Bab 3 : Don't Try Harder

2168 Words
# Mahesa melangkah masuk ke dalam perpustakaan pribadi keluarganya. Seorang wanita tua tampak duduk tenang dengan buku di pangkuannya sambil menikmati secangkir teh dengan aroma melati. "Nenek...ada apa?" tanya Mahesa sopan. Neneknya mengangkat wajahnya dan menatap Mahesa dengan senyuman. "Duduklah, kau jarang menemui nenek dan selalu sibuk di luar sana. Nenek tua ini merindukan cucu lelakinya, apa tidak boleh?" Mahesa tersenyum. "Maafkan aku nek. Tentu saja boleh, nenek adalah satu-satunya keluargaku," ucap Mahesa. Neneknya menutup buku di pangkuannya dan kali ini menatap Mahesa dengan tatapan serius. "Mahesa, katakan kepada nenek. Apa kau berada di balik kecelakaan pesawat yang dialami keluarga Windardi beberapa waktu lalu?" Mahesa mengerutkan keningnya untuk beberapa saat, kemudian menggeleng pelan./ "Siapa yang mengatakan omong kosong itu kepada nenek?" tanyanya sambil tertawa. "Jawab pertanyaan nenek." Kali ini nada suara nenek terdengar lebih tegas. Mahesa menarik napas berat. "Tidak. Itu murni kecelakaan. Bahkan sekalipun aku ingin melakukannya, aku tidak akan melibatkan orang-orang yang tidak berdosa," ucapnya. Nenek mendesah lega. "Syukurlah kalau begitu. Jangan lagi terlibat dengan keluarga itu. Lupakan dendammu. Kakak angkatmu-pun tidak akan tenang kalau tahu kau menyimpan dendam sedemikian besar pada orang lain karena dirinya." Mahesa menatap nenek dengan tatapan yang sulit dipahami. "Aku ingin. Tapi aku tidak bisa. Maafkan aku nek. Aku permisi," ucap Mahesa sambil berdiri dan berlalu meninggalkan tempat itu. Nenek hanya bisa menatap kepergian Mahesa dengan tatapan prihatin. "Dia membenci keluarga itu, sama seperti dia membenci kedua orang tuanya. Seandainya saja, aku bisa menemukan Mahesa lebih cepat, dia bisa tumbuh lebih baik dan tidak perlu mengalami semua kejadian menyakitkan itu." Nenek hanya bisa mendesah lemah. Rona mendekati nenek dan meraih tangannya. "Nyonya, itu bukan kesalahan anda. Jangan terlalu dipikirkan, tidak baik untuk kesehatan anda," ujarnya. Nenek menatap Rona, pelayan pribadinya. "Apa kau sudah bisa menghubungi Dayu? Kalau tidak salah dia bekerja untuk Mahesa bukan?" tanyanya. Rona mengangguk. "Sudah tapi...."Rona tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Bagaimana mungkin ia memberitahu Nyonya tua kalau Tuan muda menahan Puteri keluarga Windardi di villa pribadinya? "Tapi apa?" tanya Nenek. Rona menggeleng. "Tapi tidak ada yg perlu dikhawatirkan. Semua baik - baik saja," ucap Rona. Nenek menarik nafas panjang untuk kesekian kali. Tetap saja wanita tua itu merasa ada yang tidak beres dengan cucunya. # Mahesa menggeram marah. "Kalian semua tidak berguna! Apa menjaga seorang gadis muda terlalu sulit?! Kalau begitu untuk apa aku menggaji kalian!!!" Semua pelayan terlihat ketakutan. Tadi pagi salah seorang pelayan dengan ceroboh kehilangan kunci kamar milik Allana dan siangnya mereka tidak menemukan Allana di kamar. Wanita itu bahkan berhasil kabur untuk sesaat meski akhirnya bisa tertangkap lagi sebelum ia bisa keluar dari gerbang besi beraliran listrik yang mengelilingi villa besar dan megah itu. "Aku yang salah, jangan salahkan mereka. Aku yang ingin melarikan diri!" ucap Allana lantang. Para pelayan tampak kaget. Mereka tidak pernah melihat ada orang yang begitu berani menentang Tuan muda mereka dengan terang-terangan seperti itu. Bahkan Tante Dayu tampak menatapnya penuh peringatan. Mahesa mengalihkan tatapannya ke arah Allana yang terikat di belakangnya. Kilat matanya menunjukkan kalau ia benar-benar marah sekarang. "Kau benar-benar perlu dilatih untuk patuh," ucap Mahesa dingin. "Aku bukan anjing, kenapa harus dilatih dan kenapa harus patuh? Aku manusia, kau tidak berhak memperlakukanku begini!" Protes Allana sengit. Mahesa mengetatkan rahangnya. Wanita ini sungguh berani. "Bawa dia ke mobil!" perintah Mahesa. Dua orang penjaga keamanan langsung meraih kedua tangan dan bahu Allana serta menyeretnya ke mobil. "Kemana kau akan membawaku?" tanya Allana. Sorot matanya masih tetap menunjukkan pemberontakkan. Tante Dayu tampak memandang khawatir ke arah Allana. "Tuan, beri saya kesempatan sekali lagi. Saya akan berusaha memberi nona pengertian," ucap Tante Dayu. Ia tahu Tuannya tidak pernah main-main dengan apapun yang akan dilakukannya. "Kau gagal. Tampaknya usia membuat hatimu melembut Dayu. Kurasa tidak akan ada seorangpun yang bisa mengajari kucing liar itu selain aku sendiri," ucap Mahesa sambil berlalu dari tempat itu. Allana beringsut menjauh saat Mahesa masuk ke dalam mobil. Ia bahkan tidak berani membuka suara selama dalam perjalanan. Tidak lama kemudian mereka tiba di sebuah tempat. Dan kedua mata Allana ditutup saat akan keluar dari dalam mobil. Saat matanya dibuka, dia sudah berada disebuah ruangan. Mahesa bahkan menyuruh orang melepas ikatan di tangannya. "Bos!" Seorang pria dengan wajah dingin menghampiri Mahesa dan Allana. Mahesa masih diam, ia mendorong Allana duduk di atas sofa besar di tengah ruangan itu. "Duduk dengan tenang karena sebentar lagi kau akan mengerti akibatnya menentang ucapanku," ucap Mahesa dingin. Seorang pria di seret ke sisi lain ruangan yang dibatasi teralis besi. Wajahnya bengkak karena dipukuli, pakaian yang dikenakannya berlumuran darah. "No....na All...llaanah..." Pria itu tampak menatap Allana dengan berbagai-bagai ekspresi. Ada perasaan takut sekaligus khawatir dan kasihan saat matanya bertemu pandang dengan Allana. Allana membeku seketika. "Paman Ardian...!" Allana bergegas berdiri dan menghampiri pria itu, namun ia terhalang teralis besi di depannya. Mahesa mengangguk ke arah orang yang berdiri disampingnya dan kini orang itu mengarahkan senjata ke arah orang yang disebut Allana dengan panggilan Paman Ardian tersebut. Allana terpana sesaat sebelum akhirnya ia menyadari apa yang akan terjadi. "Kumohon.....kumohon....jangan lakukan. Paman Ardian orang baik, jangan membunuhnya." Allana mencoba mencegah apapun hal buruk yang mungkin terjadi pada orang yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri itu. "Kau tahu kenapa aku ingin membunuhnya?" tanya Mahesa. Allana mengalihkan tatapannya ke arah Mahesa, matanya masih berlinangan air mata. "Paman Ardian adalah orang yang sangat baik! Dia tidak pernah mencari musuh, tidak pernah mengganggu orang lain! Kenapa kau begitu kejam? Kenapa kau memperlakukan dia begini!" Allana berteriak dengan suara serak. Ia benar-benar membenci pria di depannya ini. Mahesa tersenyum sinis. "Terserah, kenyataannya aku tidak hanya akan membunuh dirinya, tapi juga menghabisi seluruh keluarganya," ucap Mahesa. Allana terduduk lemas. Iblis macam apa yang kini tengah berada di hadapannya? Ia belum pernah sekalipun bertemu dengan orang yang sejahat pria di depannya ini. Mahesa bangkit berdiri dan meraih pistol di tangan anak buahnya, ia ganti mengarahkan pelatuk ke kepala Paman Ardian. "Jangan lakukan!" Allana menahan tangan Mahesa dengan berlinangan air mata. "Hem...." Mahesa menatap Allana penuh kemenangan. "Kutanya sekali lagi, kau tahu kenapa aku ingin membunuhnya?" tanya Mahesa. Allana menggeleng lemah. Sebuah senyuman miring terukir di sudut bibir Mahesa. "Karena dia orang yang berarti untukmu selain kedua saudaramu. Siapa tahu, karena dirimu, berikutnya adalah kedua saudaramu yang akan bernasib sial," ucap Mahesa akhirnya. Allana membeku. Sekarang ia paham, Mahesa memang bersungguh-sungguh. "Kalau begitu, kumohon jangan sakiti dia, aku akan melakukan apa saja yang kau inginkan," ucap Allana dengan suara bergetar. "Berlutut," perintah Mahesa. Allana menurut. Ia berlutut di hadapan Mahesa tanpa ragu. Mahesa tertawa puas. "Sekarang, apa kau masih ragu kalau aku benar-benar akan mencelakai keluarga dan orang - orang di sekitarmu jika kau berani membuatku kesal?" tanya Mahesa. Allana hanya diam. Mahesa mengarahkan pistol ke wajah Allana. Allana memejamkan matanya. Jika ia bisa memilih, ingin rasanya ia mati sekarang juga. Dia sudah ternoda, masa depannya terenggut, kedua orang tuanya sudah meninggal dan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolong kedua saudaranya. Ia benar - benar berharap pria itu akan menarik pelatuk pistol tersebut sekarang. "Kau ingin mati? Akan kukabulkan tapi aku akan membunuh juga kedua saudaramu, paman Ardian-mu beserta keluarganya dan semua orang yang pernah kau kenal. Apa kau bisa menanggung semua itu?" tanya Mahesa. Allana membuka matanya. "Tidak. Jangan.......Aku mengerti..... Jangan lakukan....." jawab Allana. Mahesa tertawa. Ia menarik rambut Allana hingga wanita itu mendongak menatapnya. "Senang mendengarnya," Mahesa menyerahkan kembali pistol di tangannya kepada bawahannya. "Bawa dia pergi. Dan kalian semua keluarlah. Aku masih harus melatih kucing kecil ini bagaimana seharusnya bersikap," perintah Mahesa. Dalam sekejap, ruangan itu telah kosong menyisakan Mahesa dan Allana sendirian. Mahesa menekan sebuah tombol dan tampak adik Allana yang tengah berada di RS dalam keadaan koma dan seorang pria berpakaian hitam tengah mengarahkan pistol berperedam ke kepala adiknya. "Kau sudah berjanji, jangan sakiti adikku." Allana tampak semakin panik. Mahesa duduk di atas sofa dengan santai. "Memang, tapi kau bahkan mencoba melarikan diri tadi. Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" ucap Mahesa. "Jangan sakiti adikku, kumohon. Aku janji tidak akan mencoba kabur lagi, aku akan melakukan apapun yang kau inginkan," ucap Allana. Ia mulai terisak. "Baiklah. Ini kesempatan terakhirmu. Jika kau bisa memuaskanku...aku akan melepaskan adikmu dan semua akan berjalan sesuai perjanjian yang sudah kau tanda tangani. Bagaimana?" tanya Mahesa lagi. "Di...disini?" Allana tampak ragu untuk sesaat. Bagaimanapun ruangan ini tidak terlihat seperti sebuah kamar. "Hanya kita berdua disini, atau kau ingin semua bawahanku dan paman Ardian-mu itu menyaksikan kita berdua?" Nada suara Mahesa terdengar dingin. "Tidak!...aku....aku mengerti." Allana menyahut cepat. Sekali lagi, Mahesa telah melukai harga dirinya yang masih tersisa. Mahesa tersenyum miring. "Apa lagi yang kau tunggu?" Allana terdiam sesaat lamanya sebelum ia melangkah mendekati Mahesa dengan langkah canggung. Perlahan ia mencium bibir pria itu selama beberapa saat. Menyambut dengan lembut dan canggung ketika Mahesa membalas ciumannya. Ini pertama kalinya bagi Allana mencium seorang pria selain kekasihnya. Bahkan Reinhart -kekasihnya dulu tidak pernah menciumnya seperti yang dilakukan Mahesa. Allana menarik diri lebih dulu, napasnya terengah-engah karena kekurangan oksigen. Bibirnya terlihat sedikit bengkak. "Sialan, kau benar-benar harus belajar cara memuaskan seorang pria. Kalau cuma seperti ini, aku sama sekali tidak puas," ucap Mahesa tidak sabar. Ia meraih wajah Allana lagi dan melanjutkan ciuman mereka dengan lebih agresif. Kali ini Allana sama sekali tidak melawan. Ia melingkarkan lengannya dengan ragu-ragu keleher Mahesa. Membiarkan ketika pria itu mulai mencumbunya dan menanggalkan pakaian yang dikenakannya. Sekarang dia tidak hanya kotor, tapi juga merasa kalau dirinya sangat menjijikkan saat ia bisa mendengar suaranya sendiri yang mendesah parau ketika Mahesa menyatu untuk kesekian kali dengan dirinya. Tadinya Allana berpikir, kalau ia bisa melarikan diri dari Mahesa, ia bisa meminta pertolongan dari Reinhart. Keluarga Reinhart adalah orang-orang yang berpengaruh juga. Tapi setelah hari ini, harapan tersebut pupus dari benaknya. Mahesa menuntun Allana untuk bergerak di atas tubuhnya. Menatap bagaimana pandangan wanita miliknya itu meredup dalam kenikmatan, meski sesekali ia bisa melihat kilatan penyesalan di kedua bola matanya yang kelam. "Tidak seharusnya kau berpikir tentang orang lain, saat kau tengah berusaha memberi pelayanan kepada calon ayah dari anakmu," ucap Mahesa. Allana tersadar dari lamunannya. Pria ini seakan bisa menembus ke dalam pikirannya. Sebelum ia menyadarinya, Mahesa memutar posisi mereka dan mengambil alih kendali. Pria itu kembali mencumbunya dan memaksa Allana untuk kembali menerima benih pria itu menerobos masuk ke dalam rahimnya. Selamat tinggal Reinhart- batin Allana sedih. Dia sudah tidak mungkin kembali lagi. Dia tidak mungkin bisa berharap lagi meski sedikit untuk berdiri di sisi Reinhart. Dia terlalu kotor. # Tante Dayu memang terlihat tetap tanpa ekspresi dan datar ketika Mahesa akhirnya kembali sambil membawa Allana yang terlelap dalam gendongannya. Akan tetapi tetap saja dalam hatinya ia merasa khawatir pada apa yang mungkin dilakukan Tuannya pada gadis itu. Mahesa membawa Allana ke kamar dan meletakkan tubuh Allana dengan hati-hati di atas tempat tidur. "Aku memberinya obat tidur ditambah dia memang kelelahan, kurasa dia tidak akan bangun sampai besok pagi. Suruh orang menambah kamera keamanan dan juga aku sudah menambah orang yang akan berjaga di sekeliling rumah," ucap Mahesa. "Baik Tuan," ucap Tante Dayu. Mahesa mengangguk puas. Ia menatap wajah tertidur Allana untuk sesaat lamanya. Ada perasaan yang sangat familiar saat ia pertama kali melihat wanita ini, bahkan hingga saat ini. Wajah mungil itu mengingatkannya pada kakaknya. Kalau dilihat-lihat lagi, entah kenapa terkadang ia merasa kalau raut wajah Allana memiliki kemiripan dengan kakaknya, itulah sebabnya ia menginginkan wanita ini menjadi miliknya sejak pertama kali ia melihat Allana yang masih memakai seragam SMA. Inilah yang terbaik. Dengan begini, ia bisa membalas keluarga Windardi sekaligus mendapatkan wanita yang ia inginkan. Si tua Windardi yang pernah mengatainya sebagai darah kotor itu pasti tidak akan pernah menyangka akan menjadi kakek dari anaknya, orang yang pernah dikatainya sebagai anak haram berdarah kotor. Sayang sekali tua bangka itu harus begitu cepat meninggal. Mahesa menarik napas panjang. Seandainya Allana bukan putri dari keluarga Windardi, ia mungkin akan memperlakukan wanita itu dengan lebih baik dan mereka mungkin bisa memiliki hubungan yang normal. Wanita secantik ini, harus memiliki nasib semengenaskan ini salahkan saja keluarga Windardi. Mahesa melangkah keluar namun sebelumnya ia berhenti untuk sesaat. "Tante Dayu, besok biarkan dia keluar dari kamarnya. Dia bisa melakukan apapun yang dia inginkan di rumah ini selama dia tidak melarikan diri. Dan juga kalau dia bangun, besok pagi, katakan padanya aku akan membawanya menemui adiknya saat aku kembali dari perjalanan bisnis ke Singapura minggu depan," ucap Mahesa. "Baik Tuan." Tante Dayu mengangguk paham. Mahesa melanjutkan langkahnya meninggalkan kamar itu. Tante Dayu mendesah panjang. Ia hendak merapikan selimut yang menutupi tubuh Allana saat melihat bekas aliran air mata yang mengalir perlahan di pipi wanita itu. Perlahan ia menghapus air mata Allana dengan lembut. Gadis ini pasti sangat tertekan, hingga ia bahkan menangis dalam keadaan tertidur seperti ini. Tapi penderitaan gadis ini sama sekali belum berakhir. Jika benar nanti ia harus mengandung dan melahirkan anak Tuan Mahesa, dia pasti akan semakin menderita. Ia hanya belum menyadarinya. Tidak ada seorang ibu di dunia ini yang akan rela berpisah dari anak yang dilahirkan dari rahimnya sendiri, tidak perduli seberapa besar rasa benci yang ia miliki untuk ayah dari anaknya. “Anak yang malang,” ucap Tante Dayu sambil menyentuh dahi Allana sesaat. Ia tidak bisa tidak merasa kasihan pada Allana. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD