fiftieth second tale

1460 Words
On Playlist— I remember... The way you glanced at me, yes I remember I remember... When we caught a shooting star, yes I remember I remember... All the things that we shared, and the promise we made, just you and I I remember... All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn   Do you remember? When we were dancing in the rain in that December And I remember... When my father thought you were a burglar I remember... All the things that we shared, and the promise we made, just you and I I remember... All the laughter we shared, all the wishes we made, upon the roof at dawn   I remember... The way you read your books, yes I remember The way you tied your shoes, yes I remember The cake you loved the most, yes I remember The way you drank you coffee, I remember The way you glanced at me, yes I remember When we caught a shooting star, yes I remember When we were dancing in the rain in that December And the way you smile at me, yes I remember Jangan ditanya bagaimana perasaan Kanya saat itu, dia sangatlah bahagia. Terlebih lagi, malam setelah Dinner bersama kedua temannya, ia video call dengan Luna. Sahabatnya yang satu ini sudah menjadi mommy sekarang, anaknya perempuan bernama Nafa, meskipun sampai saat ini Luna masih tidak bisa menerima Dafa, karena itu adalah keputusan yang belum bisa di ambil oleh Luna saat ini. Namun, Kanya bersyukur sahabatnya telah diberikan kebahagiaan yang sangat. Walaupun Nafa bukanlah anak dari Dafa tapi Dafa sangat menyayangi Nafa seperti anaknya sendiri dan itu membuat Kanya sangat speechless. Kadang Kanya berfikir, apa ada ya lelaki kaya Dafa? Yang penting, sahabatnya bahagia dan itu menjadi hadiah terindah baginya. Namun, hubungan keduanya sangatlah rumit. Entah bagaimana bisa Luna tetap menikah dengan kakak kandung Dafa namun bercerai setelah dua minggu kemudian. Namun Nafa masih sangat sering bertemu dengan Dafa, Dafa benar-benar memperlakukan Nafa seperti anaknya sendiri. Namun, Dafa dan Luna sampai saat ini masih belum ada kejelasan status. Luna tidak bisa menerima Dafa sebagai ayah dari Nafa sebab bagaimana pun, Luna tidak bisa menyimpan rasa bersalah yang semakin hari semakin banyak. Pria sebaik Dafa tidak pernah pantas untuk mendapatkan perempuan seperti dirinya. Kanya menaruh cangkir coffee latte nya di meja, lalu tersenyum mengingat itu. Namun detik kemudian, ada memori yang memaksa masuk ke otak Kanya, rasanya seperti ada seseorang yang memaksa diri kita untuk mengingat. Kanya menutup mukanya dengan kedua tangan dinginnya, bahunya bergetar. Dadanya sesak, ia menyentuh dadanya untuk mengurangi rasa sesak itu. Kanya tau, ini pasti memorinya setelah hari ulang tahunnya. Hari dimana semuanya terasa seperti mimpi, bukan mimpi indah, tapi seperti nightmare. *Flashback on* Kanya sibuk memeriksa data-data proposal mengenai tugas yang perlu ia kumpulkan hari ini. Kanya salah, karena telah membuang waktu hanya dengan bermain ponsel, tugasnya kini sudah ia kerjakan sejak malam, ia bahkan hanya tidur beberapa jam saja sebab tidak sempat jika harus tidur lama-lama. Bahkan ia belum sempat mandi dan hanya kesini mencuci mukanya saja. Namun, ia terkejut saat ada seseorang yang menabraknya tiba-tiba saat dirinya sedang akan meminum kopi. Seluruh data-data dan dokumen yang ia pegang tersiram oleh kopi yang seketika membuat kertas itu menjadi berwarna coklat pekat. Bukan itu yang sebenarnya Kanya takutkan, hanya saja… ia hanya memiliki waktu tiga puluh menit untuk mengumpulkan dokumen itu ke tangan dosen. Jika ia tidak mengumpulkan, maka habislah riwayat nilai semester ini, ia sudah tidak ingin mendapatkan nilai seperti vitamin lagi. “Maaf… maaf banget… duh ini pasti tugas kuliah lo ya?” ternyata yang menabraknya adalah laki-laki yang satu angkatan dengan dirinya. Sebab Kanya pernah melihatnya saat ospek. “Iya duh, ini harus print ulang deh kayaknya. Tapi udah nggak sempat lagi deh kayaknya, fotocopy jauh soalnya.” Kanya menghela nafas saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia harus ikhlas jika pada kenyataannya ia harus rela di berikan nilai vitamin c oleh dosennya untuk semester ini. “Ayo ikut gue aja, sebagai permintaan maaf karena udah buat tugas lo kayak gini.” Ia merasa sangat tidak enak kepada Kanya. makanya menawarkan bantuan seperti itu. “Ikut kemana?” Kanya merasa bingung karena tiba-tiba ada yang mengajaknya pergi. Di situasi ini Kanya benar-benar bingung harus melakukan apa. “Ruang Hima, di sana ada printer. Menghemat waktu dari pada lo harus keluar buat fotocopy ulang.” Laki-laki itu mengingat sesuatu bahwa dalam ruangan himpunan mahasiswa terdapat printer yang bisa di gunakan oleh siapa saja. “Emangnya gapapa?” “Gapapa lah emang kenapa deh?” “Ya… aku kan bukan anak Hima.” “Hahahahaha, emangnya harus anak Hima doang ya yang boleh masuk ruangan Hima?” laki-laki itu tertawa saat mendengar Kanya menjawab seperti itu, padahal tidak ada yang melarang siapapun yang hendak masuk kesana. “Ya… nggak juga sih, takut aja ada yang salty.” “Tenang aja, kalo misalnya lo nggak nyaman buat masuk ke ruangan. Lo bisa tunggu di luar aja. Nanti gue tinggal kasih ke lo yang udah selesai di print.” Laki-laki itu menawarkan diri karena memang murni ia merasa bersalah sebab tidak melihat-lihat ketika jalan dan malah menabrak seseorang yang hendak mengumpulkan tugas ke dosen. “Oh paham paham.” “Mau sekarang?” “Iya, waktunya mepet banget.” “Yaudah ayo.” *** Seminggu yang lalu. Karena kedua temannya terkena virus mager diajak jalan-jalan. Alhasil ia jalan-jalan sendiri keliling pusat kota bandung. Setelah menonton bioskop sendirian, ia kini bejalan-jalan sore menikmati keindahan kota ini. Walaupun sudah dua tahun ia tinggal disini, tetap saja ia sering kesasar. Ia memang lemah dalam mengingat arah apalagi jika itu tidak terlalu penting baginya. Hanya jalan yang ia suka saja yang ia hapal baik-baik di otaknya, selebihnya ia tidak mengingatnya. Kalaupun mendesak, paling ia menyuruh supir pribadinya untuk mengantarnya ke suatu tempat. Ngomong-ngomong, perut Kanya laper. Karena ia hanya memakan roti dan popcorn saja hari ini, maka dia mampir ke sebuah toko kue. Plain Vanilla Bakery, itu adalah toko kue favorite-nya disini. Seperti biasa, ia memesan mini cupcakes flavours vanilla bean dan mini tartlets flavours salted caramel truffle. Tau kenapa Kanya tidak memesan cheesecake? Karena ia sudah move on dengan si penyuka cheesecake, sudah bertahun-tahun ia tidak memakan cake tersebut katanya sih kalau mau move on ya jangan setengah-setengah langsung aja ambil satu langkah dan jangan coba-coba buat nengok kebelakang. Berani ambil langkah juga harus berani ambil resiko, itu prinsipnya. "Ini pesanannya mba, take away ya?" “Iya betul mba, terima kasih banyak—eh” saat Kanya menerima pesanan itu, kantung kue tersebut jatuh dan membuat kue pesanan Kanya jatuh ke lantai dengan sia-sia. Kanya berjongkok bertujuan untuk mengambil kantung tersebut dan membuangnya ke tempat sampah namun ada yang memanggilnya. "Kanya." Kanya mendongak lalu seketika ia membelalak kaget. "Maaf mba, karena ini masih dari tangan saya, saya akan ganti pesanan mba dnegan yang baru." wanita itu sepertinya merasa bersalah, padahal ini sepenuhnya bukan salahnya, Kanya yang banyak melamun membuat pesanan itu jatuh. "Gak apa-apa kok mba. Aku gapapa." lalu Kanya segera berlari dari sana, keluar dari toko tersebut tanpa memperdulikan panggilan mereka. "tapi---" "Kanyaa! Tunggu" well, Kanya pastikan bahwa laki-laki yang memanggilnya itu mengejarnya, kalian tau siapa? Dia Raken. Dia datang, kembali. Kanya terus berlari sampai tersandung-sandung, ah sepatu terkutuk! Kalau tau kejadiannya seperti ini, ia akan memakai sneakers saja tadi, tapi semuanya sudah terjadi. Kanya menoleh kebelakang, oh sial Raken masih mengajarnya dan--- "Aw!" tragis, Kanya menabrak lampu jalan kawan. Kanya mengusap dahinya sambil meringis, ini pasti akan membengkak, benturannya sangat kencang tadi. Lagi pula salah siapa segala nengok kebelakang, bukan salah lampu jalannya bukan? Trus salah siapa. "Lo gapapa?" Tubuh Kanya terhuyung kebelakang. "Oh my god!" lalu mengusap dadanya yang berdegup kaget. "Nih kue-nya, tadi kenapa lo lari? Padahal kan gue mau ngasih ini, amanat dari toko tadi." lalu Raken menyodorkan kantung kue pesanan Kanya yang sudah diganti dengan yang baru atas permintaan maaf toko tersebut. Tunggu, Kanya menyadari sesuatu. Kenapa mereka bertemu lagi di sebuah toko kue?! Wtf. Kanya menerima kantung tersebut. "Thanks." lalu kakinya cepat-cepat melangkah meninggalkan Raken. "Lo Kanya kan?" langkahnya berhenti, tubuhnya menengang. Kalau didengar-dengar lagi, Raken memanggilnya 'lo-gue' ya? "Maaf kayaknya kamu salah orang deh, soalnya banyak yang bilang kalo muka aku ini pasaran, makanya banyak yang suka salah orang tiap ketemu sama saya.” Alibi Kanya yang jelas saja bahwa ia sedang berbohong. "Please, gue tau lo Kanya. Ini gue, Raken." Kanya bingung harus melakukan apa. "Ada waktu buat sekedar minum coffee?" ajaknya. Tangan Kanya dingin dan penuh keringat. Jantungnya berdegup terlalu kencang, oh tolong, apa dia memberi harapan? Kanya harap tidak, ia tidak mau usahanya lima tahun ini berakhir sia-sia, usaha melupakan dan move on maksudnya. "Umh---" "Gue yakin, lo nggak ada alasan buat nolak kan?"  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD