Bab 4

1283 Words
Angin berhembus cukup kencang di atas bukit nan hijau, ngiring kabut menebal menyelimuti pandangan. Menerbangkan anak rambut seirang wanita hingga mengganggu wajah seorang pria yang memeluk tubuh indahnya dari belakang. Pria itu tertawa riang merasakan sensasi geli yang ditimbulkan, dengan sesekali berusaha menyematkan rambut itu di belakang telinga sang wanita yang melemparkan senyum manis padanya. Irama degupan jantung semakin memburu saat sang wanita membalik badannya hingga kini mereka saling berhadapan, dikalungkan kedua lengannya pada leher sang pria lalu sedikit berjinjit agar bisa menempelkan bibirnya pada bibir lelaki yang tengah memeluk erat pinggangnya. Tidak perlu perjanjian dan tanpa aba-aba, sang lelaki sedikit membungkukkan badannya hingga mempermudah persatuan bibir mereka. Berawal dari kecupan ringan, lalu berlanjut sampai ciuman ganas penuh tuntutan, dinginnya udara tidak lagi terasa karena aliran darah yang kian memanas di tubuh mereka. Seulas senyum mereka kembangkan saat menjeda ciuman, sekedar untuk menghirup oksigen yang terasa semakin menipis. Lalu kembali meneruskan pagutan yang terasa semakin nikmat seiring kedua tangan sang lelaki yang sudah menggerilya di d**a sang wanita, sedikit mendorong tubuh gadis cantik itu hingga terkungkung diantara pohon besar dan pelukannya sang lelaki semakin berani membuka satu persatu kancing baju wanita yang hanya tersenyum menerima perlakuan demikian. Membiarkan lelaki yang wajahnya telah memerah kerena birahi menguasai kedua gunung kembarnya, bergantian memainkannya dengan tangan dan bibirnya membuat sensasi geli dan rasa ingin lebih menguasai hati. Membuat bibir tipisnya bergumam menyebut mana sang kekasih "Hm ... Adam ... Adam i love you ...." "Iya, Mbak Titi ... I love you too ...." jawab Adam sejenak menghentikan kulumannya pada benda kenyal kecoklatan yang terlihat menantang di puncak gunung kembar itu. "Adam ...." "Adam ...." Semakin lama suara itu semakin kencang memasuki indera pendengaran Adam. "Adam! Adam ... Bangun udah siang, Le!" suara Bu Wiwik membuyarkan mimpi indah sang perjaka. Mimpi dicintai oleh wanita yang telah lama dicintainya tetapi telah lama juga menolaknya. Beginilah cinta Adam, hanya terbalas lewat mimpi. "Adam ... Bangun ...." Kembali suara itu terdengar. "Iya, Bu, iya," jawab Adam, lalu menarik kain sarung untuk menutupi bagian bawah tubuhnya yang sedikit basah lalu bergegas ke kamar mandi. *** Tirta sudah menghabiskan setengah harinya berkeliling kampung untuk melihat-lihat beberapa rumah pembuatan batik, kali ini bukan bersama Adam tapi bersama bapak kepala desa. Melakukan beberapa penyelidikan secara diam-diam bersama beberapa orang kepercayaan pak lurah, Tirta mengangguk-anggukkan kepala sambil memegang dagu bersandar pada kursi dengan satu kaki terlipat bertumpu pada satu kaki lainnya saat membaca laporan keuangan yang mengucur dari perusahaannya pada paguyuban pengusaha batik desa itu. "Sekarang saya sudah mengerti akar permasalahannya, dalam kasus ini yang dirugikan bukan hanya perusahaan saya tapi juga para pengusaha yang berada dibawah naungan paguyuban," ujar Tirta saat telah menutup map yang ia pegang lalu kembali menaruhnya di atas meja kepala desa. "berarti siapa yang melakukan kecurangan, Mas?" tanya salah seorang pengusaha batik yang sudah berusia sepuh, tidak mengerti apa yang Tirta maksudkan. "Ya siapa lagi, Mbah, selain ketua paguyuban kalian. Selama ini, perusahaan kami langsung mengirimkan pembayaran kepada beliau dengan nilai yang telah kami sepakati, tentu saja dengan harga yang tinggi tapi ternyata dia menjatuhkan harga yang rendah pada kalian. Dia juga telah memanipulasi kualitas hingga banyak merugikan perusahaan kami," beber Tirta lalu beberapa orang yang berada di ruangan itu saling berbisik satu sama lain, tidak mengira selama ini telah banyak dicurangi oleh orang yang telah mereka percaya. "Wah ... Saya tidak menyangka Pak Somad seperti itu. Kasus ini harus kita laporkan pada pihak yang berwajib." tegas salah seorang yang berada di sana. "Tapi kalau Pak Somad dipenjara, apa kita akan dapat ganti atas semua hak kita yang telah mereka makan?" salah seorang bertanya pada yang lain, yang ditanya hanya menggeleng. "Kalian serahkan saja pada saya, biar saya yang mengurus semuanya," ucap Tirta terdengar penuh wibawa membuat semua orang terdiam dalam persetujuan. *** Tirta kembali ke rumah batik Pak Somad sore itu, saat telah usai melakukan penyelidikan lagi di bantu beberapa orang bawahan Pak Somad di paguyuban yang memang selama ini sudah mencium kecurangan Pak Somad tapi tidak mampu berbuat apa-apa, kini setelah kedatangan Tirta ke desa ini mereka bagai menemukan seorang dewa penolong yang akan membantu mereka menemukan keadilan. Di depan pabrik ia bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai istri Pak Somad dan mengatakan bahwa suaminya tidak di rumah, sebenarnya Tirta sudah mengetahui jika Pak Somad memang sedang tidak berada di desa itu sehingga bawahan Pak Somad di paguyuban dapat dengan mudah mengambil laporan keuangan di kantor paguyuban. Laporan yang penuh kecurangan. Ada tujuan tersembunyi yang membuat Tirta melangkahkan kaki ke tempat ini, entah kenapa ia kembali teringat mimpinya dan ingin melihat wajah Canting. Seperti perkiraannya ia pasti bisa menemui Canting di tempat itu, tapi kali ini bukan di tempat penorehan malam seperti saat itu tapi si sebuah halaman terbuka di belakang pabrik di mana terdapat banyak tambang yang melintang tinggi dari ujung ke ujung dan banyak kain batik tersampir di atasnya. Sepertinya itu tempat penjemuran kain yang telah di warnai, Tirta melihat Canting yang tengah berdiri berjinjit-jinjit agar bisa nyampikan kain yang ia pegang di atas tali membuat mata Tirta melihat bagaimana indahnya tubuh Canting. Mata indah Canting membulat melihat Tirta yang tengah memperhatikannya, lalu merunut ke mana arah mata Tirta tertuju, gadis cantik itu semakin geram karena menyadari Tirta yang memandang perutnya yang sedikit terbuka menampakkan pusarnya karena kaus yang ia kenakan terangkat saat tangannya menyampirkan kain ke atas tambang. "Kamu? Ngapain di situ?" pekik Canting sambil menunjukkan telunjuknya pada Tirta yang berdiri beberapa meter di depannya. "Aku? Cari Pak Somad," jawab Tirta ringan, lalu melangkah hendak meninggalkan tempat itu. "Terus ngapain kamu ngintipin aku?" hardik Cantik sambil mendekat padanya. Tirta tersenyum penuh ejekan, "aku? Ngintipin kamu? Apanya yang bisa diintip?" Tirta menyisir tiap inci tubuh Canting dengan pandangan mengejek, walaupun dalam hatinya berdesir melihat tubuh Canting. Canting terdiam sambil menahan amarah mendapat perlakuan demikian, ia mengepalkan tangannya. "Dasar orang kota! Tidak tau sopan santun! Kemarin kamu mengejek namaku sekarang kamu mengejek tubuhku, dasar tukang ngintip!" pekik Canting membuat Tirta batal meneruskan langkahnya kembali memutar tubuh lalu berdiri tepat di hadapan Canting hanya berjarak beberapa senti saja. "Dengar, ya, Mbak desa yang penuh sopan santun. Apa ini yang namanya sopan jika kamu berteriak-teriak memakiku seperti itu? Dan mengenai namamu, aku minta maaf." Jantung Canting berdegup kencang ia tidak pernah berada sedekat ini dengan seorang lelaki, hingga saat Tirta berbicara ia bisa mencium harum nafasnya membuat tubuhnya menegang bahkan untuk menarik langkah mundur saja rasanya kaku. Tirta kembali melempar senyum pada Canting, senyum yang sama  penuh ejekan apalagi melihat wajah Canting yang pucat pasi kerena ulahnya membuat Tirta menggelengkan kepala. Detik kemudian dia meninggalkan Canting yang masih terpaku berusaha meredam debaran dalam d**a dan merasakan bulu kuduknya yang meremang macam baru ketemu setan saja. Ia tetap menatap punggung Tirta yang semakin menjauh saat mendengar sebuah pekikan melengking menyebut namanya. "Titi ... Titi! Kenapa ini kain belum kamu jemurin? Kamu dari tadi ngapain, heh? Males-malesan?" Canting tergopoh menghampiri sekeranjang besar kain yang harus ia jemur saat mendengar omelan Buleknya, padahal sedari pagi ia tidak berhenti bekerja bahkan perutnya yang keronrongan pun belum sempat ia isi. ***  Tirta ingin masalahnya di sini cepat selesai, ia tidak menyangka akan menemukan akar permasalahannya secepat ini, hingga rencananya tinggal beberapa hari lagi di desa ini harus ia batalkan. Ia sudah ingin kembali ke Jakarta, kembali berada dalam kemewahan dunianya, kesibukan pekerjaannya, ia juga sudah merindukan Allea.  Hingga malam ini ia putuskan untuk kembali menemui Pak Somad, membuka semua kebusukannya, Tirta tidak ingin membawa kasus ini ke jalur hukum, ia hanya ingin Pak Somad membayar semua kerugiannya juga kerugian produsen lain, itu salah satu pertimbangan Tirta kenapa ia ingin menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan, agar para produsen lain bisa mendapat haknya yang mungkin tidak akan mereka dapatkan jika Pak Somad berakhir dalam kurungan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD