Bapak dan Ibu Somad terlihat frustasi di kamar mereka, Bu Somad duduk di sudut ranjang dengan matanya yang sudah membengkak karena tidak berhenti menangis semalaman. Sedangkan suaminya berdiri di dekat jendela melepas pandangan jauh ke halaman samping rumahnya yang digunakan sebagai tempat menjemur kain yang telah selesai proses pewarnaan.
Sementara di kamar lain putri sulung mereka menggulung dirinya di dalam selimut dengan perasaan hati yang sangat kalut, ia tidak mau jika lamaran yang akan segeda dilakukan oleh kekasihnya batal.
"Pak, gimana ini? Bapak harus melakukan sesuatu, Ibuk enggak mau ya kalau sampe nanggung malu! Nama baik keluarga kita bisa hancur, kita bakalan jadi sampah kalau sampai Amellia batal menikah. Bapak dipenjara, usaha kita bangkrut, dan sekolah Dino dan Doni berantakan," Bu Somad terus mendesak suaminya untuk mencari jalan keluar, ia tidak mau keluarga yang selama ini hidup enak karena hasil korupsi suaminya mendadak harus hidup susah sekaligus menahan malu.
Pak Somad mendekati lemari mengambil buku tabungannya dan memerintahkan istrinya untuk mengambil semua perhiasannya.
"Cepet, Buk, ambil semua perhiasan kamu, kita hitung apakah cukup untuk membayar ganti rugi!"
Bu Somad tampak enggan untuk menuruti perintah sang suami, tentu saja dia merasa sayang untuk menjual semua perhiasannya. Tapi melihat kedua mata suaminya yang melotot membuat nyalinya menciut, akhirnya dia mengambil semua perhiasan dan surat-suratnya.
Cukup lama Pak Somad menghitung hartanya, lalu meraup wajahnya dengan frustasi. Melihatnya sang istri yang merasa penasaran membuka suara.
"Bagaimana, Pak?"
"Harta kita ini, walaupun ditambah menggadaikan sertifikat tanah dan rumah tetap saja masih kurang untuk membayar ganti rugi, Buk!"
Tubuh Bu Somad sudah melunglai lalu dari bibirnya yang hari ini tidak sempat ia poles dengan lipstik merah menyala seperti biasanya mulai keluar berbagai rintihan.
"Bagaimana ini, Pak? Pokoknga Ibuk enggak mau nanggung malu! Apalagi harus hidup susah!"
"Diamlah, Buk! Jangan ganggu Bapak yang lagi berfikir!"
Bebarapa saat Pak Somad hanya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, kadang termenung seperti memikirkan sesuatu.
Menganggukkan kepala, lalu menggeleng seperti sedang menimbang sesuatu yang berat, lalu terbitlah sebuah tekad agar keluarganya tetap bisa hidup enak walaupun kehormatan di desanya sudah lenyap, tapi setidaknya ia dan keluarganya tidak akan hidup miskin dan dia tidak akan mendekam di balik jeruji besi.
* Dita Andriyani *
Hari belum terlalu siang saat Canting tengah menorehkan lilin panas di atas kain mori yang telah terukir pola di atasnya motif jlamprang adalah motif batik yang sedang ia buat kali ini, pipi mulusnya tidak hentinya mencekung karena senyum yang tidak henti ia kembangkan saat bercengkrama dengan rekan-rekan kerjanya. Mereka duduk mengitari sebuah kompor minyak kecil dengan wajan mengepul di atasnya, tangan-tangan terampil bergantian menciduk lilin cair dengan canting dan menorehkannya pada kain yang mereka pegang dengan tangan kiri.
"Titi!" Mereka semua menoleh ke sumber suara saat mendengar suara juragan mereka memanggil.
"Iya, Pak'lek," jawab Canting pada Paman yang juga merangkap sebagai juragannya itu. Lelaki bertubuh tambun itu berkacak pinggang di teras belakang rumahnya.
"Sini, ayo ikut Pak'lek!" seru Pak Somad. Tanpa banyak bertanya Canting menaruh kain yang ada di pangkuannya ke lantai, menaruh canting yang ia pegang dan menaruhnya di sisi wajan. Dengan langkah cepat ia mendekati Pamannya. Rok sepanjang bawah lutut membuatnya susah berlari, meskipun ia ingin. Ia tahu Pamannya akan marah jika ia bergerak lamban dalam menjalankan perintah.
"Ada apa, Pak'lek?" tanya Canting begitu ia berdiri di samping sang Paman.
"Ayo kamu temenin Pak'lek ke kota, Pak'lek ada janji ketemu sama temen Pak'lek!" Pak Somad melangkah tanpa menunggu Canting. Tanpa ragu Canting membuntuti langkah Pamannya, Pamannya memang biasa ke kota, untuk mengurus usahanya atau membeli bahan untuk membuat batik hanya saja biasanya Pamannya mengajak Supri atau pegawai lelaki lainnya.
Mungkin semua pegawai lelaki sedang sibuk, makanya Pak'lek mengajakku. Itulah yang ada di benak Canting saat Pak Somad sudah menjalankan sedan tuanya menuju kota yang membutuhkan waktu perjalanan selama dua jam dari kampung mereka. Tanpa banyak bicara Canting duduk di sebelah Pamannya yang fokus mengemudi di jalanan rokel yang aspalnya mulai mengelupas.
Hingga kira-kira setengah perjalanan kini jalan rokel telah berganti dengan jalan halus, rimbunnya pepohonan telah berganti dengan beraneka bangunan khas perkotaan. Kanan kiri jalan yang semula parit dan pohon telah berganti trotoar, berbagai penjaja makanan banyak berlalu lalang atau mangkal di atasnya.
Saat Canting sibuk melihat pemandangan kota yang jarang ia temui, Pamannya mulai membuka pembicaraan.
"Ti, kamu ingat usia berapa saat kedua orang tua kamu meninggal?"
Canting terlihat bersedih mendengarnya, "iya Pak'lek, aku berusia dua belas tahun waktu itu."
"Sekarang berapa usia kamu?" tanya Pak Somad Lagi.
"Hampir dua puluh tiga tahun," jawab Canting.
"Sudah lama juga, ya, Pak'lek dan Bulekmu ngerawat kamu. Coba kamu bayangin seandainya dulu kami enggak mau ngerawat kamu, entah jadi apa kamu saat ini." Canting menelan saliva mendengar ucapan Pamannya.
"Iya Pak'lek, Titi sangat berterima kasih sama Pak'lek dan Bulek sudah merawat Titi selama ini. Titi sangat berhutang budi," jawab Canting parau.
"Kamu tau yang namanya hutang harus dibayar?" tanya Pak Somad menohok perasaan Canting.
"Maksud Pak'lek?"
"Kamu sayang sama Amellia, Dino dan Doni? Juga sama Pak'lek dan Bulek?" Canting mengangguk mendengarnya.
"Amellia teramcam gagal menikah, Dino dan Doni juga teramcam tidak bisa sekolah lagi. Pak'lek juga bisa dipenjara kalau tidak bisa bayar hutang sama Mas Tirta, dan sekarang Pak'lek mau minta tolong sama kamu. Karena cuma kamu yang bisa nolong kami." Canting menutup mulut yang menganga dengan kedua tangannya mendengar cerita Pamannya.
"Mas Tirta itu ternyata jahat benget, ya, Pak'lek. Titi janji bakal bantu Pak'lek bayar hutang." kata Canting mantab membuat Pak Somad tersenyum lega.
"Tapi bagaimana caranya Titi bantu Pak'lek bayar hutang? Titi juga enggak punya uang?" tanya Canting polos.
"Sebentar lagi kamu juga tau, Pak'lek cuma minta kamu nurut!" Canting mengangguk mendengarnya.
* Dita Andriyani *
Ribuan tanya mulai berkecamuk dalam benak Canting saat mobil Pamannya berhenti di sebuah rumah mawah, bukan di pusat grosir seperti biasanya saat mereka ke kota.
"Pak'lek, ini rumah siapa?" tanya Canting begitu Pamannya turun dari mobil dan mengajaknya berjalan masuk.
"Rumah teman Pak'lek. Ingat kamu cuma perlu nurut!" jawab Pak Somad sambil mengacungkan telunjuknya ke wajah Canting.
Canting mengikuti langkah Pamannya memasuki rumah besar itu, rumah yang bagus berlantai dua, tetapi terlihat kurang tarawat, bersih hanya saja cat dan perabotannya yang terlihat usang.
Perasaan Canting mulai terasa tidak enak saat melihat beberapa wanita berpakaian minim berlalu lalang, ia terlihat risih melihat para wanita dengan p******a yang menyembul di balik baju tanpa lengan, juga dengan paha yang dapat dengan mudah terlihat. Di desanya tidak ada wanita berpakaian demikian basanya ia hanya melihat wanita berpakaian seperti itu di televisi saja.
Pak Somad terus berjalan ke belakang, dengan Canting yang tergopoh mengekor. Hingga sampai di depan pintu yang tertutup rapat, beberapa kali Pak Somad mengetuknya lalu terdengar suara seorang wanita mempersilakan masuk.
Pak Somad memerintahkan Canting tetap membuntut dengan tatapan matanya, Canting mengangguk walau dengan perasaan takut.
Mereka memasuki kamar yang luas itu, terdapat sebuah ranjang ukuran besar yang tidak terlalu rapi, sebuah sofa panjang, sebuah lemari besar dab sebuah meja rias. Seorang wanita dewasa duduk di sofa mengenakan kaus tanpa lengan dan celana jeans di atas lutut, rambutnya keriting tersisir rapi, dengan bibir bergincu merah.
"Pak Somad, baru kemarin dari sini, sekarang sudah balik lagi!" Wanita itu menyambut kehadiran Pak Somad dengan mencium kedua pipi dan juga bibir kehitaman Pak Somad.
Canting membelalakan mata melihatnya, ia sama sekali tidak menyangka Pamannya itu tega menghianati sang istri yang begitu mencintainya. Ia larut dalam pikirannya sendiri, apakah akan memberitahu Bibinya saat mereka pulang nanti atau tidak.
"Mau dilayanin siapa?" tanya wanita iti setelah melepas pelukannya pada Pak Somad. Pak Somad mendudukkan dirinya di sofa tepat di samping wanita itu. Canting berdiri mematung tidak jauh dari mereka.
"Saya ke sini bukan untuk membeli, tapi untuk menjual." Kedua mata Canting membola mendengarnya, perasaannya semakin tidak enak mendengarnya walaupun ia belum tahu pasti apa maksud Pamannya dengan 'menjual'
Wanita itu sedikit terperangah mendengar ucapan Pak Somad lalu mengikuti pandangan Pak Somad pada Canting yang berdiri mulai tak tenang.
Wanita itu berdiri mendekati Canting dan berjalan memutarinya, menelisik setiap inci tubuh dan wajah cantik Canting.
"Perawan desa yang cantik, pasti banyak yang rela membayar mahal untuk keperawanannya!" Celetuk wanita itu.
"Apa maksudnya ini Pak'lek?" tanya Canting begitu mendengar ucapan wanita itu.
"Begini, Titi. Tadi kamu bilang mau melakukan apapun untuk membantu Pak'lek membayar hutang? Makanya Pak'lek bawa kamu ke sini buar kamu bisa bantu Pak'lek! Ini Mama Helen, dia yang akan ajarin kamu kerja di sini, upahnya buat bantu Pak'lek bayar hutang." Panjang lebar Pak Somad menjelaskan.
"Kerja apa? Pak'lek suruh aku jadi p*****r? Pak'lek jual aku?" Pekik Canting tidak menyangka kalau Pamannya tega melakukan itu.
"Iya, Ti. Anggap aja ini sebagai balas jasa kamu karena kami telah merawat kamu sedari kecil!" jawab Pak Somad tanpa rasa bersalah.
"Tapi bukan begini caranya Pak'lek! Kenapa Pak'lek jual aku?" tanya Canting ia mulai menangis pilu.
"Pak'lek tidak punya cara lain, utang Pak Lek terlalu banyak! Udah sana kamu nurut saja sama Mama Helen!" bentak Pak Somad, wanita yang di sapa Mama Helen hanya memperhatikan dengan senyum senangnya kerena ia mendapatkan permata yang bisa ia jual mahal lagi.
"Enggak! Aku enggak mau!" ucap Canting lalu berlari meninggalkan kamar itu, tetapi ia tidak tahu jika tidak jauh dari kamar itu telah bersiaga dua orang lelaki berbadan tinggi besar siap menangkapnya.
Hingga tidak terlalu jauh Canting berlari kini mereka sudah menyeretnya kembali, Pak Somad Dan Mama Helen sudah menunggunya di luar kamar. Kedua lelaki berbadan kekar memegangi kedua lengan Canting dengan kuat, hingga sekuat apapun gadis itu berusaha berontak ia tidak akan bisa melepaskan diri.
"Bawa wanita ini ke kamar belakang! Nanti malam kita undang para tamu besar untuk melelang keperawanannya, setelah itu dia akan selamanya menjadi b***k di tempat ini." Dengan kuat tangan Mama Helen mencengkeram kedua pipi Canting yang di basahi air mata.
"Ayo Pak Somad kita bicarakan berapa uang yang bisa kamu dapatkan!" Canting bisa melihat dari ekor matanya Pamannya tersenyum senang lalu memasuki kamar Mama Helen sementara kedua lelaki itu menyeret tubuh Canting ke kamar belakang.
Kamar sempit dengan sebuah ranjang dan lemari di sudut ruangan, ada pintu di sisinya sepertinya pintu kamar mandi. Kedua lelaki itu sempat-sempatnya memegang d**a Canting sebelum melemparkan tubuhnya ke atas ranjang, membuat Canting semakin menangis histeris karena merasa dilecehkan. Sementara kedua lelaki itu tertawa girang lalu meninggalkan Canting tanpa lupa mengunci pintu dari luar. Kini tinggalah Canting seorang duduk menekuk lutut di atas ranjang meratapi nasib buruknya.