Dua

566 Words
Hari pertama pernikahanku sudah ditinggal suami bekerja. Pekerjaan tidak punya, hanya sibuk memainkan ponsel dan menonton film. Bosan. Tanganku mengetik pesan mengajak teman-temanku untuk nongkrong di luar. Mungkin karena hari ini hari Minggu sehingga teman-temanku menyetujuinya. "Gimana?" tanya Ola sambil menyeruput jusnya. Aku yang baru duduk mengerutkan alis, tidak paham dengan pertanyaannya. "Gimana apanya?" "Malam pertama dengan pria dewasa lo itu," ucap Ria membalas. Memang umurku dengan Mas Bima terpaut jauh, sepuluh tahun. Mas Bima memang sudah sangat dewasa, diumurnya yang sudah menginjak tiga puluh dua tahun seharusnya dia sudah mempunyai dua anak. "Ga gimana-gimana, biasa aja. Tidur biasa." "Ga asyik!" ucap Ola dan Ria berbarengan. "Ya, gimana. Belum ada cinta diantara kita. Kalian kan tau gue menikah karena status. Gue cape dijodoh-jodohkan dan dia butuh istri untuk mengurusinya." "Lagian kenapa harus dia sih?" Mataku menerawang jauh. Jawabannya aku tidak tahu. Hanya Mas Bima yang tiba-tiba datang di dalam hidupku dan menawarkan hidup untuk bersama dengannya dalam ikatan pernikahan. Dari awal bertemu dengannya aku merasa cocok. Pria yang mapan, dewasa, bertanggung jawab, dan tampan memang menjadi kriteriaku, Mas Bima masuk ke dalamnya. Disaat itu tanpa berpikir panjang aku langsung menyetujui ajakannya. Aku pikir, mungkin cinta akan datang dengan sendirinya. Jika kita sering berinteraksi dan menghabiskan waktu bersama, tidak mustahil untuk kita saling jatuh cinta. Aku menaikkan bahu. "Mungkin udah jodohnya kali." Mareka berdua hanya mengangguk lalu kami melanjutkan pembicaraan ke topik yang lain. Matahari sudah tenggelam. Aku menatap ke jam tanganku, sudah pukul sembilan malam. Aku berpamitan untuk segera pulang ke rumah Mas Bima, mungkin pria itu sudah pulang. Dan benar saja saat aku memasuki gerbang rumah, mobil Fortuner hitam milik Mas Bima sudah terparkir di garasi. Buru-buru aku melangkah cepat masuk ke dalam. "Dari mana kamu?" baru membuka pintu kamar, suara Mas Bima terdengar. Aku melirik ke arah ranjang. Mas Bima bersandar di ranjang dengan laptop di pangkuannya. Sudah malam, masih saja kerja. "Bosan. Enggak punya kerjaan. Jadi, aku pergi aja," ucapku sambil mengambil pakaian ganti di lemari. "Ke mana?" "Mall. Sama teman-teman." "Saya enggak baca pesan izin dari kamu." Tanganku yang baru memegang gangang pintu kamar mandi seketika langsung berhenti. Iya aku sadar, aku tidak izin dengannya. "Lupa. Maaf." "Lupa punya suami?" tanyanya. Kali ini aku tidak menanggapi, aku membuka pintu kamar mandi lalu langsung masuk ke dalamnya. Kaus hitam dan celana hotpants sudah melekat di tubuhku. Ini adalah pakaian yang biasa aku pakai untuk tidur. Tidak lupa rangkaian skincare malam aku pakai. Setelah semua selesai aku keluar dari kamar mandi. Mas Bima sudah tidak ada di ranjang, mungkin lagi ngambil minum. Aku naik ke ranjang lalu memejamkan mataku, bersiap untuk tidur. Namun, dua jam telah berlalu aku belum tertidur. Pikiranku memikirkan Mas Bima yang belum kembali ke kamar. Dia marah kali ya? Aku berusaha menepis pikiran itu. Mas Bima kan sudah dewasa, masa gara-gara hal sepele seperti itu dia marah. Ga mungkin. Aku berusaha kembali untuk tidur. Pikiran tentang Mas Bima semakin menjadi-jadi. Akhirnya aku keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Mas Bima. Aku menemukannya di ruang kerjanya. Masih sibuk dengan laptopnya. "Mas Bima, jangan marah." Aku menarik kursi lalu duduk di sebelahnya. Dia masih saja fokus dengan kesibukannya, seolah tidak menggubris ucapanku. "Mas, maaf ya." Aku menggoyang-goyangkan tangan Mas Bima. "Mas, ih, dengerin dulu dong." Dia melirikku dengan tatapan tajamnya. "Saya lagi sibuk, sana." Dia mengusirku. Teganya sama istri. "Tapi jangan marah ya." "Mas!" "Mas Bima!" "Sana, sana." Tua-tua kok ngambek? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD