5. Bantuan Daniel

1638 Words
Allysa menarik tangan Abel agar gadis itu berjalan lebih cepat. Mereka sudah terlambat. “Ih pelan-pelan dong jalannya,” protes Abel. Dia kesulitan karena gaun pendek dan ketat juga sepatu hak super tinggi yang disuruh Abel untuk dipakainya. Abel benar-benar tidak nyaman tapi dia berusaha menyenangkan hati Allysa. “Siapa suruh lama banget ganti bajunya,” balas Allysa gemas. “Siapa suruh ngajak aku tempat beginian?” Allysa memutar bola matanya malas, tidak ada gunanya berdebat dengan Abel sekarang. Suara musik yang teredam mulai terdengar. Benar saja, ketika Allysa membuka pintu itu suara musiknya semakin terdengar semakin keras. Jantung Abel langsung berdetak dengan keras seirama dengan ketukan musik. “Allysa!” panggil Abel. Namun sahabatnya itu tidak menjawab. Suara Abel tersamarkan karena musik yang keras itu. “Allysa!!!” panggil Abel lebih keras. Allysa akhirnya menoleh ke arahnya. “Kenapa?” “Aku mau pulang aja, d**a aku sakit nih,” ujar Abel. “Emang gitu kalau baru pertama, nikmatin aja musiknya nanti juga asik,” kata Allysa. Dia kemudian menghampiri beberapa temannya yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Allysa memanglah berbeda dengan Abel. Keduanya berteman sejak bangku SMP. Abel yang selalu sendirian dan tidak punya teman itu tiba-tiba bertemu dengan Allysa yang anak orang kaya dan supel pada semua orang. Hanya Allysa orang yang mau berteman dengan Abel. Dia juga yang membuat Abel dapat bergaul dengan orang lain, bisa mendapatkan kepercayaan diri sehingga gadis pendiam itu perlahan-lahan dapat berbicara bahkan di depan umum. Ya meski tidak selalu. Abel memang tidak nyaman pergi ke tempat seperti kelab malam begini yang penuh sesak dengan orang-orang. Dia lebih suka mengurung diri dikamar dan membaca buku sambil mendengarkan musik kesukaannya. Tapi kali ini Allysa sendiri yang meminta Abel, tentu dia tidak bisa menolaknya. Abel melihat Allysa yang sibuk menyambut tamu-tamunya. Dia kemudian melihat kursi dan berencana duduk di sana. Tanpa Abel sadari penampilannya menarik perhatian banyak orang-orang terutama banyak lelaki. Mereka bertanya pada Allysa siapa temannya itu. Allysa merasa senang karena akhirnya Abel dapat bersinar. Dia tahu Abel cantik hanya saja Abel selalu menutupi kecantikannya dengan pakaian formal dan riasan wajah tipis. Allysa kemudian menghampiri Abel dengan bersemangat. “Bel, ada yang mau kenalan sama Lo. Apa Gue bilang, Lo bersinar malam ini,” ujar Allysa. “Siapa?” tanya Abel. “Banyak, yuk.” Allysa langsung menarik tangan Abel menuju ke lantai dansa. Dia dan Allysa menuju ke beberapa lelaki yang sedang menari kecil sambil memegang botol minuman. “Hai, guys,” sapa Allysa. Mereka kompak melihat ke arah Allysa dan Abel. Mata mereka tentu saja tertuju pada Abel. Bentuk tubuhnya yang terekspos karena gaun haram Allysa ini tentu saja menarik perhatian pria-pria itu. “Bel, kenalin ini Rangga, Dewa, Rizky, Gilang, Arthur, sama Roger.” Allysa menunjuk satu per satu diri mereka saat mengatakan nama. “Hai, Gue Abel,” kata Abel memperkenalkan diri. Mereka kemudian saling berjabat tangan dan menyebutkan lagi nama mereka. “Santai aja, Bel sama mereka. Mereka itu karyawan Gue, gak bakalan berani macam-macam sama Lo,” bisik Allysa pada Abel setelah menangkap wajah tidak nyaman Abel. Pria-pria itu saling pandang dan kemudian seorang pria bernama Arthur maju ke depan Abel. “Kita santai aja yuk, di sana.” Kata Arthur sambil mengarahkan wajahnya ke sebuah sofa. Abel lalu mengikutnya. Di sana dia dan Arthur banyak diam, pria itu kerap minum bahkan hampir 3 botol sudah di habiskan sedangkan Abel hanya memegang botol alkoholnya karena memang tidak menyukai rasa minuman yang pahit itu. “Kamu temannya Allysa?” tanya Arthur. Abel mengangguk. “Kamu cantik banget, lebih cantik bahkan dari Allysa,” katanya lagi. “Ma-makasih,” ucap Abel masih canggung. Tangan Arthur perlahan menyentuh lengan Abel, dia membelai lengan Abel yang tidak tertutup itu pelan. “Kamu agak pemalu ya?” ujar Arthur kemudian mendekatkan duduknya ke Abel. Abel yang canggung hanya mengangguk. Dia tidak tahu harus berbuat apa. “Tapi aku suka tipe cewek kayak kamu,” kata Arthur lagi kali ini sambil mengedipkan sebelah matanya. Pria itu memang cukup tampan tapi Abel merasa dia tidak tertarik pada Arthur. Bahkan Abel merasa ingin muntah karena melihat mata Arthur yang terus-terusan memandang Abel dengan sorot mata berbeda. Arthur memanfaatkan Abel yang diam dari tadi. Tangannya dilingkarkan di pinggul Abel membuat gadis itu kaget bukan main. “Arthur, bisa lepaskan tanganmu gak? Geli,” ucap Abel yang semakin tidak nyaman. Arthur malah tertawa mendengar kata-kata Abel. “Kamu lucu banget sih. Boleh aku cium gak?” kata Arthur blak-blakan. Abel membulatkan matanya. Arthur tertawa lagi, “Bercanda.” Abel kemudian menghembuskan nafas lega. “Kamu terlihat takut. Kenapa? Apa kamu sudah punya pacar?” tanya Arthur. Dengan polosnya Abel menggeleng. "Bagus dong kalau belum punya pacar. Artinya aku masih ada kesempatan,” kata lelaki itu lagi. Abel hanya diam, tangan Arthur sudah terlalu banyak menjamah tubuh Abel. Tapi Abel tidak tahu harus berbuat apa. Dia ingin bilang pada Arthur bahwa dia tidak nyaman dengan sentuhan Arthur dan bilang bahwa bisa saja dia refleks akan memukul lelaki itu jika salah pegang. “Dance yuk,” ajak Arthur. Dia kemudian berdiri. “Akh, itu. Aku gak bisa dance,” kata Abel. Arthur tersenyum, dia kemudian menarik tangan Abel dan membawanya ke lantai dansa. Suasana di lantai dansa sangat ramai. Abel merasa semakin tidak nyaman, apalagi ketika dia harus berkali-kali bertabrakan dengan orang yang tidak dikenalnya karena mereka menari dengan sesuka hati mereka. “Sumpah aku gak bisa dance sama sekali. Kita balik aja yuk,” kata Abel. Dia mulai mencari keberadaan Allysa karena semakin lama Arthur semakin banyak menyentuhnya. “Jangan dong sayang, ayo gerakan aja tubuhmu pelan-pelan. Ini musiknya sedang bagus.” Arthur mengambil tangan Abel dan mengajaknya berdansa tapi Abel hanya terdiam. Pria itu memanfaatkan Abel yang tengah diam itu dengan baik. Dia menempelkan tubuhnya ke tubuh Abel. Gerakan menarinya membuat tubuh keduanya bergeseran. Dia kemudian membalik tubuh Abel sehingga dia bisa dengan leluasa memegang b****g Abel. Abel terkejut karena hal itu tapi diam karena tidak tahu harus berbuat apa. Dia terdiam sambil mencari sosok Allysa, dia bahkan sudah hampir menangis. Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sudah dilihatnya dua hari ini. Teman dari bosnya yang suka menggodanya itu. Keduanya bertatapan, Abel hendak meminta tolong tapi lelaki itu langsung membuang muka dan mengeluarkan mimik muka aneh, seolah menghina. Abel tidak tahan lagi, dia langsung melepaskan tangan Arthur dari tubuhnya dan kemudian berlari ke toilet. Abel pusing karena keadaannya sekarang, dia ingin pulang. Abel bersandar di depan toilet. Dia hanya kabur dari Arthur dan keramaian itu saja. “Apa Luna tahu karyawannya seperti ini?” Seseorang membuat Abel membuka matanya, sosok Daniel berada di depannya. Tangannya dimasukkan ke kantong dan memandang Abel dengan tatapan merendahkan. “Apa maksudmu?” tanya Abel. Daniel sedikit terkejut karena perkataan Abel. Ternyata gadis ini tidak sesopan penampilannya di kantor. Oh iya lihat saja pakaiannya sekarang, mana mungkin dia adalah gadis yang sopan. “Wajahmu saja yang polos, ternyata Luna salah menyangka kalau kelakuanmu sepolos wajahmu,” sindir Daniel. “Apa maumu? Melaporkan pada Bu Luna?” Abel sudah tidak mau berargumen lagi dengan siapa pun, dia merasa pusing sekarang. “Hampir saja aku tertipu. Ku pikir kamu sebaik tampilanmu, ternyata kamu tidak lebih dari wanita-wanita yang sering kupakai setiap malam,” kata Daniel sambil meninggalkan Abel. Dia kecewa karena ternyata hanya wajah dan tubuh Abel yang mirip dengan Nara, sikap dan sifat mereka berbeda. Memang hanya Nara yang benar-benar sempurna untuknya. Abel mendengus kesal sekaligus sakit hati karena kata-kata Daniel. Bagaimana mungkin lelaki itu menilai seseorang hanya dengan penampilannya saja. Abel kemudian melihat dirinya di cermin, dia kemudian tersenyum menyedihkan. “Tentu saja orang akan berpikir kau seorang p*****r dengan tampilan begini,” gumam Abel. “Aku cariin ternyata disini.” Sosok Arthur muncul. Tanpa basa-basi Arthur langsung memegang bahu Abel dan menariknya ke dalam kamar mandi. Abel panik karena dia tahu Arthur akan melakukan hal buruk padanya. “Arrkkkhhh” “Percuma berteriak, tidak ada yang akan mendengarmu. Sekarang lebih baik ikuti saja mauku selagi aku ingin melakukannya dengan lembut.” Kata Arthur sambil memegang p******a Abel. Abel berontak mendapatkan perlakuan seperti itu. Merasa Abel memberontak membuat Arthur melayangkan tamparan ke wajah Abel. Sakit. Abel menangis tidak menyangka bahwa dia akan kehilangan kesuciannya dengan cara seperti ini. Arthur semakin mengunci tubuh Abel dengan memeluknya. Pria itu sibuk mencium leher jenjang Abel. Sementara itu Daniel merasa ada yang aneh. Dia baru saja berpapasan dengan pria yang menemani Abel di lantai dansa. Pria itu terlihat buru-buru dan tak lama kemudian Daniel mendengar teriakan. Dia mencoba tidak peduli tapi juga penasaran. Karena itu Daniel kembali ke toilet, tapi dia tidak menemukan keduanya. Saat akan pergi dia kembali menangkap suara tangisan yang berasal dari sebuah ruangan toilet. Daniel perlahan mendekat. “Tolong jangan perkosa aku.” Daniel tahu itu suara Abel. Untungnya pintu itu belum dikunci. Dengan cepat Daniel membuka pintu itu dan menemukan Abel dan pria itu di dalam sana, Abel menangis. Daniel lalu menarik lelaki itu keluar toilet dan memukulnya. “Gak ada orang yang lebih rendah daripada seorang pemerkosa. Setidakpercaya diri itukah kamu sampai mau melakukan hal rendahan?” kata Daniel. “b*****t! Kenapa ikut campur sih!” Arthur berteriak marah. “Kebetulan aku mengenalnya,” kata Daniel santai. Arthur bersiap untuk menyerang Daniel. Daniel yang melihat itu malah tertawa. "Silakan kalau mau menghajarku. Kamu akan menyesalinya saat kamu tahu siapa aku,” kata Daniel. Tidak berapa lama kemudian datang beberapa pria berbadan besar dan kemudian menyeret Arthur dengan mudah dari tempat itu. Setelah pengawal Daniel menyeret Arthur dia kemudian mencari keberadaan Abel tapi gadis itu sudah menghilang. Entah kenapa Daniel merasa bersalah sudah menghina gadis itu. Dia bukan wanita penghibur seperti yang lainnya. Buktinya dia ketakutan dengan pasangan kencannya sendiri. Daniel mendengus kesal. Karena hal ini, semua keinginannya lenyap. Dia merasa tidak b*******h lagi. Dia kemudian memutuskan untuk pulang saja. Lagi pula hari ini adalah hari yang lumayan melelahkan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD