BAB 2

1928 Words
HOTEL FLOWER Papan nama itu bertengger dengan gagahnya. Pernak-pernik serta beberapa dekorasi menjadikan hotel ini terlihat mewah dan elegan. Dapat dipastikan jika yang memasuki tempat ini adalah orang ber-uang dari kalangan atas. Gladis dan Vanya yang sudah datang terkagum-kagum dengan dekorasi hotel reuni SMA mereka. Gila saja, hanya untuk sebuah reuni menyewa hotel sebesar ini. Dan menurut info, ballroom dan 100 kamar di sini sudah disewa habis oleh SMA mereka. Gila coba, memang siapa yang mau menginap di hotel kalau mereka punya rumah ditinggali? Kurang kerjaan. “Gila. Gila. Gila. Ini sih very very very amazing, Van. Gue sepertinya harus memuji penggagas reuni kali ini. Berkelas banget dan mewah. Kira-kira berapa ya biayanya? Sewa ballroom ditambah seratus kamar.” Gladis menimang-nimang berapa kira-kira total biaya reuni SMAnya kali ini. Sepertinya bisa lebih dari seratus juta, dilihat dari dekorasi yang begitu mewah. Di tengah rasa kagumnya, Gladis mengernyit bingung mendapati sang sahabat yang hanya diam tiak membalas perkataannya barusan. “Van. Kok lo diem aja, sih,” kesal gadis berambut blonde itu. “Gue males ngomong. Kayaknya malam ini gue puasa ngomong aja, deh," jawab Vanya. “Kebiasaan banget sih ngeselinnya gak pernah ilang. Lo itu udah cantik malam ini Vanya, Sayang. Lihat nih,” tunjuk Gladis kepada diri Vanya sendiri. “Dress lo udah keren abis, ditambah make up natural yang lo pakai. Gue berani taruhan kalau malam ini pasti banyak yang ngelirik lo,” imbuh Gladis dengan percaya dirinya. Entahlah, Vanya merasa tidak begitu semangat untuk menghadiri acara ini. Sejak pagi, Gladis terus saja merecokinya. Memaksanya untuk datang ke acara ini. Ditambah lagi gadis itu sudah memilihkannya dress untuk ke sini. Dress selutut tanpa lengan berwarna peach menjadi pilihan Gladis untuk Vanya, dan tentu saja baju itu salah satu koleksi dari butik Vanya sendiri. Acara dilakukan malam hari, dan dengan bodohnya Gladis memberinya baju tanpa lengan. Vanya merutuki kebodohannya karena tidak menolak perintah sahabatnya ini. Lihatlah sekarang dia sedikit merasa kedinginan. Udara yang dingin ditambah dinginnya AC semakin membuatnya kedinginan. “Dis, lo harusnya beri gue gaun yang tertutup aja. Gue berasa kayak mau ke pesta, padahal kita cuma ke reuni SMA doang,” cibir Vanya kepada sang sahabat. Gladis tertawa sedikit. “Meskipun ini hanya reuni doang, lo harus tampil maksimal. Lo kan designer, Van. Jadi, lo harus tampil bagus dan dress yang bagus juga. Lagian lo cocok pakai gaun ini. Sesuai banget dengan kulit lo," sanggah Gladis yang masih mempertahankan segala opininya. “Ck, terserah lo, deh. Yang pasti, gue kedinginan gara-gara baju pilihan lo ini,” kata Vanya dengan sedikit mendengkus karena hanya ditanggapi sebuah tawa oleh Gladis. “Vanya?” Sebuah suara mengagetkan kedua gadis itu. Vanya dan Gladis menoleh kepada sosok pemuda dengan setelan jas. Ya, acara ini memang hanya reuni SMA, tapi baju yang digunakan memang harus terlihat formal. Jas dan dress mungkin akan menjadi d******i pakaian malam ini. Kembali kepada kedua gadis itu yang mencoba mengingat nama siapa pemuda yang baru saja menyapa mereka, lebih tepatnya Vanya. “Lo Vanya, kan?” tanya pemuda itu lagi dan diangguki  gadis itu dengan polosnya. “Lo cantik banget ya sekarang.” Pujian itu berhasil membuat pipi Vanya memerah. Gladis hanya cekikikan melihat Vanya yang sepertinya termakan godaan pemuda yang ada di depan mereka. Sudah ia bilang bukan kalau akan banyak yang tertarik dengan sahabatnya malam ini. Dan mungkin misi Gladis untuk membantu Vanya mendapatkan pendamping akan  terwujud malam ini. “Te-terima kasih,” balas Vanya sedikit kikuk. Gladis menyenggol sikut Vanya dan membisikan kata-kata, “gue, kan udah bilang, pasti banyak yang tertarik sama lo malam ini," kekehnya Vanya hanya mendengkus kesal, kemudian dia beralih ke sosok pemuda tadi. “Lo siapa ya?" Vanya merutuki kebodohannya. "Ma-maksud gue, gue lupa lo siapa,” tanya Vanya ragu-ragu. Memang dia lupa dengan semua temannya di SMA. Yang dia ingat hanya Gladis yang merupakan sahabatnya dari SMA sekaligus asistennya dalam bekerja. Pemuda itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. “Kenalin. Gue Rio.” Vanya menyambut tangan itu. “Vanya.” “Gue udah tau,” balas Rio dengan senyumannya. Rio sudah tiba sejak tadi. Niat hati ingin melihat kedatangan sang sahabat Deka, namun dua gadis canitik ini malah mengalihkan perhatiannya. “Lo?” tanya Rio kepada Gladis. “Gue Gladis,” ucap Gladis memperkenalkan dirinya. Akhirnya mereka mengobrol satu sama lain. Menanyakan hal ini itu. Rio yang sudah mengetahui jika Vanya menjadi designer sedikit berbasa-basi menanyaka apa pekerjaan gadis itu. Hingga sebuah suara membuat atensi ketiga orang itu berpindah. “Yo.” “Deka.” Tubuh Vanya menegang, dan Gladis mengetahui itu. Vanya sebisa mungkin menetralkan degup jantungnya dan mencoba bersikap biasa. Ayo, Van, lo pasti bisa, batin Vanya menyemangati dirinya sendiri. “Ternyata lo datang juga, Bro. Gue kira gak jadi,” kata Rio mencoba sedikit bercanda. “Hmm.” Matanya tiba-tiba saja bertubrukan dengan kedua bola mata Vanya. Dan buru-buru saja gadis itu memutuskan tatapan mereka. “Eh, kenalin, Bro. Ini Gladis, dan ini Vanya,” ujar Rio memperkenalkan kedua gadis di antara mereka meskipun Deka sendiri pun pasti sudah tahu. “Gladis.” “Deka.” Deka beralih mengulurkan tangannya kepada Vanya yang tidak disambut oleh gadis itu. Gladis mengkode Vanya agar dia cepat tersadar. “Eh.” Vanya menyambut uluran tangan itu. Dan tiba-tiba saja seperti ada sengatan listrik yang mengalir di tangannya, “Vanya.” “Deka.” Rio yang melihat interaksi keduanya pun hanya bisa mengulum senyumnya. “Van, lo sakit ya?” tanya Rio memperhatikan mimik muka gadis itu yang berbeda. Sedikit memerah sepertinya. “Eng-enggak,” jawab Vanya gugup. “Tapi muka lo merah.” Vanya semakin merutuki kebodohannya. Hanya karena mendengar suara Deka setelah sekian lama tidak bertemu membuat dirinya tiba-tiba blushing. Dan sialnya tangan mereka baru saja bersentuhan, itu menambah sedikit getaran aneh pada diri Vanya. “Gu-gue kayaknya butuh air," jawab Vanya cepat, kemudian dia beralih kepada Gladis. "Dis, kita minum dulu, yuk.” Satu alis Deka terangkat, memperhatikan sikap Vanya yang begitu aneh. “Oh, ok. Gaes gue pergi dulu ya. Dahh," pamit Gladis. Dan kedua gadis itu pun pergi meninggalkan Rio dan Deka yang tampak bingung. Vanya mencoba menetralkan degup jantungnya. Namun, semua sia-sia kala dia harus berdekatan dengan Deka. Sial. “Si Deka makin ganteng aja tuh,” celetuk Gladis yang mengetahui jika Vanya tengah mencoba menghindari pemuda itu. Vanya meminum air yang berada di dalam gelas dengan sekali tegukan tanpa menghiraukan ocehan Gladis. Berdekatan dengan Deka malah membuat hawa di sekitarnya menjadi panas. “Van, lo minum itu? Itu alkohol. Bahaya woi,” tegur Gladis. “Biarin. Gue udah kehausan dari tadi. Lagian ini cuma segelas doang.” “Ck, awas aja kalau lo mabok. Gue gak akan mau bantu," peringat Gladis yang sudah tahu bagaimana anitnya Vanya dengan minuman seperti itu. “Ya ya ya terserah.” Dan akhirnya acara pun dimulai. Seperti kebanyakan reuni sebelumnya, pasti ada perkumpulan perempuan yang mengobrol satu sama lain. Begitu halnya dengan Gladis dan Vanya yang kembali akrab dengan teman lama mereka. “Van, lo tambah cantik dan seksi aja nih. Tipsnya apa nih biar bisa punya badan bagus kayak lo?” celetuk salah satu teman SMA mereka. “Eh, em, gue nggak punya tips sih. Kalian rajin olahraga dan makan makanan yang bergizi aja,” jawab sekenanya. Toh itu yang selalu ia lakukan sejak dulu. Menjaga pola makana dan selalu hidup sehat. “Masa iya cuma itu doang sih, Van? Gue lagi program diet nih biar suami gue cinta lagi.” “Eh. Memang suami kamu nggak cinta sama kamu?” tanya Vanya polos yang malah mendapat tawaan dari teman-temannya. “Hahaha. Ya gak gitu juga, Van. Dia cinta kok sama gue, tapi gue mau dia semakin cinta. Kalau badan gue langsing dan perfect kayak lo sih dia bakalan makin cinta. Secara gue udah ngelahirin dan badan udah agak melar. Jadi gak pede aja kalau berhadapan sama suami.” “Siska, dengerin ya. Kalau suami lo memang cinta, dia gak akan permasalahin bagaimana tubuh lo saat ini atau nanti. Selangsing apapun seorang perempuan, jika dia tidak tertarik ya mau gimana lagi. So, lo gak boleh minder ya.” Vanya mencoba menyemangati teman-temannya yang selalu mempermasalahkan bentuk badan. Apa salahnya jika menjadi sedikit gemuk? Itu bagus, lebih enak untuk dipeluk, bukan? “Hahaha, lo mah aneh-aneh aja, Van. Di mata laki-laki, bentuk tubuh perempuan menjadi hal yang paling utama mereka perhatikan. Bentuk tubuh bagus menandakan jika di dalamnya bagus,” balas teman Vanya yang terdengar ambigu. “Ha? Maksudnya?” “Dis, temen lo polos banget sumpah. Dari dulu gak pernah berubah astaga.” “Hahaha biasalah, Sis. Dia mah mana pernah pacaran. Begonya keterlaluan sih. Jadinya polos deh,” jawab Gladis yang sejak tadi hanya menyimak. Vanya mendengkus kesal kala teman-temannya mengatainya polos. Memang apa salahnya belum pernah pacaran? Itu sudah takdir dari Tuhan. Dan dia pun suka hal itu.  Tidak ada laki-laki tulus di dunia ini. Catat! “Dis, Sis, gue mau ambil makanan sekalian minuman dulu deh kayaknya,” pamit Vanya akhirnya meninggalkan teman-temannya. Katakanlah Vanya bodoh. Bisa-bisanya dia menghindari pembicaraan dengan teman-temannya. Biarlah, dari awal dia memang tidak ingin berada di sini. Gladislah yang terus-terus saja memaksanya. “Aduh.” Vanya menabrak tembok karena kurang hati-hati ketika berjalan. “Siapa sih yang naruh tembok di sini,” gerutunya. “Tembok lo salahin?” celetuk sebuah suara. “De-ka?” Suara Vanya terasa tercekat. Bisa-bisanya dia bertemu pemuda ini. Oh ralat, tadi dia sudah bertemu bukan? Dan tidak salah jika mereka kembali bertemu. Tapi ini terlalu tiba-tiba. Dan Vanya belum siap. Haruskah ia kembal menghindar seperti tadi? “Dari dulu lo memang bodoh.” Vanya melotot kala Deka mengatainya bodoh. Cukup teman-temannya saja tadi yang mengoloknya, tidak dengan Deka. “Apa lo bilang?” “Bodoh.” Ulang Deka. “Kurang aj –“ “Vanya, Deka?” Kedatangan Rio membuat keduanya berhenti bersitegang. Niat hati ingin menyembur Deka dengan semprotannya, malah  gagal. “Kalian kok di sini? Hayo ngapain?” Bukan Rio namanya jika tidak usil. Deka memutar bola matanya malas, Rio kembali selalu mengganggunya. “Yang pasti bukan urusan lo,” balas Deka dingin. “Yaelah sewot amat. Btw gue bawa minuman nih buat kalian,” kata Rio sambil memberikan gelas berisi minuman kepada Vanya dan Deka. Vanya menerima minuman itu, sedangkan Deka sedikit ragu, pasalnya segala bentuk perilaku Rio tidak bisa ditebak saat kapanpun. “Buruan ambil kampret.” Dan dengan malas, Deka mengambil minuman itu. “Sebenarnya ini minuman buat gue dan Deka, tapi karena ada Vanya, jadi gue kasih ke lo aja deh, Van.” “Eh, gak apa-apa nih? Gue bisa ambil minuman sendiri kok kalau lo mau minum ini,” kata Vanya sedikit tidak enak hati. “Udah santai aja, Van. Gue ambil lagi nanti gampang. Kasihan cewek cantik kehausan,” goda Rio yang kembali membuat pipi Vanya memerah. Hal itu pun tak luput dari penglihatan Deka. “Udah sono lu pergi,” usirnya kepada Rio. “Biasa aja kali, Bro. Ngusir aja lo. Yaudah deh, Van gue ke sana dulu. Bye.” Dan dijawab anggukan oleh Vanya. Rio pergi menyisakan Vanya dan Deka. “Jangan!” Belum sempat gelas itu menyentuh bibir Vanya, Deka sudah menghentikan gerakan gadis itu. “Eh?” Vanya yang memang terkejut pun sontak hanya berdiri diam. “Jangan minum itu,” kata Deka yang selalu dingin, “lebih baik kita tukeran minuman. Gue curiga sama itu orang,” lanjutnya agar Vanya tidak salah paham. Akhirnya mereka minum dalam diam dengan pikiran masing-masing. Namun siapa yang tau besok akan menjadi hari baru bagi keduanya. ☆☆☆ Q&A Q: Siapkah kau tuk jatuh cinta lagi? Your answer: ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD