Bab 5

1119 Words
Malam ini mungkin adalah malam paling mencekam dalam sejarah kehidupan Pak Somad, para petinggi paguyuban, kepala desa beserta stafnya, tidak lupa Tirta Bagaskara sang pemilik perusahaan yang menaungi paguyuban mereka datang ke rumahnya untuk melakukan persidangan atas semua kecurangan yang telah ia lakukan selama ini. Di ruang tamu rumahnya yang cukup luas Somad duduk sambil menyembunyikan tangannya yang sedikit gemetar di antara kedua pahanya di atas meja sudah terhampar beberapa berkas yang membuktikan semua kecurangannya. "Bapak sudah tidak perlu menyangkal lagi, semua bukti sudah kami pegang. Seandainya malam ini saya ke kantor polisi, mereka akan segera menjemput Anda, Pak," ujar Tirta penuh wibawa. Seorang perempuan dan anak gadisnya yang berada di balik pintu untuk mencuri dengar sontak menangis. "Jangan, Pak. Jangan, saya tidak mau dipenjara. Tolong, Pak. Kita selesaikan masalah ini baik-baik agar tidak ada lebih banyak lagi orang yang tau," pinta Pak Somad mengiba, ia tatap satu-satu persatu lelaki yang ada di ruangan itu. "Anak perempuan saya satu-satunya, Amellia. Sebentar lagi dia akan dilamar anak pengusaha dari desa sebelah, seandainya keluarga calon besan saya mendengar hal ini maka hancur sudah masa depan anak saya. Tolong, Bapak-bapak mengerti keadaan saya." Pak Somad terus mengiba, kini air mata buayanya telah mengalir deras. Dari dapur seorang gadis cantik datang membawa satu nampan penuh berisi teh hangat untuk para tamu, wajahnya mulai diselimuti perasaan aneh saat melihat Bulek dan sepupunya menangis di balik pintu. Ia meneruskan langkahnya ke ruang tamu, dan lebih terkejut lagi mendapati Pamannya juga tengah menangis. Namun, ia terlalu sungkan untuk bertanya hingga dengan menundukkan pandangan menaruh teh hangat yang ia bawa di atas meja. Ekor matanya sempat melirik lelaki yang belakangan ini sering mengganggunya, tidak ia sangka jika lelaki itu juga melakukan hal yang sama hingga lirikan mereka beradu, Canting langsung memalingkan wajahnya. "Silakan, diminum Bapak-bapak." Dengan santun Canting mempersilakan mereka yang hanya diam karena kehadirannya untuk minum. "Terima kasih, Nduk," jawab Pak Noto. Canting hanya melempar senyum lalu menarik diri kembali ke belakang. Ia sempat kembali melirik sinis pada Tirta yang tangah memberikan tatapan mengintimidasi pada Pak Somad yang terlihat frustasi. Canting berdiri di samping sepupunya yang sedang menahan tangis sedangkan Buleknya kembali memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan di ruang tamu. "Bulek, ini sebenarnya ada apa, sih?" Canting yang merasa penasaran memberanikan diri untuk bertanya. Kedua mata Buleknya itu malah melotot padanya, dari dulu wanita bertubuh gempal itu memang tidak pernah ramah padanya tetapi walau begitu Canting tetap sayang dan hormat karena merasa ia adalah pengganti sang ibu. "Udah sana masuk, enggak usah ikut campur!" Bukannya sebuah jawaban yang ia terima malah sebuah bentakan tertahan. Canting menuruti, tetapi sempat bertanya dengan isyarat pada sepupunya dengan menggedikkan dagu. "Ini semua gara-gara pemuda dari Jakarta itu!" gerutu Amellia, Canting meninggalkan sepupunya yang masih terlihat menangis ke dapur. Padahal bekalangan ini Amellia terlihat sangat bahagia, usia mereka tidak jauh berbeda Canting hanya lebih tua beberapa bulan dari Amellia. Padahal wajah dan tubuh Canting lebih indah dari sepupunya itu tapi karena Amellia yang terawat dengan berbagai kosmetik mahal tentu saja gadis itu terlihat lebih menawan. Itulah yang membuat ia akan segera di lamar oleh anak pengusaha kaya dari desa tetangga. Melihat kebahagiaan Amellia membuat Canting juga bermimpi jika suatu saat nanti akan ada pemuda yang akan meminangnya, mencintainya dan memperlakukan dirinya dengan baik tapi bukan Adam tentunya, bagi Canting Adam hanya pemuda tengil yang selalu menggodanya. Sudah berkali-kali Adam memintanya menjadi kekasih tapi berkali-kali pula Canting menolaknya. Yang Canting inginkan adalah pemuda yang dewasa, sudah memiliki pekerjaan untuk menghidupinya dan anak-anak mereka nanti, walaupun sederhana tapi Canting ingin hidup bahagia. Impian yang indah bukan? Amellia dan ibunya kembali fokus mendengarkan saat Pak Somad memohon-mohon pada Tirta agar tidak membawa kasus ini ke jalur hukum. "Saya bisa mengurungkan niat saja melaporkan Bapak ke polisi. Tapi Bapak harus segera membayar semua kerugian kami, nilainya sudah tertera dengan jelas pada berkas itu!" Tegas Tirta.  "Iya, iya tolong beri waktu saya seminggu buat mengganti semua kerugian Bapak. Saya janji saya pasti bayar." Pak Somad menangkupkan kedua telapak tangannya di depan d**a. "Baik kalau begitu, saya beri Anda waktu satu minggu. Anda tau di mana bisa mencari saya jika uangnya sudah ada, tapi jika uangnya tidak ada Anda tau di mana kasus ini akan berakhir." Tegas Tirta, Pak Somad mengangguk yakin, di iringi anggukan ragu dari semua orang yang ada di ruang tamu itu kecuali Tirta. "Kalai begitu kami permisi." Tirta bangkit dari duduknya di ikuti pak lurah dan yang lainnya meninggalkan Pak Somad dalam ketakutan luar biasa juga meninggalkan beberapa cangkir teh yang sama sekali tidak terjamah. Amellia dan ibunya segera menghampiri Pak Somad, menggoyang-goyangkan pundaknya menuntut jalan keluar yang sebenarnya Pak Somad sendiri tidak tau di mana arahnya. Canting yang mengintip di belakang pintu langsung keluar rumah tidak ia pedulikan tatapan penuh tanda tanya kedua sepupu lelakinya yang baru pulang bermain. *** "Hei! Hei! Tunggu!" Tirta dan pak lurah yang mendengar panggilan Canting langsung menoleh, membiarkan yang lainnya berjalan lebih dulu. "Ada apa, Nduk Titi?" tanya Pak Noto lembut. "Saya mau bicara sama dia Pak Lurah," jawab Canting dengan nafas yang sedikit terengah-engah. "Ada apa, Nduk?" Belum sempat Canting menjawab pertanyaan itu Tirta sudah lebih dulu menyela. "Biarkan saja Pak Lurah, biar saya bicara sama dia dulu. Pak Lurah boleh pulang duluan." Pak Lurah mengangguk mengerti lalu langsung meninggalkan mereka berdua. Hingga kini mereka hanya berdua, di atas jalan setapak berbatu, di bawah rindangnya pepohonan mangga yang baru mulai berbunga hingga indera penciuman mereka dapat merasakan wanginya bakal calon mangga bernama harum manis itu. "Ada apa?" tanya Tirta tanpa ada nada ramah sedikitpun. "Kamu! Sebenernya apa, sih, mau kamu? Tiba-tiba datang ke kampung sini, dan bikin rusuh semuanya. Bikin hidup kami enggak tentram!" Dahi Tirta mengkerut mendengar hardikan yang Canting berikan. "Apa maksud ucapan kamu?" tanya Tirta kesal. "Alah! Enggak usah pura-pura enggak tau kamu, ya, kamu, kan, yang sudah bikin usaha Pak'lek saya bangkrut sampe mereka nangis-nangis begitu! Udah ngaku saja kamu iri dan dengki dengan kesuksesan Pak'lek saya makanya kamu mau hancurin usahanya, kan!" Tirta tersenyum miring mendengar ocehan Canting, bahkan gadis itu berani mengacungkan telunjuknya di depan wajah Tirta. Tirta memegang lengan kanan Canting yang telunjuknya hampir menyentuh hidung mancungnya, lalu menurunkan tangannya ke bawah membuat Canting sedikit meringis kesakitan akibat cekalan tangan Tirta. "Kamu denger baik-baik, Canting! Jangan pernah mengatakan apapun, yang jelas-jelas tidak kamu ketahui! Atau kamu akan ikut membusuk dalam penjara bersama Pak'lek kamu itu." Tegas Tirta seraya menghempaskan lengan Canting dari genggamannya. "Aku memang enggak tau apa-apa, aku enggak harus tau apa-apa! Yang aku tau kamu lelaki jahat! Lelaki angkuh dan sombong, awas kalau kami bikin keluargaku nangis lagi!" Canting masih saja meracau walau Tirta sudah meninggalkannya dengan kekesalan yang memenuhi dadanya. Berani-beraninya gadis desa seperti Canting menghardiknya, menilai dirinya jahat, angkuh dan sombong. Semua perkataan Canting sungguh terasa melukai harga dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD