi ketika pertama kali kami bertemu, dia sampai tidak berkedip melihatku. Pakaiannya juga terkesan modern, Dia memakai celana jeans saat kami awal kali bertemu walau setelahnnya ia berganti rok. Dikantorpun dia juga lebih suka memakai celana bahan. Bahkan, hingga saat ini hanya sekali aku melihatnya memakai gaun. Ketika acara makan malam di rumahku. Tampak sisi luar Alvira, aku bingung dimana dia dikatakan seorang yang taat beragama?   Dia juga bukan tipe perempuan penurut, terlihat bukan saat dia menolak perjodohan atau terlibat debat denganku atau papa. Dan hal yang paling mengejutkan adalah ketika dia menerima perjodohan ini. Pagi-pagi dia datang kerumah sakit hanya untuk mengatakan perubahan keputusannya. Padahal sehari sebelumnya dia begitu keukeh menolak membuat kondisi papa drop dan kamipun juga terlibat debat sengit hingga akhirnya ia meninggalkanku di kantin rumah sakit dengan ending dia tetap tidak mau menerima perjodohan ini.   Kira-kira, apa alasannya menerima perjodohan ini? Jika demi uang dua kali ia terlihat emosi saat aku menawakan nominal uang sebagai kompensasi menerima perjodohan ini.   Cekrek... bunyi pintu kamar yang terbuka membuatku menoleh siapa yang masuk. Ternyata dia, sipemilik kamar. Seseorang yang baru saja menjadi obyek yang aku fikirkanku masuk dengan membawa nampan berisikan teh dan juga sepiring biskuit.   "Sedang apa?" tanyanya sambil meletakkan nampan di meja yang tersedia dengan satu kursi untuk bersantai disamping meja.   "Tidak ada, hanya menikmati panorama sore," jawabku singkat kemudian memandang langit.   Kurasakan dia berdiri disampingku dan melakukan posisi yang sama denganku. "Itu aku bawakan segelas lemon tea hangat dan juga biskuit, lumayan untuk cemilan sore," lirihnya tanpa memandangku. Aku hanya meliriknya dan kembali memandang langit.   "Di cicipi dulu, lemon teanya masih hangat," lanjutnya.   "Nanti saja." Kemudian kami sama-sama saling terdiam memandang langit.   "Katanya mau bantu Bunda masak?" tanyaku masih dengan ekspresi datar memecah keheningan dan tanpa susah-susah melihatnya.   "Tidak diperbolehkan Bunda, titahnya aku disuruh menemanimu disini."   "Kalau mau bantu Bunda tidak apa-apa aku sendirian disini," jawab datarku.   "Dan membiarkan aku mendengarkan kultum sore Bunda?" sarkasme Alvira. dan tak berniat membalas akhirnya kami terjebak dalam keheningan kembali.   "Kamu mau aku panggil apa?" tanyanya, dan kini dia menoleh kepadaku. Aku yang bingung arah pertanyaannya hanya menautkan kedua alis memahami maksudnya.   "Kalau diluar kantor, kamu mau aku panggil dengan sebutan apa? interaksi di luar kantor tidak mungkin kita bersikap seperti seorang profesionalisme. Bisa kena tegur kedua orang tua kita kalau aku masih memanggil kamu dengan sebutan Pak Andika atau kata ganti saya dan anda," jelasnya.   "O.. Terserah mau panggil apa?" jawabanku.   "Okey, aku panggil kamu pakai imbuhan Kak," putusnya. Kembali lagi hanya menatapnya sebagai responsku atas keputusannya itu.   "Kenapa kamu keberatan?" klarifikasi Alvira.   "Aku bilang terserah kamu mau panggil apa!" tegasku.   Karena kami kembali pada mode silent akhirnya aku duduk di kursi yang ada di balkon. Kulirik lemon tea yang menggoda. Aku bingung, apa ia tahu kalau aku menyukai lemon tea?.   Sementara Alvira yang masih betah menghadap ke langit, Aku pun menyeruput lemon tea. Hanya seteguk aku merasakan ini lemon tea yang pas, segar lemonya, rasa tehnya dan manisnya juga pas.   "Siapa yang membuatnya?"   Alvira membalikkan badannya. Kini ia bersandar pada pagar besi pembatas balkon dan menatap gelas lemon tea yang aku pegang. "Aneh kah rasanya?" tanyanya.   "Rasanya pas. Siapa yang membuatnya?" Tanyaku lagi.   "Aku."   "Benarkah?" dan Alvira hanya menjawab dengan mengangguk.   "Bagaimana kamu meraciknya?"   "Mengapa kamu sedalam itu bertanya hanya seputar teh? Itu hanya seduhan teh yang di campur air perasan lemon dan aku kasih madu." Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya.   "Buatkan aku yang seperti ini tiap harinya," Perintahku yang tidak dijawabnya.   "Kenapa kamu cepat sekali berubah fikiran menerima perjodohan ini?" Rasa penasaranku yang tinggi membuatku akhirnya bertanya.   "Aku tidak harus menjawabnya sekarang. Yang penting sekarang kita tidak akan di kejar kedua orang tau kita mengenai keputusan perjodohan dan papamu bisa cepat pulih".   __________________   Jika Papa mengatakan bahwa Alvira anak yang taat beragama, Aku justru menilai jika keluarganya yang taat dalam beragama. Terbukti ketika aku dan Alvira menikmati waktu sore berdua di balkon kamar. Meski kami saling diam hingga langit yang awalnya biru berubah dengan semburat orange, Vania mengetuk pintu kamar. Vania tidak masuk namun ia membawa pesan dari ayah agar aku ikut ayah sholat berjama'ah di masjid. Ajakan ayah menurutku lebih menarik daripada di dalam kamar bersama Alvira tanpa ada pembicaraan.   Aku dan ayah sholat berjama'ah di masjid. Beberapa kali nampak ayah yang saling bertegur sapa dengan warga dan mengenalkanku sebagai menantunya. Setelah sholat magrib berjama'ah ayah tidak langsung pulang, melainkan aku liat beliau bertadarrus terlebih dahulu menunggu isya'. Merasa tidak enak dengan ayah, akhirnya akupun melakukan hal yang sama.   Setelah kami sholat, selama perjalanan ayah memberikan beberapa nasehat yang intinya harus sabar ketika menghadapi Alvira nantinya. Alvira memang bukan anak yang manja, namun kata ayah kalau aku mau mengambil keputusan yang melibatkan Alvira, aku harus menyiapkan alasan yang kuat untuk membuat Alvira setuju. Dan akupun membenarkannya pendapat ayah mertuaku ini. Tentunya ini yang semakin membuatku penasaran akan apa alasan Alvira yang membuat keputusannya berubah untuk mamu menerima perjodohan ini.   "Assalamualaikum," ucap ayah saat membuka pintu.   "Waalaikumsalam." Kedengarannya seperti suara Vania dari arah ruang makan. Kemudian aku dan Ayah melangkah menuju ruang makan.   Saat kami sudah berada di ruang makan, aku melihat Vania sedang menyiapkan piring di meja makan sedangkan Alvira baru keluar dari dapur sambil membawa piring yang berisi ayam kecap kemudian ia menatanya di meja. Setelah itu Alvira menghapiriku untuk meminta sajadah yang ada di pundakku.   "Kak mau ganti baju dulu, atau langsung makan malam?" tanyanya. Karena ayah sudah masuk kamar beliau untuk berganti pakaian akupun juga memilih melakukan hal yang sama.   Kami berdua masuk kekamar bersama, kemudian Alvira meletakkan sajadah dan kopiah yang aku pakai ditempatnya menyimpan perlengkapan sholat. Kemudian Alvira melangkah ke lemarinya untuk mengambil kaos polo dan juga celana pendek selutut kemudian memberikannya kepadaku.   "Kakak ganti pakai baju ini, nanti baju kokonya letakkan di tempat tidur dulu. Setelah makan malam baru nanti aku beresin. Aku mau ke bawah dulu, bantu menyiapkan makan malam. Kakak nanti turunnya menyusul saja." Kemudian ia melesat keluar.   Aku merasa heran dengannya, bagaimana mungkin ia bisa bersikap semanis ini padahal dia bukan perempuan yang penurut? Aku yang tak mau ambil pusing, akhirnya memilih berganti pakaian dan turun kebawah.   Saat berada di ruang makan ternyata semua meja sudah terisi penuh, hanya ada kursi kosong, kursi antara ayah dan Alvira.   "Eh, Nak Dika. Ayo duduk. Kita makan malam bersama," Uucap Bunda ketika aku sudah bersiap menarik kursi   "Iya Bun," ucapku dengan senyuman.   "Vir, ayo ambilkan suami makanan," perintah Bunda.   Alvirapun berdiri mengambil piring yang di depanku. "Segini?" tanyanya sambil memperlihatkan piringku yang sudah berisi nasi. "iya, cukup" jawabku.   "Mau ayam kecap dan sambal goreng tempe?" tanyanya kembali. sekali lagi aku menjawab iya. baru setelah itu iya memberikan piring kepadaku.   Selesai kami makan, aku bercengkrama dengan ayah mertua. Kami membicarakan masalah bisnis. Mengingat ayah adalah general manager disalah satu cabang Herlambang group. Sementara tiga wanita di rumah ini berkutat membereskan perengkapan dapur. Karena rumah ini tidak memelihara pembantu rumah tangga hanya datang pagi hari untuk membersihkan rumah saja.   Pukul sembilan malam, ayah sudah masuk kedalam kamarnya untuk beristirahat. Tak lama akupun menyusul masuk kekamar Alvira. Saat aku membuka pintu aku melihat Alvira duduk diatas sajadah dan melipat mukenah, sepertinya dia baru selesai sholat. Baju koko yang aku letakkan di atas tempat tidur sudah diberesin olehnya.   Akupun melangkah ke tempat tidur. Duduk bersandar ditempat tidur, dan mengambil ponselku yang berada diatas nakas, mengecek email dan pesan yang masuk.   Aku merasa kasur tempatkan kasur bergerak. Kulihat Vira hendak membaringkan tubuhnya. Saat itu aku terpaku, ia begitu cantik ketika melepas jilbabnya. Rambut lurus sebahunya juga tergerai dengan indah. Harum rambutnya menerobos indra penciumanku, membuatku menutup mata untuk menghirup lebih dalam, merasakan sensasinya dan aku menyukai harum rambutnya. Dan baru sekarang aku melihatnya tanpa jilbab, karena waktu tidur siang saja dia masih mengenakan jilbab.   "Kamu sudah mau tidur?" tanyaku ketika ia sudah berbaring dan menarik selimut hingga pundaknya.   Alvira menoleh dan menatap lama padaku. "Kenapa? Kamu kesulitan tidur karena tempat tidurnya kekecilan ya?" ucapnya yang tidak menjawab pertanyaanku, namun justru melempar pertanyaan balik.   "Tidak, namun ada yang mau aku tanyakan sama kamu," ucapku.   "Kalau itu tentang alasan perubahan jawabanku, maaf aku tidak bisa menjawabnya sekarang," balas Alvira   "Aku tidak mau bertanya tentang itu," jawab cepatku.   "Aku mau tanya, kenapa kamu selalu tidak mau bersalaman denganku atau Papa sewaktu kita melum menikah?" tanyaku. Karena dari banyak rasa penasaranku padanya ini juga merupakan penasaranku yang paling besar atas sikapnya.   "Karena kalian waktu itu bukan mahromku."   "Apa sebelumnya kamu tidak pernah bersentuhan dengan laki-laki?"   "Ayahku laki-laki."   "Aku tahu itu, maksudku selain ayahmu," ucapku dengan kesal karena jawabannya itu.   "Makanya kalau bertanya lebih spesifik. Aku selalu menjaga hijabku, sehingga aku tidak akan bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahrom kalau bukan karena ketidak sengajaan atau kondisi terdesak yaitu apabila aku tetap mempertahankan hijabku dampaknya akan lebih buruk dibanding aku tidak menjaga hijab," jelas Alvira.   Aku hanya menganggukkan kepala, meskipun aku tidak terlalu faham dengan apa yang dijelaskannya. Aku akui pemahaman hukum agamaku dangkal. "Terus sejak kapan kamu menjaga hijab?" tanyaku lebih dalam lagi.   "Kelas dua SMP."   "Kelas dua SMP? Berarti sudah sangat lama kamu menjaga jarak dengan lawan jenis?" tanyaku memastikan, dan Alvira hanya mengangguk.   "Seharusnya dengan rentang waktu sangat lama kamu menjaga hijab, akan serasa canggung kalau bersentuhan atau dekat dengan laki-laki?"   "Kamu benar," balas singkatnya atas pernyataanku.   "Tapi mengapa interaksi kita hari ini aku tidak melihatmu seperti orang yang canggung atau tidak nyaman?"   "Kata siapa aku tidak canggung. Demi apapun saat berinteraksi denganmu itu rasanya sangat canggung. Tapi aku selalu mengirim sugesti bahwa status kita sudah beda. Jika dulu aku menjaga jarak, tidak pernah duduk di sofa yang sama apalagi berada dalam satu tempat tidur atau melepas jilbabku didepan lawan jenis. Namun karena stastus yang sudah berubah, jika dulunya hal-hal itu haram dan sekarang menjadi halal. maka aku harus terbiasa dengan hal-hal tersebut. Meskipun sangat merasa tidak nyaman namun aku harus bertahan melakukannya hingga terbiasa."   "Kenapa kamu mau melakukan semua itu?"   "Karena kita sudah menikah."   "Hubungannya dengan kita menikah itu apa? Aku rasa sikapmu sekarang ini sangat berbeda dari awal-awal kita bertemu hingga debat kita dua hari lalu."   "Apanya yang berbeda?" tanya Alvira.   "Ya perilakumu seharian ini."   "Aku hanya mencoba untuk menjalankan peranku sebagai seorang istri. Ku harap kamu bisa melakukan peranmu dengan baik. Baru setelah dua tahun kita bisa menilai perkembangannya. Jika sukses lanjut, namun kalau tidak ya sudah tidak ada yang bisa dipertahankan," jawab Alvira dengan memandang langit-langit kamar.   "Apa kamu berharap saat dua tahun nanti hasil pernikahan ini tidak akan ada kata CERAI?" Pertanyaan implisit untuk mengurai alasan Alvira menerima perjodohan dan perilakunya yang berbeda hari ini.   "Kenapa kamu mempunyai premis seperti itu?" tanyanya balik. Membuat aku kesal, ternyata sulit sekali memancingnya untuk buka mulut tentang alasannya.   "Karena kamu rela memulai untuk melakukan peran baru ini. Sehingga apa motifmu kalau bukan menginginkan pernikahan ini berhasil?" balasku yang masih mencoba untuk menahan rasa kesalku pada Alvira.   "Apa keuntunganku jika pernikahan ini sampai berhasil?"   "Jelas kamu dapat banyak keuntungan. Jika pernikahan kita hanya bertahan dua tahun kamu hanya akan dapat dua ratus juta. tapi kalau pernihan ini bertahan bukan dua ratus juta yang kamu dapat. Tapi garansi hidup mewah seumur hidup dari kekayaan keluarga Herlambang. Nama Keluarga yang terselip di belakang namamu saat ini," ucapku yang tak bisa menahan kesal. Mengingat Alvira masih bisa mengeluarkan kalimat tanyanya kembali, sungguh dia lawan yang tangguh untuk duel kalimat. Seakan tak pernah habis kata yang dimilikinya untuk menjawab.   Mendengar ucapanku Alvira hanya bisa membelalakan mata "KAU" desisnya. Menggeram menahan amarahnya.   "Sudah malam untuk menanggapi tuduhan recehmu. Hari ini aku sudah mulai membuka tentang pribadiku. besok giliranmu," lanjutnya lagi setelah dirinya menghembuskan nafas secara kasar.   "Kalau aku tidak mau?" tantangku masih diliputi kesal karena enak saja dia menyuruhku. Padahal membuatnya untuk menyampaikan alasannya menerima perjodohan ini bagaikan dilakban itu mulut.   "Aku butuh mengenalmu untuk bisa beradaptasi hidup denganmu selama dua tahun ini. Tak ada yang aku kenal dari sirimu kecuali kamu mudah sekali menilai semua perilakuku berlandaskan aku menginginkan uangmu itu."   "Memang it..."   "Sudahlah diam aku mau istirahat," ucapnya yang seenaknya sendiri memotong pembicaraanku. kemudian ia memposisikan dirinya membelakangiku dengan sebelumnya ia sudah mengambil bantal yang di gunakan untuk alas kepalanya ia rubah untuk menekan kepalanya, menutupi telinganya dan tidak memberiku kesempatan untuk membalas ucapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD