2. Cita-cita Serendah Jurang

1197 Words
Langkah kaki Simi membawanya menuju sebuah rumah minimalis bergaya modern, rumah itu bercat hijau terang dengan berbagai macam bunga di halaman rumahnya. Simi langsung berucap salam kemudian memasuki rumah itu ketika sang pemilik rumah sudah menyuruhnya masuk, ini adalah Rumah Jayanti–sahabatnya dari masa kecil hingga sekarang di usia mereka yang sama-sama memasuki kepala dua. Ketika memasuki rumah itu, Simi melihat sang sahabat tengah duduk di salah satu sofa dengan kaki yang diangkat ke atas meja. Simi menggeleng, sahabatnya memang tidak ada bedanya dengan dirinya. Sama-sama barbar dan tidak sopan, mungkin itulah yang membuat keduanya bisa berteman akrab hingga sekarang. Di samping itu, rumah keduanya yang berdekatan juga lah yang menjadikan mereka berdua lengket. Tidak ada yang mau berteman dengan Simi dan Jayanti karena tingkah barbar mereka, hingga kini hanya Simi dan Jayanti lah yang berteman bahkan sampai mereka sudah sama-sama lulus SMA. Bedanya, jika Simi bekerja sebagai pengacara alias pengangguran banyak acara maka Jayanti memiliki pekerjaan ya bisa dibilang lumayan. Jayanti ini salah seorang penulis di sebuah aplikasi membaca dan menulis, sudah lumayan banyak buku yang ia terbitkan. Dan sebagai sahabat yang baik, maka Simi lah yang membantu Jayanti dalam mengemas buku yang akan dikirimkan ke pembeli. Upah yang Simi dapatkan? Terkadang kalau Jayanti sedang baik hati dan penjualan buku lumayan banyak, maka Simi akan diberi uang. Namun, jika penjualan sedang sedikit maka paling tidak Jayanti akan mentraktir Simi makan. "Hallo, Sobat!" teriak Simi membuat Jayanti yang sedang fokus mengetik di layar ponselnya pun terperanjat. "Anjir lo, Simi! Ngagetin gue aja! Kalo masuk ke rumah orang itu ucap salam kek lah ini main nyelonong aja!" omel Jayanti merasa kesal, untung tadi ia sempat menyimpan hasil ketikannya, jika tidak hilang sudah apa yang telah ia tulis tadi. "Gue tadi udah ucap salam kali, lagian nyokap lo juga udah jawab salam gue dan langsung nyuruh gue masuk. Lo aja yang terlalu fokus sampai gue ngucap salam aja dan masuk pun enggak lo dengar, gue enggak habis pikir sama lo. Untung yang masuk tadi cuma gue, coba aja kalo maling? Bisa-bisa lo tewas di tangan maling itu." Simi balas mengomeli Jayanti, lagipula ia sama sekali tidak salah. Yang salah itu Jayanti, salah siapa gadis itu tidak menyadari kedatangan Simi padahal ia telah berucap salam dengan suara sekeras toa masjid. "Ya maaf-maaf, gue tadi lagi sibuk banget. Ini readers gue minta gue update cepat mulu, gue yang lagi fokus jadi enggak mentingin apa-apa." Simi hanya mengangguk sok memaklumi penjelasan Jayanti, gadis itu duduk tepat di samping Jayanti. "Iya-iya yang author parno mah gitu," ledek Simi. "Parno-parno, famous maksud lo?" Simi mengangguk. "Beda jauh ya itu dua kata! Ngadi-ngadi emang lo!" Simi hanya mengangkat bahunya acuh. Seakan teringat kalau ia ke sini bukan karena ingin bermain, Simi menaruh plastik berisi bungkusan uduk yang tadi emaknya pesankan agar diantar ke rumah sang sahabat. "Ini, ada titipan. Kata emak gue ini titipan buat Jaya sahabat gue." Setelah mengatakan itu, Simi mendapat toyoran di kepalanya. "Sembarangan lo ubah nama gue! Jaya-Jaya! Nama panggilan gue Anti, bukan Jaya!" protes Jayanti pada Simi yang asal saja merubah nama panggilannya. "Maksud lo anti air atau anti bocor?" Lagi, Simi mendapat pukulan di kepalanya. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. "Asem lo! Ini kepala tiap tahun dibayarin zakat, main pukul aja lo! Kalo sampai kepala gue kenapa-kenapa tanggung jawab enggak lo!?" ucap Simi kesal sambil mengusap kepalanya. "Palingan cuma dibawa ke rumah sakit terus di operasi terus lo amnesia, lagian salah lo sendiri ngejek nama gue. Asem banget lo Similikiti!" Simi hanya mencibir. "Emang gue belum mandi makanya asem," ujar Simi santai. Jayanti yang mendengar perkataan Simi langsung menjauhi Simi, ia menatap Simi seakan kalau Simi itu suatu makhluk yang menjijikkan. "Jorok lo! Anak gadis kok males mandi!" ledek Jayanti bergidik sok jijik. "Kayak baru kenal gue aja lo ngomong gitu, biasa aja dong Mbak tanggapannya." Menurutnya Jayanti terlalu lebay, seakan kalau gadis itu baru mengenal Simi. Padahal 'kan kenyataanya, ia dan Jayanti sudah mengenal sejak lama. Jadi keduanya jelas saja paham seluk-beluk masing-masing. "Bukan gitu, lo 'kan udah gede. Masa iya males mandi terus? Gimana mau dapat jodoh lo," ujar Jayanti. "Lah lo sendiri emang udah dapat jodoh?" tanya Simi. "Belum juga hehehe ...." cengir Jayanti. "Eh nanti kalo lo udah dapat jodoh kasih tau gue, ya?" pinta Simi penuh harap. "Kenapa gue harus ngasih tau lo?" tanya Jayanti heran, roman-romannya dia sudah tahu apa yang akan Simi katakan. "Soalnya lo 'kan udah tahu kalo cita-cita gue itu jadi istri suami lo kelak, ya gue harus kenal juga dong calon suami gue nantinya. Nanya-nanya dia keberatan enggak kalo nikahin dua cewek aneh kayak kita," jawab Simi santai. "Maksudnya lo jadi madu gue gitu?" tanya Jayanti yang langsung dibalas anggukan mantap dari Simi. "Ogah! Enak aja lo! Gue enggak pernah ridha ya kalo suami gue nikah lagi apalagi sama lo. Enak aja! Lagian lo kok aneh banget sih? Punya cita-cita kok serendah jurang, harusnya lo itu punya cita-cita setinggi langit. Misal cita-cita lo jadi istri CEO yang sering lo baca kek, lah ini? Benar-benar ajaib gue. Gue pikir lo cuma bercanda, enggak taunya beneran. Wah bahaya, kalo gue nanti ketemu cowok ganteng. Enggak mau deh kenalin ke lo." Simi cemberut mendengar perkataan panjang lebar Jayanti, sahabatnya ini kenapa tidak mengizinkan Simi menjadi istri keduanya suaminya kelak sih? Kan kalau diizinkan mereka tidak akan terpisahkan. Sepertinya enak ya tinggal berdua dengan sang sahabat, berbagi suami kalau perlu mereka tidur bertiga sambil membaca dongeng. Keluarga bahagia sekali di dalam pikiran aneh Simi. "Jadi istri CEO itu 'kan enggak mungkin bisa tercapai, ketinggian ah kalo sama gue. Kalo jadi istri suami lo kelak 'kan itu bisa digapai, jadi boleh ya? Nanti janji deh kita akan jadi keluarga bahagia yang akur." Tak habis akal, Simi bersikeras membujuk Jayanti agar sahabatnya itu mengizinkan dirinya menjadi istri kedua dari suami yang belum tahu bagaimana bentuknya dan di mana keberadaannya. "Ogah! Kalo sampai lo berani jadi madu gue! Awas aja lo! Enggak gue anggap sahabat lagi pokoknya! Enak aja punya cita-cita mau jadi pelakor!" Jayanti jadi terbawa emosi, takut-takut kalau Simi nekat ingin menjadi madunya. Enak saja, cari satu suami saja susahnya minta ampun, giliran dapat malah akan diminta. Dipikir laki-laki hanya satu orang apa? Seperti tidak ada spesies laki-laki lagi saja di dunia ini. "Tega lo! Padahal 'kan niat gue baik, gue cuma enggak mau pisah dari sahabat tersayang gue. Kalo suami kita sama 'kan otomatis kita serumah dan enggak akan pernah terpisahkan, kenapa lo enggak dukung rencana gue? Lo enggak mau selamanya kita sahabatan?" Jayanti jadi gemas dengan perkataan Simi. "Ya Allah semoga Simi mendapatkan suami seorang CEO biar dia enggak punya cita-cita serendah jurang lagi, aamiin!" Tangan Jayanti menengadah, memohon dengan sangat pada Tuhan agar mau mengabulkan doanya. Cita-cita aneh Simi itu benar-benar menakutkan, Jayanti takut kalau Simi tak segera mendapatkan jodohnya maka ia akan menjadi madunya. Tidak! Sampai kapanpun Jayanti tidak mau memiliki madu meskipun itu adalah sahabatnya sendiri, percayalah diduakan itu tidak enak. Jayanti belum pernah merasakan sih, tetapi ketika ia membaca tema mendua maka ia akan baper dan marah-marah. Nah membaca saja sudah membuat hatinya sesak, apalagi jika ia yang merasakan. Sementara itu, Simi memandang sedih sahabatnya yang sama sekali tidak mendukung cita-cita serendah jurang yang ia inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD