first tale

3043 Words
Jam menunjukkan pukul 23.26, perempuan berambut panjang itu terbangun dari tidurnya, bukan hanya karena suara hujan, mimpi buruk juga memaksa dirinya untuk bangun dari mimpinya. Rintik-rintik hujan seolah pertanda, bahwa mungkin mimpi yang baru saja datang menunjukkan situasi yang sama dengan apa yang dia lihat sekarang. Gelap gulita dan deras, angin kencang membuat rambutnya terbang kebelakang. "Bunda ... Aku takut tidur sendiri, soalnya mimpinya serem-serem. Bunda tidur sama Kanya aja ya?" Samar-samar namun membangkitkan seluruh ingatan yang kembali terkumpul disana, ada anak perempuan kecil yang meringkuk meminta ditemani sehabis mimpi buruknya. Itu Kanya, anak kecil yang bernama Kanya Armaya Artamevia. "Aya sama Kak Arkin aja dulu gimana? Nda cari lilin dulu." Kanya mengangguk. Sambil menunggu bundanya mengambil lilin karena malam itu rumahnya sedang mati lampu, dia naik ke atas kasur dan bersembunyi dibalik selimut tebal. Matanya senantiasa menoleh kesana kemari karena mimpi buruk yang datang tadi masih terbayang dengan jelas bahkan dengan mata terbuka. "Kanya!" Suara kakaknya yang terdengar sangat familiar membuat dirinya bangkit, namun disaat yang sama kakaknya menyalakan senter tepat di bawah wajahnya yang membuat Kanya gemetar hebat sambil berteriak-teriak sekencang mungkin. "AAAAAAAA NDAAA!" Detak jantungnya berpacu lebih cepat, dirinya kaget bukan main sampai membuat tangannya bergetar dan membuat pelipisnya mengucur keringat. Serentak, bunda dan ayahnya seketika langsung menghampiri kamar Kanya membuat kakak laki-laki kesayangannyaㅡMilano Arkinㅡlangsung merasa bersalah, apalagi saat Kanya yang gemetar berkepanjangan setelah itu. "Arkin ... Lain kali jangan kagetin adiknya kayak gitu ya." "Iya, Bun. Maaf ..." Milano menunduk, menyesali perbuatannya. Meskipun awalnya berniat untuk bercanda, respon ketakutan nyata adiknya kini membuatnya merasa bersalah. Karena rasa bersalah yang dirasakan oleh kakak laki-lakinya, keesokan harinya Kanya dibelikan ice cream rasa stroberi yang dia beli di depan sekolahnya sambil membujuki Kanya supaya memaafkan tentang kesalahannya malam tadi. "Kanya, maafin Kak Arkin, ya? Kak Arkin janji deh nggak bikin kamu kaget lagi." Kanya mengernyit, merasa aneh dengan rasa ice cream yang di beli oleh Milano. "Kenapa ice cream-nya rasa stroberi?" "Karena warnanya pink, bukannya kamu suka pink?" tanya Milano yang seketika disambut cebikan bibir Kanya. Tangannya menyilang, merasa kesal karena kakaknya tidak tahu rasa ice cream favorite-nya. "Aku emang suka pink, tapi nggak suka yang rasa stroberi!" "Trus sukanya rasa apa?" "Vanilla." jawab Kanya dengan cepat, kedua matanya justru melirik pada ice cream yang berada dalam genggaman Milano. "Kalau gitu Kanya mau ice pink Kak Arkin buat aku!" "Yah? Tapi kan ... Ice nya cuma dua ..." "Yaudah kalo gitu aku nggak mau maafin! Hing!" Milano merespon dengan cepat, langsung mengulurkan ice cream strawberry miliknya, padahal di hari yang sangat terik ini, makan ice cream ada dalam daftar list keinginannya hari ini. Namun, demi Kanya ... Milano tentu akan memberikannya. "Nihㅡ" Sontak, kedua kelopak mata Kanya melengkung bagai bulan sabit. "Makasih!!!" "Tapi udah di maafin kan?" "Udah, Kak!" Melihat lengkungan bulan sabit di mata Kanya, membuat ujung garis bibir Milano tertarik. Tangannya beranjak menuju puncak kepala adik perempuannya. "Nanti ... kakak janji bakal beli yang rasa vanilla. Karena kamu sukanya yang rasa vanilla, kan?" Jdarrr.. Kilat petir membuat bayangan masa lalu kembali memudar, seiring dengan senyum masam di bibirnya. Kakinya justru semakin melangkah menuju balkon kamarnya yang tidak memiliki atap, membuat dirinya seketika basah kuyup disana. "Kanya, hujan tau ... nanti kamu sakit loh!" Suara Milano sewaktu dia kecil lagi-lagi terdengar. "Enggak kok, Kak! Kanya tuh kuat!" "Kak Arkin bilangin Bunda loh ya?" "Eeeeㅡjangan!" Didalam bayangannya, Milano sedang membawa handuk berwarna pink kesukaan adiknya, sambil merentangkan tangannya agar Kanya mendekat kearahnya. "Sini makanya." Dengan telaten mengeringkan rambut Kanya dan menepati janjinya untuk tidak bilang pada Bunda. Meskipun keesokan harinya Kanya jatuh sakit, Milano tetap menutup rahasia rapat-rapat dan menjaga Kanya seharian penuh, berada disamping tempat tidur dengan tangan yang sibuk membolak-balik kompres di dahi Kanya. Kanya menggelengkan kepalanya keras, mengenang masa-masa indah yang hanya indah pada masa lalu bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk diingat kembali. Karena untuk diingat kembali pada saat ini, entah kenapa membuat Kanya merasa sesak. Kanya tahu konsekuensi bermain hujan malam hari, sudah bisa dipastikan kalau besok ia akan diterjang penyakit. Jangankan malam hari, pada saat siang saja sudah bisa membuat dirinya flu berat, apalagi saat ini. Tapi untuk kali ini saja ... Kanya ingin melupakan segalanya. Rasa sakit dan penyesalan, mungkin tidak bisa dilupakan bahkan dalam hitungan tahun, tapi perlahan... jika mencoba, Kanya yakin dia bisa. *** Sebelum berangkat, perhatian Kanya fokus pada genangan air yang menghiasi tanaman dan jalanan akibat hujan deras semalam. Entah mengapa suasana yang seperti ini justru jadi bagian dari salah satu favoritnya. Cuaca yang sejuk namun tidak hujan, terasa sangat pas. Kanya sengaja tidak sarapan terlebih dahulu dirumah, karena sebetulnya ia ingin lebih dulu mampir di sebuah toko kue dekat sekolahnya. Tidak mahal, hanya saja butuh usaha yang lebih banyak untuk mendapatkan kue keju. Karena toko kue itu hanya buka sampai jam 9 pagi, dan jalan terbaik untuk membeli kue keju tersebut adalah tiga puluh menit sebelum bel masuk berbunyi. Perempuan itu berangkat sekolah dengan kendaraan umum, duduk di halte bus menunggu sampai bus-nya datang. Perutnya sempat keroncongan dalam perjalanan, hingga terdengar seseorang yang duduk disampingnya. Saat sampai di halte bus dekat sekolahnya, Kanya berjalan karena jaraknya masih lumayan jauh jika jalan kaki. Tidak ada alasan yang lebih memungkinkan Kanya membeli kue di pagi hari selain mendapatkan notifikasi hari ulang tahun yang pernah ia atur satu tahun lalu. Deanna Frena's Birthday. Selain karena merindukan kue keju buatan bundanya, kue keju juga mengingatkan dirinya dengan sosok yang bucin keju macam Deanna. Tanpa menunggu lagi, Kanya langsung masuk kedalam sana. Menatap kue-kue, dimana kue keju hanya tersisa satu loyang saja. Kanya lega, dan langsung memesan. "Mba saya pesan kue kejunya satu." "Makan disini atau take away?" "Take away aja." Setelah selesai memesan, Kanya menggeser tubuhnya kesamping supaya pembeli selanjutnya dapat memesan makanan. Mata Kanya langsung tertuju pada lelaki itu saat melihat seragam yang sama dengannya serta wajah tampannya itu seketika membuat dirinya lupa diri dan mengagumi keindahan dunia sedetik lebih lama. "Cheesecake satu, sama coffee americano plus four shots espresso ... No water ... Extra ice." pesannya tanpa mengalihkan perhatiaannya dari ponsel. Pesanannya membuat Kanya melotot heran. "Americano bukannya udah empat shots ya? It's basically eight shots of espresso sama es doang? Busettt ... Itu kopi apa ban karet? Pait bener kayak idup." batin Kanya berkomentar seraya menggelengkan kepalanya. Bersamaan dengan pesanan yang sudah selesai di transaksi, kue keju pesanannya sudah selesai dan siap dibawa ke sekolah. "Maaf banget kak, untuk cheesecake-nya habis, mungkin tersedia lagi besok karena chef-nya sedang sakit. Kue terakhir sudah dibeli kakak yang tadi. Atau mau diganti dengan kue lain mungkin?" Ternyata mbaknya bicara pada lelaki itu, Kanya sudah kepedean menoleh, ia kira dia yang di ajak bicara. Laki-laki itu berpikir sejenak. "Engga usah mba, kopinya aja." "Baik, ditunggu ya, akan kami proses." Laki-laki itu mengangguk, saat mbaknya menyiapkan pesanannya. Dirinya justru berputar untuk mencari keberadaan perempuan yang pesan lebih dulu kue keju kesukaannya. "Yang pakai jepitan pink!" Yang dipanggil terkejut, batal pergi dan memilih untuk berbalik bertepatan dengan laki-laki tadi yang sudah ada didepannya. "Kenapa?" Laki-laki itu malah menggaruk belakang telinganya. "Hng ... cheesecake lo gue beli ya?" "Hah?" "Itu kue keju, gue beli ... Boleh?" "Tapi gue udah beli duluan." Gesturnya sudah gelisah karena tak kunjung mendapat respon yang baik dari Kanya. "Gue alergi cokelat." "Lah trus? Apa hubungannya lo alergi cokelat sama beli kue keju gue deh? Gue nggak lagi jualan." Tatapan Kanya menurun melihat badge name laki-laki itu. Raken Auriga. "Ada. Karena gue alergi, gue nggak bisa pesan yang lain. Dan kebetulan, gue lagi mau makan kue keju. Satu slice aja, ya?" Kanya berdecak kesal, memangnya laki-laki ini raja sampai dia harus merelakan kue kejunya untuk di beli olehnya. Kanya melipat tangannya. "Permisi ... Saya juga lagi mau makan kue keju makanya beli ini, gue pesen bukan untuk dijual lagi." Lalu dengan secepat kilat Kanya berlari keluar dari toko kue dan berjalan menuju sekolahnya. "Kue keju!" Panggil seseorang di belakang yang tanpa menoleh pun Kanya masih ingat siapa yang memiliki tone suara seperti itu. "Apa lagi sih?" balasnya sewot, terlebih dirinya menjadi pusat perhatian bagi anak-anak yang baru datang didepan gerbang. "Dua kali lipat deh. Gue beli dengan harga dua kali lipat, gimana?" Kanya berdecak sambil berkacak pinggang. "Lo ... orang sinting ya?!" "Gue bukan sintingㅡ" "ㅡNih ambil aja. Nggak gratis, harga dua kali lipat." Kanya langsung memotong perkataan Raken sambil menyerahkan sekantung kue keju dan berjalan cepat menjauhi keberadaan Raken, bukan karena Kanya merelakan kue keju dengan sia-sia. Melainkan karena ada banyaknya mata yang melihat ke arahnya, yang tidak lain tidak bukan adalah murid-murid disana. Kanya tidak suka jadi pusat perhatian. Itu yang membuat dia merelakan kue keju dengan mudah. Bibirnya mengerucut tiga sentimeter, sepertinya rencana hari ini... Gagal. "Dasar bucheese!" teriaknya kesal. Walaupun jelas umpatannya tidak terdengar karena laki-laki itu sudah lebih dulu meninggalkan dirinya, sengaja Kanya bilang bucheese, singkatan dari b***k cheese atau bisa lebih di pahami sebagai b***k keju karena sampai sebegitunya hanya untuk mendapatkan sebuah keju. Meskipun kesal, Kanya berusaha untuk tidak terlalu mengambil pusing terkait dengan apa yang terjadi. Toh, semuanya tidak bisa di putar kembali. Tapi tetap, dia masih saja kesal. *** Saat sampai di kelas, disana sudah ada Lunaㅡsahabatnya semenjak awal masuk SMAㅡkarena terlihat fokus dengan buku-buku yang jelas hanya dipandangi oleh Luna tanpa mengerjakan apa-apa, Kanya menyapa. "Luna! Karin tumben belum datang?" Mengingat anak itu cukup rajin untuk datang lebih awal. Kemudian Kanya duduk dibangku miliknya dan meletakkan tasnya diatas meja. Luna mengangkat bahunya. "Nggak tau, coba lo telfon, Nya. PR udah selesai belum?" "Udah dong!" "Mau liat dong?" Kanya geleng-geleng, sudah bisa ditebak kalau Luna ketiduran semalam habis nonton serial drama kesukaannya sampai lupa mengerjakan tugas. "Nih." Akhirnya Luna sibuk menyalin sehingga Kanya mengecek ponselnya dan terdapat beberapa notifikasi. Ada dari dua orang. Tiga pesan dari Karina, Dan dua pesan dari Dafa. Karina merupakan teman yang sudah ia kenal semenjak sekolah dasar, dan Dafa... adalah sosok laki-laki yang paling ia kagumi. From Karina. Kanya, tau gak? Gw sakit deh kayaknya.. udah izin walas juga sih, tapi make sure ya kalo di absen tolong bilang kalo gue sakit. Hari ini lo sibuk gak? Kalo gak sibuk boleh lah pulang sekolah kesini. Jangan lupa bawain kue sama minumannya jangan lupa. Lo tau kan gue gak suka makanan sehat? :(( Ditunggu loh yaaa! Semangat, Kanya! To Karina. Okei, noted. Kayaknya sih gak sibuk, tapi agak telat gapapa? Soalnya gue ada urusan. Setelah itu Kanya membuka pesan dari Dafa, kakak kelas diatasnya dua tingkat. Gimana rasanya di chat oleh crush dan ternyata isinya ngajak jalan? Sudah jelas, jika ini malam hari bulan sabit akan berganti posisi dan berpindah pada lengkungan garis bibir Kanya. Pagi ini, dia tersenyum lebar. Sebelum itu, biar Kanya ceritakan sebentar tentang kakak kelasnya itu. Bagaimana rasanya jadi menyukai seseorang secara diam-diam? Menurut Kanya, menyukai sosok manusia secara diam-diam merupakan jalan satu-satunya untuk mengekpresikan perasaan dengan cara yang menyenangkan. Kanya jadi teringat saat pertama kali ia mengetahui eksistensi seorang bernama Ardafa Fadika. Matanya memandang pada beberapa gadis remaja yang berkumpul mengelilingi laki-laki penebar senyuman paling andal dengan lesung pipi andalannya. Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah ini, mata Kanya langsung tertuju kepadanya. Bahkan hanya dalam diam, laki-laki itu mampu membuat Kanya jatuh dalam perasaannya yang teramat dalam. Ardafa Fadika, satu-satunya manusia yang Kanya sukai dengan segenap jiwa dan raga namun tidak pernah satu kalipun memberanikan diri untuk mengungkapkan. Jika ditanya apa ketakutan terbesar dalam mengungkapkan rasa kepada seseorang, mungkin jawaban yang terlintas dalam benak Kanya adalah jika ekspetasinya runtuh ketika penolakan terdengar olehnya. Kanya menghempas pikiran itu jauh-jauh, karena perasaan yang di milikinya mungkin akan jauh lebih baik jika disimpan secara rahasia rapat-rapat. Dengan begitu, dia tidak akan kecewa. Sepanjang pengamatannya, Kanya mengetahui beberapa hal yang jadi kebiasaan Dafa. Cowok itu kadang memakai kacamata pada saat membaca buku di perpustakaan, meskipun harus melewati ribuan purnama seorang Dafa menginjakkan kaki di perpustakaan. Semua hal yang menyenangkan ketika menjadi penyuka secara diam-diam kepada seorang Dafa kini menjadi hal yang lebih menyenangkan lagi karena dia dapat pesan dari laki-laki itu. From Dafa. Kanya, lusa hari minggu... kira-kira sibuk gak? Jalan yuk? Ajak temen lo juga biar tambah seru. Kanya berusaha menepuk pipinya berkali-kali. Menyadarkan bahwa ini bukanlah mimpi semata sampai pada akhirnya dia memberanikan diri untuk membalas pesan tersebut. Bagaimana ya rasanya? Seperti sedang di kelilingi kupu-kupu didalam perutnya. To Dafa. Ayo, kebetulan aku gak ada acara. Oke nanti aku coba ajak temen-ku. *** Alunan bel istirahat nyaring berbunyi, membuat hampir seluruh siswa bersorak riang. Luna mengajak Kanya ke kantin. "Nya, kantin yuk?" Kanya menggeleng. "Lo aja, Lun. Mager, gue mau baca novel aja dikelas." Luna menarik tangan Kanya. "Ayolah Nya. Gue nggak ada temen buat kekantin, biasanya kan gue sama Karin, sekarang dia nggak masuk, jadi cuma lo harapan gue. Nggak rugi juga kok lo ke kantin, itung-itung ngisi perut." ucap Luna sambil cemberut. Kanya menghela nafas. "Okelah, kebetulan gue pengen minum juice." Luna bersorak girang dan menarik Kanya menuju kantin. Suasana kantin sangat ramai, semua tempat duduk penuh. Lalu Kanya mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk yang kosong dan terkejut saat melihat laki-laki yang ia temui tadi pagi 'itu Raken kan? Dia temennya kak Dafa?' batin Kanya. Luna menempelkan juice mangga ke pipi Kanya. "Buset dah seganteng itu kah kak Dafa sampe bikin lo lupa daratan begini?" Goda Luna. Kanya kaget saat pipinya tersentuh sesuatu yang dingin. "Lunaaa, ya nggak lah ngapain gue ngeliatin ka Dafa?" Kanya mengelak. Luna mengibaskan tangannya. "Halah, jelas-jelas mata lo ngarah kesana." "Lun, gue mau tanya deh. Itu yang disebelah ka Dafa siapa sih? Kok gue baru liat ya?" tanya Kanya penasaran, sebenarnya dia sudah tau tetapi dia pura-pura tidak tau agar Luna mau menjawabnya dengan serius. Luna kaget. "Lo nggak kenal siapa dia, Nya?" tanya Luna heran dan kanya hanya menggeleng. "Itu kak Raken Auriga, diliat dari auranya.. dia kayak dingin gitu, makanya orang-orang jarang ada yang akrab sama dia, irit ngomong pula diantara yang lain. Seriusan lo nggak kenal sama ka Raken?" Kanya menggeleng. "Gue bahkan baru liat, Lun. Dia anak pindahan ya?" "Kanya, makanya kalo jam istirahat jangan di kelas mulu, masa sama kak Raken aja nggak kenal. Dia bukan anak pindahan, dia kelas 12 sama kayak kak Dafa, dia emang jarang ke kantin, dia sering ngabisin waktu di rooftop sama kak Faldy." jelas Luna dan Kanya mengangguk paham. Kanya menggangguk 'Meskipun keliatannya dingin, tapi agaknya gue baru ketemu sama orang yang sebucin itu sama kue keju kayak tadi. Irit ngomong? Yakin tuh?' batin Kanya sambil menahan tawa. Luna mengajak Kanya untuk makan dikelas, karena kantin penuh. "Kenapa lo bengong mulu dari tadi deh?" tanya Luna. Kanya tersadar. "Oh iya, Lun. kak Dafa tadi pagi chat gue, dia ngajak gue jalan masa, tapi dia juga suruh gue ajak temen biar seru katanya." Luna menyeritkan alisnya. "Demi apa dia ngechat lo ngajak jalan? Tapi nggak mau ah ntar gue jadi nyamuk." tolaknya mentah-mentah. Kanya cemberut. "Ayolah Lun, kali ini aja ya, jarang loh ka Dafa ngajakin jalan." "Emangnya gue harus banget ikut ya, Nya?" Kanya menggangguk. "Iyalah harus ikut, kalo lo nggak ikut trus kak Dafa batalin gimana? Ikut aja yaa plisss?" pinta Kanya dengan mata melebar penuh harap. Akhirnya Luna mengangguk. "Oke, demi lo." Sambil menghela nafas yang membuat Kanya bersorak girang. *** Sejujurnya, alasan kenapa Kanya izin untuk datang telat saat Karina mengundangnya kerumah adalah ia ingin mengunjungi makam Bundanya. Kanya rindu dan sudah lama ia tidak mengunjungi makam Bundanya. "Lun, lo beneran nggak bisa kerumah Karin?" "Kayaknya iya, gue udah ada janji. Nitip ya, Nya! Jangan lupa nanti video call!" Kemudian Luna melambaikan tangan dan pergi dari sana. Sebelum sampai pada tujuan, Kanya mampir terlebih dahulu menuju toko bunga untuk mengambil bunga Lily. Bunda dan bunga Lily mempunyai ceritanya tersendiri karena Bundanya suka sekali sama bunga Lily. Meviana Putri Lahir : 06 Maret 1979 Wafat : 18 September 2012 Kanya tersenyum kecil. "Maaf ya, Bun. Kanya baru kesini lagi, aku anak yang jahat kayaknya sampai jarang luangin waktu buat ketemu Bunda... Oh iya, Bunda apa kabar? Aku harap Bunda baik-baik aja. Oh iya, Bun. Ayah sama kak Milano sehat dirumah tapi akhir-akhir ini Ayah jarang pulang. Dan sejujurnya aku kesepian dirumah.. nggak ada Bunda.. Kanya kangen Bunda." Sudah lima tahun ia ditinggal Bundanya, saat dia kelas satu SMP dia hanya tinggal bersama Ayah dah Kakak laki-lakinya. "Bunda tau? Hari ini kak Deanna ulang tahun.. tapi aku ceroboh banget, ngerelain kue keju yang mau aku kasih buat kak Deanna. Padahal aku pernah janji buat makan kue keju bareng sama kak Deanna kalau ulang tahun. Sayangnya, aku nggak bisa nepatin janji itu." Kanya menghapus air matanya. "Bunda.. Kanya pergi dulu ya, nanti Kanya main lagi kesini, Bunda nyaman ya disana.. Kanya akan selalu doain Bunda." Kanya memeluk batu nisan Bundanya. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju makam yang ingin kunjungi, seseorang yang sedang ulang tahun hari ini. Deanna Frena Lahir : 05 Mei 1999 Wafat : 16 Agustus 2016 Kanya duduk disebelah batu nisan ka Deanna. "Kak Deanna.. hari ini aku batal memenuhi janji buat makan kue keju bareng kakak.. maaf banget kak Dee." Kanya menarik nafas dalam-dalam sambil menutup matanya. Dalam hati menyesal karena telah merelakan kue keju pada orang aneh yang ia temui pagi ini, padahal jika Kanya tidak memberikan sudah pasti dia bisa makan kue bersama Deanna. "Andai aja kejadian setahun silam kak Dee nggak nurutin kemauan aku, keadaan nggak akan kayak gini kak. Setelah kejadian itu kak Milano bener-bener kehilangan ka Dee..  maafin Kanya ya atas segalanya." ucap Kanya sambil menangis. Rasanya benar-benar sesak ternyata. Kanya memandang batu nisan yang bertuliskan Deanna Frena dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Kreekkk ... Kreekkk ... Kepalanya menoleh, sayup-sayup matanya melihat pada pelaku bunyi keresek yang berasal dari patahan kayu yang terinjak. "Kue keju?" Kanya menoleh kaget saat sosok yang ia kenali berada disana. "Loh, kak Raken?" pekiknya, lalu mencoba mengalihkan pandangan dan menghapus air matanya. "Ngapain disini?" Raken mengernyit heran. "Loh, seharusnya gue yang tanya.. lo ngapain di makam sepupu gue?" Kanya keselek. "Sepupu?!" Raken hanya menggangguk. "Iya. Sekarang, lo ngapain disini?" Entah apa kesalahan Kanya dalam hidupnya, lagi-lagi dia bertemu dengan cowok itu. Di suatu tempat, dimana seharusnya jadi rahasia apik yang dia jaga rapat-rapat. "Lo ngapain disini?" tanyanya sekali lagi. Kanya tidak tahu harus menjawab apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD