BAB 3

1244 Words
Di awal bulan september, Sabrina mengaduk kopinya di mug berwarna putih miliknya. Hari ini adalah hari libur. Saat yang pas untuk bersantai di flatnya. Dia tidak memiliki rencana apa pun. Hanya ingin di dalam flat menikmati kopi, buku ataupun film sebagai pilihan lainnya. Laras masih setia dengan ponselnya. Dia terus memandangi ponsel, berharap ada chat yang datang dari seseorang yang membatalkan janjinya tadi malam. Devon. Pria Inggris yang masih diinginkan Laras walaupun dia sudah memiliki Harry, kekasihnya yang baru empat bulan dipacarinya. “Sab, belum ada chat dari Devon.” Adunya lirih pada Sabrina yang baru saja menyesap kopi hitamnya. “Chat dari Harry, ada?” tanya Sabrina. “Ada sih, tapi aku butuh kabar dari Devon. Dari tadi malam sejak membatalkan acara kencan, dia belum kasih kabar ke aku.” “Mungkin Devon sibuk.” Laras tampak kecewa. “Harry itu ada di depan mata, Ras. Devon belum pernah menunjukkan batang hidungnya. Dan aku rasa kamu hanya ingin bernostalgia dengan kenangan masa lalu bersama Devon. Hanya itu. Lupakan yang tidak pasti dan kejarlah yang pasti.” ujar Sabrina  sebijaksana kata-kata motivator cinta. Namun Laras menanggapinya dengan acuh tak acuh. Nasihat Sabrina terdengar tidak menyenangkan bagi Laras. Ponsel di samping komputer milik Sabrina berdering. Tangannya meraih ponsel dan kedua bola matanya menatap lekat-lekat layar ponselnya. Nomor baru. Dari Indonesia. “Ya,” sahut Sabrina. “Kak, aku sudah bikin kalender baru buat tahun depan. Aku mau kirim besok tapi aku tidak punya uang. Apa Kakak bisa kirim aku uang sekarang?” Cerocos Juna. Satu-satunya adik Sabrina yang merumitkan. “Kalender lagi? Masih tahun 2018 kok, lagian Kakak tidak butuh kalender. Kalendernya sudah ada di hp.” “Lah, ini, kan kalendernya beda Kak.” “Pakai foto kamu lagi?” “Yaps! Hanya sebagai pengingat saja kalau Kakak masih punya adik bernama Arjuna Jani.” ucapnya diselingi tawa. Sabrina heran dengan karakter adiknya. Otaknya masih baik-baik saja. Dia belum terkena amnesia sampai lupa tentang adiknya yang bernama Arjuna Jani, seorang rapper kelas teri yang belum pernah diakui keberadaannya di bumi. Ckck. “Terserah kamu saja. Tapi Kakak tidak punya uang. Jadi, kalau mau kirim barang kirim saja pakai uangmu sendiri.” “Kok begitu Kak? Aku cuma pengin ada foto aku di London. Kali saja berawal dari foto keberuntungan datang.” “Keberuntungan apa? Tidak usah kirim kalender, Jun. Ongkos kirimnya lebih mahal dari pada harga barangnya!” kata Sabrina dengan nada tinggi bercampur jengkel. Secara sepihak Sabrina menutup ponselnya. Berbicara lama-lama dengan adiknya dapat menyebabkan naik darah. “Juna, Sab?” tanya Laras. Sabrina mengangguk. “Katanya mau kirim kalender lagi buat tahun 2018.” “Hah?” Laras melongo, antara takjub dan ngeri. Lalu Laras terbahak. “Konyol!” Dia kembali terbahak. “Dia lebih dari Konyol, Ras. Juna selalu menganggap kalau dia adalah bintang rap terkenal. Ibu pernah bilang kalau Juna sering berbicara dengan nada rap, bahkan saat dia sedang mengobrol dengan teman ibu. Gurunya juga pernah mengadukan hal yang sama pada ibu.” “Serius?” Pupil Laras melebar terkejut. “Aku takut kalau sampai cita-citanya sebagai rapper tidak terwujud, Juna bisa gila.” Sabrina berujar sambil membayangkan hal yang diucapkannya. “Sepertinya Juna butuh psikiater untuk mengembalikannya ke dunia nyata.” Sabrina menoleh pada Laras dan secara bersamaan mereka tersenyum. Entah senyum yang ditujukan untuk apa. Yang jelas senyum Sabrina mengisyaratkan bahwa dia setuju dengan saran Laras. “Hari ini kamu tidak punya rencana pergi kemana-mana, kan?” tanya Laras mengalihkan topik pembicaraan. “Tidak. Tapi,  seharian ini aku mau baca novel Jane Austen.” “Pride and Prejudice?” ucap Laras spontan dengan nada terkejut. “Ya,” jawab Sabrina seraya mengikat asal rambut sebahunya yang hitam. Sabrina adalah satu dari sekian juta orang yang setia membaca novel-novel klasik karangan penulis besar Inggris di abad 18 itu. Baginya, Jane Austen bukan hanya novelis favorit tetapi juga inspirasi dalam menulis, meski dua novelnya jeblok di pasaran Inggris. Dan Laras tahu akan kebiasaan sahabatnya itu, membaca novel Jane Asuten berulang-ulang. Pride and Prejudice mungkin sudah dibaca sampai lima puluh lima kali. Bukunya pun sudah lecek. Setahu Laras sebelum dia mengenal Sabrina, dia sudah mengetahui kalau Sabrina sudah membaca novel Pride and Prejudice beberapa kali. “Oke, aku juga tidak punya rencana untuk pergi kemana pun.” “Bagaimana dengan Harry? Bukankah setiap hari libur kalian wajib untuk pergi berdua?” “Tidak untuk hari libur kali ini karena hari ini aku akan mengajakmu pergi ke Hyde Park untuk menikmati sisa kehangatan musim panas.” Katanya dengan wajah berbinar cerah. “Aku tidak berminat,” sahut Sabrina seraya menggeleng. “Tidak ada penolakan hari ini.” Balas Laras dengan nada penegasan. ** Sabrina sudah menolak ajakan Laras, tapi bukan Laras namanya kalau tidak bisa memaksa sahabatnya itu untuk menuruti keinginannya. Dengan diiming-imingi rayuan kalau Sabrina bisa melukis sesuatu di Hyde Park dan perjanjian tidak akan mengganggu Sabrina saat sedang melukis, akhirnya Sabrina mengangguk. Hanya butuh waktu dua puluh menit baginya untuk mandi dan memakai pakaian ala musim gugur. Bergaya streetstyle dengan memadukan kaos cokelat dan sweater abu-abu dan jeans. Sabrina melengkapi gayanya dengan sepatu boots tinggi warna cokelat muda dan tas ransel berwarna senada. Dalam dua puluh menit pula, Sabrina selesai mengemas peralatan lukisnya. Melukis, salah satu bentuk memanjakan diri di hari libur selain buku dan film. Lima belas menit terbuang untuk menunggu Laras yang masih belum siap. Dengan gerakan dramatis Laras menyapukan eyeliner ke atas kelopak matanya. Sabrina cukup bersabar menunggu Laras yang—tidak menyadari kalau dia membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakannya. Sweater gombrong bermotif bunga dengan syal berwarna pastel diraihnya dari sofa ruangan televisi. Sabrina memakai topi rajutan sebagai pelengkap gayanya di awal musim gugur ini. Sabrina membawa tas perlengkapan art juga easel ukuran kecil. Laras menawarkan diri membantu Sabrina dengan membawa kursi lipat untuk melukis nanti saat tiba di Hyde Park. Mereka menunggu bus di halte. Di sekitaran flatnya ada tiga halte yang dekat dengan flat. Tanpa menunggu lama sebuah bus datang, mengangkut Sabrina dan Laras juga penumpang lainnya. Laras agak kerepotan membawa kursi lipat, padahal kursi lipat yang terbuat dari kayu itu cukup kecil. Hanya saja Laras memang tidak lihai dalam menyikapi keadaan di mana banyak penumpang yang berdesakkan di dalam bus. ** Musim hujan adalah musim yang disukai Sabrina saat dia masih di Indonesia. Bukan hanya karena rasa dingin yang membuat tidurnya nyenyak, tapi karena melihat air yang turun dari langit itu mengesankan. Dia rela pulang sekolah dengan basah kuyup yang mengakibatkan dirinya sakit demi bisa hujan-hujanan. Di Inggris, Sabrina menyukai musim gugur. Karena hanya pada musim gugur dia dapat melihat daun-daun pepohonan berubah warna kuning kecokelatan yang  berguguran di bawah pohon. Sabrina memilih duduk di sudut taman kota yang cukup sepi dari turis lokal maupun mancanegara. Sedangkan Laras memilih bersepeda meninggalkan Sabrina yang mulai membuka tas perlengkapan art. Sabrina menjepit kanvas pada easel yang menghadap ke arah pepohonan yang di bawahnya dipenuhi daun-daun berwarna kuning kecokelatan yang berguguran. Sabrina menarik napas dalam-dalam sebelum menempelkan kuas di atas permukaan kanvas. “Bolehkah aku minta tolong!” seru seorang pria dengan nada mendesak. Sabrina terkesiap. Dia mendongak. Seorang pria bertopi warna hitam dan kacamata berwarna senada dengan topinya. Tubuhnya tinggi semampai. Dia memakai cardigan berwarna biru tua. Pria itu tidak kalah terkejutnya saat wajah Sabrina terangkat. “Sab-Sabrina...” ucapnya terbata. Sabrina membeku seperti es dalam freezer. Matanya tidak berkedip sekalipun. Dia merasa jantungnya berhenti berdetak. Otaknya terasa lumpuh. Tidak bisa berpikir. Dan waktu seakan berjalan melambat. Sangat lambat. Membawa dirinya pada dimensi lain. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD