second tale

4090 Words
Terkadang seseorang tersenyum bukan karena bahagia, lengkungan garis bibir itu bisa jadi menyiratkan berbagai arti, menutupi luka, misalnya. *** Setelah berhasil kabur dari sepatah pertanyaan yang tidak bisa Kanya jawab, akhirnya Kanya bersiap menuju rumah Karina, nasib baik baginya sebab laki-laki itu tidak mengejarnya untuk bertanya serentetan pertanyaan yang sampai kapanpun sebenarnya tidak akan pernah bisa dia jawab. Apalagi katanya, dia sepupunya Deanna. Bagaimana bisa dunia begitu sempit? Apakah insiden kue keju yang dibeli oleh Raken memiliki alasan yang sama dengan Kanya? Bahwa kue tersebut sebenarnya untuk ulang tahun Deanna? Kanya berusaha tidak terlalu mengambil pusing, ia akan kembali memikirkannya esok pagi saja.  Akhirnya berbekal beberapa kantung belanja titipan temannya itu. Heran, lagi sakit bisa-bisanya request mau dibawain apa. Tetapi karena sejak dulu Kanya selalu dikenal sebagai seseorang yang tidak pernah protes atas apapun, sekalipun protes ia pasti akan selalu menuruti permintaan orang lain. Walaupun kadang ia sendiri bingung, apa sebenarnya ia hidup hanya untuk menuruti semua orang? Bagaimana dengan orang lain? Tidak perlu dijawab, sebab segala perbuatan baik sebetulnya akan selalu ada karma baik setelahnya. Jika kita tidak mendapatkannya dari seseorang yang kita harapkan, mungkin karma baik itu berasal dari sesuatu yang lain… seperti hujan yang menunda untuk turun karena kamu tidak membawa payung atau hal-hal sederhana lain yang ada di sekitar. Hari ini tidak hujan, Kanya sampai pada rumah temannya sambil memanggil walaupun belum sampai pada gerbang rumahnya. "Karin!" sapanya dengan begitu semangat. Seperti tuan rumah yang sedang menunggu tamunya, Karina sudah berada didepan teras sambil bermain ponsel. Binar wajahnya menunjukkan bahwa ia senang melihat keberadaan Kanya disana. Karina memeluk Kanya sebentar. "Akhirnya lo dateng juga, dari mana aja sih lo? Jam pulang sekolah kan udah empat jam yang lalu." Tatapannya penuh tanda tanya sembari melihat jam yang berada di pergelangan tangannya. "Tadi kan gue bilang agak telat, Rin. Sekarang suruh gue masuk dulu kek panas nih, haus banget." Kanya mengipas-ngipaskan wajahnya dengan tangannya sendiri. Karina menabok keningnya dan menyengir. "Ayo masuk, anggap rumah sendiri aja." "Nih pesanan lo!" sambil menunjukkan beberapa kantung yang sudah menemaninya dalam perjalanan tadi. Karina memeluk Kanya. "Eh beneran dibeliin? Makasih lho."  Kanya memutar bola matanya saat Karina tertawa kecil. "Karina buruan bikinin gue minum atau cemilan, haus nih.. laper pula." "Ah lo, Nya. Ambil sendiri aja kali, kaya sama siapa aja. Anggap rumah sendiri aja." ucap Karina sambil menunjuk kearah dapur dan mempersilahkan. "Surat tanah ada dimana?" "Kenapa emangnya?" "Katanya anggap rumah sendiri.. mau gue jual!" Karina akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Itu namanya dikasih hati minta jantung." "Lo kan tuan rumahnya, seharusnya tamu itu dilayani seperti raja dong, Rin." Seraya menyilangkan kedua kakinya, berakting seperti raja sungguhan. "Tunggu sebentar ya, Ratu." Intonasinya terdengar seperti ditekan, membuat Kanya bergantian tertawa. Dengan jiwa baik hati, tentu saja Karina membuatkan minuman yang enak dan menyegarkan. Karina juga mengajak Kanya untuk memakan ke yang dibawanya tadi dan mengajak Kanya kekamar untuk menonton sebuah film. Bagian paling menyenangkan kalau sedang berada di rumah teman. Sebenarnya Kanya juga suka menonton film jika sedang sendirian di rumah, tetapi menonton sama teman asik juga… walaupun kadang tidak benar-benar menonton sebuah film dan terhanyut dalam obrolan-obrolan yang kelamaan merembet menggosip yang berakhir tidak dapat menonton film sampai akhir. 'Sebenernya nih anak beneran sakit apa kaga ya?' batin Kanya melihat temannya itu tidak selayaknya orang yang sedang sakit, bisa jadi hanya tipu daya saja untuk dapat membolos sekolah. "Mau nonton apa, Nya?" Sembari menunjukkan film koleksinya. Kanya berpikir sebentar. "Beauty and the Beast aja deh." "Macam bocah aja, yang lebih menantang lah. Horror gitu.." Kanya menggeleng. "Gila kali, gue pulang nanti gimana?" Dia menolak bukan karena takut sebenarnya, Kanya kuat-kuat saja untuk bisa nonton film horror sampai akhir tanpa ada skip skip ataupun tutup mata pada saat film berlangsung. Hanya saja, kadang ia tidak bisa menahan rasa keterkejutannya dan dapat berteriak sekeras mungkin jika saja ada adegan yang membuatnya kaget. Jadi demi keamanan dan juga kesehatan telinga Karina, ia memilih untuk menolak genre itu. Mengingat bocah itu penakut, akhirnya Karina menyetujui saja. "Oke deh, Beauty and the Beast." Mereka berdua menonton film dengan serius, perlu diingat bahwa ini bukan kali pertama mereka menonton film itu… walaupun mereka telah menonton film itu puluhan kali tetap saja tiada bosannya. “Nya, what do you think kalo pindah sekolah?” Secara random Karina melontarkan sebuah pertanyaan. “Tiba-tiba banget? Kenapa? Lo ada niat buat pindah sekolah? Orang tua lo ada dinas di luar kota dalam jangka waktu yang lama?” “Nggak sih, kadang bosen aja gitu… pengen ngerasain jadi murid baru gimana, ya siapa tau kan bisa ketemu cowok ganteng yang secara tiba-tiba jatuh cinta pandangan pertama sama gue kan asik.” “Ah lo mah kebanyakan nonton drama korea!” “What if… lo dikasih kesempatan untuk hapus seluruh masa lalu lo, juga hubungan lo dengan keluarga untuk bisa hidup di suatu tempat dimana enggak ada yang mengenal lo sebagai personal dan punya identitas baru disana? Bakal lo ambil nggak? Ini tuh kayak kesempatan dilahirkan sebagai orang yang baru tapi lo nggak perlu jadi bayi lagi.” “Hngg… gue rasa itu merupakan pilihan yang… cukup menarik? Tapi entah kenapa gue pikir sia-sia, Rin.” “Sia-sia?” “Iya, menghapus hubungan dengan keluarga adalah hal yang paling bikin gue ngerasa kalo tawaran itu sia-sia.” “Alasannya?” “Mau bagaimanapun keluarga ya tetep keluarga, nggak ada namanya mantan anak, mantan kakak, mantan ibu juga mantan ayah kan’?” “Lo benar juga sih, Nya. Tapi kalo gue, akan ambil tawaran itu tanpa pikir apapun.” “Dengan alasan?” “Bukannya yang terpenting itu diri kita sendiri ya? Gue selalu berharap kalo gue bisa hidup bahagia, Nya. Nggak dengan harus mengabulkan ekspetasi orang-orang, termasuk orang tua gue.” Dengan melihat sorot mata, Kanya langsung menepuk bahu Karina tanpa melakukan apa-apa. Mungkin benar saja dugaannya tadi pagi bahwa sebenarnya Karina tidak sakit. Hanya mencari alasan supaya bisa bolos sekolah untuk sejenak saja memikirkan sesuatu yang Kanya tidak tahu itu apa. Saat Kanya melihat jam di handphonenya, ia kaget. "Yaampun, Rin. Udah malem nih gue nggak berani pulang sendiri, gimana dong?" Kanya panik. "Yaudah lo nginep disini aja, Nya." usul Karina. Kanya menggeleng. "Nggak bisa, gue harus pulang sekarang." Karina menghela nafas. "Oke gini aja, gue temenin lo pulang tapi cuma sampai setengah jalan, gimana?" Tentunya, sebelum Kanya mengiyakan ia menimang-nimang terlebih dahulu. Tetapi itu lebih baik daripada harus pulang sendirian dari awal hingga akhir.  Akhirnya Kanya membuat keputusan, memantapkan hatinya untuk tidak perlu takut pulang sendirian setengah jalan. Berharap banyak semoga dirinya selamat sampai pada tujuan. Kanya langsung keluar dari kamar. "Yaudah ayo cepetan." *** Perempuan itu sampai pada tujuan dengan selamat, namun saat Kanya masuk kedalam rumahnya. Keadaan dirumah sangat sepi, melihat keadaan saat ini kemungkinan Ayahnya belum tidur dan Kakaknya mungkin sudah terlelap dalam mimpi. Kemudian ia langsung naik kekamarnya yang terletak di lantai dua. Belum sempat melangkahkan kaki ke anak tangga, langkahnya sudah diberhentikan oleh suara, suara yang mampu dengan sekejap menghentikan langkah kakinya saat itu juga. "Ngapain tadi lo ke makam, Deanna?"  Suara itu. Kakaknya belum tidur. Kanya menghentikan langkahnya dan menggigit bibir bawahnya. "Tadi abis dari makam Bunda, sekalian juga ke makam kak Deanna." "Buat apa? Nya, kalo aja Dean nggak nurutin kemauan lo dari kejadian tahun lalu, dia nggak akan meninggal, Nya." ketus Milano.  Seakan mengingatkan kembali bahwa.. semuanya memang salahnya. Entah mengapa mendengar Milano berkata seperti itu membuat dirinya merasa bahwa ia sama sekali tidak berhak berada di dunia ini. Apakah memang seharusnya begitu?  "Apa kak Milano pernah mikir kalo aku juga nggak pernah mau hal itu terjadi juga? Mau sampai kapan kakak nyalahin aku? Sampai aku mati?" Malam-malam ia justru melepaskan amarahnya yang sejak lama terpendam. Sejujurnya Kanya juga sama sekali tidak ingin hal-hal buruk terjadi dalam hidupnya dan malah kalau bisa.. Kanya ingin hal baik saja yang datang di dalam hidupnya. Tetapi kan, dalam hidup kita tidak bisa hanya mengharapkan hal-hal baik saja bukan? Pasti akan selalu ada hal yang tidak pernah kita duga datang dalam kehidupan. Mata Milano memandang Kanya sinis, penuh dengan amarah yang menusuk tajam. "Seharusnya memang begitu, lo nggak seharusnya ada didunia ini.  Karena lo.. Bunda meninggal. Dan karena Deanna nurutin kemauan lo, dia juga meninggal, Nya." Perlahan namun pasti, tetesan air mata mulai turun. Kanya menangis terisak, ucapan kakaknya memang benar, mungkin memang ialah penyebab mereka meninggal. "Nggak perlu nangis, air mata dan penyesalan lo, nggak akan pernah bisa bikin mereka kembali, kan?" ketus Milano sambil menutup pintu kamarnya. Hatinya terasa teriris, dan setelahnya diberi perasan air lemon. Persis seperti itu.  Air mata jatuh dengan deras, ia berjalan menuju kamarnya dengan langkah lesu dan mengunci pintu kamarnya. Ia berjalan kekamar mandi, ia menyalakan shower dan berdiri dibawahnya. Sengaja menagis dibawah sana, agar dunia dan seisinya tidak mendengar tangisannya. *** Sebelum matahari terbit Kanya sudah berangkat ke sekolahnya, hari ini ia kembali menggunakan angkutan umum. Sehabis pertengkaran hebat dengan kakaknya semalam, energinya terkuras habis dan jujur saja untuk hari ini ia tidak ingin bertemu dengan kakaknya. Walaupun dari dalam hati ia berusaha untuk mengikhlaskan perkataan kakaknya semalam, bertemu dengan Milano hari ini tentu bukanlah suatu rencana yang baik. Ia hanya tidak ingin awal pagi yang cerah ini mendadak muram kembali jika mendengar serentetan kata-kata yang membuatnya sakit hati. Di hari yang cerah ini, Kanya ingin damai. Saat sampai disekolah, suasana masih sangat sepi. Hanya ada beberapa siswa yang memiliki jadwal piket yang datang dini hari. Dikarenakan tadi pagi ia belum sempat untuk makan, perutnya jelas berbunyi keroncongan, butuh asupan segera pikirnya. Karena itu Kanya berjalan menuju kantin untuk membeli roti. Makanan yang jadi paling simple buat dimakan tentu saja, sebenarnya ada yang bubur ayam tetapi mengingat suasana hati dan kondisinya sedang tidak stabil.. Kanya lebih memilih untuk memakan roti saja. Yang penting sama-sama dapat mengisi perutnya agar tidak kelaparan. Setelah membeli roti di kantin, Kanya berniat untuk pergi menuju perpustakaan. Untung saja masih pagi, jika siang hari penjaga perpustakaan sudah pasti tidak akan memperbolehkan dirinya untuk masuk. Karena ada larangan keras tidak membawa makanan dan minuman ke dalam, khawatir akan membuat perpustakaan kotor dan bau. Berhubung Kanya juga hanya membawa roti.. dia memilih untuk tetap masuk ke dalam perpustakaan itu. Sengaja, kanya butuh tempat yang sepi untuk menenangkan pikirannya, ia ingin menjernihkan pikirannya. Kanya memasuki area perpustakaan, ia duduk di pojok ruangan. Berusaha untuk menahan isak tangisnya. Beberapa orang mungkin sudah paham jika faktanya kadang menahan tangis jauh lebih sakit dibandingkan tangis yang lepas. Namun mau bagaimanapun, Kanya masih berada di lingkungan sekolah. Jika ketauan, Kanya malas untuk menjawab serentetan pertanyaan tentang mengapa dirinya menangis. Mengingat kejadian semalam menjadikan dirinya kembali terbayang oleh masa lalu, masa dimana senyuman cerah Deanna selalu bisa membuat seseorang disekelilingnya berbahagia. "Anya, lihat nih ka Dee bawain apa?"  Deanna membawa kalung berinisial namanya, yang di ukir dengan sebegitu indahnya. Mata Kanya berbinar "Itu buat aku?"  Deanna menggangguk sambil tersenyum. "Sini, sini kakak pakein." Kemudian menyampingkan rambutnya dan memasangkan kalung pada leher Kanya. Mungkin kenangan itu bisa jadi kenangan baik bagi ingatan Milano, yang pada saat itu tersenyum memandang dua peri cantik didepannya sedang tertawa, jika saja Bunda masih ada mungkin kebahagiaannya akan terasa lengkap. "Ka Milano,  kalung dari kak Dee.. bagus nggak?" tanya Kanya. "Bagus dong! Ka Dee tau aja ya kesukaan kamu." ucap Milano dan Kanya mengangguk senang. Sebenarnya Milano lah yang membantu Deanna untuk memberikan kalung untuk adiknya, karena Milano tau betul apa yang jadi kesukaan Kanya. Milano menepuk pundak Deanna dan merangkulnya. "Makasih ya, Deanna.. adik aku jadi seneng. Gimana kalo kita makan siang dulu? Sekalian aku kenalin kamu ke Ayah aku." Dean menggangguk. "Yuk." Kenangan baik lagi... Bersamaan dengan itu, Kanya menggenggam erat kalung pemberian Dean. Sambil menghapus air matanya sebelum ada seseorang yang masuk ke sini dan mengetahui bahwa dirinya menangis. Jelas, Kanya tidak ingin ada siapapun yang melihatnya. Tetapi ada satu orang yang sedari tadi melihatnya, melihat dari celah jendela. Namun setelahnya, sebelum Kanya melihat jendela.. ia pergi kekantin untuk membeli sesuatu. Cokelat, untuk seseorang yang sedang sedih. "Eh, gue boleh minta tolong nggak?" panggilnya saat melihat perempuan yang sedang habis beli makanan juga. "Boleh, tolong apa ka?" tanya perempuan itu. "Tolong kasih cokelat ini ke perempuan yang diperpustakaan, yang lagi makan roti, boleh?" seraya menunjuk Kanya dan tanpa perlu waktu lama perempuan itu mengangguk paham. "Makasih ya." "Kak! Ini ada yang nitip ke saya buat kasih kamu cokelat." Kanya mengernyit."Dari siapa?" "Kak Raken." Karena terlihat bahwa perempuan itu sedang sibuk, akhirnya Kanya menerima dan mengucapkan terima kasih. Namun dia bertanya-tanya, kenapa laki-laki itu memberikannya sebuah cokelat? Yang jelas saja, kalau untuk membayar hutang kue keju.. itu hanya membayar tempatnya saja. Cokelat... Tetapi tidak apa-apa, tepatnya.. Kanya memang sedang ingin cokelat. Bel masuk berdering saat Kanya sudah menghabiskan cokelat dari Raken. Setidaknya cokelat itu bisa jadi alasan untuknya kembali ceria dan berjalan menuju kelasnya sambil tersenyum, dan menyapa orang-orang yang ia kenal. *** Milano sangat bosan dengan pelajaran dikelas, sangat membosankan. Ia bahkan sudah mempelajari materi itu beberapa minggu yang lalu. Milano memang murid yang rajin dalam belajar tapi jangan salah, ia juga murid yang sering bolos pelajaran bersama teman-temannya, ya meski kadang  beberapa kali membolos jika ia butuh angin. Milano mencolek bahu Faldy. "Fal, rooftop yuk, bete banget gue pelajaran pak botak." Faldy mengangguk. "Ayuk, gue juga bosen dengerin dia ngoceh." Milano menggangkat tangan. "Pak, maaf saya boleh ke kamar mandi nggak?" Pa Sarif mengangguk. "Boleh. Sendiri ya." "Yah jangan dong, Pak. Nanti yang jagain pintu siapa? Kan berabe kalo ada yang ngintip. Sama Faldy ya pa, dia juga kebelet banget tuh." ucap Milano yang terlihat sekali sedang mencari-cari alasan. "Oke, lima menit ya." ucap pak Sarif. Milano dan Faldy langsung keluar kelas menuju rooftop sekolah. Rooftop sekolah lumayan luas, disini tempat mereka berempat bolos pelajaran. "Eh mending ajak Raken sama Dafa deh kesini, serasa m**o gue bolos berduaan sama lo." ucap Faldy. Milano langsung menoyor kepala Faldy. "Ajak aja lewat grup." suruh Milano yang langsung disetujui oleh dan mengirimkan pesan kepada Raken dan Dafa. Rada Famous Faldy : Dafa, Raken lo pada dimana? Sinilah ke rooftop, males bgt gue cuma berdua sama Mila. Milano : k*****t. Dafa : Gue mau tobat, supaya pinter, jadi kesayangan mami dan papi. Inget orang tua Lo pada nyekolahin pake uang, bukan daon. Jangan bolos terus. Raken : Lagi belajar. Faldy : Langsung kesini aja yak gaes! Dafa : Tunggu aja, nanti gue seret sekalian si Raken. 'Rada Famous' diambil dari nama Raken, Dafa, Faldy, Milano dan 'us' yaitu kita. Akhirnya yang ditunggu pun datang. "Tumben-tumbenan lo, Lan.. ikut cabut." ucap Dafa yang dateng-dateng rusuh. "Ini juga dia yang ngajak Daf." celetuk Faldy. Raken menepuk bahu Milano. "Lo lagi ada masalah? Cerita aja sama kita." tawar Raken. Yang di tawarkan menggelengkan kepalanya. "Nggak semua hal bisa diceritain Ken." ucap Milano sambil menatap keawan. Dafa menepuk bahu Milano. "Kalo lo udah siap buat ceritain ke kita, kita selalu ada buat lo Lan." Milano tersenyum tipis. "Makasih ya." Sebenarnya ia mencari angin untuk menjernihkan pikirannya. Kejadian semalam bukanlah pertama kalinya Milano berkata kasar seperti itu, tapi kali ini adiknya menangis, ia tidak tega. Apalagi tadi pagi ia tidak sengaja melihat adiknya keluar rumah saat masih subuh, tanpa sempat memasukkan apapun kedalam perutnya disaat tadi malam adik perempuannya itu juga tidak terlihat makan malam karena tidak ada makanan yang berkurang di meja makan. Kentara jelas bahwa Kanya menghindari dirinya pagi ini, makanya anak itu sudah siap-siap ke sekolah disaat sebetulnya masih banyak waktu sampai bel masuk tiba. Entah kenapa, Milano jadi merasa bersalah, namun enggan untuk meminta maaf. Milano sangat tahu kejadian beberapa tahun lalu bukanlah kesalahan Kanya, tetapi sebuah perasaan kesal yang ada di dalam dirinya.. kadang butuh seseorang yang dijadikan sasaran karena sebetulnya ia bingung mau melepaskannya kesiapa. Entah salah sasaran atau dirinya yang tidak beradab dalam mengucapkan sejumlah kata-kata yang jelas akan membuat siapapun sakit hati jika mendengarnya. Ketiga sahabatnya yang sangat dekat dengannya juga tidak tahu tentang keluarganya, ia adalah pribadi yang tertutup semenjak kehilangan kekasihnya, Deanna. Kehilangan yang entah mengapa membuat dirinya merasa sesak setiap kali mengingat kejadian itu. Bukankah memang begitu? Perpisahan yang dipisahkan dengan kematian jauh lebih membuat menderita dibanding segala jenis perpisahan apapu.  Dan ketiga sahabatnya ini juga tidak tahu kalau Kanya itu adik kandungnya, dan Milano mengatakan pada Kanya bahwa dia tidak ingin ada yang tau bahwa dia dan Kanya adalah kakak-adik. Tidak ada alasan yang begitu jelas, mungkin karena Milano merupakan seseorang yang tidak ingin keluarganya di ketahui banyak orang. Milano mengacak rambutnya frustasi. "Lan, lo nggak apa-apa kan?" tanya Faldy, tetapi Milano hanya menggeleng. "Kita kenal, temenan, sahabatan, semenjak masuk ke sekolah ini, Lan. Tapi lo nggak pernah cerita sama kita kalo ada masalah. Lo kenapa?" tanya Dafa lagi. Milano memejamkan matanya. "Rumit. Gue juga bingung harus cerita mulai dari mana dan gimana. Kalo gue udah siap, gue bakal cerita kok sama lo-lo pada. Tenang aja." Ketiganya mengangguk berusaha mengerti, paham kalau nanti Milano sudah siap, ia pasti akan bercerita dengan sendirinya. Tetapi melihat Milano yang terlihat seperti memiliki banyak beban pikiran jelas membuat sahabatnya khawatir. Bel istirahat pun berbunyi. "Gue mau kekantin nih, ada yang mau ikut nggak?" tanya Dafa. Faldy mematikan rokoknya dan langsung berdiri dengan siap dan tegap, seperti prajurit yang siap untuk pergi ke medan perang saat itu juga. "Gue ikut." "Lo berdua nggak ikut?" ucap Dafa sambil menunjuk Raken dan Milano.  Milano menggeleng, jujur saja... ia sama sekali tidak ingin makan. Tetapi jauh di lubuk hati paling dalam, ia justru kepikiran tentang adiknya. Kanya.. dia udah makan belum ya? batinnya bertanya, yang jelas tidak akan ada orang yang menjawab pertanyaan itu. Milano juga ingin segera pergi ke kantin untuk memastikan adik perempuannya itu ada disana atau tidak. Tetapi lagi dan lagi gensinya lebih dominan di bandingkan apapun. Berakhir, ia hanya duduk diam disana. "Gue disini aja sama Milano." sahut Raken. Karena Milano berkata tidak ingin kekantin ia jadi merasa wajib untuk menemaninya disini. Karena dengan begitu, setidaknya Milano tidak perlu merasa sendirian. Dirinya akan selalu sedia berada disampingnya. "Nggak mau nitip sama sekali?" "Enggak, udah lo berdua aja sama. Cacing-cacing di perut udah meronta-ronta minta di kasih asupan tuh." tolak Raken yang membuat teman-temannya tertawa pelan. "Yaudah, selamat makan siang ya guys!" kata Faldy yang jelas membuat siapapun heran melihatnya. Raken mengernyit. "Lah bukannya kebalik?" "Kita sama-sama mau makan siang kan? Bedanya gue sama Dafa makan di kantin, lo sama Milano disini.. makan angin HAHAHA." Mohon di maafkan jika lawakan Faldy memang benar-benar jatuh ke jurang terdalam. Jokesnya lebih parah dari pada bapack-bapack sss. Sungguh memprihatinkan, mana masih muda. *** Saat Kanya sedang menikmati mie ayam kesukaannya, seseorang duduk didepannya. "Eh Kanya, tumben makan dikantin." sapa Dafa. Bisa dibayangkan bagaimana kepanikan Kanya saat ini, seseorang yang dia sukai kini berada didepannya. Benar-benar berada didepannya. Untung saja Kanya berhasil mengunyah makanannya, bagaimana coba kalau tidak? Bisa-bisa ia tersedak dan hampir mempermalukan dirinya sendiri didepan Dafa. Pelan-pelan sebelum menjawab ia lebih dulu untuk meminum es jeruk miliknya. "Eh kak Dafa, iya kak tadi aku nggak sempet kedapur." Dafa mengangguk. "Ohh, lo bikin bekel masak sendiri?" Kanya menggeleng. "Enggak, aku cuma bantuin bibi aja dikit-dikit." ucap Kanya yang hanya dibalas anggukan oleh Dafa. Sebenarnya di bantu bibi dikit- dikit disini sangatlah sedikit. Mungkin memasukkan saus kedalam kotak makan bisa jadi salah satu contohnya. Tetapi meskipun begitu Kanya punya andil yang cukup banyak bukan? Bagaimana jika ia lupa menaruh saus ke kotak makan? Jelas sudah makanannya terasa original. Didepannya Dafa jadi teringat sesuatu. "Oh iya besok jadi kan? Luna mau? Luna mana kok nggak keliatan?" sambil mengedarkan pandangannya. Sebentar, ada beberapa yang Kanya notis. Bukannya temannya ada dua orang? Mengapa yang disebut hanya Luna seorang saja? Meskipun kepalanya kini dipenuhi oleh berjuta tanda tanya, Kanya hanya mengangguk dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu hanya bersarang di kepalanya. "Iya jadi, iya Luna mau kok, Luna lagi beli juice sama Karin." "Oke jangan lupa ya ajakin, biar makin seru." ucap Dafa seraya tersenyum. Oke, senyuman itu lagi... pemilik senyuman handal itu justru hanya menatapnya tersenyum tanpa mengetahui resiko dari senyuman itu yang menyebabkan kini jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dafa bangun dari tempat duduk itu. "Gue ke temen gue dulu ya, kasian temen gue kalo bawa mangkuk dua-duaan. Besok jangan lupa ya, bye." pamit Dafa. Kanya hanya mengangguk dan berusahaan menetralisir degub jantungnya saat teman-temannya datang. Karina dan Luna datang saat mie ayam Kanya sudah habis. "Yah Anya, kok udah abis duluan sih mie ayamnya, kan gue mau minta." ucap Luna dan langsung Karina menoyor kepala Luna. "Lo tuh ya Lun, latah banget sih." ucap Karina sambil geleng-geleng. Luna hanya cengengesan. "Oh iya, Nya. Mau nyobain bakso gue nggak?" tawar Luna sambil menyodorkan mangkuk bakso kepadanya. Kanya menggeleng menolak. "Enggak Lun, makasih." Mendengar penolakan Kanya, Luna justru mengambil alih mangkuk bakso itu. "Terimakasih banyak lho." "Heh gue nggak nawarin ke lo ya, Luna!" teriak Karina yang langsung menarik paksa mangkuk itu untuk kembali berada di hadapannya. "Jadi orang tuh kayak Kanya gitu, ditawarin langsung nolak. Paham kalo itu cuma basa-basi. Beda sama lo, nggak di tawarin di babat abisss!" sindir Karina sewot. Sebelum dua temannya itu bergelud hebat, akhirnya Kanya melerai dengan cerita hangat yang baru terjadi barusan. "Oh iya tadi kak Dafa kesini loh." ucap Kanya dengan wajah berbinar. Karina menyeritkan alisnya dan berteriak. "Ha?! Serius lo, Nya? Sejak kapan lo deket sama dia." Luna memutar bola matanya. "Biasa aja kali Rin. Masa lo nggak tau sih, emang Anya nggak pernah cerita sama lo?" Karina hanya menggeleng. "Gue nggak terima. Anyaaa kenapa lo cuma cerita ke Luna sih? Tega banget. Jadi yang cuma dianggep temen Luna aja?" tanya Karina ngambek. Mendengar pertanyaan Karina, Kanya jadi tidak enak hati. Seharusnya dia bisa bercerita yang sama kepada dua sahabatnya dan tidak berat sebelah seperti ini.  "Karina.. maaf ya?" Karina mengibaskan tangannya, sebenarnya ia hanya bercanda berkata seperti itu, ia tidak sungguhan ngambek, hanya mendramatisir saja. "Udah-udah nggak penting. Yang penting itu sejak kapan lo deket sama ka Dafa?" tanya Karina sangat penasaran, mulai deh kalo ada berita baru, jiwa keponya meronta-ronta. Kanya hanya terkekeh melihat sikap Karina. "Yaelah Rin biasa aja kali jadi gue deket sama dia semenjak." sela Kanya berfikir sebentar, mengingat dimana kali pertama mereka bertemu. "Semenjak gue nggak sengaja ketemu dia pas gue lagi di Starbucks sama Luna. Karena bangkunya penuh, dia minta gabung sama kita, yaa gitu deh." jelas Kanya. "Jadi kalian ke Starbucks nggak ngajak gue? Sedih deh gue." ucap Karina dengan wajah memelas. Lagi-lagi Luna memutar bola matanya. "Alay lo sumpah. Waktu itu kan kita udah ajak, tapi lo nggak mau katanya mau tidur siang, cape abis jalan pagi." Karina hanya menyengir. "Oh iya, gue lupa." "Yeee, dasar pikun." Luna langsung dihadiahi toyoran manja dari Karina. "Oh iya, Rin. Hari minggu kak Dafa juga ngajak gue jalan, suruh gue ajak temen juga biar rame. Luna setuju mau ikut, lo ikut juga nggak?" "Nggak deh. Gue ada janji, Nya." tolak Karina langsung tanpa jeda. Kanya hanya mengangguk saja. Karina bisa jadi seseorang paling sibuk tiap diajak main, entah ada urusan apa. Yang jelas dibeberapa kesempatan kadang anak itu sengaja menyibukkan diri dan menolak untuk bergabung main dengan teman-temannya. "Tapi, Nya. Karena lo temen gue yang paling harus di jaga dari para buaya. Gue mau kasih petuah sama lo. Lo pasti tau kan? Dafa itu ganteng.. dan dia juga playboy, gonta-ganti pacar kayak ganti kaos kaki. Ati-ati Nya, perasaan lo dimainin. Cowok-cowok kayak gitu kalo mau ngedeketin kita, kita harus skeptis duluan. Siapa tau kan? Dia punya niat lain?" peringat Karina. Luna menggangguk menyetujui. "Nah iya tuh bener. Jaman sekarang mana ada sih cowok ganteng yang beneran punya hati tulus tanpa ada niat buat menyakiti? Sadar nggak sadar pasti bakal terjadi. Gue sama Karina nggak melarang lo buat deket sama dia, saran aja, Nya. Kalo nanti lo beneran cinta sama dia, jangan pernah ngasih seluruh hati lo buat dia. Lo harus hati-hati sama yang berhubungan dengan cinta." ucap Luna sok bijak yang sebenarnya ia hanya asal berbicara saja mengingat dia juga tidak begitu ahli dalam percintaan, tetapi dari drama-drama yang sudah ia tonton selama ini, kemungkinan besar begitu. Perlu ditekankan, hal itu bisa terjadi dan bisa tidak. Semua tergangung dari pribadi seseorang masing-masing. Kanya hanya terkekeh. "Bahasa kalian udah kayak yang berpengalaman aja cuy. Saran lo bakal gue catet Lun. Thanks ya."  "Anytime." ucap Luna dan saat bel masuk berbunyi mereka segera menghabiskan makanan dan minuman yang tersisa di meja. Kemudian satu sama lain mengajak untuk kembali kekelas dan meninggalkan kantin saat itu juga. Sebetulnya tidak ada saran yang buruk. Hanya saja kadang, arti dari saran tersebut kadang mengandung sebuah arti yang berbeda. Dan sangat disayangkan, Kanya tidak bisa membedakan itu semua. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD