2

1224 Words
Sebulan berlalu. Riana pun secara perlahan-lahan berusaha melupakan peristiwa yang dialaminya dengan cara menyibukkan diri mengerjakan tugas-tugas kantor, meski tak mudah seperti yang dipikirkan. Sedangkan, Dion sendiri masih bekerja di kantor miliknya. Tidak jarang pemuda itu mengambil kesempatan untuk mengajak dirinya berbicara empat mata. Tetapi, Riana selalu mencoba menghindar. Demi apa pun, ia belum bisa memaafkan Dion. Bahkan, rasa benci terpelihara dengan sangat baik di dalam dirinya. Jujur saja Riana tak ingin melihat sosok pemuda itu ada di kantornya lagi. Namun, tidak etis dan kurang profesional rasanya memberhentikan Dion hanya karena masalah pribadi yang terjadi di antara mereka berdua. Dan di sisi lainnya, Dion memilih untuk tetap bekerja di kantor Riana, tak ingin lari begitu saja dari permasalah yang sesungguhnya tak sengaja diperbuatnya. Ia bukan pengecut. Dion akan bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Setidaknya memperoleh maaf dari Riana adalah tujuan utamanya sekarang. .................... Hari ini Riana menyadari keanehan yang terjadi pada tubuhnya, ada kejanggalan. Wanita itu juga merasakan pusing di kepala serta mual ingin muntah. Tetapi, Riana memutuskan untuk melawan ketidaknyamanan yang ditunjukan oleh tubuhnya dan tetap pergi ke kantor guna memimpin rapat. "Semua sudah hadir?" tanya Riana saat akan memulai rapat bulanan bersama enam karyawannya, termasuk Dion ada di sana. "Sudah," jawab semua pegawainya serempak. Kecuali Dion. Sedari tadi, selalu memfokuskan pandangan pada sosok Riana yang kian hari terlihat semakin kurus saja. Ditambah dengan wajah pucat wanita itu, sangat kentara di matanya. Berbeda dengan Riana yang tidak sangat peduli keberadaan Dion. Seakan-akan pemuda tersebut tak ada di dalam ruangan rapat. Benci, satu kata yang tepat guna menggambarkan penilaian dirinya terhadap sosok bernama Dion itu. "Mbak Riana baik-baik saja?" tanya seorang karyawannya bernama Tuti dengan nada khawatir, ketika melihat kondisi sang atasan yang menurutnya sedang sakit. "I'm fine." Riana berusaha tersenyum ramah demi memperlihatkan jika dirinya baik-baik saja. Namun, rasa mual yang dia rasakan malah bertambah. Tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak kompromi kali ini. "Baik. Kita mulai rapatnya," ucap Riana menandakan rapat resmi dimulai. Baru beberapa menit rapat berlangsung. Rasa mual tak dapat tertahankan lagi. "Hoek..." Riana berlari cepat keluar ruangan, lalu menuju kamar mandi. Meninggalkan acara rapat tanpa bisa berkata sepatah kata pun. .................. "Tumben deh aku melihat wajah Mbak Riana sepucat tadi," komentar Eka yang juga berstatus sebagai pegawai Riana disela-sela istirahat makan siang bersama tiga pegawai lainnya. Salah satu di antara mereka adalah Dion. "Mungkin kelelahan. Akhir-akhir ini gue sering mendapati Mbak Riana sampai larut malam di kantor juga kok," imbuh Gian memberi alasan yang tepat sesuai sesuai pendapatnya. Ia memang beberapa kali melihat atasannya itu lembur hingga malam. "Jujur aku merasa ada yang salah dengan Mbak Riana," kata Tuti menaruh rasa curiga sebagai seorang wanita atas apa yang terjadi pada atasannya itu. "Maksudmu?" Eka merasa penasaran dengan arti dari kecurigaan rekan kerjaan tersebut. "Mba Riana sepertinya tengah hamil. Aku yakin," jawab Tuti mantap tanpa ada keraguan. Semua mata seketika mengarah padanya. Dion yang juga ikut bergabung di tengah-tengah mereka, tiba-tiba langsung tersedak karena ucapan Tuti yang mengganggu ketenangannya. Dia sangat terkejut mendengar kata 'hamil' yang tersisip dalam kalimat tersebut. "Lo kenapa Dion?" tanya Gian dengan tatapan keheranan. "Baksonya terlalu pedas." Dion segera mencari alibi agar rekan-rekannya tidak menaruh curiga. Mereka lantas mengangguk paham. "Oh ya, kenapa lo bisa berasumsi jika Mbak Riana hamil?" giliran Gian bertanya pada Tuti. Karena, jadi ikut penasaran. "Ya, secara aku juga pernah mengalaminya ketika mengandung Widi. Hal itu wajar dialami wanita yang baru hamil muda tahu," jelas Tuti yakin-seyakinnya karena dia pun pernah merasakan hal tersebut. Dugaannya pasti benar. "Bisa saja Mbak Riana hanya masuk angin. Jangan asal berprasangka tanpa penjelasan real!" elak Gian berusaha menyanggah, tidak percaya dengan ucapan Tuti begitu saja tanpa adanya bukti nyata. Akan muncul gosip nantinya. "Pandangan setiap orang beda-beda Tapi, aku yakin dugaanku benar." Tuti kukuh dengan pendapat yang dia utarakan. Sementara itu, Dion masih hanyut dalam pikirannya sendiri. Menyerap setiap untaian kata yang didengarnya. Mungkinkah benar Kak Riana sedang hamil? Pertanyaan tersebut secara terus menerus terngiang di kepala Dion. Baiklah, ia akan menanyakan hal ini secara langsung pada Riana supaya jelas. Mencari kepastian. ................. Kondisi Riana semakin lemah. Energinya terus terkuras. Hampir tujuh kali keluar-masuk kamar mandi akibat rasa mual dan ingin muntah yang tak berhenti menyerang, berlebihan memang. Tetapi inilah yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kaki Riana bahkan ikut terasa pegal-pegal karena harus bolak-balik ke kamar mandi dan ruangannya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan tubuhku hari ini? Kenapa rasanya begitu menyiksa? Riana bertanya dalam hati. "Tidak mungkin...," gumam Riana sambil menggeleng keras. Menolak pikiran negatif yang muncul di benaknya. Kesimpulan buruk yang tak diinginkan sama sekali. Dan langkah selanjutnya, Riana mengambil tiga tespack beda merek yang senantiasa dibawanya di dalam tas selama tiga minggu belakangan ini. Riana sengaja mempersiapkan alat-alat tersebut karena berpikir suatu hari nanti pasti membutuhkan benda-benda tersebut untuk membuktikan secara nyata terjadi perubahan dalam tubuhnya akibat kejadian sebulan yang lalu. Sebagai wanita, ia harus cepat tanggap. Tak menutup mata akan efek fatal dari perbuatan Dion. .................... Langkah kaki Riana begitu terasa berat saat harus berjalan. Begitu juga dengan tangannya yang bergetar ketika harus membuka knop pintu kamar mandi. Wanita itu masih benar-benar merasa syok akibat tiga tespack yang digunakannya beberapa menit lalu menunjukkan dua garis sebagai hasilnya. POSITIF..... Dan saat pintu terbuka, tepat di hadapannya tengah berdiri sosok dengan postur tinggi badan yang melebihi dirinya. Sosok itu hanya diam mematung, belum ingin mengeluarkan sepatah kata pun. Riana memilih untuk tak peduli, menghiraukan keberadaan Dion dan berjalan melewati pria itu. Kebencian serta amarah terasa semakin dalam dan bercampur menjadi satu. Namun, sosok tersebut berhasil menangkap salah satu tangannya. "Apa yang terjadi denganmu?" tanya Dion serius. Tatapannya menajam, lalu menjadikan wajah pucat Riana sebagai objek utama. "Bukan urusanmu!" tegas Riana balik menatap tajam sambil berusaha melepas secara paksa cengkraman tangan pemuda itu. "Kamu hamil, 'kan?" Dion meminta penjelasan secara langsung. Tidak ingin basa-basi dalam keadaan seperti ini. Bagaimana dia bisa tahu? batin Riana menjerit khawatir. Tidak! Ia tidak akan mengatakan yang sebenarnya! Atau memberi tahu Dion tentang janin yang dikandungnya. "Jawab Riana!" seru Dion dengan nada suara meninggi. Riana pun refleks terkesiap. Sangat kentara jika Dion tengah diselimuti rasa marah. Yang seharusnya marah itu dirinya! Bukan Dion! Tangan Riana pun sudah sangat ingin melayang ke salah satu pipi Dion. Menampar dengan keras. Namun, sekali lagi diurungkanlah niatannya tersebut. Terlebih keadaan di sekitar mereka tak mendukung. Kecurigaan staff lain bisa saja tercipta. "Maaf, aku lepas kontrol." Sesal pemuda itu kemudian karena yang mampu mengendalikan emosinya dan meninggikan suara tadi. "Lepaskan tanganku!" seru Riana marah. Dia masih terus saja berusaha melepaskan cengkraman tangan Dion dan enggan menjawab pertanyaan apa pun yang diajukan pria itu. Riana akan menutup rapat bibirnya. "Tolong jawab pertanyaanku," pinta Dion lebih sopan dan lembut. Dia masih menatap ke arah mata Riana. "Tidak ada yang perlu dijawab!" tegas Riana penuh penekanan. Dia tidak mungkin memberi tahu Dion tentang kehamilannya. Tidak akan pernah mau! "Tolong berkatalah yang jujur! Jangan pernah menyembunyikan sesuatu dariku!" pinta Dion kembali memohon dan mencoba mencari kebenaran dari sorot mata Riana. Wanita di hadapannya ini bahkan memalingkan muka saat pandangan mereka bertemu. Dion yakin ada yang disembunyikan Riana darinya. "Tidak ada," jawab Riana kukuh. Kini, Dion telah melepas cengkraman tangannya. Dia akan bisa membuat wanita ini mengaku secara langsung. "Baik. Aku pasti akan menemukan jawabannya sendiri," Dion berkata dengan penuh keyakinan. "Lakukan sesukamu. Aku tidak peduli," balas Riana dengan sinis. Lalu, memilih meninggalkan Dion yang masih menatapnya cukup tajam. ........................................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD