Vira & Dika

1217 Words
ALVIRA POV.   Jam tanganku menunjukkan pukul 07.10 pagi. Aku berada di depan gedung pencakar langit, bertuliskan "HERLAMBANG GROUP" masih sepi. Maklum saja jam operasional kantor masih pukul 08.00 pagi. Senyum optimis membuat ringan langkah kaki memasuki gedung. Tak lupa memberikan senyum serta menyapa satpam yang sudah berjaga di depan pintu otomatis. Sejak awal keterima kerja, aku berangkat pagi. Supaya bisa mempersiapkan pekerjaan, biar tidak banyak pekerjaan yang menumpuk. Apalagi ini adalah hari kelima aku bekerja sebagai staff keuangan. Banyak yang harus di pelajari. Tidak mau ada kata telat dalam kamusku, karena kemajuan itu membutuhkan kedisiplinan. Sampai di lobby ku lihat Ayunda Larasati Hilmawan. Sahabatku kenal sejak awal ospek kampus, kelas yang sama dan saat ini juga bekerja di perusahaan ini.  Devisi dan ruangan yang sama. Hanya saja beda kubikel karena kami bersama mencoba keberuntungan melamar pekerjaan. Alhamdulillah disinilah sekarang kantor HERLAMBANG GROUP. Senyumku mengembang melihatnya duduk di sofa tunggu, anak itu ternyata menjalankan misinya datang pagi agar bisa melihat cowok keren datang dan menuju lift khusus jajaran tinggi direksi ataupun kolega penting. Sepertinya orang yang di tunggu Ayunda mempunyai jabatan tinggi dikantor ini. Katanya saat kemaren dia berangkat pagi, datang bersamaan dengan cowok tersebut dan melihat satpam memberikan senyum hormat kepadanya, dan membuat Ayunda berkesimpulan bahwa cowok itu, sepertinya juga bekerja dikantor ini. Ada-ada saja sahabatku yang satu ini.   "Hei.. nunggu siapa?" sapaku sambil memberikan senyum terbaikku ketika sudah berada radius 1 meter dengannya.   "Nungguin Kamuuu..." Dengan senyum yang di buat-buatnya.   "Idih, yang bilang nungguin gue, bilang aja cowok yang lo bilang keren itu," cibirku lalu beranjak menarik kedua tangan Ayunda untuk bangun dari duduknya. "Ayo... keruangan aja. Daripada nunggu gak jelas disini."   "Tunggu bentar Vir, kan masih ada 45 menit lagi jam masuk kantor." Negosiasi yang diajukan Ayunda enggan meninggalkan sofa lobby.   "Hei.. katanya nungguin gue. Sekarang gue udah datang, eh malah lo kayak perangko sama nih sofa. Udah yuk keruangan aja!"   Setengah berdiri Ayunda dari tempat duduknya, setelah Alvira berusaha menariknya lebih kuat. "Vir.. Vir.. itu cowok cakepnya, lo harus liat," ucap Ayunda sambil memberikan isyarat lewat matanya. Akhirnya kutolehkan kepalaku untuk mengetahui sosok yang di puji Ayunda dan rela datang pagi nongkrong di lobby ini.   Tatapan mataku bertemu dengan sosok tubuh tinggi, tegap berkarisma di balik tuxedo hitam elegannya dan membuat dia terlihat sangat mahal dan berwibawa, kulitnya yang putih dan bersih menandakan wajah terawatnya, hidung mancung, serta matanya yang bening berwarna hitam. Pantas saja jika cowok tersebut mampu membuat Ayunda rela datang pagi-pagi nongkrong di sofa ini agar bisa melihatnya, dan aku berani bertaruh bagi perempuan pemuja paras yang sempurna, komposisi cowok ini layak untuk masuk dalam kriteria mereka. Kuhembuskan nafas berat dan kepala menggeleng, pandanganku beralih ke sosok disampingku, Ayunda yang menatap dengan penuh kekaguman. Eh tunggu sebentar kenapa tiba-tiba wajahnya berubah gitu ya, kok kedua alisnya bertautan, seperti orang sedih, eh marah, eh kecewa, kutolehkan kembali kepalaku melihat laki-laki itu, dan benar saja, wajahnya berubah, ada cewek cantik bergelanyut manja di lengan cowok sambil memberikan senyum terindah. Apa itu kekasihnya? Kalau iya kasihan sekali sahabatku ini, ku lihat mereka terus berjalan hingga memasuki lift khusus para direksi.   "Hahaha..haha.." Akhirnya tertawaku membuncah setelah cowok yang dibilang cakep oleh Ayunda, eh seharusnya aku objektif jika cowok itu benar-benar cakep menghilang dibalik lift bersama pasangannya.   "Ih.. kok di ketawain, sih! Lo jahat, lo bukan temen gue," rajuknya sambil menghentak kedua kakinya lalu beranjak pergi masuk ke lift karyawan.   "Hei.. Hei.. tungguin, kok malah ditinggal." Setengah berlari aku mengejar Ayunda memasuki lift. Untung masih pagi, sehingga lift karyawan masih belum ramai dan antri.   Hanya menilai sesuai realita, Parasnya rupawan, itu fakta Berani bertaruh banyak pemujanya Mengingkari? hanya nambah list berdusta Setiap inci wajah dan postur tubuh bisa dibilang sempurna Terpesona? Itu dikamus Ayunda Jangan kira aku mati rasa, Karena setiap orang punya kriteria. Aku bukan pemuja Yang elok paras, yang banyak Harta, yang tinggi Tahta Karena semua itu hanya perhiasan dunia Bagiku, calon imam, harus yang taat dalam beragama.   -Alvira Salsabila Faiz-   ***   Andika POV.   Pekerjaan menjelang weekend seperti ini tidak telalu banyak, tidak ada meeting penting yang harus aku hadiri hari ini. Tapi hari ini terasa berat, mengingat obrolan dengan kedua orang tuaku pagi tadi. Yang bener aja, aku harus menikah di usiaku yang masih 26 tahun. Perjodohan lagi! Apa Mama Papa menganggap anaknya tidak laku, Pliss Ma, Pa, aku bukan bujang lapuk, hingga harus di jodohkan karena alasan klasik pula. Persahabatan untuk jadi keluarga. Kedua orang tuaku dan kedua orang tuanya tersebut bersahabat. Katanya kita sudah dijodohkan sejak gadis itu terlahir ke dunia, imbuhnya ini juga wasiat almarhumah Oma, yang juga menyayangi kedua orang tua gadis tersebut dan menginginkan aku bersatu dari salah satu putri keluarga tersebut. Hufftt... nafas berat ku hembuskan. 'Aku masih ingin BEBAS dari sebuah ikatan,' jerit batinku.   "Kenapa? Kepikiran ucapan Mama Papa tadi pagi? Kalau kakak gak mau bilang aja baik-baik sama mereka," ucap Keizia yang tengah duduk di sofa ruanganku menyadarkan bahwa aku tidak sendirian. Tapi ada Keizia Tiffanni Herlambang, adik perempuan sangat dekat denganku merangkap menjadi sekertarisku. Dia tidak mau di beri jabatan lain di perusahaan ini, kecuali sekertaris pribadiku.   "Tidak semudah itu dek, serangan jantung papa kambuh bagaimana? Kakak gak mau jadi anak durhaka. Kakak sayang sama mereka berdua, ingin bahagiakan mereka. Tapi apa harus kakak menerima perjodohan ini?"   "Terus bagaimana kak? Papa tuh keras, kalau udah ada maunya susah di bujuk kak. Apalagi Mama juga gak bisa bantah Papa, tadi pagi malah ikutan bujuk Kakak," seru keizia tak bersemangat melihat wajah lusuh kakakku.   Dan aku hanya menggidikkan bahu keatas petanda tidak tau apa yang harus di jawab apalagi dilakukan.   "Kenapa Kakak gak berdamai aja, terima aja perjodohan itu toh biar Kakak juga bisa move on dari Kak Anastasya." Tidak ada jawaban dariku membuat Keizia bersuara lagi bertanya penuh selidik "Apa Kakak udah ada pengganti kak Anastasya?"   "Menurutmu apa dia tidak sama saja dengan perempuan-perempuan yang melihat seseorang dari status sosial, kekayaan dan kesempurnaan paras?" Pertanyaan balik, menutupi keadaanku yang masih belum bisa melupakan Tasya... Anatasya. Dan jujur saja aku sudah bosan berhadapan dengan perempuan seperti itu.   Keizia berdiri, melangkah menghampiri dan menyentuh pundakku seakan memberikan dukungan dan menenangkan, sambil memberikan saran dengan intonasi yang lebih rendah. "Begini aja deh Kak, mending Kakak besok terima ajakan Mama Papa untuk makan malam dengan keluarga yang dijodohkan dengan Kakak. Kenalan dulu, baru Kakak tau seperti apa dia dan bisa kasih keputusan nantinya."   Hembusan nafas besar kembali ku lakukan, sedetik kemudian ku lirik jam di kantor yang menunjukkan 11.45 dan pandanganku alihkan kembali ke Kezia yang masih disampingku.   "Nanti Kakak pikirkan lagi. Sekarang Kakak mau ke masjid nanti telat jum'atannya. Kamu makan siang sendiri ya, atau pulang ke rumah. Kakak gak balik kantor lagi nanti." Kemudian aku beranjak pergi.   Aku bukan sok alim, tapi saat ini aku lagi belajar mendekatkan diri terhadap Allah, apakah akan ada perbedaan antara aku dekat dengan apa yang diperintahkan Tuhan dibandingkan dengan kedekatanku dengan kebebasan? Ini semua karena sepupuku yang menyuruh untuk mencoba dekat dengan Tuhan minimal tidak meninggalkan sholat.   Perempuan zaman sekarang... Hanya melihat ketampanan, status sosial, dan kekayaan. Sebagai landasan memilih pasangan Tingkah mereka habis manis , sepah di buang. Apa salah jika inginkan seseorang... Yang mau bersama berjuang di segala keadaan Bukan hanya bilang sayang karena paras yang tampan, Bukan hanya cinta , karena marga terpandang dan bermanis-manis demi segepok uang Dan say good bye,, ketika dalam keterpurukan   -Rafif Andika Herlambang-    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD