Bab 7 - Kontrol melalui kemewahan

1415 Words
Pasca ancaman itu, Damian menjelma menjadi pahatan ketampanan yang dingin, tanpa ampun, dan tanpa pandang bulu. Sosoknya seperti teror bagi Alisa, jangankan mencari masalah, berhadapan dengannya pun terasa seperti menantang maut. ‘Jika terus begini, bukan hanya hatiku, tapi jantungku bisa berhenti kapan saja,’ bisiknya dalam hati. Pagi itu, udara di Sagara Mansion terasa lebih berat dari biasanya, seolah membawa bau mesiu yang tak tercium. Alisa menjaga jarak, gerakannya hati-hati seperti rusa di sarang predator. Damian, sementara itu, tampak seperti CEO yang sempurna, formal, dan tenang, sebuah topeng yang kini terasa lebih dingin dan menipu bagi Alisa. Saat sarapan, Damian memecah keheningan yang tegang itu. “Siapkan dirimu, Alisa,” ucap Damian, matanya yang tenang tertuju pada tablet di tangannya. “Kita akan keluar siang ini.” Alisa menegang. Keluar? Sejak perjanjian ditandatangani, ia hampir tidak pernah diizinkan meninggalkan tempat itu tanpa alasan mendesak. “Kelu—keluar ke mana?” tanya Alisa, berusaha menjaga suaranya tetap datar. Damian mengangkat pandangan. Ada kilatan dingin di matanya yang sejenak mengingatkan Alisa pada malam itu. “Jangan khawatir. Leo akan mengawal, dan jalurnya sudah diamankan. Ini bukan urusan bisnis. Kamu memerlukan pakaian dan perhiasan baru, yang kamu kenakan saat ini tidak lagi mencerminkan statusmu.” Alisa mencengkeram garpu peraknya. “Statusku? Damian, aku tidak memerlukan.” "Kamu adalah Nyonya Sagara, Alisa. Kamu adalah milikku. Aku tidak suka milikku terlihat lusuh. Persiapan satu jam. Tidak ada penolakan.” Damian bangkit tanpa menunggu jawaban. Perintahnya mutlak. Mobil mewah hitam berhenti di depan sebuah butik desainer di kawasan paling eksklusif kota. Di luar, ada empat penjaga keamanan Damian yang berjaga, membuat area itu terasa seperti zona karantina. Di dalam suasananya tenang, mewah, dan menakutkan. Hanya ada Alisa, Damian, dan seorang manajer toko yang tampak tegang. “Semuanya sudah disiapkan, Tuan Damian,” kata manajer itu dengan suara bergetar, membungkuk dalam. Damian mengangguk ke arah Alisa. “Pilih apapun yang kamu suka. Atau, biarkan aku memilihkan untukmu.” Alisa berdiri kaku di antara rak-rak berisi kain sutra dan kulit mahal, ia merasa terhina. Ini bukan kencan, ini adalah kunjungan untuk memberi label harga pada dirinya. “Damian, aku tidak butuh baju baru.” Tolak Alisa dingin. Damian mendekat, langkahnya lambat dan mengancam. Ia meraih sehelai gaun merah marun dari gantungan dan melemparkannya ke tangan Alisa. “Itu pakaianmu untuk acara amal akhir pekan depan. Pakai itu! Atau, kamu mau aku yang membantumu memilih pakaian dalam?” Suara Damian rendah, hanya terdengar oleh Alisa. Alisa tersentak, memahami bahwa ia harus patuh. Ia masuk ke ruang pas, merasa semakin tercekik oleh kontrol ini. Setengah jam kemudian, Alisa keluar dengan gaun yang dipilih Damian. “Bagus,” kata Damian. “Sekarang, perhiasan.” Damian menarik wajahnya sedikit menjauh, namun matanya tetap mengunci tatapan Alisa melalui pantulan cermin di hadapan mereka. Manajer toko mengeluarkan kotak beludru hitam. Di dalamnya, terbaring sebuah kalung berlian yang menakjubkan, sederhana, namun nilainya pasti setara dengan hutang yang dulu menjeratnya. Alisa menatap kalung itu, rasa jijik merayap di dadanya. Sudut bibir Damian terangkat, membentuk senyum miring yang penuh kepuasan, bukan karena keindahan perhiasan itu, melainkan karena kepatuhan yang terpaksa ia lihat di mata Alisa. “Cantik,” gumam Damian, jari-jarinya yang kasar membelai lembut kulit di sekitar kalung itu, mengirimkan sinyal bahaya ke seluruh saraf Alisa. “Sangat cocok.” Alisa menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia ingin merenggut kalung itu, menariknya hingga putus, tetapi tubuhnya kaku. Rasa dingin dari logam mulia dan berlian itu meresap ke dalam kulitnya, seolah membekukan darahnya. “Damian, tolong... orang-orang melihat,” bisik Alisa, suaranya serak dan hampir tak terdengar. Damian tidak mempedulikan permohonan itu, ia membalikkan tubuh Alisa menghadap manajer toko yang berdiri canggung namun penuh harap di dekat etalase. Wajah Damian berubah instan, topeng dingin dan menakutkan itu berganti menjadi wajah seorang pria terhormat yang memanjakan pasangannya. “Kami ambil ini,” ujar Damian datar sambil mengeluarkan kartu hitam dari saku jasnya. “Nona ini akan langsung memakainya. Jangan bungkus kotaknya, buang saja.” “Pilihan yang luar biasa, Tuan. Anda sangat beruntung, Nona,” puji manajer itu sambil membungkuk hormat, sama sekali tidak menyadari bahwa wanita di hadapannya sedang merasa seperti tawanan yang baru saja dijatuhi hukuman seumur hidup. Saat transaksi selesai dan mereka berjalan keluar dari toko, tangan Damian melingkar di pinggang Alisa. Cengkeramannya erat, posesif, dan tak terbantahkan. Ia menarik tubuh Alisa menempel padanya, memastikan setiap orang yang berpapasan dengan mereka tahu siapa pemilik wanita itu. Di bawah lampu-lampu yang terang benderang, berlian di leher Alisa berkilauan indah, menyilaukan mata siapapun yang memandang. Namun bagi Alisa, setiap kilauannya adalah pengingat akan kata-kata Damian tadi.Itu bukan perhiasan. Itu adalah tanda kepemilikan, dan beratnya terasa lebih menyiksa daripada rantai besi mana pun. “Tersenyumlah, Alisa.” Perintah Damian tanpa menoleh, suaranya rendah. “Kamu baru saja mendapatkan hadiah seharga apartemen mewah. Jangan terlihat tidak bersyukur.” Alisa memaksakan sudut bibirnya naik, sebuah senyum palsu yang rapuh, sementara hatinya perlahan tenggelam ke dasar jurang yang diciptakan oleh pria di sampingnya. ‘Terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Damian,’ batin Alisa, matanya beralih dari profil tegas wajah Damian ke tumpukan paper bag bermerek yang memenuhi jok belakang mobil. ‘Kemarin mengancamku, dan sekarang membelikanku pakaian dan perhiasan.’ Dua sisi Damian ini bertarung di kepalanya. Apakah ini cara Damian meminta maaf? Apakah ini tanda penyesalan? Namun, saat Alisa menatap pantulan dirinya di kaca jendela mobil, sebuah kesadaran pahit menamparnya. Tidak, Damian tidak meminta maaf. Pria seperti dia tidak mengenal kata maaf. Alisa melirik gaun sutra yang baru saja dibeli, lalu kembali ke kalung yang melingkar di lehernya. Tiba-tiba, semuanya menjadi masuk akal dengan cara yang mengerikan. Damian tidak sedang memanjakan istrinya, tapi sedang merenovasi propertinya. Sama seperti seseorang yang mengecat ulang pagar rumah atau memperbaiki mobil antik, Damian sedang mempercantik Alisa agar layak dipandang saat dibawa ke dunia luar. Pakaian mahal dan berlian itu bukan untuk kebahagiaan Alisa, itu adalah seragam. Seragam yang menyatakan bahwa dia adalah milik Damian yang berharga dan terawat. “Berhentilah berpikir terlalu keras, Alisa. Kening mu berkerut,” tegur Damian tiba-tiba, memecahkan lamunan Alisa tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Tangan kirinya terulur, menyentuh lutut Alisa dengan santai namun berat. “Aku hanya... bingung,” celetuk Alisa, memberanikan diri sedikit. “Kenapa semua ini? Setelah apa yang terjadi kemarin…” Damian tertawa kecil, suara yang kering tanpa humor. “Kamu berpikir aku melakukan ini karena rasa bersalah?” Alisa terdiam. “Aku melakukan ini karena kamu adalah cerminan diriku,” lanjut Damian dingin. “Jika kamu terlihat kusam, menyedihkan, atau murah... itu menghinaku. Aku ingin dunia melihatmu dan iri pada apa yang kumiliki. Jadi, pakailah topeng cantikmu, nikmati sutra dan berlian itu. Jadilah boneka yang sempurna, dan aku akan pastikan kamu tidak akan pernah terluka... selama kamu diam di tempatmu.” Dada Alisa sesak. Kebingungannya sirna, digantikan oleh keputusasaan yang lebih dalam. “Apakah kamu pikir dengan membelikanku barang-barang ini, aku akan lupa siapa dirimu sebenarnya?” tanya Alisa, nadanya penuh kebencian. Damian tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang tidak mencapai matanya. “Aku tidak memintamu melupakan. Aku memintamu untuk patuh. Karena jika kamu patuh, rantai itu akan tetap indah. Jika kamu memberontak, rantai ini akan terasa sangat, sangat berat.” Mobil hitam itu berhenti didepan The Sovereign, restoran fine dining paling eksklusif di kota, dan tentu saja, salah satu aset kebanggaan Damian. “Bawakan Wagyu A5 dengan truffle puree untuknya, dan salad tanpa dressing.” Alisa menatap meja marmer di hadapannya. Bahkan hak untuk memilih makanannya sendiri telah dicabut. “Aku tidak terlalu lapar, Damian," gumam Alisa pelan saat pelayan itu pergi. Damian menatapnya, matanya menelusuri wajah Alisa yang lelah lalu turun ke tulang selangkanya yang terekspos oleh gaun baru itu. “Kamu terlihat kurus, Alisa. Tulang selangka mu terlalu menonjol. Itu tidak sedap dipandang,” kritik Damian, seolah sedang mengomentari lukisan yang catnya mengelupas, bukan tubuh manusia. “Kamu harus makan. Aku tidak suka barang milikku terlihat rusak atau kurang gizi.” Tak lama kemudian, hidangan tersaji. Alisa menusuk-nusuk makanannya. “Mengapa repot-repot, Damian? Lebih baik aku di mansion, kamu tahu aku benci semua ini.” “Karena kamu harus tahu dua hal,” jawab Damian, meletakkan garpu peraknya dengan gerakan yang presisi. “Kamu di sini aman, dan kamu adalah bukti kekuatanku. Kedua, dan ini yang terpenting, aku selangkah di depanmu. Aku memberimu kemewahan ini sebagai pengingat konstan bahwa segala sesuatu di sekitarmu, bahkan udara yang kamu hirup, adalah izin dariku.” Alisa menatapnya dengan penuh kebencian yang dingin. “Aku tidak akan pernah menjadi milikmu.” Damian hanya mengangkat alisnya. “Aku tidak butuh pendapatmu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD