3

1713 Words
Potongan 3.... Hampir setiap pagi selama tiga hari belakangan ini, Riana mengalami fase pada awal kehamilan yakni rasa mual dan muntah yang tak kunjung reda. Hal tersebut benar-benar menyiksa dirinya. Energi wanita itu seakan turut habis terkuras, wajahnya kian tampak pucat. "Aish, dengan wajah seperti ini pasti para staff di kantor akan mengira aku masih sakit," gumam Riana di depan cermin sembari memerhatikan penampilannya sendiri. Bahkan, make up tidak bisa berperan aktif dalam menutupi wajahnya yang pucat pasi. Riana sudah izin tidak masuk kantor dua hari lamanya karena rasa mual yang semakin parah menyerang. Namun, hari ini ia memilih untuk pergi ke kantor dan kembali bekerja karena merasa tak enak dengan para pegawainya. ....................... Riana tiba lebih awal. Sedangkan, jam kantor dimulai pukul sembilan pagi. Suasana pun tampak lenggang dan sepi karena belum ada pegawai yang datang. Hari ini, Riana juga belum berani menyetir. Takut dengan rasa pusing nanti tiba-tiba menyerang serta menyebabkannya kehilangan konsentrasi dalam mengemudi. Riana memilih menumpang taksi. Setelah masuk ke dalam bangunan kantor, wanita itu lalu memutuskan duduk sejenak di sofa, terletaknya di ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu atau klien. Kepala Riana masih terasa sedikit berdenyut sampai sekarang. Cacing-cacing di perutnya juga mulai memberontak. Maklum, Riana belum makan apa pun sejak kemarin malam. Seleranya mendadak hilang. Melihat beberapa jenis makanan yang selama ini menjadi favorit-nya saja akibat rasa mual yang menyerang tanpa permisi terlebih dahulu. Dan dii tempat yang sama, Dion memandang secara intens wanita yang tengah duduk di sofa sambil memijat-mijat tengkuk, wajah wanita itu tetap tampak pucat di matanya sejak terakhir mereka bertemu. Hampir dua hari, Dion tidak melihat sosok Riana di kantor. Menurut rekannya yang lain, atasannya itu tak bekerja karena sedang sakit. Ia pun tidak mampu melepas kekhawatiran hingga detik ini. Denyutan tak kasatmata di dalam d**a mengguncang kestabilan emosi Dion. Ia yakin ada yang Riana tengah sembunyikan darinya. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan kabar kehamilan yang sempat mereka debatkan tempo hari. Dion hanya tidak ingin Riana menderita sendirian karena perbuatannya, hanya itu. Sungguh. Dan entah dorongan dari mana yang membuat Dion memberanikan diri untuk mendekati Riana. Ada semacam rasa rindu atau apalah itu yang tak dapat dia ungkapkan dengan gamblang. Namun, masih cukup bisa untuk dirasakan. Dion juga tak tahu mengapa, semua muncul begitu saja. "Bagaimana kabarmu, Riana? Apa baik-baik saja? Masih sakit?" Dion memosisikan diri berlutut tepat di hadapan Riana. Wanita itu yang tidak menyadari kehadiran Dion pun sontak terkaget. Secara refleks tangan kanan Dion terulur ke depan menuju pipi Riana dan bermaksud untuk menyentuhnya. "Apa-apaan kamu hah!" seru Riana refleks seraya menepis tangan Dion dengan kasar. Wanita itu hendak bangkit. Namun, dengan pelan Dion mendorongnya untuk duduk kembali. Untung saja tak ada orang lain di kantor saat ini, hanya mereka berdua. Jadi, akan mudah menghindari kecurigaan. "Wajahmu pucat. Apa kamu masih sakit?"" tanya Dion menunjukkan kecemasannya tanpa ragu. Begitu juga dengan sorot kedua mata pemuda itu memancarkan kecemasan yang kentara. "Bukan urusanmu!" seru Riana sinis. Ia mendorong tubuh Dion supaya menjauh darinya. Riana lalu mencoba bangkit lagi dari sofa. Dan kali ini berhasil. "Jangan menghindariku!" peringat Dion dengan sedikit penekanan dalam suaranya. Sementara itu, Riana terus berjalan dengan langkah tegap dan mantap, mengacuhkan perkataan Dion yang sama sekali tak berarti atau memberi dampak penting kepadanya. .................. Hingga pukul dua siang, Riana sudah bolak-balik kamar mandi kurang lebih empat kali untuk memuntahkan isi perutnya. Kata dokter kandungan yang memeriksanya. Rasa mual dan muntah wajar dialami pada masa-masa awal kehamilan. Intensitasnya pun dipengaruhi oleh keadaan masing-masing ibu hamil tersebut sendiri. "Aku kasihan melihat kondisi Mbak Riana seperti itu," ucap Tuti disela-sela mengerjakan laporan bersama Dion. Tidak sengaja Tuti bertemu dengan Riana di toilet. "Maksudnya, Kak?" Dion pura-pura untuk tidak mengerti. Padahal, ia ingin menggali informasi lebih lanjut. "Tad, saat di toilet Mbak Riana muntah-muntah, Dik. Kakak jadi enggak tega," jawab Tuti prihatin karena tahu betul bagaimana rasanya. Ia pernah di posisi yang sama dulu ketika mengandung. "Mungkin Kak Riana masih sakit." "Aish, itu bukan sakit biasa, Dik. Melainkan hamil muda. Kakak pernah mengalaminya dulu," beri tahu Tuti pada Dion tanpa ragu. Kembali meyakinkan asumsinya. "Hamil?" Dion memastikan sekali lagi. Bola matanya semakin melebar. Setitik emosi yang sudah terpendam, mencuat ke permukaan lagi. Wajah dan sorot mata Riana yang berusaha menyembunyikan sesuatu darinya pun terlintas melengkapi. "Yap," Tuti berkata dengan mantap, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Apa Kakak yakin kalau Kak Riana sedang hamil?" "Iya, Dik. Kakak juga pernah mengalaminya. Tapi, apa yang dialami Mbak Riana sepertinya lebih parah," jawab Tuti jujur. Dion akhirnya mengangguk mengerti. Tidak meneruskan lebih lanjut. "Tapi, setahu Kakak nih, Mbak Riana belum menikah. Hahaha, berarti sebentar lagi ada undangan pernikahan untuk kita," canda Tuti tak bermaksud serius sebenarnya. "Mungkin, Kak," jawab Dion dengan pelan. Pemuda itu tidak mampu berkata apa pun lagi untuk saat ini. Lidahnya kelu. Senyuman kecut turut menghiasi wajahnya. Dion memejamkan mata dan menghela napas berat. Terus saja memikirkan semua ucapan rekan kerjanya itu dengan serius. .......................... Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Riana sengaja belum pulang karena sedang menunggu kedatangan seseorang yang dapat membantunya untuk sekarang. Tentang masalah serius yang tak mungkin bisa dibaginya pada sembarangan orang. Sementara itu, sedari tadi Dion menunggu Riana keluar. Namun, wanita tersebut tak kunjung menampakkan diri. Sebaliknya, di area depan kantor malah terparkir sebuah mobil. Tidak lama kemudian, keluarlah seorang pria bertubuh jangkung. Dari penglihatan Dion. Pria itu melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan Riana. Mendadak rasa amarahnya semakin memuncak. Terlebih dia belum pernah melihat sosok pria itu di kantor sebelumnya. ................. "Sorry gue lambat," ucap pria berusia sekitar 25 tahun manakala baru saja memasuki ruangan Riana, lantas mengambil tempat di samping wanita itu, sahabatnya. "Dari mana, Dip?" tanya Riana to the point pada pria bernama Dipta Aryasatya yang telah lama bersahabat dengan dirinya. Terhitung sejak mereka menempuh pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Atas. "Biasa rapat dadakan. Wajahmu pucat Riana. Masih sakit pasti ya?" "Lebih dari itu." Riana menatap sang sahabat dengan ekspresi datar menghiasi wajahnya. Untuk tersenyum pun rasanya sulit. Banyak beban yang sedang ditanggungnya. Membuat Riana kehilangan semangat. Tetapi, dia juga tak ingin terpuruk. "Ayo cerita!" pinta Dipta sambil mengacak rambut Riana pelan. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari kebiasaannya. "Tapi, sebelumnya aku ingin bertanya. Apa tawaran pekerjaan di Thailand yang pernah kamu tawarkan masih berlaku?" tanya Riana dengan raut serius. Sedangkan, Dipta tampak tengah membaca ekspresi yang terpeta di wajah sahabatnya itu kini. "Tentu. Kenapa? Kamu tertarik sekarang untuk mengambilnya? 'Kan kamu udah nolak waktu ini. Katanya mau fokus urus bisnis." Balik Dipta bertanya. Riana mengangguk singkat. "Iya. Aku rasa aku akan menerima pekerjaan yang pernah kamu tawarkan," jawab Riana berterus-terang. Dipta pasti akan menanyakan apa motif dibalik keinginannya yang terkesan begitu tiba-tiba "Apa alasannya? Terus Bagaimana dengan usahamu di sini, Riana?" "Aku hamil," jawab Riana sangat jelas dan yakin. Ia percaya jika sahabatnya bisa menjaga rahasia ini. Dipta pun kemudian membelalakan mata. Pria itu tampak terkejut sekali akan pemberitahuan yang baru saja diterimanya. "Apa? Kamu bercanda 'kan Riana?" Dipta mengonfirmasi ulang. Pengakuan sang sahabat hampir membuat jantungnya ingin copot. "Menurutmu bagaimana, Dip? Apa aku ini bercanda?" Hening tercipta hingga beberapa detik. Tidak ada tanggapan cepat dari Dipta hingga mengakibatkan suasana di tengah-tengah mereka sepi dan sunyi. Ketegangan ikut menyelimuti.  "Jadi, selama hamil kamu akan menetap di luar negeri begitu?" tebak Dipta asal. Logikanya terus menolak pernyataan wanita itu. Akan tetapi, anggukkan kepala pelan sang sahabat menjadi jawaban telak baginya. "Sampai melahirkan," ralat Riana kemudian. Keputusan ini yang akan ia ambil dan menurutnya itulah yang terbaik. "Bagaimana dengan ayah dari anakmu Riana?" tanya Dipta lagi guna memperoleh satu per satu informasi yang belum dikatakan sahabatnya itu. "Cukup hanya aku seorang yang akan merawat anak ini," tegas Riana sembari menatap Dipta. Ya, hanya ia seoranf yang akan membesarkan anaknya tanpa laki-laki itu. "Lalu orangtuamu bagaimana?" lanjut Dipta dengan mimik serius. Pria itu tampak menarik napas berat. Ia ingin menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, sepertinya tidak sekarang. Dipta keadaan Riana sedang kacau dan tak baik. Momen untuk bertanya tidak tepat baginya. "Aku akan berusaha mencari alasan yang tepat. Aku tidak mungkin berkata jujur untuk saat ini," jawab Riana pelan. Kini pandangannya menerawang jauh. Meski, nyatanya tatapan wanita itu masih terfokus pada sosok Dipta. Dia juga takut jika respon orangtuanya tidak menerima kenyataan ini. "Bagaimana jika ada tawaran untuk menikah denganku?" canda Dipta iseng untuk memecah suasana yang agak serius sedari tadi. Ya, sekadar menghibur sang sahabat yang tengah memiliki beban berat. "Kurang berminat. Karena kamu cuma cinta sama Sasmita." "Hahaha, seharusnya kamu senang Riana. Kamu tidak menjadi target teman kencanku." Vio kembali melawak berniat menghibur wanita itu "Dalam mimpimu, Dip. Paling yang kamu tunggu itu Sasmita," balas Riana memukul lengan sahabat laki-lakinya cukup keras. "Selalu menunggu cinta Sasmi tanpa kepastian. Hahaha," tambah Dipta disertai gelak tawa. Mau tak mau Riana berhasil tersenyum dibuatnya. "Jangan segan-segan hubungin gue kalau perlu bantuan ya Riana yang sok kuat." Dipta berpesan kemudian seraya mengacak rambut sahabatnya dengan gemas untuk kedua kali dalam pertemuan mereka malam ini. "Baiklah," sahut Riana sambil mengangguk paham. Memerlihatkan senyuman tipis yang tak terlihat sejak tadi. "Kamu harus menjaga kandunganmu dengan baik, Riana. Gue kagak mau calon keponakan gue ini kenapa-kenapa," pesan Dipta dengan gayanya yang sedikit berlebihan. "Hahaha, iya Om Vio alayer," ejek Riana menanggapi ucapan sang sahabat. Baru kali ini, ia bisa tertawa. Dipta selalu memiliki cara untuk menghiburnya. "Mau pulang bareng? Biar gue antar sekalian. Kita 'kan satu jurusan. Mau kagak Riana?" "Aku masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan," tolak Riana mencari alasan yang tepat dan tidak mau merepotkan sang sahabat. "Kalau begitu gue pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik ya." Dipta memeluk Riana sebentar. Memberi semangat. "Gue percaya banget, kamu adalah wanita yang kuat, Riana. Sahabat gue harus tegar plus tangguh." Dipta lalu berbisim pelan di telinga sahabatnya sembari mengeratkan pelukan. "Terima kasih," ucap Riana tulus. Air matanya jatuh perlahan. "Jangan menangis." Dipta kembali mendekap Riana. Memberi dukungan moril kepada wanita itu. ...................... Dari balik jendela. Dion dapat menyaksikan adegan pelukan tersebut. Kedua tangannya terkepal hebat. Entah, kenapa dia tidak rela Riana berpelukan dengan pria lain. Apalagi, Riana malah memberitahu tentang kehamilannya pada pria itu, bukan dirinya yang notabene merupakan ayah biologis dari anak dalam kandungan Riana. Setelah memastikan pria itu keluar dari ruangan. Dengan tak sabaran Dion masuk ke dalam. Meminta penjelasan dari Riana. "Ada apa lagi Vi-" Perkataan Riana terputus karena yang masuk ke dalam ruangannya bukan Dipta, melainkan Dion. .............................................
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD