2

1664 Words
"NADIAAAAAA..!!!!!" teriak seseorang memanggil namanya saat dia sudah keluar dari ruang BK. "Ish! apaan sih lo?! bisa budeg tau ngga kuping gue lama-lama!" omel Nadia sambil memegangi kedua kupingnya. Si pelaku hanya tersenyum bodoh menatapnya, perasaan bersalah sama sekali tidak tercetak di wajah orang itu. "Jadi gimana? lo di kasih hukuman apa?" tanyanya yang sama sekali tidak menanggapi dengan serius omelan Nadia. "Bukan urusan lo," dingin Nadia seraya pergi melanjutkan langkahnya. "Jelas ini jadi urusan gue, soalnya kan kita itu temen," jawab orang tersebut yang sukses membuat langkah Nadia jadi terhenti. Kata 'teman' selalu sukses membuat dirinya kehilangan kata-kata untuk sesaat. "Temen? buang jauh-jauh opini lo itu, gue sama sekali ngga mau temenan sama lo, dan asal lo tau aja, temenan sama gue itu sama aja nyari mati karna gue punya banyak musuh dimana-mana. Dan gue ngga mau repot-repot buat nolongin cewek lemah kayak lo!" cecarnya dengan pedas. Gadis itu terlihat murung saat mendengarnya, entah ini sudah jadi yang keberapa kalinya dia mendengar komentar pedas Nadia di setiap kali dia mengatakan kalau mereka berdua itu berteman. Tapi, dia sama sekali tidak pernah mau menyerah akan hal tersebut seolah menjadi teman Nadia dan di akui olehnya adalah tujuan utama gadis itu dalam hidupnya. "Terus gue harus kayak gimana biar lo mau temenan sama gue?" "Lo ngga harus ngapa-ngapain, cukup jauhin gue dan cari temen lain," jawab Nadia yang kembali melanjutkan langkahnya. "Tapi kan gue itu maunya temenan sama lo bukan sama yang lain!" "Dasar b**o! temenan sama gue itu ngga ada untungnya, cuman bikin rugi! jadi cari temen normal sana! yang sikapnya baik, dan jelas asal-usulnya," deliknya. Gadis itu menghentikan langkahnya, tangannya terkepal menahan emosi, dan matanya mulai terlihat berkaca-kaca, "berapa kali gue harus bilang kalo gue itu maunya temenan sama lo! bukan sama yang lain! semenjijikan itu kah gue sampe-sampe lo ngga pernah mau ngizinin gue buat jadi temen lo?!" dia menunduk, dan sekarang mereka berdua sukses menjadi pusat perhatian di koridor ini. Nadia tidak perduli itu, dengan wajah dingin dia terus melanjutkan langkahnya tanpa mau repot-repot memberi jawaban. Pecah sudah tangis gadis itu setelah kepergian Nadia, orang yang sangat di kaguminya sejak awal mereka bertemu. Kenalkan namanya Aurelia Princessa, seorang gadis remaja kelas 3 SMA, dan sejak tahun lalu dia selalu satu kelas dengan Nadia. Sifatnya sangat berbanding terbalik dengan Nadia. Dia itu cengeng, dan lemah. Hanya ada satu persamaan di antara mereka, yaitu kekeraskepalaan. Nadia selalu menolak untuk berteman dengan Aurel karna memang pada dasarnya Nadia tidak pernah mau menciptakan sebuah hubungan dengan siapapun sebab dia merasa kalau hal itu hanya akan menyakiti dirinya di suatu hari nanti. Dan alasan lain yang dia punya adalah dia tidak mau kalau sampai Aurel yang lemah lembut dan baik hati itu di lukai orang lain karna berteman dengannya. "Lo ngapain sih Rel, ngebet banget keliatannya buat bisa temenan sama si anak haram itu?" komentar salah satu teman Aurel yang sengaja datang menghampirinya. "Berulang kali gue bilang sama lo Ca, kalo dia itu punya nama! namanya itu Nadia Amors Sola! panggil dia dengan nama Nadia, atau Amors, atau Sola! bukan anak haram! karna di namanya sama sekali ngga ada kata itu!" bentak Aurel tidak terima, sejak dulu dia memang selalu marah jika seseorang mengejek Nadia. "Y-ya maaf, lagian lo itu berlebihan banget tau ngga sama dia. Kita itu mau Rel temenan sama lo, jadi lo ngga harus ngemis-ngemis lagi kayak gitu ke dia. Dia sama sekali ngga pantes buat dapetin itu, lagian apa coba kurangnya kita sebagai temen lo sampe-sampe lo lebih milih buat ngemis-ngemis pertemanan ke dia?" temannya langsung meminta maaf. "Karna gue pengen jadi kayak dia," tegas Aurel dengan nada serius dan mengusap air matanya yang sudah berhenti saat dia emosi tadi. "Maksudnya?" orang itu mengernyitkan keningnya bingung. "Gue bener-bener ngagumin Nadia Ca, dia itu keren di mata gue." "Keren? mata lo buta yah? dia keren dari mana coba? dan nih yah, gue mungkin bisa maklum kalo lo bilang dia keren kalo semisal dia itu seorang cowok. Lah ini, Nadia itu cewek Rel! lo masih normal kan? otak lo ngga lagi bermasalah kan? udah setahun loh ini lo ngejar-ngejar dia, dan hasilnya belum keliatan juga." "Kalo setahun belum cukup, maka itu artinya di tahun ini gue harus berjuang lebih keras lagi agar Nadia mau nerima gue jadi temennya," Aurel terlihat optimis. Temannya itu menghela nafas jengah mendengarnya, " Rel sadar! Nadia itu ngga mau temenan sama lo dan dia selalu memperjelas hal itu! kenapa sih lo belum sadar-sadar dan nyerah juga?! lo itu lebih parah daripada anak cewek yang ngejar-ngejar cowok idaman mereka tau ngga!" omelnya lagi. Kini gantian Aurel yang menghela nafasnya, "Gue itu masih normal Ca, gue cuman ngerasa kagum doang sama dia, ngga lebih. Dan gue masih suka sama cowok jadi catet itu baik-baik." "Apa sih rel yang ngebuat lo kagum sama dia?" "Karna dia hebat." "Hebat? hebat gimana?" "Dia itu bebas, dan dia itu kuat. Keluarga gue selalu nerapin prinsip kalau wanita harus lemah lembut dan tau tata krama serta sopan santun, gue udah pelajarin hal itu selama bertahun-tahun. Mereka selalu bilang ke gue kalo kodratnya seorang wanita adalah menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami serta anak-anak nya di masa depan. Alias hidup gue udah terjadwal sejak lahir sampe gue nikah nanti. Gue ngerasa kekurung tapi ngga bisa teriak ataupun ngelepasin diri dari sangkar. Gue ngga bisa ngelawan kemauan orang tua gue dan alhasil gue jadi menderita sendiri karnanya," Aurel memulai ceritanya, di depan Oca, teman terdekatnya saat ini. "Terus hubungannya keluarga lo yang kayak gitu sama Nadia apa?" bingung Oca yang merasa tidak mengerti dengan cerita yang Aurel berikan. "Seperti yang gue bilang tadi Ca, Nadia itu bebas dan ngga bisa di atur sama siapa pun. Mau sepuluh ribu orang sekalipun nyuruh dia buat lakuin A kalo dia maunya B pasti dia bakalan ikutin kata hatinya. Gue pengen bisa bersikap dan ngerasa bebas kayak dia, dan dia bener-bener keliatan keren di mata gue saat brantem. Dan mulutnya emang pedas, tapi kata-kata yang keluar dari mulut itu adalah isi hati dia yang sebenernya, jadi dia masih bener-bener murni banget saat ini. Tapi, terlepas dari itu semua, alasan utama gue bukan itu sih." "Terus?" "Rahasia," Aurel tersenyum, ekspresinya sudah kembali normal saat ini. "Udah ah, ayo ke kantin sekalian beli makanan buat Nadia, kali aja kalo gue sogok dia pake makanan dia bakalan mau temanan sama gue," lanjut Aurel seraya menarik tangan Oca. "Ngga usah mimpi lo Rel, Setahun ini aja lo suka kasih dia makanan, dan apa yang lo dapet dari semua usaha lo itu, hmm? ngga ada kan? dia masih aja dingin kan ke lo?" komentar Oca. "Oca berisik! udah ayo buruan ke kantin!" Aurel sama sekali tidak memperdulikan perkataan Oca barusan. Di lain tempat Nadia sedang berbaring di rooftop sekolahan sambil menatap awan putih yang bergerak di langit biru. Ini adalah tempat ternyaman baginya di sekolahan ini. "Gue harus apa setelah ini?" batinnya seraya menghela nafas. Saat dia melakukannya, tiba-tiba saja wajah muram Aurel terbesit di kepalanya. "Cih, dasar gadis bodoh! dia ngga tau apa, temenan sama gue itu sama aja masuk ke lubang neraka dunia?!" gumamnya. "Tapi yah, yaudah lah biarin aja. Toh kayaknya kalo di liat dari siapa lawan gue tadi, gue bakalan di keluarin dari sekolahan ini," lanjutnya, dia memang terlihat santai saat mengatakannya, tapi percayalah, hatinya tidak merasakan hal yang sama. Nadia terluka, dan dia menyembunyikannya. Dia menikmati rasa sakit itu, dia menikmati saat ingin rasanya menangis tapi tidak bisa karna rasanya semua air mata yang dia punya tertahan dan tidak mau keluar dari sarangnya. Bahkan Nadia sudah lupa, kapan dia terakhir kali meneteskan air mata. Yang jelas hal itu terjadi di antara umurnya 5 atau 6 tahun, jadi dengan kata lain dia sudah belasan tahun tidak menangis. Dia juga tidak tau masalahnya apa, tapi yang jelas, dia sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata. Bahkan saat menonton film sesedih apapun, atau terluka separah apapun, matanya tetap tidak akan mau mengeluarkan cairannya. "Kalo kali ini gue di D.O lagi, apa ibu bakalan sedih yah? ah tapi bodo lah, lagi pula lulus ngga lulus gue bakalan tetep ngga punya masa depan ini," gumamnya lagi seraya mencoba memejamkan mata untuk tertidur. Hari ini cukup berat baginya, bertarung melawan anak dari donatur terbesar di sekolahan bersama para antek-anteknya. Bukan Nadia yang memulai tapi mereka, mereka memancing emosinya dan setelah itu berniat mengeroyoknya. Ada banyak saksi untuk itu sebab mereka melakukannya di dalam kelas. Tapi, karna lawannya adalah orang atas alias anak orang kaya yang punya koneksi besar di sekolahan, tidak ada satupun yang mau mengadukannya ataupun membela Nadia. Lima lawan satu, rasanya itu tidak adil. Tapi, Nadia menang melawan mereka dan inilah hasilnya, dia kembali masuk ke ruang BK karna membela dirinya sendiri. Nadia adalah murid pindahan disini, dia masuk saat kelas 2 karna di D.O dari sekolahan lama nya dengan kasus yang sama. Dia memang bukan manusia yang bisa menahan amarahnya. Dia tergolong siswa yang tenang selama setahun ini, karna para siswa di sekolahan ini lebih memilih mengabaikannya dan menganggapnya tidak ada daripada mencari masalah dengannya kemudian terluka. Nadia suka itu, meskipun diabaikan itu sakit tapi setidaknya dia tidak mendapat banyak kata makian secara langsung di hadapannya. Tadi adalah perkelahian pertama yang dia lakukan di sini. Dan selama ini tidak ada masalah yang cukup berarti. Tidak pernah telat dan selalu mengerjakan tugas. Bahkan di setiap ujian sekolahan, nilainya selalu menjadi yang paling tinggi di sana. Dia hanya terlihat urakan dan sedikit berantakan. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia menyukai sekolahan, dia suka menghabiskan waktu dengan belajar, dan dia suka mengamati orang-orang dari kejauhan. Ini adalah masalah pertamanya selama setahun belakangan ini, Nadia memang sering berurusan dengan guru BK, tapi itu semua bukan karna tindak kekerasan melainkan karna penampilannya yang berantakan. Hanya saja, beda lagi ceritanya jika dia berada di luar sekolahan. Dengan mata yang mulai terasa berat karna mengantuk, Nadia pun memejamkan matanya. Menatap langit biru serta awan yang bergerak bebas dengan ditemani oleh angin sepoi-sepoi memang seperti obat tidur dengan dosis tinggi bagi Nadia. Hal itu selalu sukses mengundang kantuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD