Tiga

534 Words
"Aku buatkan teh hijau mau?" tawarku. Kali aja setelah dibaik-baikan dia luluh. Namun, dia sama sekali belum menggubris. Aku dinikahin patung kali ya? Karena terlalu lelah untuk mendapatkan tanggapan, aku memilih untuk memejamkan mata saja. Duduk di kursi sebelah Mas Bima. Menemaninya menyelesaikan urusan kantornya lalu setelah itu kami tidur bersama di kamar. "Jangan tidur di sini." Akhirnya suamiku bersuara. Aku semakin memejamkan mata saja memilih untuk tidak menggubrisnya. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang mengusap puncak kepalaku lalu berbisik kecil. "Ayo ke kamar." Aku membuka mataku, Mas Bima sudah menutup laptopnya. Dia berjalan lebih dahulu menuju ke kamar. Dengan senyum yang mengembang aku ikuti langkahnya. Dia masuk ke dalam selimut lalu menutup matanya. Aku naik ke ranjang lalu menepuk-nepuk pipinya, mencoba membangunkannya yang pasti belum tertidur. "Mas aku benar-benar minta maaf. Lain kali aku izin kalau mau pergi." Dengan mata yang terpejam dia mengangguk. Aku tersenyum simpul, tidak apa-apa dibalas hanya dengan senyuman yang penting aku sudah dimaafkan. Aku ikut masuk ke dalam selimut, memposisikan tubuh untuk membelakangi suamiku lalu tertidur. Kali ini aku bisa tertidur dengan tenang. Pada pagi harinya, aku menyiapkan keperluan dia kerja. Kali ini seperti kemarin, aku terbangun dia sedang mandi. Aku tidak mau lagi membuka pintu kamar mandi, biarkan saja. Aku memilih untuk langsung menyiapkan bajunya. Aku mengetuk pintu kamar mandi. "Mas, aku udah siapin bajunya. Aku ke bawah dulu ya, siapin sarapan," ucapku sambil bergegas keluar dari kamar. "Mandi dulu kamu," ucapnya yang mampu membuat aku berbalik masuk lagi ke kamar. "Nanti enggak keburu, Mas. Aku siapin dulu sarapannya. Setelah itu baru aku mandi." "Kamu mandi dulu," ucapnya dengan kalimat yant dibalik, tetapi maksudnya sama. Suamiku benar-benar tidak bisa dinego. Aku kembali duduk di ranjang dan menunggunya untuk bergantian menggunakan kamar mandi. Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya suara pintu terdengar. Tanpa membuka suara aku masuk ke dalam kamar mandi. "Saya mau pakai baju di kamar mandi." "Di situ aja, Mas." "Kemarin kamu nyuruh saya pakai di kamar mandi." "Ya kan sekarang ga ada aku di situ." "Plin-plan kamu." Aku tidak menggubris, aku langsung saja masuk ke dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, kami sudah berkumpul di meja makan. Dia menikmati roti coklatnya dan aku hanya meminum s**u putih. "Kamu pulang jam berapa, Mas?" Mas Bima mengecek jadwalnya. "Jam delapan." "Aku bosan di rumah." "Lalu?" "Teman-teman aku kerja, enggak bisa di ajak nongkrong lagi." "Lalu?" "Ya, aku bosan." Aku melirik ke arah Mas Bima, "ikut Mas Bima ke kantor, boleh?" "Enggak." "Ih, Mas. Kenapa?" tanyaku dengan bibir yang mengerucut. Dia benar-benar tidak pengertian dengan kondisi sang istri. "Saya di sana kerja. Kamu akan bosan juga di sana." Mungkin memang nasibku hanya berdiam di rumah. Bekerja untuk mengurusi suami dan menunggu suami pulang kerja. Aku menghela napas panjang lalu kembali menyeruput s**u putih di gelasku. Kami terdiam sampai Mas Bima selesai sarapan. Dia mengeluarkan sesuatu dalam dompetnya. Beberapa kartu kredit dan ATM. "Buat kamu, pakai aja." Kedua mataku seketika berbinar-binar. "Saya mau kerja dulu." Aku mengangguk lalu mengantarnya keluar rumah. Aku menyalaminya dan dia mengusap kepalaku. "Mas, aku belanja ke mall boleh?" "Boleh, di bawah jam delapan harus sudah sampai di rumah." "Oke, makasih, Mas." Setelah Mas Bima telah berlalu dari hadapanku, aku bergegas cepat untuk bersiap belanja. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD