1

1342 Words
"Dasar gadis brandalan! mau jadi apa kamu saat sudah besar nanti?! pokoknya saya tidak mau tau! besok kamu harus bawa ibu kamu kesini!" bentak seorang guru kepada seorang murid di sebuah ruangan yang di depan pintunya bertuliskan ruang BK. "Bapak kenapa harus ketemu sama ibu saya? dia kan sama sekali ngga ada hubungannya sama hal ini. Yang bikin masalah itu saya pak, bukan ibu saya! dan saya juga merasa sangat keberatan saat ini atas tingkah bapak!" jawab siswa yang sedang dibentak itu dengan berani dan lantang. "Apa maksud kamu?! berani-beraninya kamu memprotes! kamu sama sekali tidak punya hak untuk itu!" "Negara kita negara demokratis pak! semua orang berhak untuk buka suara apalagi disaat dia sedang ngedapetin sebuah ketidakadilan kayak gini!" "Ketidakadilan?! apa maksud kamu?!" "Bukannya udah jelas ya pak?! harusnya kan disini itu bukan cuman hanya ada saya dan bapak! melainkan mereka yang tadi ikut berkelahi bersama saya juga! mereka yang mulai duluan pak! tapi kenapa hanya saya yang di panggil kesini?! kenapa hanya saya yang ngedapet omelan?! kenapa mereka ngga?! kami sama-sama ngelakuin kesalahan yang sama! kami brantem di sekolahan! dan ini bukan kasus pembully-an dimana ada pelaku dan korban! ini kasus perkelahian antar siswa pak! dan mereka yang mulai duluan! bukan saya! jadi ngga adil rasanya kalo hanya saya yang di paksa datang kesini dan mendapat hukuman!" tegasnya. "Ini bukan sekedar perkelahian dan mereka adalah korban! kamu dengan brutal menghajar mereka semua di dalam kelas dan di saksikan oleh banyak orang! mereka terluka sedangkan kamu baik-baik saja! mereka bukan lawan kamu! jadi tidak seharusnya kamu melawan mereka! bapak tau kamu kuat! tapi tolong jangan gunakan kekuatan kamu itu di sekolahan karna itu sama sekali tidak bermoral!" Gadis itu terdiam mendengarnya, ekspresi jutek yang sejak tadi dia tunjukkan kini berubah, dan sepersekian detik kemudian diapun tertawa terbahak-bahak, seolah apa yang di katakan oleh gurunya itu adalah sebuah lelucon yang sangat lucu. Tidak ada sedikitpun perasan takut di wajah dan matanya saat ini. "Kenapa kamu tertawa?!" Dia memegang perutnya, seraya mencoba menghentikan tawanya yang menggelegar, "Maap pak, saya ngga bisa menahan tawa saya karna bapak bener-bener keliatan lucu di mata saya saat ini," jawabnya. "Kamu benar-benar murid yang kurang ajar!" "Apa bapak sudah selesai? saya mulai bosan disini," jawab gadis itu dengan acuh tak acuh. Padahal guru yang sedang ada di hadapannya ini adalah guru ter-killer di sekolahan mereka, tapi dia sama sekali tidak perduli itu. Baginya guru yang tidak bisa menunjukkan kalau dia adalah seorang guru sejati, mau segalak apapun atau sehebat apapun dia, mereka semua tidak akan ada wibawanya sama sekali di hadapan gadis itu, dan dia tidak akan pernah mau menghormatinya. "Nadia!" bentak guru itu menyebut namanya. "Kenapa pak?! bapak keberatan?! kalo iya, saya ngga perduli! karna bapak aja ngga mendengarkan perasaan keberatan saya! jadi bapak sama sekali ngga berhak untuk menuntut agar saya mau mendengarkan perasaan keberatan bapak! jangan egois pak! bapak itu seorang guru! dan guru itu adalah sebuah panutan bagi para muridnya! dan saat ini, bapak sama sekali ngga ada wibawanya di mata saya! saya akui saya salah pak! tapi mereka juga salah dan seperti yang saya bilang tadi! harusnya mereka juga ada disini karna kami lakuin kesalahan itu bareng-bareng! dan soal mereka yang babak belur sedangkan saya ngga, itu sama sekali bukan urusan saya! itu masalah mereka karna mereka itu lemah! pecundang sama sekali ngga berhak nyalahin si pemenang atas kekalahan yang dia dapat pak! Ahh, dan kata siapa saya ngga punya luka?! saya punya pak, dan itu lebih besar dari punya mereka!" balas Nadia membentak, dia memang benar-benar murid yang sangat kurang ajar. "Dimana?! saya sama sekali tidak melihat luka itu!" Nadia menunjuk ke arah hatinya berada, "di sini pak! luka dari kata-kata yang mereka ucapkan terasa sangat menyakitkan di hati saya." "Jadi kamu menghajar mereka hanya karna perkataan mereka menyakiti kamu?! kekanak-kanakan sekali kamu ini!" "Kekanak-kanakan?!" raut wajah Nadia berubah kembali, kali ini ekspresi yang dia tunjukkan terlihat dingin. "Bapak sangat menjijikan! pasti sejak kecil bapak sangat kurang perhatian dari kedua orang tua bapak dan mereka ngga terlalu memperhatikan bapak sehingga bapak berakhir jadi manusia yang seperti ini! oh atau kalo ngga, mama dan papa bapak itu adalah sampah masyarakat sehingga karna mereka bersama, lahirlah bapak, sang sampah masyarakat tulen!" "NADIA! JAGA BICARA KAMU! KAMU SUDAH BENAR-BENAR KELEWATAN! SAYA JAMIN KAMU AKAN DI KELUARKAN DARI SEKOLAH INI DAN BAPAK JUGA JAMIN KALAU TIDAK AKAN ADA SATU SEKOLAH PUN YANG AKAN MAU MENERIMA KAMU!" guru tersebut mengepalkan tangannya kuat-kuat agar tidak kelepasan untuk menampar anak itu. Perkataan Nadia sangat sukses menyulut emosinya. "Kenapa pak? kok marah? bapak kan udah dewasa, lebih dewasa dari saya, jadi ngga seharusnya bapak bersikap kekanak-kanakan kayak gini. Saya cuman asal berkomentar, sama seperti yang mereka lakukan kepada saya," Nadia dengan emosi terpendam yang terlihat jelas di wajahnya mengulang kembali perkataan gurunya yang tadi. Beliau terdiam, dengan sukses Nadia meng skakmatnya. "Gimana perasaan bapak saat dikatai seperti itu?! bapak marah kan? lalu bagaimana dengan saya?! mereka menghina saya dan ibu saya, mereka asal menilai saya dan berkata seenaknya padahal mereka ngga tau apa-apa soal saya, sama seperti yang saya lakukan tadi ke bapak! saya sama sekali ngga punya mental korban pak, dimana yang kalo ada yang merendahkan saya, saya cuman bisa diam dan menangis serta memendam! saya sama sekali ngga bisa lakuin itu pak! jiwa saya bebas, dan ngga ada satu orang pun yang berhak untuk ngejadiin saya sebagai korban bully mereka hanya karna status sosial saya lebih rendah dan karna saya tidak punya seorang ayah! terserah bapak mau lakukan pemanggilan orang tua atau saya di keluarkan dari sekolah ini. Saya sama sekali ngga perduli! hukuman yang bapak kasih ngga adil, jadi saya ngga bisa terima itu. Mereka yang mulai, mereka duluan yang mukul, dan mereka yang cari gara-gara. Hanya karna luka fisik yang mereka terima lebih banyak dari saya, bukan berarti mereka adalah korbannya!" dia bangkit dari duduknya, berniat pergi dari ruangan itu karna hanya dengan menceritakan apa yang sedang terjadi saja sudah membuat dadanya menjadi sesak. Nadia memang tidak bisa bersikap biasa saja jika membahas tentang dirinya yang selalu menjadi korban bully hanya karna dia terlahir tanpa seorang ayah dan hidup dalam keluarga yang miskin. "Saya tau, pasti bapak juga tau kalo mereka lah yang salah. Tapi karna semua lawan saya adalah anak dari para donatur sekolahan jadinya bapak ngga berani untuk menghukum mereka karna menghukum mereka sama saja dengan membunuh karir bapak sendiri di sekolahan ini. Saya sama sekali ngga nyalahin bapak.  Dan maap kalo tadi saya terbawa emosi, silahkan keluarkan saya dari sekolahan, itu adalah solusi satu-satunya untuk kebaikan bapak," ujar Nadia sebelum pergi dari ruangan itu, meninggalkan sang guru yang terdiam membeku. Kenalkan, namanya adalah Nadia Amors Sola, gadis remaja kelas 3 SMA. Beberapa bulan lagi, masa putih abu-abu nya berakhir dan masa sekolahnya sama sekali tidak berjalan dengan mulus seperti para siswa lainnya. Seorang gadis bertinggi badan 165 cm dengan badan proposional. Berkulit putih dan bermata coklat dengan rambut yang berwarna senada. Dia adalah gadis yang cantik dengan gaya tomboy nya. Nadia hanya memakai rok saat di sekolahan saja, bahkan kadang, dia juga suka memakai celana siswa laki-laki yang sengaja dia beli saat kelas 2. Sedangkan di luar sekolah dia terlihat seperti anak laki-laki. Memakai celana jeans, baju kaos dan kemeja kotak-kotak. Dia mempunyai rambut yang panjang, dan di luar sekolahan, dia selalu menutupi rambut itu dengan topi. Berdandan seperti itu terasa lebih nyaman untuknya daripada harus memakai pakaian wanita yang terlihat ribet. Hidupnya terasa sama sekali tidak indah, tapi sesekali dia tetap mensyukuri nya. Lahir di keluarga yang pas-pasan, dan sejak kecil menerima hinaan dari orang-orang karna dia tidak punya ayah saat di lahirkan. Yups, Nadia adalah seorang anak haram. Itulah yang banyak orang katakan tentangnya. Tapi, apa itu salahnya? dia juga tidak menginginkannya, lalu kenapa semua orang seolah menganggap jijik kepada dirinya? Nadia benci itu, dan perasaan itulah yang menguat kan dirinya. Tidak ada yang mau berteman dengannya selama ini, dan untuk menghadapi para manusia yang mencoba membully-nya, dia belajar ilmu bela diri sejak umur 3 tahun. Dan inilah dia sekarang, sang gadis brandalan yang tidak punya sedikitpun rasa ketakutan dalam dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD