Bab 3

1058 Words
"Hm ... Calon pacar? Baru denger ada status calon pacar, kalo calon pacar itu artinya dia bukan siapa-siapa kamu!" Tirta mengucapkannya sambil terkekeh. Adam menekuk muka mendengarnya, hal itu malah membuat Tirta semakin tertawa hingga membuat kerumunan wanita itu menolah pada mereka, termasuk gadis cantik itu. Adam terlihat salah tingkah, sedangkan Tirta mengatupkan tangan di d**a tanda meminta maaf telah mengganggu mereka yang barada sekitar sepuluh meter dari tempatnya berdiri, tapi yang ia lihat sungguh di luar dugaan. Saat yang lainnya mengangguk ramah padanya gadis itu malah mengacungkan tangan yang mengepal seolah mengancamnya, terang saja Tirta mengerutkan dahi lalu menggedikkan dagu menanyakan apa maksudnya. Mereka berbicara dengan bahasa isyarat, lalu gadis itu berbalik tersenyum manis sambil menangkupkan tangan di depan d**a meminta maaf pada Tirta. Melihat senyumnya yang begitu manis, seolah magnet yang menarik bibirnya untuk melengkung. Namun, setelahnya gadis itu malah kembali mengacungkan tinjunya sambil melotot, bibir tipisnya mengatup seolah menahan amarah. Menggemaskan. Tirta menjadi semakin bingung lalu menoleh pada Adam yang berdiri di bekalangnya, rupanya kepalan tangannya gadis itu tujukan pada Adam yang tengah memberikan ciuman di udara pada gadis itu. Tirta tertawa lebar, begitu, kok, bilang calon pacar jelas saja gadis itu tidak menyukainya! Ujar Tirta tentu saja di dalam hatinya, ia tidak mau secara terang-terangan menyakiti hatinya. "Ayo kita dekati," ajak Tirta pada Adam yang masih sibuk menggoda gadis itu. "Hah, dia calon pacarku, masak Mas Tirta mau dekati!" gerutu Adam, Tirta tidak menghiraukan. "Pak'lek sama Buleknya gualak lho, Mas!" ujar Adam dengan logat jawa yang medok, sama seperti semua orang di sana. "Kita dekati semua wanita yang sedang membatik itu, aku mau lihat!" tegas Tirta seraya memulai langkah, Adam mengejar sambil menggaruk tengkuknya. Tirta menghabiskan beberapa saat untuk melihat ibu-ibu menorehkan malam–lilin yang dipanaskan untuk membatik– pada kain putih yang telah di beri pola, lalu setelahnya akan dilakukan pewarnaan. Bahkan Tirta sudah mencoba membatik, memegang benda bernama canting yang digunakan sebagai alat tulis untuk menorehkan malam. Mengisi ujung canting dengan lilin cair, meniupnya agar alirannya lancar saat membatik. Ternyata membatik tidak semudah yang terlihat, tangan Tirta yang masih kaku saat membatik membuat beberapa gambar tidak sesuai ekspektasi. Akhirnya dia menyerah dan mengembalikan alat itu pada pemiliknya, sementara Adam terus menggoda gadis yang tersungut padanya itu. Sesekali Tirta melirik pada gadis itu dan tersenyum melihatnya. Matahari nyaris di pucuk kepala saat satu persatu ibu-ibu itu meninggalkan tempat kerja mereka, dan baru akan kembali usai makan siang dan sekedar beristirahat sejenak di rumah masing-masing. Hanya menyisakan seorang wanita, yang masih sibuk dengan canting di tangannya, sesekali meniup ujungnya yang biasa di sebut cucuk. Mereka bertiga menoleh ke satu arah saat memdengar suara cempreng seorang ibu yang hendak pulang dari sana. "Dam ... Adam, tulungono montorku mogok–tolong, motorku mogok–." pekik wanita itu, Adam berdecak kesal, lalu tersenyum canggung pada Tirta sebelum meninggalkannya untuk menolong wanita bertubuh gempal itu. Tirta yang berdiri sendiri, akhirnya memutuskan untuk mendekat pada gadis yang masih serius dengan pekerjaannya walau tekan kerjanya sudah beranjak pulang. Tirta berjongkok di sebelah gadis yang terlihat risih ia dekati, berbeda dengan pada gadis yang biasa ia temui di kota. Tirta memperhatikan jemari lentik yang seolah menari di atas selembar kain.  "Siapa namanya?" tanya Tirta membuka pembicaraan sambil berpura-pura sibuk mengambil gambar alat-alat membatik dengan kemeranya. "Namaku?" tanya gadis itu memastikan. "Iya, tentu saja namamu apa kau lihat ada orang lain di sini?" tukas Tirta dingin. "Canting." jawab gadis itu ringan tanpa memandang pada Tirta, pandangannya fokus pada motif bunga yang sedang ia buat. "Aku tanya namamu. Bukan nama benda yang kau pegang!" ucap Tirta sedikit kesal karena merasa di abaikan, belum pernah ada wanita yang berani mengabaikannya selama ini. "Iya, namaku Canting!" jawab gadis itu tidak kalah kesalnya. "Hah? Apa tidak ada nama lain di dunia ini!?" Tirta menautkan kedua alis tebalnya merasa aneh mendengar nama gadis itu, bahkan dia nyaris tertawa setelahnya. "Cukup! Apa kamu pikir karena kamu orang kota! Kamu orang kaya, lantas bisa seenaknya saja kamu mengejek dan merendahkan orang lain? Namaku adalah hal paling berharga dalam hidupku, karena namaku adalah pemberian penuh cinta dari kedua orang tuaku! Jangan sembarangan kamu menertawakannya!" bentak gadis itu sebelum meninggalkan Tirta yang masiu terbengong-bengong di tempatnya. Ia tidak mengira gadis manis itu akan bersikap seemosi ini, tapi ... apa dayanya yang tidak bisa menahan ekspresi saat mendengar nama unik gadis itu. Adam yang berpapasan dengan gadis itu di jalan, bertanya penuh kebingungan pada Tirta yang sudah bangun dari jongkoknya. "Mas, Mbak Titi kenapa?" tanya Adam pada Tirta. "Titi?" tanya Tirta memastikan yang ditanya adalah gadis manis itu. "Iya, calon pacarku." Tirta menghela nafas untuk meredam keinginan tertawanya mendengar Adam menyebutnya calon pacar lagi. "Dia bilang namanya Canting." Entah itu pertanyaan atau pernyataan tapi Adam menjawabnya dengan sebuah cerita. "Namanya memang Canting, tapi biasa dipanggil Titi sejak kecil," Tirta mencibirkan bibirnya mendengar cerita Adam, tidak ingin tahu lebih banyak tentang gadis galak itu walau Tirta akui senyumnya cukup mencuri perhatiaannya. "Ayo kita pulang, aku sudah lapar," ajak Tirta, Adam menuruti tanpa banyak bicara. Kembali menyusuri jalan setapak yang mereka lalui tadi pagi, hanya bedanya sekarang lebih panas dengan matahari yang bersinar tepat di atas kepala. *** "Mas, menurut Mas Tirta aku cocok enggak sama Mbak Titi?" tanya Adam di tengah perjalanan pulang. "Hah?" Banyu tidak tahu harus menjawab apa. "Cocok kalau dia mau sama kamu," jawab Tirta dingin. "Aku yakin suatu saat dia akan bisa melihat betapa tulusnya cintaku padanya," ujar Adam dengan gayanya yang sok puitis. "Emang kamu berani, bukannya tadi kamu yang bilang kalau orang tuanya galak?" ledek Tirta walau tetap dengan gayanya yang dingin. "Bukan orang tuanya, tapi Bulek dan Pak'leknya. Kalau orang tuanya sudah lama meninggal, sejak Mbak Titi masih kecil. Aku juga masih kecil waktu itu," terang Adam panjang lebar. Tirta bergeming mendengarnya, pantas saja gadis itu begitu marah padanya mungkin karena orang tuanya yang sudah meninggal. Tapi Tirta tidak mau memikirkannya, walaupun ia tetap berencana meminta maaf jika bertemu dengannya lagi nanti. *** Di atas padang rumput yang luas Tirta melihat seorang wanita dan anak kecil berlarian, dengan tawa ceria cerminan hati yang bergembira. Terasa kesejukan dalam hati terdalam yang selama ini gersang melihat senyum bahagia terukir di wajah gadis kecil itu, ketika berada dalam pelukan sang wanita. Tiba-tiba kesadaran Tirta kembali, bangun dari mimpi indahnya di tengah malam, pandangannya menerawang memandang langit-langit kamarnya menelaah kembali mimpi yang terasa begitu nyata. Tirta duduk di tepi ranjang sambil meraup kasar wajahnya. "Canting? Kenapa Allea begitu bahagia dalam pelukannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD