Niat Memperbaiki

1789 Words
Setelah membaca pesan yang di kirim Alvira, aku langsung bergegas meninggalkan area pesta. Sampai di parkiran aku lihat siluet wanita berhijab bersilang d**a menatap gelap langit tanpa bintang sedang duduk di body depan mobilku.   Ehemm... dia menoleh. cara ku berhasil untuk membuatnya menyadari kehadiranku.   "Sudah selesai acaranya?" Seperti gumanan ia bertanya.   "Belum, kenapa kamu disini?"   "Kalau belum kenapa sudah keluar? Aku tidak nyaman berada disuasana pesta seperti itu."   "Tidak nyaman? Bukankah aku lihat kamu begitu nyaman sekali ketika sama Steven?" dengusku karena alasan yang menurutku tak masuk akal.   "Hanya bertemu teman lama."   "Hanya teman lama?" Tanyaku menaikkan salah satu alisku.   "Sudahlah, kalau hanya berniat mendebatku, sebaiknya kamu masuk lagi, nikmati pestanya. Aku tunggu kamu disini. Atau kalau tidak begitu kita pulang saja".   Aku merasa seperti mendengar nada kesal dalam ucapannya. Langsung saja aku tekan tombol yang ada dikunci mobil. Setelah alarm mobil bunyi, aku berjalan ke pintu kemudi. Saat membuka pintu, Alvira hanya menoleh menatapku, kemudian ia beranjak dari tubuh bagian depan mobil dan membuka pintu kursi penumpang. Ku pilih pulang dari pada masuk kepesta sendirian. Tubuhku butuh istirahat bukan pesta. Aku sudah bertemu si tuan acara, sehingga aku sudah menunjukkan muka untuk menghormati undangannya.   "Aku tidak tahu, siapa wanita yang menciummu di pesta tadi, tapi aku ingatkan akan status barumu sekarang. Aku minta kamu bisa menghargai posisiku. Kalau dia orang di masa lalumu, segera selesaikan. Tapi kalau dia hanya relasi bisnis, batasi cara interaksi kalian. Menurutku hanya sebatas berjabat tangan itu sudah menunjukkan keprofesionalan," ucap Alvira ketika aku sudah menjalankan mobil. Meskipun suaranya pelan, namun sarat akan nada ketegasan yang tak terbantahkan. Belum lagi caranya menatapku terpancar keberanian yang menuntutku untuk patuh akan apa yang ia ucapkan.   "Aku tidak suka ada yang mengatur pola interaksiku. Bukankah masih dalam batas wajar teman atau klien mencium pipi saat bertemu dan berpisah? Kamu jangan kaku dalam berinteraksi." Setelah aku menyelesaikan kalimatku Alvira langsung menatapku tajam. Seakan ia mengekspresikan kemarahan. Apa dia tersinggung dengan ucapanku. Kalau iya berarti aku benarkan. Tidak seharusnya ia memperbesar masalah hanya cium pipi.   "Kamu bilang cara interaksi kaku? Asal Kak Andika tau, dalam interaksi ada etika. Setiap etika punya standart penilaian. Kalau standartmu kebebasan, maka interaksi yang kamu bilang tadi memang wajar. Tapi kalau standartmu nilai-nilai Islam. ada aturan batas kontak fisik..."   "Oh.. Dan kamu mau ceramahi aku tentang interaksi dalam Islam?" Serangku yang membuat Alvira menghentikan ocehannya. Entah dia terkejut atau sedang meredam emosinya. Respons selanjutnya hanya memejamkan mata dan ia berusaha mengontrol nafasnya. Walaupun pelan, namun terlihat dari pergerakan bahunya.   "Aku sudah berusaha mengingatkanmu. Coba koreksi lagi standart penilaian Kak Dika," lirih Alvira ketika ia membuka matanya. Dan Tak lama ia menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi dan mata terpejam kembali.   Mobil sudah berhenti di carspot, mungkin tak mendengar deru mesin mobil, Alvira membuka matanya. Aku tahu selama perjalanan ia tak tidur, ku lihat kelopak matanya yang sering bergerak. Alvira tak jago kalau berakting tidur.   Sebelum ia turun, aku masih memperhatikannya yang mengatur nafas dan menarik sudut bibir wajah menampilkan seulas senyum namun mata menatap fokus kedepan. Dia keluar mobil dan masuk ke rumah dengan wajah yang tak semenyebalkan saat di mobil. Ternyata Alvira sedang melakukan penyesuaian ekspresi, menyiapkan wajah agar aku dan dia tidak nampak sedang bermasalah di depan keluargaku. Sungguh, ini Alvira yang berwajah dua atau Ia memang sosok yang pandai menyembunyikan emosi hatinya.   Sampai di dalam, tepatnya ruang keluarga aku lihat mama yang sedang bersandar di bahu Papa. Selalu saja mereka Q-Time kalau ada kesempatan, seperti sekarang yang duduk berdua melihat tayangan TV channel. Mungkin hal kecil, tapi itu yang menjaga rasa cita dan sayang di hati kedua orang tuaku.   "Assalamualaikum Ma, Pa," salam Alvira, sambil mencium tangan kedua orang tuaku. Sedangkan aku langsung menjatuhkan tubuhku di sofa yang berbeda dari kedua orang tuaku.   "Waalaikumsalam, sudah pulang sayang? Bagaimana tadi pestanya," balas mama.   "Yah, sama seperti pesta para pebisnis pada umumnya. Ma Alvira izin ke kamar dulu ya." Mama hanya mengangguk sambil tersenyum lembut. Setelah itu Alvira pergi naik keatas menuju kekamarku, eh kamar kami berdua.   "Andika," itu suara papa yang memanggilku. Sehingga aku mengalihkan pandangan dari tangga, yang menghilangkan sosok Alvira kearah sofa yang disana masih bergelung Mama bersandar dipundak Papa. Biasanya melihat itu aku hanya tersenyum orang tuaku bisa harmonis di usianya yang semakin berjalan menua. Namun saat ini ada rasa kesal. Kenapa sih mereka bermesraan di depanku?!.   "Iya, pa. Ada apa?" jawabku dengan memutar bola mata malas.   "Dika, pernikahanmu sama Alvira, memang karena perjodohan. Namun saat kamu mengucapkan ijab qobul atas dirinya, disaat itu Papa nilai kamu sudah bersedia untuk mengemban amanah agar bisa belajar mencintainya. Menghormati posisinya sebagai istri. Melindungi karena nyatanya ia tak lebih kuat darimu jika dalam fisik. Kamu Bertanggung jawab untuk memberikannya senyum bukan tangis kepedihan. Dan saat itu pula, kamu Papa nilai akan menjaga ikatan suci itu. Mempertahankan rumah tangga kalian.   Jika suatu saat kamu berniat menyakiti dia dan tak bisa mempertahankan rumah tangga kalian. Kamu harus mengingat ada kami berdua yang kepercayaan terhadapmu, kamu rusak. Ada kami berdua yang akan kau rusak hubungan persahabatan dengan mertuamu. Tapi apapun keputusanmu kelak dengan rumah tanggamu itu. Jika kamu memang benar, kami ada dipihak mu. Tak usah pedulikan bagaimana nanti hubungan kami dengan mertuamu. Tapi kalau nyatanya Alvira yang benar. Kami tak bisa membelamu walau nyatanya kamu anak kami. Kebenaran tidak akan mengenal persahabatan ataupun hubungan darah.   Kamu coba renungkan, apa yang papa bicarakan ini. Karena laki-laki ia punya tanggung jawab besar untuk menjaga keluarganya," penjelasan Papa panjang lebar, membuatku tak berani menyela walaupun satu kata. Aku pikir memang benar. Pernikahan bukan permainan. Namun ini sebuah komitmen suci yang sudah melibatkan nama tuhan. Dimana sebuah komitmen sudah pasti diminta pertanggungjawaban bukan.   Setelah memberikan sudut pandang akan pernikahanku dengan Alvira, Papa Mama izin untuk masuk istirahat dulu. Alhasil kini aku sendirian di ruang keluarga ini dengan pikiran berkecamuk antara apa yang Papa bicarakan barusan dengan bagaimana interaksiku dan Alvira selama ini.   Tidak tahu berapa lama waktu yang aku habiskan untuk merenungi semuanya. Jalan pernikahan yang menjadi tanggung jawab baru yang harus aku pikirkan. Hingga aku memutuskan untuk naik dan beristirahat. Lampu kamar sudah berganti remang-remang. Karena lampu utama untuk penerangan sudah beralih dengan hanya lampu tidur yang di nyalakan. Kulihat Alvira sudah damai dalam tidurnya. Aku langsung masuk kekamar mandi untuk membersihkan diri. Namun sebelum bergabung dengan Alvira untuk menjemput mimpi, aku terlebih dahulu menunaikan kewajiban Isyaku.   __________________   Subuh berkumandang, membuatku mengerjabkan mata. Kulihat Alvira menutup Alqur'an yang di bacanya seraya meletakkan kembali ketempat semula. Alqur'an yang dulunya hanya menjadi hiasan kamar, kini ada yang berminat untuk membacanya semenjak Alvira memasuki kamar ini.   "Sudah bangun Kak? Cepat bersihkan diri, kemudian kita gabung sholat berjama'ah di bawah. Perlengkapan kakak biar aku yang siapkan" Ucap Alvira ketika ia membalikkan tubuhnya dan melihatku yang duduk bersandar diatas tempat tidur.   Ia bisa bicara dengan datar, seolah semalam tidak terjadi apa-apa hingga kami bersitegang. Sikapnya yang seperti itu aku juga melakukan yang sama, dengan membalas anggukan kemudian masuk kekamar mandi. Ia bisa bersikap layaknya istri yang manis. Ketika aku baru keluar, ia sudah menyodorkan baju koko serta sarung terhadapku. Dia juga menungguku untuk turun bersama-sama ke musholla rumah, bergabung subuh berjama'ah dengan orangtuaku. Usai sholat ia memang tidak menyentuh dapur atau makanan karena memang ada pembantu yang mengurusi. Namun ia menyiapkan pakaian untukku dan dirinya yang akan digunakan ke kantor.   "Kamu juga akan berangkat ke kantor hari ini?" tanyaku ketika ia meletakkan sepatuku dan dia dipinggiran tempat tidur.   "Ia izin cutiku sudah selesai." jawabnya tanpa menoleh kepadaku.   "Apa setelah menikah, kamu tidak ingin berhenti kerja? Aku masih sanggup untuk memenuhi kebutuhanmu, atau memberikan uang jajan sebesar penghasilanmu."   Dikeluarga Herlambang, kami penganut partiaki. Tidak ada perempuan yang bekerja. Karena tugas mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki. Maka sudah sewajarnya aku memberikan penawaran yang tidak merugikannya ketika berhenti kerja.   "Aku tahu kesanggupannmu kalau masalah finansial. Tapi bekerja bukan hanya masalah tuntutan kebutuhan akan uang. Maaf untuk sekarang dan waktu dekat ini aku masih belum bisa untuk berhenti kerja."   Tak ingin merusak suasana pagi, akupun tak menimpali keputusannya. Mungkin dilain kesempatan ini bisa kita bicarakan lagi. Apalagi dia bekerja di kantorku.   __________   Pekerjaan yang menumpuk, lambat laun terurai selesai. Aku lihat jam dinding di ruanganku sebentar lagi menunjukkan jam makan siang. Entah kenapa fikiranku terbesit nama Alvira. Semua bayangan hidup sejak status kami berubah terputar. Itu membuatku menyadari, bahwa selama ini Alvira sudah mencoba perannya untuk menjadi seorang istri yang baik. Dan di hadapan keluargaku ia mampu untuk menampilkan rumah tangga yang baik-baik saja, walau senyatanya tidak ada perubahan dalam hubungan kami.   Teringat pula pesan papa semalam, membuatku terfikir, jika Alvira sudah bergerak untuk melakukan perannya. Kenapa aku juga tidak melakukan hal yang sama. Namun untuk bisa tahu sikap apa yang tepat, membutuhkan asumsi bagaimana cara interaksi yang nyaman bersama Alvira. Dan kini aku membenarkan dirinya yang meminta waktu untuk saling mengenal terlebih dahulu sebelum kita menikah. Karena kita tahu sikap yang baik kita lakukan jika kita mengenal dengan siapa kita akan melakukan interaksi atau menjalin hubungan.   To : Alvira   Jam istirahat, aku tunggu kamu di loby. Kita makan siang bersama.   Pesan singkat yang aku kirim. Ajakan makan siang yang terbesit untuk bisa menjembatani aku bisa dekat dengannya. Dan tak lama aku sudah mendapatkan balasan.   From : Alvira   Ma'af. sebelumnya aku sudah mengiyakan ajakan teman untuk makan bersama.   mungkin lain waktu.   Tolakannya membuatku menghembuskan nafas kasar. Dia lebih mementingkan ajakan temannya daripada aku suaminya. Untuk saat ini aku biarkan, namun untuk lain kali, kita lihat kedepannya nanti bagaimana. Setelah itu aku menghubungi Keizia agar nanti dia menemaniku makan siang.   Aku selesai mempelajari bahan meeting, tepat ketika sudah masuk jam istirahat. segera ku bereskan beberapa berkas yang terbuka diatas meja. Kemudian melangkah keluar, menemui Keizia. Pintu ruanganku terbuka, Keizia langsung menyambar tas kerjanya. iapun sudah tahu kalau Alvira tidak bisa gabung makan siang karena sudah terlebih dulu buat janji dengan temannya untuk makan siang.   moodku yang lagi tak baik, aku pun tak berniat mencari lokasi restaurant yang jauh dari kantor. Akhirnya aku memilih restauraunt tepat di samping kantor.   Pelayan sudah mencatat kami, Keizia pergi ke kamar mandi. Aku yang menatap ke depan melihat Alvira sedang duduk dalam satu meja yang sama dengan seorang laki-laki. Aku tak dapat melihat wajah laki-laki itu karena ia membelakangiku. Namun aku mampu melihat jelas, kalau itu Alvira karena posisi duduknya menyamping.   Aku lihat Alvira mengaduk minumannya sambil melihat takut-takut terhadap laki-laki tersebut. Pembicaraan yang akan mereka lakukan sepertinya sangat serius sekali. Tergambar dari wajah tegang Alvira.   Melihat dua orang berbeda jenis, makan berdua tanpa ada yang memulai pembicaraan. Membuatku ingin tahu siapa dia yang mampu membuat Alvira punya ekspresi takut dan tegang. Akupun berdiri dan berniat untuk menghampiri mereka. Namun hanya beberapa langkah aku melihat dua orang perempuan yang hadir dipernikahanku bergabung di meja Alvira. Membuatku mengurungkan niat dan kembali duduk memperhatikan mereka, dan tentu membiarkan rasa penasaran ini yang akhirnya tak terjawab.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD