Empat

468 Words
Aku memandangi suamiku yang tengah memakai kemeja hitam. Kadar ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. "Mas mau ke mana? Baru pulang udah siap-siap pergi lagi." Dia melirikku sambil berjalan ke arahku. "Acara perusahaan," dia memberikan dasinya, "tolong pakaikan." Aku bangun dari tidurku lalu memakaikannya, jarak kami terlalu dekat membuat aku sedari tadi menahan napas. Setelah selesai, barulah aku mengambil napas sebanyak-banyaknya. Dia berpamitan lalu meninggalkanku kembali di rumah. Aku menyetel film saja menunggu sampai suamiku pulang. Di tengah-tengah keseruan film, suara ponsel terdengar. Aku ingat betul itu bukan dering ponselku, melainkan ponsel milik Mas Bima. Ternyata barang terpenting pria itu tertinggal. Aku mencari benda tipis itu dan menemukannya di pinggir ranjang. Ada sebuah pesan dari karyawannya. Katanya, Shandra sudah menunggunya sedari tadi. Siapa Shandra? Aku tidak memusingkanya. Aku kembali fokus ke film yang aku tonton. Namun, suara dering ponsel Mas Bima kembali terdengar beberapa kali. Menganggu saja. Aku kembali membuka ponsel itu, karyawannya kembali berpesan kalau Shandra sedang memarah-marahi sekertaris Mas Bima. Bikin penasaran aja. Siapa sih Shandra? Aku membuka kunci ponsel itu lalu mulai mencari tahu, siapa Shandra. Napasku tercekat begitu melihat kontak Shandra yang berada di paling atas. Berada di daftar paling sering dihubungi. Mataku semakin memanas begitu melihat foto Mas Bima sedang bergandengan tangan dengan wanita yang aku tidak tahu siapa, mungkin dia Shandra. Aku mulai mencampur padukan seluruh kejanggalan yang aku rasa. Sekarang aku mengerti kenapa Mas Bima melarangku ikut dengannya ke kantor dan juga kenapa Mas Bima tidak mengajakku ke acara kantornya. Mungkin dia sudah ditemani oleh Shandra itu. Air mataku seketika terjatuh, sakit rasanya dibohongi. Aku mematikan televisiku dan juga meletakkan dengan kasar ponsel Mas Bima. Aku menangis sampai tertidur. Aku terbangun dengan Mas Bima sudah tidur di sampingku. Kejanggalan harus aku selesaikan malam ini juga. Aku langsung membangunkannya. Dengan mataku yang membengkak khas seperti orang yang habis menangis, membuatnya kaget. Dia membuka matanya dengan lebar, tapi tidak kunjung mengeluarkan suara. "Aku sakit hati. Mas bohongi aku. Mas selingkuhin aku," tuduhku secara bertubi-tubi. Dia menatapku dengan pandangan yang datar, seakan memintaku untuk melanjutkan ucapan. "Siapa Shandra? Dia yang menemani Mas di kantor dan juga di acara kantor tadi? Karena itu Mas enggak mau ngajak aku? Iya kan." Mas Bima hanya terdiam memandangku dengan tatapan datar. Menyebalkan sekali. Aku menangis sejadi-jadinya. "Aku juga lihat di galeri ponsel Mas, foto mesra Mas dengan perempuan. Dia pasti Shandra kan?" ucapku lagi. Mas Bima hanya diam lalu tangannya memberikan air putih untukku. Aku menepisnya membuat airnya tumpah ke ranjang kami. Aku sengaja membuat emosi Mas Bima naik, tetapi nyatanya tidak. Dia mengambil tissue lalu membersihkannya. "Mas, jangan diam aja. Kebiasaan." "Saya malas melandeni overthinking kamu." "Kok overthinking?" Mas Bima meredupkan lampu kemudian dia memejamkan matanya kembali. "Sudah malam, tidur kamu." "Mas, aku butuh penjelasan sekarang." Sudah dapat diprediksi bawah Mas Bima tidak lagi bersuara sampai pagi menjelang. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD