BAB 2

1351 Words
Belum lepas dari keterkejutan pernyataan Laras, Sabrina mencoba tetap tampak tak peduli dengan ekspresi datarnya. Meski sebenarnya hatinya bergemuruh riuh. Laras tidak berhenti berceloteh tentang Nick Willis dan Anne Anderson. Bibirnya terus meluncurkan kalimat pujian, kekaguman, dan bangga. Laras tidak terlalu peduli apakah Sabrina mendengarkannya atau tidak karena mengatakan hal-hal yang tidak diketahui Sabrina adalah hal yang membanggakan baginya. Dengan secangkir kopi di atas meja kerjanya, Sabrina memulai aktivitas kerjanya, mendesain. Kali ini dia akan membuat ilustrasi sebuah buku dongeng anak-anak. Dan ini pertama kalinya dia menjadi ilustrator buku dongeng. “Miss Sabrina Jani,” panggil seorang rekan kerjanya. Meggy Brown. Sabrina mengangkat wajah untuk melihat wanita berkemeja putih dengan belahan d**a rendah. Megg menarik kursi kosong dari meja sebelah Sabrina. Dia menempatkan kursi itu di depan meja Sabrina dan dengan gaya sok elegan, Megg duduk dengan sebelah kaki terangkat. Warna rambut purple ombre tampak rapih dan pas dengan bentuk  wajahnya yang oval. “Anda tahu, novel terbaru Anda itu hari ini diretur karena penjualannya tidak sampai 40 eksampler dalam waktu enam bulan?” katanya, lalu membenarkan letak kacamatanya. Selain menjadi Ilustrator, Sabrina juga menulis buku fiksi. Dan buku fiksi yang dimaksud Megg adalah buku kedua Sabrina yang diretur toko buku karena penjualannya yang anjlok. Bukan hal asing bagi Sabrina jika akhirnya dia kembali menelan kekecewaan karena novelnya tidak diminati pembaca. Raut wajah Sabrina agak terkejut. Dia tidak habis pikir kalau Daniel—bosnya tidak pernah memberitahu kalau bukunya diretur. Dia mendapatkan informasi tentang buku pertamanya yang diretur dari Laras dan sekarang Megg yang memberitahu kabar terbaru buku keduanya. “Kenapa Daniel masih menerima bukumu untuk diterbitkan ya? Padahal kita semua tahu kalau penjualan buku pertamamu tidak sampai 50 eksampler.” Megg berkata dengan mimik wajah mengejek dengan memadukan ekspresi kesedihan dan kasihan. “Saya juga tidak tahu. Mungkin karena buku saya bagus. Hanya saja Dewi Fortuna tidak berpihak pada buku saya. Tapi lain kali saya akan mencoba menulis lagi, kok.” Balasnya dengan senyum yang menuai kernyitan di dahi Megg. “Megg, sepertinya hari ini bentuk alismu berbeda. Yang satu lebih tebal sedangkan yang satunya tipis. Ah, kalau ada yang lihat bahaya lho, Megg.” “Ah, masa?” Megg tampak gusar mendengar komentar Sabrina tentang alisnya. “Harus segera dibenerin tuh! Jangan sampai Daniel Lee tahu bentuk alismu tidak sama.” seru Sabrina, menyuruh Megg membenarkan dandanannya adalah cara terbaik untuk mengusirnya secara halus. Dengan wajah yang masih tampak gusar sekaligus menahan malu, Megg angkat p****t dari kursi dan melesat pergi seperti lebah. Sabrina cekikikan dengan tangan menutup mulutnya. Dia berhasil mengalihkan topik pembicaraan dan tentunya berhasil membuat Megg malu karena dikomentari soal alisnya yang—sebenarnya terlihat selalu sempurna dan memang ukiran pensil alisnya sama. Tanpa disadari Sabrina, di balik gorden, Daniel memerhatikan Sabrina dan tawa Sabrina dengan mudah tertular pada Daniel. ** Jam istrirahat sudah dimulai dua puluh menit yang lalu, tapi Sabrina masih berkutat menatap layar komputer dengan dahi mengerut. Pekerjaannya belum selesai. Ilustrasi buku dongeng anak termasuk hal yang mudah bagi kebanyakan ilustrator tapi tidak bagi Sabrina. Baginya buku apa pun yang ilustrasinya ditangani dirinya haruslah sempurna. Dia tidak ingin membuat ilustrasi yang asal. Karena ilustrasi buku dongeng ini, dianggap sebagai kado terindah bagi anak-anak Inggris ataupun seluruh dunia yang akan membaca buku dongeng karya salah seorang penulis London itu. “Sab, makan yuk!” ajak Laras yang secara ajaib muncul di sampingnya. Matanya menatap penuh harap pada Sabrina. Laras tidak suka kopi, dia juga tidak terlalu menyukai roti sedangkan Sabrina selalu menyumpal rasa laparnya dengan kopi. Walau sedang merasa lapar akut, hanya dengan setengguk kopi dia langsung merasa kenyang. Salah satu keunggulan kopi yang tidak bisa diremehkan dalam keadaan darurat, menghilangkan rasa lapar. “Pekerjaanku belum selesai, Ras.” Sahut Sabrina datar seraya kembali menatap layar komputernya. “Ya ampun, masih bisa dikerjakan pas jam istirahat selesai kali, Sab.” “Duluan saja, nanti aku menyusul.” Sabrina berkata tanpa menoleh pada Laras. “Dasar Workaholik.” Gerutunya, berbalik badan dan melesat pergi di tengah heningnya ruangan. Ya, cuma Sabrina yang terisa di ruangan itu. Semua sudah pergi menuju kantin atau makan di luar. Biasanya Laras jarang mengajak Sabrina makan di jam istirahat. Laras agak malas jika mengajak sahabatnya itu makan karena tidak jarang dia lebih sering mendapatkan penolakan. Sabrina lebih suka makan di tempat kerjanya dibandingkan di kantin. Dan untungnya, peraturan kantor yang tidak ketat memperbolehkannya makan di ruang kerjanya. Sabrina tidak suka kebisingan dan lalu lalang para pemburu makanan di kantin. Dia merasa tidak nyaman dengan keributan. Menyepi lebih baik untuk gadis introvert seperti dirinya. Laras sedang galau, itu salah satu penyebab dia mengajak Sabrina makan di kantin. Laras ingin menceritakan kegalauannya saat ini pada Sabrina. Walaupun memiliki banyak teman di kantor tapi masalah pribadi hanya pada Sabrina dia cerita. Itulah kenapa dia sangat kalut ketika ponselnya tertinggal. Di dalam ponselnya itu, ada banyak pesan yang dikirim mantan kekasihnya yang sama-sama lulusan Oxfod. Sehari tanpa membaca pesan dari mantannya, terasa hidup setahun dengan keadaan yang membosankan. Pintu ruangannya terbuka, Laras kembali datang dengan menyengir horor. Sabrina terkejut sekaligus takut kalau-kalau sahabatnya itu dimasuki hantu Anne Boleyn. “Aku mau makan di sini. Kamu mau makan apa? Nanti aku yang pesankan.” Sabrina tersenyum geli mendengar tawaran Laras. Dia mengagguk. “Fish and Chips. Dan tolong kentangnya sedikit saja ya.” “Oke,” Laras mengangkat dua ibu jarinya kemudian dia kembali melesat pergi. Sabrina tahu kalau makan bukanlah tujuan pertama Laras. Tujuan utamanya adalah cerita. Ya, dari semalam Sabrina sudah mendengar banyak cerita dari Laras tentang mantan kekasihnya itu. Dari semua cerita yang didengarnya, Sabrina mengasumsikan bahwa Laras dan mantannya adalah sepasang kekasih yang cocok. Laras yang kekanak-kanakan dan mantan kekasihnya yang bersikap dewasa selama mereka masih berpacaran dulu. Lima belas menit kemudian, Laras datang dengan kedua tangan membawa nampan yang berisikan dua piring dan dua gelas. Laras meletakkan piring dan gelas di atas meja dengan sopan layaknya seorang waiterss. Dia menarik kursi kosong di depan Sabrina. Meletakkan nampan di sembarang tempat. Tanpa aba-aba Sabrina meraih garpu. Dia tergoda untuk segera melahap Fish and Chips yang masih panas. Menusuk kentang dengan garpu dan memasukkan ke dalam mulutnya. Tanpa ampun Laras melahap Roast Meats-nya. Makanan kesukaannya di musim panas. “Devon mengajakku berkencan nanti malam, Sab.” ujarnya dengan mulut penuh. Laras memakai bahasa Indonesia. Dia tidak ingin percakapan dirinya diketahui orang lain sehingga memilih menggunakan bahasa Indonesia. Sabrina menghentikan kunyahannya, “Lalu?” tanyanya singkat. “Aku, kan, sudah punya pacar.” Sambarnya masih dengan mulut penuh. Laras mengunyah cepat-cepat daging panggangnya. “Aku bingung harus mengiyakan atau menolak. Di satu sisi aku ingin kencan dengan Devon. Aku masih ingin melanjutkan kisah yang tertunda, tapi di sisi lain aku sudah punya Harry.” Dia tampak dilema. “Kamu mencintai Harry?” tanya Sabrina yang menciptakan keadaan sesaat menjadi hening. “Ya, lumayan.” jawab Laras setelah berdiskusi dengan hatinya soal perasaan sebenarnya dengan Harry. “Aku pernah bertemu dengan Harry beberapa kali saat dia bersamamu, kupikir dia cukup baik meskipun dia agresif.” komentar Sabrina jujur. “Semua pria London  agresif, Sab.” “Devon juga?”                                       “Waktu dulu sih tidak, cenderung diam. Aku tidak tahu kalau sekarang karena aku belum bertemu dengannya lagi.” “Lho, bukannya tadi kamu bilang semua pria London itu agresif ya?” tanya Sabrina heran. Laras memang agak labil. Kadang dia suka berbicara tanpa berpikir ataupun tanpa bukti yang kongkrit. “Itu setelah aku putus dari Devon. Dan semua pria yang dekat denganku setelah Devon, rata-rata semuanya agresif.” kata Laras alih-alih penjelasan malah pembelaan. “Oh ya, Devon mengambil Jurusan Ekonomi lho waktu kuliah.” “Ekonomi?” dahi Sabrina berkerut. Laras mengangguk. Sabrina pernah berseteru dengan pria dari Jurusan Ekonomi. Pria yang mementingkan laba dibandingkan dampak negatif dari perusahaan batu bara. Pria itu berdalih dengan banyaknya perusahaan dan laba yang besar maka perusahaan bisa membantu masyarakat sekitar. Tapi pendapat pria itu dibantah keras oleh Sabrina. Dampak negatif dari perusahaan batu bara lebih besar dari manfaatnya. Sampai akhirnya kebencian itu meluap menjadi cinta di antara keduanya seiring berjalannya waktu. Dan mereka berpisah karena pilihan si pria yang menurut Sabrina masih mementingkan laba, laba dan laba. **  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD