3. Bertemu CEO Tampan

2005 Words
Saat ini Simi tengah membantu Emak Meriam membuat nasi uduk, Simi sudah terbiasa melakukan hal ini karena inilah yang menjadi kegiatannya sehari-hari. Berhubung saat ini ia menjadi pengacara alias pengangguran banyak acara, maka dari itu Emak Meriam selalu meminta bantuan Simi agar dagangannya bisa cepat selesai dibuat. Di saat sedang asyik-asyiknya mencuci beras sambil mendengarkan musik dangdut kesukaannya, tiba-tiba saja ada sebuah teriakan dahysat dari luar, Simi tahu kalau itu si teman masa kecilny. Siapa lagi orangnya kalau bukan Jayanti? Gadis yang sudah lama berteman dengan Simi itu langsung masuk ke rumah untuk menemui Simi setelah Emak Maryam mengizinkannya. Saat menyusul Simi menuju dapur, gadis itu berdecak ketika melihat tingkah Simi yang absurd. Simi tengah berdiri di wastafel, mencuci beras yang akan dimasak menjadi makanan enak yang dipadukan dengan santan yang diberi nama nasi uduk legend Emak Meriam. Namun, bukan itu yang membuat Jayanti geleng-geleng kepala, melainkan tingkah Simi yang berjoget ria mengikuti alunan lagu dangdut lah yang membuatnya heran. Jika anak zaman sekarang suka lagu jedag-jedug ataupun lagu pop populer dan Korea, maka Simi beda dari yang lainnya. Simi suka musik dangdut lawas yang sudah sangat jarang sekali disetel oleh gadis seusianya. Ini semua karena Emak Meriam saat mengandung dirinya selalu menyetel lagu dangdut lawas itu sehingga membuat Simi akhirnya ketularan penyuka lagu dangdut tahun delapan puluh hingga sembilan puluhan tersebut. "Pantesan nasi uduk Emak Meriam rasanya enggak ada duanya, ternyata ini ya mantra yang bikin tuh uduk jadi enak." Mendengar suara Jayanti, membuat Simi yang baru saja selesai mencuci beras menoleh. "Iya dong, cuma gue nih yang bisa buat mantra ini." Simi malah menanggapi candaan Jayanti. "Dasar nih anak. Eh lo udah selesai belum itu? Udah ditungguin Emak lo tuh beras," ujar Jayanti. "Sabar kali, ini juga gue baru beres. Gue ke depan bentar deh, lo mau tetap di sini atau mau ikut?" tanya Simi. "Ikut lah, ya kali gue tetap di sini. Ngapain coba? Mana dapur lo ini seram amat sih, Sim? Gelap gini," ujar Jayanti mengikuti Simi yang berjalan menuju teras depan. "Mungkin lo mau nangkap hantu yang gentayangan di atap dapur gue," canda Simi yang membuat Jayanti bergidik ngeri. "Nggak usah nakutin gue lo, Sim! Nggak mau lagi gue ke sini kalau lo ngomong kayak gitu." Jayanti merapatkan dirinya pada Simi ketika Simi mulai membahas hantu penghuni dapur gelap rumahnya. "Ck, penakut amat lo jadi orang. Hantu tuh nggak usah ditakuti tapi diajak temenan, barangkali nanti dia ajak lo ke alam lain. Kan lumayan tuh bisa healing di tempat yang nggak biasanya didatangi manusia." Jayanti menatap horor Simi, ia bergidik ngeri mendengar ucapan Simi yang melantur. "Jangan-jangan lo udah pernah lagi diajak main tuh hantu," ujar Jayanti. "Ya nggak lah! Lo pikir gue indihome?" "Indigo, Simi! Indihome ... indihome! Dimarahin nanti lo kalau sebut merek!" "Mana? Siapa yang mau marahin gue? Gue bakal marahin dia balik!" tantang Simi. "Lagian lo nggak sadar? Lo tadi nyebut juga, Markonah! Dua kali malah, hayo lo kena marah." Jayanti menggaruk belakang kepalanya. "Iya juga ya, gue nyebut tadi. Gara-gara lo ini, Sim." "Gue terus yang salah, katanya cewek nggak pernah salah. Tapi kayaknya itu nggak berlaku buat gue deh, nggak lo, nggak emak gue pasti selalu nyalahin gue kalau ada apa-apa," ujar Simi. "Curhat, Buk?" tanya Jayanti membuat Simi mendengkus keras. "Nyebelin lo!" Simi yang kesal, berjalan cepat meninggalkan Jayanti menuju emaknya di teras depan yang sedang bersiap-siap. "Mak Bunda yang tercinta, silakan ambil beras ini. berasnya sudah tuan putri Simi cuci dengan bersih," ujar Simi sambil menyerahkan beras itu pada emaknya dengan gaya drama kerajaan ala-ala. "Astaga, nih anak obatnya pasti habis," tutur Emak Simi sambil mengambil wadah berisi beras yang Simi berikan. "Mak, kok tega banget sih ngomong kayak gitu sama Simi?" Simi cemberut. "Nggak usah sok imut itu di depan Emak, nggak mempan. Sana siap-siap, Jaya mau ngajakin kamu pergi tuh. Emak udah izinin." "Loh? Emak kok asal izinin aja sih? Kan Simi belum mau diajak Jaya keluar," ujar Simi. "Kamu mau ikut Jaya apa bantuin Emak jagain nih dagangan?" "Simi ikut Jaya aja deh, Mak, hehehe." Simi menyengir. "Simi ke kamar dulu deh mau siap-siap, Jaya tungguin bentar ya!" teriak Simi bergegas menuju kamarnya. "Dasar tuh anak, disuruh jaga warung kagak pernah mau. Heran," dumel Emak Meriam. Kurang lebih lima menit Simi sudah siap dengan dandanan ala kadarnya, Simi keluar dari kamarnya kembali menghampiri Jayanti dan Emak Meriam yang sedang mengobrol. "Ayo berangkat! Gue udah siap nih," ujar Simi membuat Jayanti dan Emak Meriam langsung menoleh ke arahnya. "Sim, seriusan lo udah siap?" tanya Jayanti. "Iyalah, lo nggak lihat gue udah cantik mempesona dan wangi parfum gini." Simi memutar-mutar tubuhnya seakan ingin menunjukkan betapa cantiknya dirinya saat ini yang menurut Emak Meriam dan Jayanti yang melihatnya biasa-biasa saja karena tidak ada hal yang berubah dari diri Simi yang wajahnya pas-pasan walau memiliki senyum manis itu. "Lo nggak mandi dulu? Gue yakin lo belum mandi," ujar Jayanti. "Emang belum, nanti aja gue mandinya. Nunggu baliknya aja dah, kelamaan kalau nunggu gue mandi." Jayanti geleng-geleng kepala mendengarnya. "Dasar aja lo yang malas mandi, gue yakin belum tentu pulang nanti lo mandi," ujar Jayanti. "Tahu aja lo, Babí!" Simi menoel-noel lengan Jayanti. "Simi! Jangan ngomong kotor gitu, Emak nggak suka ya dengar kamu ngomong begitu. Siapa yang ngajarin, hah!?" hardik Emak Meriam membuat Simi malah menjadi bingung. "Loh, kok Simi yang salah sih, Mak? Simi 'kan cuma ngikutin trend anak muda zaman sekarang. Katanya Emak mau kalau Simi bisa jadi gaul, ya udah Simi ikutan bahasa mereka. Manggil bestai-nya pakai panggilan babí." Saat Simi kembali menyebutkan nama binatang itu, Emak Maryam memukul kepala Simi dengan centong nasi di tangannya. "Auh! Sakit, Mak. Kenapa Emak malah pukul kepala Simi sih? Nggak imut lagi tatanan rambut Simi gara-gara Emak," keluh Simi sambil menyentuh rambutnya yang sedikit berantakan gara-gara emaknya. "Sekali lagi kamu sebut tuh nama, bukan lagi centong nasi yang Emak pukulin tapi ulekan sambel ini," tutur Emak Meriam membuat Simi seketika menghindar. Jayanti yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala, emak dan anak ternyata tak ada bedanya. Sama saja, wajar jika tingkah Simi absurd seperti ini. "Bukan si bab, Simi, biasanya orang-orang tuh kalau manggil bestai-nya itu pakai panggilan beibi," ujar Jayanti memberitahu. "Oh beibi, bukan bab—" Simi langsung menghentikan perkataannya ketika melihat Emak Meriam yang mengangkat tinggi-tinggi ulekan sambal itu. "Eh, ayo kita berangkat sekarang. Nanti jalanan macet, lo bisa telat loh," ujar Simi. "Iya juga ya. Mak, izin bawa Simi pergi bentar ya." Jayanti menatap Emak Meriam. "Iya, bawa lama juga nggak apa-apa. Emak malah senang, nggak ada yang berisik di rumah." Simi mendelik kesal mendengarnya. "Mak tega bilang itu, nanti juga Mak nyariin Simi kalau misal Simi nggak pulang beberapa jam. Emak kayak nggak butuh Simi aja, siapa coba yang bantuin Emak masak nasi uduk kalau bukan Simi?" "Udah-udah sana kalian langsung pergi aja, Emak pusing dengerin omongin Simi yang kayak orang mabok." Simi cemberut. "Mak kejam, mending Simi cari emak baru aja." Simi mulai berdrama. Jayanti tergelak mendengar drama yang baru saja berlangsung itu, ia menarik tangan Simi. "Ayo, kita berangkat, Sim." "Mak, kita berangkat ya! Emak jangan rindu, nanti Simi balik lagi kok." Simi menyalami tangan emaknya begitupun juga dengan Jayanti. "Hati-hati kalian," ujar Emak Meriam yang sama sekali tak menanggapi kata-kata Simi. "Kalau Simi rewel, kamu tinggalin aja dia di pinggir jalan ya, Jaya." "Emak! Tega ih!" teriak Simi sebal. Emak Meriam dan Jayanti tertawa. "Emak cuma bercanda, bawa Simi pulang dengan utuh ya. Walaupun anak ini nyebelin tapi berguna juga buat bantuin emaknya." "Cuma itu aja fungsi Simi di sini, Mak? Emak emang ibu yang tega. Sungguh teganya, oh teganya emakku ...." "Udah ah, Sim. Kalau gini caranya nanti gue telat, ayo pergi. Pergi dulu ya, Mak. Assalamualaikum ...." Jayanti menarik pergelangan tangan Simi dan mengajaknya segera pergi. "Jangan tarik tangan gue, Jaya, gue bisa jalan sendiri. Jaya mah nyebelin." Simi melepaskan tangan Jayanti. "Nama gue Anti! Berhenti panggil gue Jaya, Simi!" teriak Jayanti kesal. "Tapi gue lebih suka panggil lo kayak gitu, emak gue panggil lo kayak gitu boleh. Kok gue nggak boleh sih?" "Karena gue nggak berani negur emak lo, nggak sopan." "Pilih kasih lo sama gue," ujar Simi. Jayanti tak menanggapi, gadis itu mengajak Simi menunggu angkot di halte. Saat berada di dalam angkot, Simi dan Jayanti harus berdesakan dengan penumpang lainnya yang ingin pergi ke pasar. Dalam hati Simi menggerutu karena di sebelahnya ada seorang penumpang yang membawa seekor ayam, ia takut kalau nanti ia akan bau kalau dekat-dekat dengan ayam itu. Apalagi kalau sampai ayam itu berak, bisa kacau. "Kita ini mau ke mana sih sebenarnya?" tanya Simi pass Jayanti. "Ke perusahaan penerbitan, Sim," jawab Jayanti. "Mau ngapain lo ke sana?" "Editor gue ngajakin gue ketemuan di sana," ujar Jayanti. "Kenapa lo nggak ke sana sendirian aja? Kenapa lo ngajakin gue?" tanya Simi. "Kata lo, lo mau nyari CEO ganteng. Kalau mau cari CEO ganteng ya kita harus ke perusahaan-perusahaan besar, kebetulan di samping perusahaan itu juga ada beberapa perusahaan lainnya. Pasti banyak banget cowok-cowok pakai jas," ujar Jayanti. "Eh, yang mau cari CEO tuh siapa? Kan lo tahu kalau gue nggak berminat, Anti. Gue minatnya jadi istri dari suami lo," tukas Simi. "Nggak mau gue sama CEO-CEO-an. Terlalu tinggi bagi gue, gue mau jadi istri kedua lo aja!" Jayanti langsung mencubit gemas lengan Jayanti. "Sakit tahu, Jayanti!" "Lebih sakit hati gue dengar lo mau ngerebut calon suami masa depan gue. Enak aja mau rebut! Gue aja belum ketemu," tukas Jayanti. Perjalanan diisi dengan pertengkaran antara Simi dan Jayanti tentang poligami yang diinginkan oleh Simi dan tidak diinginkan oleh Jayanti. Hingga akhirnya angkot berhenti di tempat yang ingin mereka datangi, mereka harus menghentikan pertengkaran itu sejenak. Saat turun dari angkot, kembali lagi pertengkaran itu dilanjutkan. "Pokoknya gue mau jadi madu lo, titik!" "Enak aja, gue nggak mau ya!" "Harus mau, lo 'kan sahabat gue. Nggak ada salahnya lo berbagi suami sama sahabat lo ini, Ti." "Nggak, gue nggak mau. Kalau sampai lo ada niatan kayak gitu, mending persahabatan kita putus!" "Jahat lo sama gue, apa salahnya berbagi suami?" "Salah, jelas salah! Lo cari lah jodoh sendiri." "Nggak mau, maunya suami lo." "Gue nggak pernah ridho kalau lo mau rebut suami gue ya, Simi!" "Gue nggak butuh keridhaan lo, butuhnya keihklasan hati lo." "Gue nggak pernah ikhlas! Enak aja!" "Harus ikhlas karena gue sahabat lo!" "Nggak!" "Jaya, jangan begitu lah. Masa lo tega sama gue? Nanti kalau misalnya lo udah nikah tapi gue belum gimana?" "Ya itu derita lo lah, Sim ngapain juga gue harus mikirin lo." "Tega banget lo jadi sahabat, sama sekali nggak punya hati." "Yang lebih nggak punya hati itu lo. Mau rebut suami orang dengan terang-terangan." "Ya mending terang-terangan lah! Karena gue bukan pelakor." "Nyatanya lo lebih menyeramkan dari pelakor, seenak jidatnya aja mau jadi madu gue." "Jaya, lo emangnya nggak dengerin ceramah Pak Ustad kemarin? Katanya kalau dipoligami itu enak. Bisa berbagi suami, berbagai semuanya. Berbagi itu indah, Jaya, bisa mendatangkan pahala." "Pengajian sesat gitu kok lo dengerin sih, Sim? Otak lo nggak bener. Udah terkontaminasi sama hal-hal yang nggak seharusnya ditiru." "Jangan bilang gitu lo, Jay, tega banget bilang gitu ke gue. Lo kejam." "Lo yang lebih kejam." "Nggak, lo yang kejam karena nggak mau berbagi suami sama gue. Tega lo, tega!" "Simi, lo nyebelin banget sih?" "Gue—" BRUKKK! "A-aduh!" Simi mengaduh ketika ada seseorang yang sepertinya tengah terburu-buru itu berlari sampai menabraknya. "Woy! Lo kalau jalan itu pakai mata! Jangan pakai otak lo yang didengkul! Mana nggak minta maaf lagi!" teriak Simi hingga membuat orang itu membalikkan tubuhnya. "Maafkan saya, saya tidak sengaja. Saya sedang terburu-buru," ujar pria itu sambil membungkuk sebentar kemudian pergi. Simi terdiam, matanya bahkan tak mengerjap gara-gara melihat penampakan seorang pria tampan memakai setelan jas lengkap. "Siapa itu, Anti? Dia ganteng banget," ujar Simi sambil menatap punggung pria tampan berkas yang semakin menjauhi mereka. "Oh, dia itu CEO di perusahaan penerbitan gue, Sim," balas Jayanti sambil membantu Simi berdiri. "Jaya! Gue sekarang berubah pikiran. Gue nggak mau lagi jadi istri kedua lo. Gue mau jadi istrinya CEO tampan tadi!" ujar Simi sambil menatap pria tampan itu yang akhirnya memasuki perusahaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD