Di tinggal cuti selama empat hari, pekerjaanku menumpuk. laporan keuangan yang seharusnya di correct setiap hari, ini harus menimbun selama empat hari. Walaupun sebagian sudah di kerjakan rekan satu devisi, namun yang sekarang terjadi berkas-berkas keuangan sudah memenuhi meja kerjaku, yang mana karena terlalu banyak akhirnya juga ada yang di letakkan dilantai. Namun Alvira SEMANGAT...!, pekerjaan ini juga ada ibadah terhadap Illahmu, sebagai bentuk wujud amanah terhadap jabatan yang harus di tuntaskan laporannya dan juga menutup celah orang yang tidak jujur untuk korupsi di perusahaan ini. Eits... inikan perusahaan suamiku. Suami? memang benarkan karena status kami yang yang sudah berubah, walau aku masih meraba bagaimana kepribadiannya.
Setengah hari berkutat dengan berkas keuangan, perutku sudah berdemo untuk di berikan amuinisi agar tetap bisa tahan menyelesaikan pekerjaan ini. Lantas aku bangkit untuk mendistribusikan berkas-berkas ini ke devisi- devisi yang bersangkutan, agar tidak menumpuk semua di kubikel. Kembali ke meja kerja, aku lihat layar ponselku menyala, tertera satu pesan dari Kak Andika yang mengajakku makan siang. Sudah terlanjur janji untuk makan siang besama ketiga sahabatku, membuatku menolak tawaran Kak Andika. Aku harus menjelaskan dibalik pernikahanku, sebelum para sahabatku berspekulasi yang negative, atau mereka yang mendengar dari orang lain dan mengacaukan masalah kepercayaan dalam persahabatan yang terjalin.
Aku rapikan berkas-berkas yang masih ada di meja kerjaku, untuk memudahkan pengerjaan selepas istirahat. Kusambar ponsel dan dompet sebelum melangkah menuju kubikel Ayunda.
"Yun... ayo kita ke restoran sebelah, sebelum kehabisan tempat" Ajak ku setelah sampai di kubikel Ayunda. karena dia, salah satu dari ketiga sahabatku yang akan janjian makan siang.
"Sudah direservasi tadi. Sekarang Radith dan kak Ais sudah di lokasi" Setelah menjawab ajakanku, Ayunda langsung berdiri, kemudian kami berdua pergi ke restoran yang di maksud.
Masuk restoran aku dan Ayunda langsung mengedarkan pandangan untuk mencari di sosok Radith dan kak Ais.
Tepukan tangan Ayunda serta telunjuknya yang mengarah ke meja tertentu, disana ada dua sosok yang sedang kita cari, tanpa katapun kami melangkah kearah meja itu.
"Assalamualaikum"
"Assalamualaikum" Salamku dan Ayunda bersamaan, ketika kami sudah berdiri dua kursi yang kosong.
"Waalaikumsalam"
"Waalaikumsalam" Jawab Radith dan kak Ais bersamaan.
Tanpa perintah, aku dan Ayunda duduk, tatanan meja yang berbentuk persegi empat dengan satu kursi di setiap sisinya, aku duduk di sisi kursi sebelah kiri Radith dan kananku ada Ayunda, sedangkan di hadapanku ada kak Ais.
"Gue langsung mulai aja ya ceritanya" Prologku karena setelah kami berempat duduk, tidak ada yang memulai pembicaraan.
"Nanti aja Vir, gue denger kerjaan lo banyak banget, lo lagi capek, dan tentunya pekerjaan itu menguras energi lo, di jam segini pasti sudah di suplay logistik. Kalau nanti ada pembahasan sensitif, keadaan perut lapar nanti mudah tersulut emosi" Respon kak Ais bijak.
Sedangkan Radith sudah mengangkat tangan kanannya untuk memanggil waiters. Tak lama waiters itu datang, Radith langsung meminta daftar menu yang dan di sodorkan kepada diriku.
"Pesan aja dulu, selama makan lo bisa jadikan itu untuk melepas lelah bekerja, dan juga lo jadikan masa transisi dari mikiran masalah kerjaan ke masalah yang akan kita bahas"
Akupun menuruti saran yang di berikan Radith dan Kak Ais, Kami berempat, menuliskan menu apa yang akan kita jadikan santapan makan siang. Karena restaurant ini termasuk cepat dalam menyiapkan sajian, sekitar lima menit makanan sudah terhidang, kamipun makan dalam keheningan. hingga apa yang kami pesanpun tandas.
"Gue kekamar mandi dulu ya" Izin Ayunda yang sudah berdiri bersiap untuk meninggalkan meja.
"Yun, bareng gue juga mau ke kamar mandi" Timpal kak Ais yang juga langsung berdiri.
Perginya kak Ais dan Ayunda membuat aku hanya berdua dengan Radith. Tapi di kondisi diamnya Radith membuat suasana tidak nyaman. Sambil mengaduk minumanku, akupun melirik Radith yang sedang meminum jus pesanannya. kalau dia diam berarti ada yang dia tidak suka atas perilakuku. dan aku tahu itu apa, maka dari itu siang ini aku bertekad menjelaskannya.
"Dith.. sorry kalau kejadian beberapa hari lalu yang pasti bikin lo kaget, gue bakal cerita dari awal sampai akhir, biar lo tahu kronologisnya bagaimana" Mulai ku lagi yang hendak menjelaskan kepada Radith. Sekaligus untuk memecah keheningan karena biasanya kita ramai dengan candaan menjadi irit bicara.
"Daripada lo cerita berulang kali, tunggu yang lain balik" Jawab Radith cepat, kemudian langsung menyambar ponselnya diatas meja makan mengacuhkanku. Aku kembali terdiam dengan mengaduk minumanku sesekali melirik Radith. Apa ia benar-benar dalam mode marah besar.
Kulirik jam tangan, belum ada lima menit Ayunda dan kak Ais ke kamar mandi, namun ini terasa lama menunggu disituasi yang menengangkan seperti ini. aku bingung apa yang harus aku lakukan, apa aku harus pesan makan lagi untuk menutup kegugupanku.
Tak lama Kak Ais dan Ayunda pun kembali, langsung ku berikan senyumku. dan ketika mereka sudah di posisi nyaman saat duduk akupun menghela nafas panjang sebelum akhirnya memulai ceritanya.
"Okey semua, tak perlu pengantar panjang. ku harap kalian mendengarkan ceritaku tanpa menyela hingga aku selesai bercerita. Biar tak lama karena waktu istirahat yang aku dan Yunda terbatas, aku langsung mulai ceritanya. Aku dan Kak Andika, CEO dari tempatku bekerja itu menikah karena perjanjian orang tua kami untuk menjodohkan kami berdua..." Dan mengalirlah cerita mulai dari saat pertemuan keluarga, terus berlanjut bersilaturahmi ke istana keluarga Herlambang, hingga saat di Radith yang mengantarku kerumah sakit sekaligus menjeput kak Aisiyah dimana itu ternyata papa Hendra yang sakit, ingin bertemu denganku, memaksa untuk pernikahan di percepat, walau saat itu aku belum menjawab. Serta tantangan dari Ayah, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menerima tantangan dari ayah dan menikah dengan Andika.
"Terus kenapa lo tidak pernah cerita masalah ini ke kita Vir?" Desis Radith dengan tatapan tajamnya.
"Sejak pertemuan awal keluarga Herlambang ke rumah, hingga saat lo yang nganter gue ke rumah sakit, karena ayah menyuruh ke rumah sakit. Gue tidak anggap masalah perjodohan ini serius. Orang tua gue pasti demokratis. Gue belum ada feel sama kak Andika, jadi gue anggap tidak perlu gue cerita. Tapi entah waktu yang disediakan untuk aku menjawab keputusan terlalu cepat, ternyata pemutusan aku menikah dengan Andika tidak ada dalam kurun waktu sebulan.
Final keputusan aku menerima pernikahan itu besok paginya, setelah lo nganter gue dan jemput kak Ais di Medical Utama. dan mengejutkan pihak papa Hendra meminta pernikahan diadakan dalam kurun waktu dua hari, mau cerita ke kalian saat itu gue ketemu kak Ais di rumah sakit katanya terburu-buru kalian sekeluarga mau ke Semarang, menghadiri saudara yang mau menikah. Lo Dith, pasti ikut ke acara itu, aku nilai momentnya kurang pas untuk memberitahu. Lantas ke kantor untuk bisa memberitahu Ayunda, Ayunda pun absen di kantor karena ibu sakit. Saat moment yang kurang tepat itu bagaimana aku bisa menyampaikan ke kalian?. Hingga malam sebelum hari H, aku memberanikan diri untuk memberitah kalian walau itu lewat pesan".
"Vir... gue masih belum percaya sama cerita lo ini. Bagaimana mungkin lo ambil keputusan sedemikian penting tanpa pertimbangan yang matang. Apalagi lo belum mengenal dia. Diantara kita berempat tidak ada yang mengenal bagaimana kepribadian suami lo itu. So, kalau kepribadian kalian tidak cocok bagaimana?. Kita tidak tahu bagaimana kualitas agama serta akhlak suami lo. Bagaimana mungkin kami bisa melepas lo sama orang yang tidak kami kenal. Sia-sia gue jaga lo selama ini dari cowok yang hanya mau main-main sama lo". Desis Radith yang tidak bisa menahan kekesalannya saat aku mengakhirnya penjelasan kronologiku menikah dengan kak Andika tanpa memberitahu mereka.
"Vir.. Kalau gak salah suami lo itu bukannya cowok cakep yang waktu itu kita lihat di lobi, terus ada cewek centil bergelayut manja di lengannya itu bukan?" Tanya Ayunda yang langsung membuat memeoriku memutar pertemuan mana yang Ayunda maksud.
"Vir, jangan bilang kalau suami lo itu masih punya hubungan dengan wanita lain yang masih belum diselesaikan. mengingat pernikahan kalian terjadi dalam waktu yang dekat. mungkin urusannya di luar sana belum terselesaikan" Timpal kak Ais. Akupun hanya menghela nafas menarik kesimpulan makro dari apa yang ketiga sahabatku ini utarakan terselip maksud protektif yang tak ingin aku salah ambil keputusan dan kecewa dan menderita.
"Yun, benar dia cowok yang pernah lo tunggu di lobi, kemudian ada perempuan yang bergelanyut manja di lengan kak Dika. Namun mereka bukan sepasang kekasih. Itu Keizia sekertaris sekaligus adik kandung kak Dika. Adik iparku." jawabku atas pertanyaan Ayunda.
kemudian aku menatap kak Ais dan tersenyum "Spekulasi kak Ais sudah kejawab ya".
Beralih menatap Radith "Dan untuk lo Dith, gue tahu bahwa ini serasa imposible gue ambil keputusan yang menpengaruhi hidup gue dalam waktu yang sangat singkat. Tapi bukan berarti pertimbangan gue tidak matang atau emosional saja. Suami gue memang tidak melewati seleksi lo atau Yunda dan kak Ais. Tapi ia sudah lewat seleksi orang tua gue. Jadi tidak mungkinkan orang tua gue akan jodohin dengan sembarang orang. Orang tua gue pasti kasih yang terbaik, seperti kalian yang menginginkan yang terbaik buat gue. Keluarga suami gue juga keluarga yang baik, Insyaalah suami gue juga masuk dalam golongan orang punya kepribadian baik. Kalian jangan khawatir tentang itu".
Dalam mengakhiri kalimat aku menatap Radith menyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja dengan pernikahan ini. Karena melihat sorot matanya, aku rasa ia yang paling berat dengan keputusanku ini. Hingga Radith kalah, tatapannya melembut dan memberikan senyum simpul yang sedikit dipaksakannya. "Gue harap keputusan yang lo ambil itu terbaik. Semoga lo bahagia dengan kehidupan baru lo itu, dan kalau ada apa-apa segera cerita ke kita. Ini memang keputusan yang lo ambil sendirian, tapi masalah konsekwensi kita tidak akan membiarkan lo menanggung sendirian. Jika ada sesuatu yang tidak diinginkan, bahu kita siap menjadi sandaran, tangan dan kaki kita akan bekerja membantu menyelesaikan. Karena kita sahabat"
Mendengar ucapan Radith, akupun tersenyum yang disertai air mata haru mendengarnya. Kepeduliannya, aktus sikap sahabat yang selama ini ia perlihatkan. Mungkin saja jika dia perempuan aku akan memeluknya, namun dia bukan mahramku. tapi saat ini aku rasa ada yang memelukku dari arah samping kanan dan kiri. Ku lihat Ayunda di samping kiri dan kak Ais disamping kanan memelukku dengan tersenyum. "Ini terakhir kalinya ya lo cerita ke kita setelah kejadian. lain kali sebelum terjadi. Biar kami juga memberikan sumbangsih saran, agar lo bisa ambil keputusan terbaik nantinya" Ujar kak Ais yang langsung aku jawab anggukan.
"Ya sudah, kita sudah tahu ada apa di balik pernikahan lo. Masalah sudah selesai. Kitapun sudah makan, Big bos Radith nanti jam dua dia ada meeting, sehingga dia harus balik. dan kalian berduakan harus balik kantor lagikan? Ucap kak Ais yang sudah mengurai pelukannya.
Pelukan kami lepas, kemudian aku menghabiskan minumanku untuk menormalkan emosi dalam diri. kulihat jam istirahat memang kurang sepuluh menit lagi, akhirnya aku dan Ayunda pamit untuk balik ke kantor. saatnya untuk mengurus berkas keuangan lagi.
________________
Alhamdulillah saat jam pulang kantor, seluruh pekerjaan yang tadi pagi menumpuk ternyata selesai juga kalau fokus untuk menyelesaikannya.
"Vir.. hari ini mau main ke RB gak?. Udah semingguan lo gak pernah ke RB" Suara Ayunda yang tiba-tiba berada dikubikelku saat aku merapikan meja sebelum pulang.
Kulirik jam yang masih sore, seharusnya jam segini masih bisa untuk bercengkrama di RB hingga jam tujuh malam saat anak-anak RB pulang kerumah mereka masing-masing. Tapi itukan dulu, saat rumahku dengan RB dekat, jalan kaki paling lama lima belas menit, atau pakai motor cuma lima menit. Kalau sekarang pulang ke rumah orang tua kak Dika buuh satu jam itupun kalau jalanan tidak macet parah.
"Gue absen dulu ya Yun, Titip pengelolaan RB. Gue belum diskusikan ini dengan suami gue. tapi secepatnya gue balik ngelola RB kok"
Drrrttt... drrttt...
Ponseku yang masih diatas meja bergetar bersamaan dengan respons Ayunda yang mengangguk. Terpampang nama Kak Dika calling...
"Assalamualaikum"
"..."
"Iya, tunggu tujuh menit lagi"
"Assalamualaikum" salamku sambil melihat ponsel yang tiba-tiba di putus sepihak.
"Yun gue sudah di tunggu, untuk pulang. Kalau gue udah bisa beradaptasi dengan status baru gue, semuanya kembali semula kok" Izinku meninggalkan Ayunda yang masih di kubikelku. namun sebelumnya menyempatkan untuk cipika-cipiki.
Tiba di parkiran khusus direksi, langsung saja mobil kak Dika berhenti di depanku. Dengan menurunkan kaca kursi penumpang, akupun langsung masuk. "Kei..."sapaku saat aku menoleh ke kursi belakang ada Keizia. dan hanya dibalas senyum.
"Kak, tadi kami juga makan di restaurant sebelah kantor. kami lihat kakak makan berempat, dengan siapa saja kak" Tanya Keizia ketika mobil sudah melaju.
Kulirik kak Dika sepertinya tenang, Kemudian aku menoleh kebelakang. "Mereka sahabatnya kak Vira, sudah lebih dulu buat makan siang sama mereka".
Keizia hanya ber'oh' ria dan perjalanan hening. hingga saat sampai di rumah. kami bertiga untuk naik ke kamar kami yang berada di lantai dua sudah pasti melewati ruang keluarga. Kulihat Tiara duduk dengan album foto besar di pangkuannya sambil membolak-baliknya halaman album.
"Assalamualaikum Tiara" salamku yang sudah duduk disamping Tiara sambil menunduk untuk melihat wajah seriusnya melihat foto. Disusul dengan kak Dika yang duduk disingle sofa sebelah kananku sedangkan Keizia single sofa sebelah kiri.
"Waalaikumsalam tante cantiknya Tiara" jawab Tira begitu antusias dengan senyum bahagia yang ia tampilkan. Diposisi kami yang sangat dekat, Tiara Langsung mencium pipi kiriku yang sangat dekat dengannya. kemudian dia tampilkan senyum lagi.
Sebenarnya aku terkejut, dengan cepat berubah dengan senyum bahagia, kemudian aku membalas dengan mencium pipi kanannya. kemudian aku acak puncak kepalanya.
"Cuma tante saja, kiss untuk om mana?" Tanya Kak Andika yang sudah diposisi rukuk di depan Tiara untuk mensejajarkan tinggi. namun dia mensejajarkan pipi kanannya ke Tiara
Tiarapun mencium pipi kanan dan kiri kak Andika secara bergantian. Di balas kak Andika dengan mencium puncak kepala Tiara. Ku lirik kak Dika tersenyum sedangkan Tiara kembali menatap fokus kembali ke album foto.
Kurasa sofa tempatku dan Tiara bergoyang. Kulihat Keizia pindah duduk di samping kiri Tiara. "Yah, Tante Kei gak dapet kis nih?"
Akupun menggigit bibir bawahku untuk menahan tawa. Om dan tente Tiara pada merajuk karena tidak dapat kiss dari keponakan yang menggemaskan ini.
Kembali Tiara hanya mecium kilat pipi Kei. Tangan Keizia yang memegang puncak kepala Tiara dengan tatapan sendu "Tiara kangen sama mama papa ya?" Lirih Keizia. Tiara mengangguk. Kulihat memang gambar foto yang di buka Tiara merupakan gambar mama dan papanya.
"Sayang, Tiara jangan sedih. Mama papa Tiara sudah bahagia di surganya Allah. Suatu saat Tiara akan bertemu dengan mama papa Tiara asalkan Tiara jadi anak baik. Tiara maukan jadi anak baik" sekali lagi Tiara mengangguk dan menatap sendu padaku.
"Tiara boleh panggil tante mama?" Lirih Tiara.
Aku yang merasakan kesedihan Tiara dan rindunya Tiara akan sosok mama, tak kuasa akupun membawa Tiara dalam pelukanku. "Iya, sayang. Tiara boleh panggil tante mama".
Lama aku berpelukan dengan Tiara, tak ingin kalah Keizia memeluk Tiara dari arah yang berlawanan dan kak Dika yang awalnya bertahan berdiri di depan Dika kemudian beralih duduk di sebelahku dan ikut berpelukan. Beginikah jadinya dalam satu sofa yang kami berempat berpelukan.
Sebenarnya aku masih terkejut dan ada kecanggungan saat kak Dika memeluk kami. Akupun mulai bergerak agar pelukan terurai.
"Tiara, tante boleh lihat album fotonya?" Pintaku pada Tiara untuk mengalihkan kecanggungan saat pelukan kami berempat berurai.
Tiarapun langsung menyerahkan album foto itu terhadapku. akupun langsung membalikkan halaman demi halaman tanpa minat, menutup rasa gugupku sekaligus jantungku yang berdetak sangat cepat karena posisi kak Dika yang sangat dekat. Bahkan aku merasakan dadanya menempel dengan punggungku. Namun dengan seketika pula aku merasa jantungku berhenti saat aku menatap tanpa sengaja halaman photo yang saat ini terbuka di hadapanku.
"Mereka ini siapa?" lirihku dengan nada bergetar dan cairan bening sudah memenuhi indra penglihatanku.