3

1606 Words
Tidak terasa langit sudah berubah menjadi jingga, Nadia membuka mata dan bangun dari tidurnya karna merasa angin dan sengatan mataharinya telah berubah. Dengan langkah yang terasa sedikit berat karna baru saja bangun tidur, dia langsung pergi dari sana. "Bolos kerja aja lah gue hari ini," gumamnya seraya menuruni anak tangga. Dia memang melakukan pekerjaan paruh waktu di salah satu restoran untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rumahnya berada tidak jauh dari sekolahan, jadi Nadia biasa berjalan kaki setiap harinya untuk menghemat uang dan sekalian olahraga. Sambil mengenakan topi yang sejak tadi dia simpan di dalam tas, Nadia berjalan menyusuri gang-gang kecil yang ada di sana. Tapi, langkahnya tiba-tiba saja terhenti saat memasuki salah satu gang. "Woy, kalo mau malak atau ngelakuin hal apapun itu jangan di sini, cari tempat lain sana. Atau kalo ngga, kalian bisa lanjutin acara kalian setelah gue lewat dari sini," dengan nada cuek Nadia mengusir sekumpulan anak remaja yang terlihat sedang memalak salah satu di antara mereka dan menghalangi jalannya. Mereka semua sontak memandang ke arah Nadia. "Eh ada Amors sayangnya gue, akhirnya lo dateng juga beb. Tau ngga sih? gue tuh udah nungguin lo dari tadi, dan gue bener-bener kangen banget sama lo, udah berapa lama ya kita ngga ketemu? Susah tau buat gue untuk nyari keberadaan lo, kenapa lo ngga kasih nomor lo aja ke gue dan sebagai gantinya gue bakalan biarin lo lewat dari sini? atau kalo ngga, kita bisa pergi ngedate sambil bahas-bahas masa lalu? kebetulan keluarga gue baru buka cabang hotel di dekat sini dan restorannya tuh lumayan enak. Tenang aja kita cuman makan doang kok di sana, ngga lebih. Gimana? Mau ngga?" salah seorang dari mereka tersenyum dan menatap ramah kepada Nadia. Terlihat jelas raut bahagia di wajah orang itu saat melihat kedatangan Nadia. "Panggil gue Mors! bukan Amors! karna gue sama sekali ngga sudi buat jadi cinta lo!"bentak Nadia dengan dingin. Dia tidak suka orang itu memanggilnya dengan nama tersebut. Sebenarnya nama panggilan Nadia memanglah bukan Nadia, melainkan Amors. Tapi, karna para guru di sekolahannya memanggil namanya dengan nama Nadia, jadinya semua orang menganggap kalo memang itulah nama panggilannya. Hanya saja, daripada Amors atau Nadia, dia lebih senang di panggil dengan nama Mors yang artinya kematian dalam bahasa latin. "Ayolah sayang, jangan galak-galak gitu. Gue jadi makin sayang nantinya sama lo kalo sikap lo kayak gini, atau jangan-jangan lo emang sengaja ya buat ngegoda gue? kalo iya, selamat honey, kamu berhasil," goda orang itu lagi. Sepertinya dia dan Nadia memang saling mengenal sebelumnya. Nadia menghela nafasnya, "banyak ngomong lo! Minggir gue mau cabut!" dia sama sekali tidak mau menghiraukan perkataan orang itu. "Kalo kita ngga mau gimana?" tanya orang itu menantang Nadia dengan seutas senyum di wajahnya. Bukannya minggir, seperti yang Nadia perintahkan. Mereka semua malah berbaris di hadapan orang itu untuk menghadang Nadia. "Gue bakalan bikin kalian ngga bisa buka mata sampe besok," ancam Nadia. "Owhh ...!!! seriusan? Ughh takut, kalian takut ngga guys?" ledek orang itu dengan nada takut yang di buat-buat. "Takut banget...," sahut mereka dengan nada yang sama. Setelah itu, mereka semua pun tertawa terbahak-bahak. Nadia menghela nafasnya lagi,  habis sudah kesabarannya saat ini. "Sialan lo semua!" delik Nadia. Dengan kasar dia melemparkan tasnya secara asal dan langsung menyerbu mereka semua. Untung hari ini dia memakai celana, bukannya rok. Jadinya dia bisa dengan bebas menendang tubuh mereka. Pengeroyokan pun terjadi, sepuluh lelaki melawan satu wanita. Dan ajaibnya, meskipun mereka menang jumlah, tetap saja Nadia bisa dengan mudah mengalahkan mereka semua. Dan seperti janjinya, semua yang melawan sudah terkapar dan tidak sadarkan diri di tanah. Yang  tersisa hanya anak yang tadi menantangnya. Sambil menunjukkan seringaian dan ekspresi dinginnya, Nadia berjalan mendekat ke arah lelaki itu dan langsung mencekiknya. "Berapa kali gue harus bilang sama lo Mark! jangan pernah ganggu gue dan muncul di hadapan gue! Gue sama sekali ngga sudi buat bergabung sama geng d***u kalian!" deliknya. "Lep... lepasin gue Mors! gue nyerah!" dengan suara yang terputus-putus karna kesulitan bernafas dan berbicara, orang yang bernama lengkap Marco itu langsung menyerah dan meminta ampun. Ekspresi meremehkan kini telah hilang dari wajahnya dan berganti dengan ekspresi menyedihkan. Dia yang tadi dengan angkuh menantang Nadia, kini sudah kehilangan keberaniannya. Mendengar pernyataan menyerah Marko, Nadia langsung melepaskannya. "Uhuk!!! Uhuk!!!" Marko terbatuk-batuk. Nadia berniat pergi dari sana tapi Marko langsung menghentikannya. "Kalo lo ngga mau jadi bagian dari geng gue, gapapa Mors. Lo tau kan alasan gue selalu nyariin keberadaan lo itu bukan untuk ngajak lo bergabung?" "Gue nyariin lo untuk minta lo buat jadi pacar gue, Mors. Gue nerima lo apa adanya dan gue ngga perduli mau lo anak haram atau ngga, brandalan atau anak baik-baik, kaya atau miskin, gue sama sekali ngga perduli itu semua," lanjut Mark. "Mors ... Gue cinta sama lo, kapan lo bisa sadarin ketulusan gue itu?" ujarnya lagi. Ini sudah kesekian kalinya dia melontarkan kata-kata tersebut sejak SMP. Dia tidak pernah mau menyerah atas perasaannya mau sesering apapun Nadia menolaknya, karna dia benar-benar mencintai Nadia. Nama lengkapnya adalah Marco Adrian, teman sekelas Nadia saat SMP. Dia adalah anak orang kaya yang merangkap sebagai ketua geng di jalanan. Dia sudah jatuh cinta kepada Nadia sejak pertama kali mereka bertemu. Dan perasaan sukanya itu semakin bertambah saat dia melihat Nadia yang keren dengan segala ketangguhannya. Dengan kasar Nadia menendang perutnya, dan menekankan sepatunya disana, "Jangan mimpi! Berapa kali lagi harus gue tegasin ke lo agar lo ngerti Ko?! Gue emang sampah, tapi asal lo tau aja, sampai kapanpun gue ngga bakalan pernah mau punya hubungan asmara sama sampah yang lainnya! Jadi pergi dari hadapan gue sekarang juga, dan bawa semua anak buah lo dari sini!" "Ahh... sama satu lagi, gue mau lo hentiin pemalakan di jalan yang biasa gue lewatin karna gue udah bener-bener muak sama pemandangan yang kayak gini!" lanjutnya. Marco tertawa kecil mendengarnya. Dia memang sedikit gila, perutnya sudah kesakitan tapi dia masih bisa tertawa, "Gue tau alasan lo nolak gue bukan itu Gus. Lo tau pasti kalo sampah itu ditakdirin untuk hidup bersama sampah lainnya. Jadi, kenapa lo ngga jujur aja sama gue dan kasih tau alasannya? Alasan kenapa lo nolak gue untuk yang ke 357 kalinya? Kalo lo jujur, mungkin gue bakalan mulai nyoba buat nerima penolakan lo." "Dan oiya, ternyata lo masih belum bisa ngabaiin orang yang butuh bantuan lo yah," lanjut Marco sambil lagi-lagi tertawa kecil dengan bibir yang sudah robek dan hidung yang berdarah. Sebelum Nadia menendang perut Marko dia memang lebih dulu meninju wajahnya. Nadia menghela nafas untuk kesekian kalinya dan mengangkat kakinya dari perut Marko. "Gue bener-bener ngebuang waktu gue," batinnya. Berurusan dengan Marko adalah sebuah pembuangan waktu yang haqiqi bagi Nadia karna lelaki itu selalu melakukan segala cara agar dia tetap bersamanya meskipun situasi yang tercipta adalah semacam ini. Ini bukan pertama kalinya Nadia menghajar Marko, dia sudah sangat sering melakukannya. Hanya saja sejak Nadia pindah sekolah dan tempat, Marko sudah tidak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya, ini adalah pertama kalinya dalam setahun belakangan ini. Nadia kira Marko sudah menyerah tapi ternyata dia salah. Laki-laki itu ternyata masih belum juga nenyerah untuk mengejarnya mau sekeras dan semenyakitkan apapun cara yang dia gunakan untuk menolaknya. Marko benar-benar optimis dengan perasaannya. Dan dia sama sekali tidak merasa masalah kalau semisal hubungan yang dia punya dengan Nadia adalah hubungan permusuhan. Selama dia bisa berinteraksi dengan gadis itu, itu sudah lebih dari cukup untuknya. Sebenarnya, ada cara lain yang bisa Marko lakukan agar dia bisa berada di samping Nadia tanpa terluka, yaitu menjadi temannya. Tapi, siapapun yang mengenal Nadia pasti tau kalau gadis itu tidak pernah mau berteman dengan siapapun. "Gue cabut," pamit Nadia, dia berniat pergi dari sana karna tidak mau lagi mendengarkan ocehan Marco. Tapi, baru selangkah dia pergi, tiba-tiba saja sebuah tangan menahan kakinya. Dia kira pelakunya adalah Marko tapi teryata dia salah. "Tolong gue," lirih orang yang memegang kakinya. Rupanya pelakunya adalah si korban yang Marko dan kawan-kawan nya hajar habis-habisan. Untuk sesaat mereka semua sudah melupakan keberadaan si korban itu. "Nolong lo ngga ada untungnya buat gue, jadi lepasin kaki gue! Lagian lo itu cowok, jadi ngga seharusnya lemah kayak gini!" dingin Nadia. Dia merasa tugasnya sudah selesai untuk menghentikan mereka semua, jadi semuanya cukup sampai disini saja. "Marko, dia korban lo, jadi lo yang harus tanggungjawab. Urusin orang b**o ini. Bisa-bisa nya dia minta pertolongan secara terang-terangan ke orang yang lebih menyeramkan dari orang ngelukain dia," ujar Nadia kepada Marco. Setelah mengatakannya, diapun menghempaskan kakinya agar tangan yang meminta pertolongan itu terlepas. "Cih, lo masih aja sama ya Mors, bersikap dingin padahal jauh di dalam hati lo, lo adalah orang yang hangat dan suka bantu orang," Marko lagi-lagi terkekeh dengan wajah babak belur nya. "Ngga usah asal nyimpulin, gue sama sekali ngga ada niatan buat bantuin dia, gue ngehajar kalian karna kalian ngalangin jalan gue. Soal dia, terserah kalian mau apa, gue sama sekali ngga perduli!" sanggahnya. Dan dengan ekspresi yang terlihat datar, diapun berjalan pergi dari sana. Setelah kepergian Nadia. Marko berusaha bangkit dari duduknya, badannya terasa sakit semua sedangkan para anak buahnya sudah terkapar tidak sadarkan diri di tanah. Nadia memang benar-benar hebat dan Marko selalu di buat kagum dengan kehebatan ilmu bela diri Nadia padahal dia sudah sangat sering melihat dan merasakannya. "Gue berubah fikiran, gue ngga jadi malak lo, jadi gunain uang yang seharusnya kami ambil itu buat biaya berobat lo. Dan saran gue, lo harus cepat pergi dari sini sebelum mereka semua bangun. Karna kalo ngga, lo bukan cuman makin babak belur, tapi lo juga bakalan kehilangan semua harta yang lo punya, paham?" ujar Marko kepada korbannya. Dan dengan perasaan yang sama sekali tidak memiliki rasa tanggungjawab, diapun pergi dari sana meninggalkan si korban beserta para anak buahnya yang masih belum sadarkan diri di tanah karna ulah Nadia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD