"Davi, cuma bisa ngomong doang! Pas ditantang malah kalah!" heboh May sembari merapikan tatanan rambut Ray.
"Iya tuh anak, nggak bosan-bosan kalah dari lo," tambah Kay membernarkan. "Ngantin yuk?" ajak Kay namun Ray malah menghentikan langkahnya.
"Gue ke tempat biasa deh, capek banget." Ray langsung pergi yang hanya mendapat anggukan dari dua temannya.
Gadis itu melangkah santai menuju lorong sepi hingga ia tiba di taman belakang sekolah. Ia berdiam sejenak menatap punggung seorang siswa yang nampak tengah membaca sesuatu, tanpa mempermasalahkan hal itu, Ray duduk disampingnya sambil menghirup udara segar.
Alif menoleh, ia terkejut begitu pun sebaliknya.
"Ngapain kamu!?" tanya Alif menutup bukunya.
Ray nampak bingung. "Ngapain? Ya nyantai, cuman disini tempat yang aman dari fans fanatik teman-teman gue," kekeh Ray mengalihkan pandangannya.
"Bukannya mereka ngeidolain kamu?" tanya Alif lagi sedikit menjauhkan duduknya.
Ray terdiam lalu menggeleng. "Gue capek," ucap Ray menyenderkan kepalanya pada sandaran kursi dengan mata terpejam merasakan cahaya mentari menyentuh kulitnya.
Mata gadis itu kembali terbuka saat tangannya merasakan benda yang dingin. Ternyata Alif menyodorkan kaleng minuman yang baru dibelinya.
"Buat gue!?" tanya Ray bersemangat. Alif mengangguk dengan gelagap dan kembali menjauhkan sedikit posisi duduknya.
Ray meminum minuman yang diberikan Alif kemudian membuangnya tepat masuk kedalam tempat sampah. Alif kembali membuka bukunya hingga membuat Ray menatapnya.
"Lo baca apa?" tanya Ray kembali memulai pembicaraan.
"Materi, dari sekolah..." jawab Alif gugup tak berani menatap Ray yang juga ikut melihat buku yang dibacanya.
"Rumus ini terlalu sulit buat elo, kalau mau, gue bisa bantu cari buku di perpustakaan, gimana?" tawar Ray menaik turunkan alisnya dengan senyum manis.
Alif bangkit dari duduknya dengan segera. "Makasih! Saya, pergi dulu!" pamit Alif berlari meninggalkan Ray yang hanya bisa membuang napas gusar.
Ray bergegas menyusul kepergian pemuda itu hingga ia mendapati Alif yang memasuki perpustakaan, mungkin pemuda itu ingin mengikuti saran darinya.
Ray tersenyum, lalu masuk keperpustakaan hingga membuat penjaga perpustakaan terkejut, karena sangat jarang Ray mendatangi perpustakaan.
"Ini," unjuk Ray menyerahkan sebuah buku pada Alif.
Alif langsung menerimanya lalu membenarkan kacamatanya.
"Makasih!" ucap Alif bersegera pergi namun Ray menahannya.
"Elo kenapa sih? Risih ya sama gue?" tanya Ray to the point.
Tentu saja Alif tidak merasakan hal tersebut, ia hanya terlalu gugup untuk bersama Ray, ditambah beberapa orang nampak mulai tak menyukai kehadiran dirinya.
"Anu..."
"Udah, nggak usah dipikirin. Gue cabut dulu," potong Ray lalu pergi meninggalkan Alif yang memandangi punggungnya.
"Makasih..." pelan Alif dengan senyum kecil.
"Buset! Nggak salah liat, elo keluar dari perpustakaan!?" tanya Faris yang kebetulan mendapati Ray melangkah keluar perpustakaan.
"Paling cuma tidur, enak lho ngadem di perpus!" timbrung salah satu teman Faris yang kenal baik dengan Ray.
"Rese lo pada," gerutu Ray kesal.
Faris tertawa lalu merangkul bahu adiknya dan membawanya melangkah diiringi teman-temannya. Tentu saja hal itu membuat iri para gadis sedangkan Alif yang menatap dari kejauhan sontak terdiam larut dalam pikirannya.
Alif memilih kembali kekelas dan mendapati kursi disebelahnya masih kosong. Dua teman Ray, yang belum ia ketahui namanya nampak asik bermain game.
Brak!
"Anjir kaget!" umpat May saat Davi menggebrak meja, lebih tepatnya meja milik Alif.
"Awas lo!" ancam Davi membuat Alif memalingkan wajah enggan menatap pemuda itu.
"Cupu!"
"Cupu!!!"
"Cupu!!"
Lemparan kertas mulai mengenai tubuh Alif, tidak seperti Ray yang membela seseorang jika mendapatkan bully, Kay dan May memilih diam dan hanya asik dengan ponsel masing-masing.
Ray yang baru memasuki kelas sontak terkejut, ia memukul papan tulis dengan keras hingga membuat semua orang menatapnya.
"Davi! Davi yang mulai!" tunjuk beberapa orang.
"Lo lagi, lo lagi!" bentak Ray menghampiri Davi. "Gue bilang apa!? Kalau gue yang menang duel, elo jangan ganggu dia!" tunjuk Ray pada Alif.
"Emang dia siapa sih!? Paling cuma murid culun yang keterima di sekolah karena beasiswa," ejek Davi dengan senyum sinis menatap Alif.
"Lo!" tunjuk Ray kesal.
Alif bangkit meminta Ray untuk jangan membelanya karena hal itu hanya akan memancing keributan dikelas.
"Enggak! Gue paling nggak suka sama seseorang yang mandang orang lain dari segi kasta, atau apalah itu!" ucap Ray tegas.
Kay dan May ikut berdiri menatap Davi dengan tatapan jengah.
"Nyerah aja deh lo," ucap Kay pada Davi.
"Diterima disekolah hasil nyogok aja bangga," cibir May pelan membuat tangan Davi terkepal.
"Apa!?" tantang Ray menarik kerah baju Davi.
"Oke! Gue tantang lo balapan! Malam ini!" tunjuk Davi merasa harga dirinya sudah direndahkan.
"Mau tambah malu, lo?" tanya May dengan senyum remeh.
Kelas menjadi heboh, beberapa dari mereka langsung mengiyakan tantangan Davi, bahkan ada yang melakukan taruhan siapa pemenangnya.
"Perjanjiannya, kalau gue yang menang. Si cupu harus jadi babu gue selama satu bulan! Dan elo harus mau jadi pacar gue!" ucap Davi membuat Alif terkejut mengetahui taruhan tersebut.
"Kalau gue yang menang," ucap Ray menatap Kay dan May bergantian. "Lo harus angkat kaki dari sekolah," ucap Ray dengan senyuman yang sulit diartikan.
"Enggak bisa gitu dong!" elak Davi kesal.
"Wah, takut ya?" tanya Rio pada Davi.
"Enggak!" tukas Davi menatap Rio yang nampak meremehkannya juga.
"Oke! Gue terima tantangan lo! Malam ini, di sirkuit!" ucap Davi kembali duduk dikursinya dengan tatapan tajam tertuju pada Alif.
"Asik!" girang May yang seolah sudah tahu akhir dari pertandingan nanti malam.
"Tenang aja, lo aman." Ray duduk menatap Alif yang nampak khawatir dengan pertandingan tersebut.
"Kalau kamu kenapa-napa gimana?!" tanya Alif spontan membuat Kay menoleh pada pemuda itu.
"Lo ngeremehin teman gue?" tanya Kay, tentu saja Alif menggeleng. Bukan itu yang ia maksud.
"Alif," panggil May ikut menoleh. "Lo nggak perlu takut, Ray itu juaranya dalam segala hal, kecuali nilai sih," cibir May membuat Ray tertawa begitu pun Kay.
"Makasih..." pelan Alif menundukkan wajahnya.
"Gue udah nggak bisa ngitung berapa kali elo ngucap makasih hari ini, santai aja!" ucap Ray membuat Alif tersenyum tipis.
Davi nampak masih meragu, apakah nanti malam ia akan memang melawan Ray, jika ia kalah. Hancur sudah harga dirinya, ditambah jika ia keluar dari sekolah, sangat sulit mencari sekolah lain yang mau menerima dirinya.
"Gila sih, Ray berani naruhin dirinya buat ngelawan Davi," bisik beberapa gadis.
"Kalau gue sih, udah dari dulu mau jadi cewek Davi, dia kan anak orang kaya," tambah yang lain.
"Benar juga, daripada si culun yang baru masuk cuma bikin kegaduhan," timbrung yang lain.
Alif menatap Ray dari samping, gadis itu tersenyum menatap jendela yang terbuka. Hanya dengan hal itu, Alif merasa tenang dan yakin kalau Ray akan memenangkan pertandingan.