Reya Daily

1081 Words
**Reya POV** . . . Tak ada yang spesial dari keseharian ku. Pagi hari setelah sholat subuh, lalu mulai berkutat dengan kegiatan rumah, kemudian bersiap untuk bekerja. Mengajar sejak pukul setengah delapan. Kemudian kelas selesai setelah pukul sebelas. Aku kembali ke rumah dan menyiapkan pesanan yang telah selesai dan akan dikirim. Keseharian yang terdengar membosankan. Namun sebenarnya tidak, dalam mengajar setiap harinya akan selalu ada yang baru. Tingkah, polah, oceh yang dilakukan para murid selalu saja berbeda. Setiap pergantian tahun ajaran akan selalu berganti pula cara mengajar. Tiap anak harus diperlakukan dengan baik, dan dengan cara yang berbeda-beda. Menyenangkan, meski ada kalanya aku lelah dan mudah merasa kesal. Sampai di sekolah, anak-anak tengah sibuk bermain di halaman. Riuh tawa mereka dan menceritakan tentang banyak hal. Aku melihat dari jendela, Indah kini sibuk di mejanya mengerjakan laporan harian yang harus ia tulis di buku besar. Permintaan dinas, untuk laporan harian dikerjakan dengan tulisan tangan. Sebenarnya merepotkan, aku juga merasa seperti itu. Dan kami berdua hanya mengikuti instruksi saja. "Bu! Arkan nih Bu!" Teriak Aura salah satu anak muridku gadis berusia empat tahun. Tubuhnya bongsor, memiliki tatapan yang indah dan bulu mata yang lentik. Aku berjalan mendekat lalu bertanya, "kenapa?" Kusejajaran tubuh dengan si cantik di hadapanku. "Permen saya dibuang." Ia merengek seraya menunjuk permen loli yang tergeletak di jalan. "Saya nggak sengaja Bu." Arkan mengelak, padahal jelas tadi dia sengaja melakukannya. "Kalau Arkan permennya dibuang sama Aura mau nggak?" Anak itu menggeleng. "Nggak Bu." "Jangan gitu ya, Aura juga nggak mau permennya dibuang sama Arkan. Ayo minta maaf." Arkan mengulurkan tangan, Aura menatapku aku mengangguk meyakinkannya untuk memaafkan. "Maafin teman nanti disayang Tuhan," jelasku. Aura menjabat, meski masih terlihat enggan. "Maafin Arkan ya Aura." Gadis kecil itu hanya mengangguk. Seperti ini hari aku lalui, dengan konflik ringan yang menggemaskan. Hingga waktu tiga jam berlalu begitu saja. Siang hari ini Jakarta cukup panas. Padahal, seharusnya ini sudah memasuki musim hujan. Tapi, hujan tak juga turun. Jam mengajar ku telah selesai dan saat ini kakiku melangkah dengan cepat untuk kembali pulang. Kebiasaanku memang, berjalan dengan tempo cepat. Sampai di rumah, Mama sudah duduk santai sambil asik menonton televisi. Aku menghampiri, lalu duduk di sampingnya dan mencium tangan Mama. "Makan sana, Mama udah masak tuh." Aku hanya mengangguk, melepas hijab yang kukenakan dan merebahkan diri di lantai beralaskan karpet. Ya, ruang utama kami tak ada sofa. Hanya sebuah karpet yang akan di gulung jika malam. "Kamu tau nggak mbak si Hanum?" tanya Mama tiba-tiba. Mendakak menjadi antusias, menatapku dengan semangat menggebu, siap untuk bergibah. "Anaknya bude yang punya warung pecel?" tanyaku, yang sebenarnya tak terlalu ingat siapa yang dimaksud mama. Mama mengangguk, "kemarin dia di gerebek sama orang-orang katanya, pacaran sampai malam." "Di rumahnya?" tanyaku penasaran. "Iya." "Lah emang nggak ada orang tuanya?" "Nggak tau, Mama cuma denger gitu. Lagian kenapa ya, kita ketinggalan berita terus?" keluh mama, selama ini memang keluarga kami sering sekali ketinggalan gosip terbaru di kampung. "Malah bagus Ma, jauh dari gibah." Aku menatap mama masih penasaran dengan gosip barusan. "Tapi, si Hanum kayanya anaknya baik Ma. Kalau lewat juga sopan banget." Sekilas aku ingat bagaimana beberapa kali, kami bertegur sapa. Ia terlihat kalem dan sopan. Ya sudahlah, masalah itu adalah pilihan pribadinya. Aku tak ingin menghakimi. Karena, tak tau apa yang terjadi. "Namanya orang Mbak... Nggak ada yang tau gimana-gimananya." Aku mengangguk, ternyata mama sepaham denganku. Aku lalu merapikan tasku, sungguh aku ingin rebah. "Aku ke kamar dulu ya Ma." "Jangan lupa makan." Mama mengingatkan. Aku mengangguk dan berjalan dengan malas ke kamar. Mengganti pakaian dan merebahkan tubuh. Biasanya, Yunki akan menghubungi setelah aku memberitahunya, kalau aku sudah ada di rumah. ________ You: Chagiya*, aku sudah pulang. (panggilan sayang saat berpacaran) ______ Aku menatap ponsel berharap jika Yunki dengan cepat membalas pesan. Sejujurnya, aku ingin sekali melihat wajah Yunki. Ia bilang dirinya tak tampan. Dan tak percaya diri jika harus mengirimkan foto dirinya padaku. Aku sendiri tak cantik, sementara aku tau gadis Korea punya wajah yang cantik dan aku sama sekali tak ada apa-apanya. Harusnya aku yang tak percaya diri. Namun, aku malah sering sekali mengirimkan foto. Ponselku berdering panggilan dari Yunki. Dengan cepat aku menerima, akibat rindu yang mendera. "Yeoboseyo," Sapaku bersemangat. (halo) "Yeoboseyo, chagi." Aku mendengar napasnya yang terengah. Mungkin ia baru saja selesai latihan. (halo sayang) "Kau kelelahan?" "Hmm, aku baru saja selesai latihan." Sejujurnya, aku selalu merasa iba jika mendengarnya kelelahan. "kau sudah makan? Minum cukup air putih? Apa lelah sekali?" Aku mendengarnya terkekeh, "apa kau khawatir?" "Tidak...," elakku. "Aku tau, kau khawatir hmm?" Ia terdengar seperti meledekku. Dan ini menyebalkan. "Tidak, aku hanya bertanya." "Aah, aku lelah sekali... Tubuhku terasa remuk." Yunki merengek, menggemaskan namun membuat aku khawatir berlebihan. "Yunki, kau baik-baik saja?" Sungguh jika berada dekat dengannya, aku akan berlari padanya dan melakukan apapun sebisaku. "Aku baik-baik saka, cium aku." "Hmm?" "Cium aku," Pintanya lagi. "Mmuuaahhh." Kecupan pada ponsel yang bahkan membuatku malu sekali. Jika ada yang melihat ini, mungkin akan berpikir jika gila. Namun, entah mengapa dengan seperti ini saja aku merasa bahagia. "Mmuuaahhh, aku mencintaimu." "Aku juga mencintaimu," sahutku. "Kau sudah makan?" "Belum, di sini belum waktunya makan siang." "Makan jika lapar. Tak perlu menunggu waktu makan siang." "Baik," jawabku. "Reya...." "Hmmm?" Aku hanya mendengar ia terkekeh kecil. "aku ingin bertemu—denganmu." "Aku juga. Akan kumpul uang dan—" "Aku akan ke Indonesia beberapa bulan lagi." "Hmm? apa kau punya uang? Aku tak tau bagaimana rasanya menjadi trainee. Tapi, aku tau itu berat. Bukankah kau harus menyimpan uang untuk kebutuhan sehari-hari?" Sungguh, aku tak ingin memberatkannya. Ia seorang trainee. Tak punya cukup banyak uang saat ini. "Tenanglah, aku sudah menabung untuk itu, hmm?" "Tak masalah, jika lebih lama lagi." "Kau tak ingin bertemu?" "Ingin...." Bagaimana bisa aku tak ingin bertemu? Satu tahun ini aku penasaran. Dan empat bulan aku semakin penasaran. "Bisa kau percaya padaku?" "Aku percaya padamu." "Baguslah," ucapnya lega. Setelah itu kami larut dalam obrolan ringan yang hangat. Hal sederhana yang membuatku jatuh cinta. Ia banyak menceritakan tempat-tempat indah di Korea. Sementara aku hanya bisa menceritakan sedikit, karena jarang sekali keluar rumah. Meski singkat dan sederhana ia selalu tertarik dan antusias. Itu yang membuatku merasa ia begitu menghargai ku. Aku bisa mendengar suara musik kembali diputar, suasana kembali riuh. Mereka menyapa Yunki. Aku senang mendengar ia berinteraksi. "Aku harus kembali." Ia berbisik. Aku mengerti, mungkin agensi tempat ia bernaung tak mengijinkan seorang trainee menjalin hubungan sebelum debut. "Hmm, bye." Setelah menghubungi Yunki aku putuskan beristirahat sejenak melepas lelah dan penat setelah melakukan kegiatan seharian. ***Reya POV end*** ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD