Airin kembali ke ruangan untuk bertemu ibunya. Airin duduk di kursi memandang ibunya yang tertidur. Pintu terbuka terlihat Verrel masuk tanpa rasa bersalah.
Airin terkejut dengan kehadiran Verrel. Diaa berdiri tapi Verrel memberikan kode ke Airin untuk tidak membuat keributan dengan menggerakkan tangannya ke bawah.
"Mau apa?" tanya Airin.
"Duduklah," jawab Verrel singkat.
Airin membolakan matanya mendengar Verrel menjawab dengan singkat dan nyebelin juga.
"Jangan marah sayangku. Aku mau menjenguk ibumu. Dia sakit apa?" tanya Verrel dengan penuh perhatian.
Verrel mendekati ranjang dan saat dekat Verrel terkejut melihat ibunya Airin lembam seperti habis dipukul.
Airin ditanya sakit apa hanya bisa diam dan malu karena kondisi ibunya seperti ini. Dia sebenarnya tidak mau ada yang tahu ibunya. Pasti akan jadi cemohan orang.
"Sejak kapan masuknya?" tanya Verrel mengalihkan pembicaraan.
Verrel tahu kalau Airin tidak mau membahas sakit ibunya karena sudah dilihat sendiri kalau kondisi ibunya seperti apa.
"Hari ini," jawab Airin.
Verrel menganggukkan kepala dia tidak banyak tanya dan duduk menemani Airin. Verrel melihat Airin yang matanya sembab karena menangis. Rasa ingin tahu muncul tapi dia bisa apa. Dia tidak boleh ikut campur masalah keluarga.
Verrel mengirim pesan ke anak buahnya Mohan untuk membeli buah tangan mana mungkin dia datang menjenguk orang sakit tanpa bawa apapun.
"Ok." Mohan mengiyakan perintah Verrel.
"Kamu kalau tidak bisa datang nanti aku katakan ke keluargaku kalau kamu sibuk dengan mamamu," ucap Verrel yang mengatakan ke Airin untuk tidak datang ke rumah dirinya.
"Kenapa tidak menerima perjodohan itu bukannya kamu sudah kenal dia dan keluarga dia juga sudah kamu kenal. Apa yang membuat kamu menolaknya? Apa kamu mau menyakiti hati mereka?" tanya Airin bersandar di kursi sambil memandang ke arah Verrel yang menatapnya lekat.
"Kalau bicara itu enak, tapi yang jalani itu yang sulit. Kamu tahu tidak, cinta tidak bisa dipaksa kadang kita cinta orang tersebut belum tentu cinta. Dan sama - sama cinta ujung-ujungnya cinta itu pudar dengan sendirinya. Prinsipku itu cinta harus dari hati. Bisa saja aku katakan cinta tapi hatiku tidak bagaimana? Tersakiti bukan. Buat apa katakan cinta hanya di mulut Airin," ungkap Verrel membuat Airin terdiam.
Yang dikatakan oleh Verrel benar kalau cinta itu dari hati. Jadi, ayahnya dan ibunya ? Apakah ibunya dari hati dan ayahnya tidak?
"Sudah jangan pikirkan itu. Aku hanya katakan itu biar kamu tidak salah paham. Dan bisa melihat cinta dari sudut yang berbeda." Lagi-lagi Verrel membuat Airin serba salah dia tidak tahu harus berkata apa.
Tidak lama Mohan datang dan mendekati Verrel. "Tuan, ini dia yang Anda minta." Mohan menyerahkan apa yang Verrel minta padanya.
"Oh ya, terima kasih. Airin aku tidak bisa kasih apa-apa ini untukmu." Verrel menyerahkan buah-buahan kepada Airin.
Airin berdiri dan menerimanya pemberian dari Verrel. "Terima kasih. Tidak perlu repot-repot , sudah datang cukup bagiku."
Airin tersenyum kecil menerima hadiah dari Verrel. Sederhana tapi Verrel masih mau memberikannya.
"Santai saja. Ya sudah aku pulang. Salam untuk ibumu. Untuk kerjaan biar aku yang tangani," jawab Verrel.
Harusnya mereka akan pergi ke tempat itu lagi untuk melihat barang yang akan digunakan untuk pembangunan tapi Airin tidak bisa datang jadi hanya dia saja yang datang dengan Mohan.
Airin menganggukkan kepala dan mengantarkan Verrel juga Mohan keluar. Verrel pergi begitu saja bersama Mohan. Airin melihat punggung Verrel dan Mohan yang menghilang dari balik tembok.
Panggilan masuk Airin segera menjawab panggilan tersebut. "Airin, kenapa bisa pihak keuangan memblokir kartuku. Apa yang sudah kamu lakukan Airin?" tanya si penelpon yang tidak lain Tuan Bramantyo.
Airin duduk di kursi dan tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh Tuan Bramantyo ayahnya kepada dirinya.
"Limit saldomu over. Jadi, aku mengnonaktifkan kartumu. Lagipula, keuangan kantor sudah menipis kalau Papa terus menerus mengunakan kartu maka siapa yang akan tanggung kerugian. Dan gaji karyawan bagaimana? Apa mau mereka demo karena gajinya tidak dibayar?" tanya Airin dengan tegas.
Tuan Bramantyo kesal dengan Airin yang mengatakan kalau memang dirinya yang sudah memblokir kartu miliknya karena alasan keuangan sudah menipis.
"Kamu tidak boleh seperti itu Airin. Papa di sini itu kerja. Papa ketemu clien. Bagaimana kamu ini, Airin. Kamu tidak punya hati sama sekali kamu sama seperti mamamu melarangku memakai uang kantor."
"Apa kamu tahu kalau perusahaan itu aku yang bangun dengan susah payah bukan kakekmu dan juga bukan mamamu. Jadi jangan kamu berani-berani menutup rekeningku cepat buka. Pihak keuangan mengatakan kamu yang memintanya jadi mereka tidak berani membantahnya dan hanya kamu yang bisa membukanya sedangkan mereka tidak berani. Sekarang cepat buka." Murka tuan Bramantyo dengan suara cukup kencang.
Tuan Bramantyo menghubungi pihak keuangan bertanya kenapa rekening kantor bisa diblokir dan ternyata Airin lah pelakunya. Jika dirinya ingin melakukan sesuatu pasti memakai rekening kantor sedangkan rekeningnya hanya diisi saldo sedikit oleh nyonya Marcella.
Sedari dulu rekening kantor lah yang dia pergunakan dan itu tanpa sepengetahuan dari istrinya nyonya Marcella itu sudah keputusan final.
"Aku sudah mengeceknya dan terlalu banyak pengeluaran yang papa pergunakan dan itu sudah hampir batas minimum. Siapa yang akan bayar ? Apakah pihak kantor atau papa? Kalau kantor tidak bisa. Karena kantor hanya memberikan keuangannya untuk karyawan sisanya untuk yang lainnya."
"Aku saja tidak berani untuk mengambilnya padahal aku berhak tapi aku mengingat mereka karena mereka berjasa untuk perusahaan." Airin segera mengakhiri panggilannya dia tidak peduli jika tuan Bramantyo marah kepadanya.
Baginya menyelamatkan semua harta ibunya lebih penting karena dia tidak ingin pelakor tersebut yang menguasai harta dari keluarga ibunya.
Tuan Bramantyo yang teleponnya di matikan secara sepihak oleh Airin murka. Dia melempar ponselnya di tempat tidur dan mengacak rambutnya.
"Airin, kamu keterlaluan. Kamu sudah mempermalukan papa. Dan membuat aku harus berbagi saham dengan orang lain. Kamu dan ibumu sama saja. Kalian menyusahkan sekali," geram Tuan Bramantyo.
Kinanti yang baru saja keluar dari kamar mandi mendekatiTuan Bramantyo. "ada apa denganmu, Mas? Kenapa kamu marah-marah apa kamu sudah cari tahu siapa yang memblokir kartumu? Apakah wanita penyakit itu yang melakukannya?" tanya Kinanti yang segera duduk di pangkuan tuan Bramantyo dengan posisi menghadap Tuan Bramantyo.
Kinanti yang baru selesai mandi mendekati Tuan Bramantyo dan dia hanya memakai handuk kecil yang tertutup hanya bagian atas dan bawah itu pun tidak tertutup semuanya.
"Aku tadi menghubungi pihak keuangan, mereka mengatakan bukan Marcella yang menutupnya tapi Airin. Dan dia juga mengatakan kalau keuangan sudah menipis," jawab Tuan Bramantyo.
"Apa katamu menipis? Tidak mungkin aku tahu betul keuangan itu seperti apa. Aku yang mengeceknya dan aku selalu membuat laporan kepadamu tentang keuangan kita. Dan kamu tahu keuangan kita semakin banyak dari keuntungan kita selama ini."
"Dan itu makin besar mas. Aku yakin pasti Marcella yang sudah mengasut Airin dengan mengatakan keuangan menipis. Airin itu anak baik mas. Dia itu polos dan mudah terhasut jika tidak ada yang menghasutnya. Kamu itu harusnya segera habisi Marcella."
"Dia tidak pantas untuk hidup lagi udah sakit-sakitan juga dan dia sangat menyusahkan bisa habis uang perusahaan kalau dia gunakan untuk berobat terus. Dan kamu perhatikan Airin. Coba lihat Airin, dia saja sampai dihasut olehnya takutnya nanti Airin akan membangkang kepadamu, mas."
"Mas, Airin perlu diselamatkan segera. Dia anak yang baik dan manis jangan sampai dia mengikuti jejak ibunya itu yang penyakitan." Kinanti menghasut Tuan Bramantyo untuk menghabisi istrinya dengan mengatakan kalau semua ini hasutan dari Marcella.
Hingga Airin yang mengikuti apa kata ibunya. "kamu benar. Yang kamu katakan itu tepat. Marcella pasti menghasut Airin. Sifat Airin memang benar-benar berubah. Aku tidak akan membiarkan anakku mengikuti sifat liciknya. Airin bisa kita kendalikan tapi Marcella tidak. Setelah pulang dari sini aku akan membuat perhitungan untuknya. Kamu jangan khawatir, Kinanti," ucap tuan Bramantyo yang menarik leher Kinanti dan menciumnya.
"Aku mau lagi, Sayang. Aku belum puas. Kamu mau melayani aku sampai puas, Sayang?" tanya Tuan Bramantyo yang gairah naik dan dirinya menarik Kinanti ke ranjang dan membuka handuk yang terlilit di tubuh Kinanti.
"Kenapa bertanya, Sayang. Semuanya milikmu, kamu yang berhak untuk menikmatinya," jawab Kinanti dengan manja dan meliuk-liukkan tubuhnya dan tanpa menunggu lama Kinanti menarik tubuh Tuan Bramantyo untuk menikmati tubuhnya.