Dia

1322 Words
* *   Malam yang mulai larut tidak membuat dua sahabat ini mengantuk dan menidurkan dirinya. Mereka berdua masih asyik bercerita tentang apapun selama dua bulan mereka tidak bertemu, sedangkan Angga si bocah kecil itu sudah terlelap dalam tidurnya. "Bagaimana kabar New York selama aku pergi?" tanya Disa sambil menyesap coklat hangat yang baru saja ia buat dan memandang sahabatnya yang sedang mengganti-ganti chanel tv di depannya. "Yah begitulah, Justin Bieber masih menjadi si playboy hollywood." Aira mematikan tv dan membalas tatapan Disa yang sudah siap untuk mengobrol lagi dengannya. Mendengar hal tersebut membuat Disa menyebikan bibirnya, "Gue serius, Ra!" gerutunya sebal. Membuat Aira terkekeh geli. "Gue juga serius Disa," seru Aira tidak mau kalah. "Sudahlah gue mau tidur dulu." Disa akan beranjak ketika Aira dengan cepat menyelanya berdiri. "Gitu aja udah ngambek, lo udah umur berapa sih Dis, udah mau nikah juga masih suka ngambek gak jelas." Ujar Aira sambil bersandar di bahu Disa yang sudah duduk lagi dan bersandar di sofa. "Biarin, kan gue ambeknya sama lo doang." Seru Disa tidak mau kalah yang membuat mereka berdua terkekeh geli. "Gue dan Angga baik-baik aja kok disana, ya walaupun pada awalnya Angga harus rewel jauh dari lo. So far so good, Angga udah mulai terbiasa." Jelas Aira. "Gue gak tega ninggalin kalian berdua disana, kan lo tau gue gak bisa jauh dari Angga." Aira mendengus, "Itu mah lo aja yang gak bisa jauh dari Angga, padahal pesona lo kalah telak dengan Revon yang bisa membuat Angga ngintilin dia kayak prangko, kelet banget gak mau dipisah." Membuat kedua sahabat itu tertawa, membayangkan tingkah Angga yang selalu mengekori Revon kemanapun pria itu pergi, dan salah satunya ke kamar mandi. "Untung tadi dia jet lag, kalau gak pasti dia akan ikut tidur di rumah Revon dari pada tidur sama wanita cantik seperti kita." Tambah Disa yang membuat mereka kembali tergelak. "Iya gue juga gak percaya Angga segitu lengketnya sama Revon. Padahal dengan Randi aja Angga gak segitunya." "Mungkin ada sosok Ayah yang Angga dapatkan dari Revon." Kata-kata yang tanpa sengaja diucapkan Disa, membuat mereka berdua terdiam membisu. Terutama Aira yang langsung duduk tegak dari sandaran di bahu Disa. "Lo gak ingin bertemu dengan dia, Ra?" tanya Disa serius, sekarang sudah menghadap langsung pada Aira yang masih diam mematung. Aira milirik tak suka, "Siapa?" "Ayah Angga, keluarga lo."  "NO!" jawab Aira tajam, matanya menyalang marah pada sahabatnya itu. Disa menghela nafas panjang, "Lo gak bisa terus kayak gini Ra, Angga perlu tahu siapa ayahnya!" seru Disa tidak mau kalah, ia sudah cukup bersabar untuk menghadapi keras kepala sahabatnya itu. Bagaimanapun Angga harus tahu siapa ayahnya. Tidak ada air mata, hanya tatapan kebencian yang sekarang terlihat dari sorot mata Aira. "Jangan paksa gue Dis, sudah cukup gue gila karena si b******k itu. Dan sekarang lo nyuruh gue ngasih tahu kalau dia ayah dari anak gue!" sentak Aira tajam. "Jadi jangan pernah lo ngukit masalah ini dihadapan gue maupun Angga, ngerti lo!" setelah mengatakan itu, Aira beranjak pergi. "Lo egois, Ra! Lo gak pernah tau betapa Angga sangat membutuhkan pria b******k itu!" balas Disa emosi, membuat Aira berhenti melangkah. Aira tertawa sinis, tanpa membalik badannya. "Dan lo juga udah lupa bagaimana gilanya gue dulu karena pria b******k itu!" desis Aira dingin, kemudian membanting pintu kamarnya keras tidak peduli jika Angga akan terbangun dari tidurnya. Aira sangat membenci ketika Disa atau orang lain membahas tentang ayah Angga, karena menurutnya pria b******k itu tidak pantas menjadi Ayah dari anaknya. Disa pun sangat mengerti bahwa Aira sangat membenci laki-laki yang sudah merusak hidupnya dan impiannya itu. Tetapi bagaimana dengan Angga? Anak itu selalu bertanya siapa dan dimana ayahnya setiap kali dia berulang tahun, dan itu membuat Aira merasa bersalah dan semakin membenci pria itu. Sedangkan Disa hanya bisa menjawab pertanyaan dari Angga bahwa ayahnya sedang pergi mencari uang. Sebuah alasan yang selalu sama disaat bocah tiga tahun itu menanyakan tentang Ayahnya. *** Di sebuah perkantoran pusat kota seorang pria dewasa berbadan tegap dengan wajahnya yang rupawan, sedang berjalan dengan beberapa orang pria menuju sebuah lift.  "Apa agenda saya hari ini?" tanyanya datar pada pria berkacamata yang sedari tadi berdiri disampingnya. "Jam delapan pagi, ada meeting dengan investor dari Thailand untuk membahas tentang perusahaan yang akan mereka bangun tahun depan." Jelasnya sambil menutup kembali note kecil yang selalu dibawa dalam sakunya. "Bagaimana dengan Wiratama, Ben?" tanya pria tampan yang tidak lain bernama Raffa yang sedang menikmati pantulan dirinya di pintu lift. "Sudah saya alihkan pada pak Revon untuk menghendelnya, sesuai permintaan anda tadi malam." Raffa mengangguk sambil membetulkan dasinya. "Baiklah, suruh Revon keruangan saya setelah ini." Pintu lift terbuka, membuat Raffa dan beberapa orang melangkah keluar menuju ruangannya masing-masing. "Ada apa lo manggil, gue?" tanya seorang pria yang berjalan menedekati meja Raffa, yang sedang sibuk bergelut dengan berkas-berkasnya. Raffa mendongak, dan mengambil sesuatu. "Ini proposal yang Beny katakan tadi malam. Gue udah baca, tapi menurut gue ada beberapa hal perlu lo setujui." Jelas Raffa sambil menyerahkan proposal pada Revon yang berdiri di depan mejanya. Revon mengernyit, "Bukannya lo udah setuju untuk kerjasama ini, kenap harus tanya ke gue lagi?" Pikir Revon. Karena tidak seperti biasanya Raffa akan menanyakan kembali tentang keputusan yang sudah pria itu ambil. Dan menurut Revon, Raffa adalah pria yang memiliki ketelitian dan insting yang kuat jika menyangkut pekerjaannya. Jadi jangan heran, jika usaha yang mereka rintis bersama dua tahun lalu. Bisa berkembang dengan pesat setiap tahunnya. "Gue belum yakin dengan penawaran yang mereka sodorkan ke kita, dengan harga saham mereka yang mulai menurun beberapa minggu ini. Gue gak mau harus menutupi biaya produksi mereka jika nilai saham mereka semakin jatuh." Raffa menjelaskan keraguannya, sesuai pemikiran Revon bahwa sahabatnya itu memiliki insting yang bagus jika menyangkut dengan pekerjaannya. "Tapi bagaimanapun lo gak bisa batalin begitu aja, apalagi lo udah pernah bilang setuju pada pihak mereka." Kata Revon, sambil membuka dan membaca beberapa hal dalam proposal itu. "Karena itu gue butuh lo buat menghendel masalah ini, oh ya lima belas menit lagi gue ada meeting, so good luck for your meeting bro." Raffa beranjak dan mengambil beberapa berkas, lalu pergi meninggalkan Revon yang belum sempat menyetujuinya.  "Selalu saja seenaknya sendiri." *** Di tempat yang sama, seorang wanita cantik dengan bocah tampan yang ada di gendongannya sedang menunggu seseorang yang sudah membuat janji dengannya siang ini.  "Om EVON!!" teriak Angga keras ketika melihat Revon baru saja keluar dari pintu lift, dan hal tersebut mengundang beberapa mata yang sedang berlalu-lalang di lobby untuk melihat kearah mereka. Revon yang mendengar suara melengking memanggilnya, segera menghampiri mereka dengan senyum yang terkembang di wajah tampannya. "Hai, jagoan Om." Sapa Revon ketika sudah berdiri di depan Disa dan Angga. Dengan lincah Angga langsung menubruk badan Revon dengan keras yang membuat Disa terhunyung ke depan gara-gara ulah brutal keponakannya itu. "Astaga sabar jagoan, kamu bisa membuat Onty mu jatuh!!" tegur Revon sambil membetulkan Angga yang terkekeh geli dalam gendongannya. "Kamu tidak apa-apa sayang?" tanya Revon pada Disa yang masih membetulkan rambutnya yang tertarik karena ulah Angga tadi. Bukannya menjawab Disa hanya mengerucut sebal melihat Angga yang masih menertawakan dirinya. "Lain kali Onty gak mau gendong kamu lagi!!" seru Disa yang membuat dua pria beda usia itu tertawa bersama. "Onty, sorry." Ujar Angga polos yang membuat Disa tersenyum seketika. Hatinya tidak setega itu ketika melihat wajah polos Angga yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri memohon maaf padanya. "Oh sweethearts, sini-sini cium Onty." Dengan cepat Angga mengecup beberapa kali bibir tipis Disa, yang membuat gadis itu tersenyum senang dan Revon melotot tak terima. "Hey that is my place, jagoan!" seru Revon tidak terima ketika dengan seenaknya Angga mengecup tempat favoritenya beberapa kali, sedangkan Disa hanya menggeleng pelan melihat kelakuan tunangannya itu. "Sampai kapan kita akan berdiri disini?" Disa menyela kegiatan dua pria beda usia yang sedang saling tatap-menatap tidak penting. Revon yang mendengar gerutuan tunangannya kembali tersenyum.  "Oh ya, dimana Aira?" Revon menyadari tidak melihat kehadiran sahabat kekasihnya itu dari tadi. "Dia sedang mengangkat telfon, itu dia." Tunjuk Disa pada wanita cantik berambut panjang yang sedang berdiri di depan pintu masuk lobby. Dan disisi lain seorang pria yang sedari tadi memperhatikan romantisme sahabatnya itu, terpaku ketika Disa menunjuk wanita yang sedang berdiri membelakangi-nya. Dan ketika wanita itu bergerak menyamping, jantung Raffa seakan berhenti sejenak. "Dia."    * *          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD