Bab 6 - Labirin emas

1315 Words
Sagara Mansion adalah kemewahan yang sunyi. Namun, bagi Alisa Paramita, kesunyian itu adalah selimut tebal yang menutupi suara-suara gelap. Sejak menikahinya satu minggu yang lalu, Damian Sagara telah menjadi kontradiksi berjalan, di depan layar. Dia adalah arsitek masa depan, tetapi di balik gerbang tinggi ini adalah sosok yang dingin dan berjarak, diselimuti aura bahaya yang nyaris fisik. Kecurigaan Alisa dimulai dari detail-detail kecil yang seharusnya tidak ada di rumah seorang CEO teknologi. Pola pertama adalah keamanan. Pengawal pribadi Damian tidak seperti penjaga biasa, mereka seperti serigala yang menyamar dalam setelan mahal. Mereka bergerak dengan efisiensi mematikan, tatapan mereka terlalu tajam, dan di balik jas yang pas badan, Alisa bisa merasakan kekakuan rompi pelindung. Terutama sosok Jenderal Keamanan Damian, seorang pria besar dengan bekas luka tipis di alis, yang tidak pernah tersenyum. “Rumah besar ini terlihat seperti kuburan,” gumamnya bergidik ngeri. Mereka tidak menjaga Damian dari musuh bisnis, melainkan dari peluru. Ada pula Zona Terlarang. Sayap timur Mansion dijaga oleh access key dan selalu diawasi oleh dua pria bersenjata yang berdiri diam seperti patung. Damian bilang itu adalah ruang arsip rahasia Sagara Corp. “Kamu harus berada di sisi kolam, Nyonya. Udara segar baik untukmu.” Suara itu menghantamnya dari belakang. Alisa tersentak dan berbalik, gerakan mendadak yang membuat rambutnya ikut berkibar. Di sana, membayangi dirinya, adalah Leo. Pria itu berdiri begitu dekat dan sunyi, seolah dia berteleportasi ke tempat itu. “Astaga, jantungku hampir saja copot!” gumamnya lirih, sambil memejamkan mata sesaat dan mengelus dadanya yang berdetak kencang. Setelah mengamati sekeliling ruangan dengan cepat, pandangannya terkunci pada Leo. “Tempat ini punya terlalu banyak aturan,” katanya, nada kekesalan yang berat menggantung di udara di antara mereka. “Ya aku tahu itu, tidak perlu menjelaskannya!” sahut Alisa. Lebih buruk dari CCTV, Alisa merasakan semua mata adalah bilah pisau. Di Mansion Sagara, ia hidup dalam ketakutan paranoid, diawasi seolah ia adalah musuh paling dicari, sosok berbahaya yang hanya menunggu celah untuk meloloskan diri. Keberadaannya adalah ancaman, dan setiap tatapan adalah peringatan yang menusuk. Damian sering menghilang pada larut malam. Ia akan keluar dengan pakaian kasual yang gelap, tidak ada sopir, hanya ia dan Jenderal Keamanan. Ia kembali menjelang subuh, tampak lelah, tetapi dengan ketegasan yang lebih tajam di matanya. Suatu malam, sekitar pukul dua dini hari, Alisa terbangun. Ia mendengar suara Damian dari ruang kerjanya. Suara yang dingin, mendesak, dan tidak lagi bersemangat seperti CEO. Alisa merayap ke koridor, bersembunyi di balik pilar patung perunggu. “Corvus, bersihkan!” Suara Damian berbisik cepat dalam bahasa Italia, diselingi kata-kata sandi. “Aku tidak ingin ada bayangan di dermaga. Pastikan hadiah itu sampai di tangan mereka tepat waktu.” Corvus. Gagak. Sebuah nama sandi yang gelap. Ketika Damian menutup telepon, Alisa mendengar ia mendesah panjang, dan sejenak, wajah malaikat itu tampak berkerut karena beban yang mengerikan. Itu adalah beban kekuasaan, tetapi bukan kekuasaan bisnis, melainkan kekuasaan yang berbau tembaga dan mesiu. ‘Apa keuntungan menikahi ku?’ Kenapa Damian menunjuknya sebagai istri kontrak? Alisa tak menemukan jawabannya. Segera, ia menyingkirkan misteri itu dari benaknya, menarik diri tergesa-gesa kembali ke batas aman kamar, takut jika sosok kejam itu menyadari bahwa ia telah mencuri dengar rahasia pembicaraannya. *** Saat mereka menghadiri gala amal, Alisa melihat bagaimana Damian memandangnya, bukan dengan kehangatan suami, melainkan dengan tatapan tajam seorang kolektor yang bangga. Ia memegang pinggang Alisa terlalu kuat, seolah takut ada orang lain yang akan menyentuh harta miliknya yang berharga. “Kamu terlihat tegang,” bisik Damian saat mereka berdansa, senyum palsunya terpasang sempurna untuk kamera. “Aku merasa... diawasi,” balas Alisa, membalas tatapannya. “Tentu saja,” jawab Damian, suaranya kembali menjadi guntur yang rendah. “Kamu istriku. Dan di dunia ini, apa yang menjadi milikku, harus dijaga. Kamu harus tahu, ada banyak serigala yang lapar di luar sana.” ‘Serigalanya ada dihadapanku, itu adalah kamu, Damian.’ Ketegangan mencapai puncaknya hari ini. Damian terburu-buru pergi, lupa mengambil dokumen penting. Di tengah koridor yang mulai sepi, Leo mencekal lengan Alisa. Matanya menyiratkan urgensi yang dingin. “Dengar, Nyonya Alisa. Ada dokumen krusial milik tuan Damian. Tertinggal. Letaknya... di dalam laci meja kerjanya.” Alisa menegang. Bayangan ruangan itu selalu membuatnya merinding. Tempat itu bukan sekadar kantor, melainkan area terlarang. “Tapi,” bisiknya, suaranya tercekat. “Ruangan itu selalu disegel! Bagaimana aku bisa mendobrak masuk?” Tanpa berkata-kata, Leo merogoh saku dalam jasnya. Jemarinya yang pucat menyerahkan sesuatu, kunci perak tua yang tampak berat dan dingin. “Ini kuncinya,” desis Leo, matanya menatap tajam, memperingatkan. “Aku butuh Nyonya masuk sekarang. Jangan berlama-lama. Jangan sentuh apa pun selain dokumen itu. Ruangan rahasia ini bukan tempat untuk berwisata.” Alisa merasakan kunci itu membakar telapak tangannya. Waktu seolah berhenti. Tugas itu berbahaya, namun dokumen itu harus diselamatkan. “Hem,” balas Alisa mengangguk setuju. Alisa memasuki ruangan itu, membawa amplop tebal. Tangannya gemetar bukan karena takut pada dokumen, tetapi karena tahu ia akan melakukan penjelajahan terlarang. Ia meletakkan amplop itu, lalu mendekati meja kerja kayu eboni yang menyerupai takhta. Jari-jarinya meraba ukiran di laci paling bawah. Ia menemukan mekanisme pegas tersembunyi. Laci itu terbuka tanpa suara. Di dalamnya, terbungkus kain beludru hitam, ada sebuah kotak kayu. Alisa menarik keluar isinya. Itu adalah sebilah pisau. Pisau itu bukanlah pisau saku. Itu adalah pisau komando dengan bilah baja obsidian gelap yang menyerap semua cahaya, dingin, berat, dan terasa hidup di tangannya. Alisa membalik pisau itu. Pada gagang kayu eboni yang diukir rumit, terdapat lambang. Ukiran kepala Burung Gagak (Corvus) yang sedang mencengkram mahkota yang meneteskan darah, diapit oleh inisial yang terukir halus, D.C. “Don Corvus,” bisik Alisa, suaranya tercekat. Rasa mual membanjiri perutnya, tetapi ketakutan memaksanya untuk terus melihat. Ia memiringkan pisau itu ke arah cahaya redup. Dan ia melihatnya. Di persambungan antara bilah dan gagang, ada sisa yang samar, noda kusam berwarna coklat gelap. Darah kering. Pisau obsidian itu seketika terasa seperti bara panas yang membakar telapak tangannya. Itu adalah bukti visual, fisik, dan mengerikan. Damian Sagara adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Ia tidak menikahi seorang pengusaha, ia menikahi Don Corvus, Bos Agung Mafia. Pintu di belakangnya terbuka, tanpa suara, tanpa peringatan. Alisa tersentak. Ia membeku, pisau obsidian itu masih di tangannya. Damian. Ia berdiri di ambang pintu. Topeng CEO nya hancur. Wajahnya keras, gelap, dan mata coklatnya kini tampak sehitam bilah pisau di tangan Alisa. Ia melihat pisau itu, laci yang terbuka, dan keputusasaan Alisa. Keheningan yang mencekik. “Apa yang kamu pegang, Alisa?” Suara Damian rendah dan dalam, memantul di ruangan itu, bukan seperti guntur, tetapi seperti tembakan yang baru saja dilepaskan. Alisa berusaha menyembunyikan pisau itu di belakang punggungnya, gerakan yang sia-sia dan mengkhianati. Damian maju perlahan, seperti predator yang mengunci mangsanya. “Aku bertanya, istriku. Apa yang kau pegang?” Alisa tidak bisa bicara, hanya menelan ludah. Damian berdiri tepat di depannya. Ia meraih pergelangan tangan Alisa. Kelembutannya kontras dengan kekuatan besi yang mencekik. Ia mengambil pisau itu. “Kamu melihatnya,” katanya, sebuah pernyataan dingin. “Aku... aku hanya…” “Jangan berbohong padaku,” potongnya. “Kamu melihat lambang itu. Kau tahu apa artinya. Dan kamu melihat darah itu, Alisa? Pisau ini adalah lidahku. Dan apa yang ia bisikkan padamu?” Alisa menjatuhkan pisau itu kembali ke laci. Bunyi benturan itu adalah penanda. “Kamu melihat darah itu. Kau melihat kebenarannya. Aku adalah monster. Tapi kamu sudah tahu itu. Kamu adalah ratu dari istana tergelap di Asia.” Damian mencondongkan tubuhnya, menahan Alisa di antara meja dan tubuhnya. Nafasnya hangat, tetapi kata-katanya mengukir peringatan. “Ada dua aturan. Pertama, ibumu hidup karena kekejamanku. Kedua, kamu tidak akan pernah sekali pun, berani melihat kelemahan di balik topengku.” Ia menarik diri, tatapannya menyiratkan janji dan ancaman sekaligus. “Karena jika kamu melihatnya, dan jika kamu berani menyentuhnya, kamu akan menjadi orang pertama yang merasakan bilah pisau itu. Mengerti?” Alisa hanya bisa mengangguk, terperangkap. “Kamu adalah mahkota berdarahku. Dan sekarang, kamu adalah milikku. Gelap, penuh darah, dan abadi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD